Laman

Pelangi is Rainbow

Senin, 26 Desember 2011

Magic Me, Boy!

 Magic Me, Boy!  

  
“AAAAA! Rio datang! RIIIIOOOO!!!”
   Teriakan dari murid-murid cewek SMA Trisatya pagi itu mulai berkumandang ketika cowok yang bernama Rio memasuki halaman sekolah. Murid-murid cewek langsung menyerbu ke arah Rio. Hampir seluruh murid-murid cewek yang ada di sekolah mengerubuninya, dan dia tidak merasa risish, karena sudah terbiasa.
   Rio itu cowok yang hampir mendekati sempurna dari otak sampai fisik. Iya, Rio itu ganteng, keren, pintar, badan atletis, sifatnya sopan terhadap wanita, apalagi dia baik hati dan murah senyum. Cewek mana sih yang tidak dengan cowok seperti itu? Ada, dia adalah Pika.
   Gadis itu memperhatikan Rio yang dikerumbuni murid-murid cewek lewat jendela kelas. Di mata gadis itu, Rio sama sekali tidak menarik. Rio yang dikerembuni oleh para gadis baginya seperti serangga  mati yang dikerembuni semut. Pika memang paling anti dengan cowok yang bernama Rio, itu-lah salah satu sebabnya Pika paling tidak disukai kaum cewek di sekolahnya, terutama fans-fans fanatik Rio.
   “Bodoh, apa menariknya cowok itu, sih?” tanya Pika pada dirinya sendiri.

***

   “Pagi semua!” sapa Rio dengan tersenyum lebar sambil melambai-lambaikan tangannya.
   “PAGIIIII!” semua murid cewek serentak membalas sapaan Rio.
   Semua murid cewek mengikuti Rio berjalan melewati koridor sekolah. Mereka lagi menunggu-nunggu atraksi yang biasa dilakukan Rio; magic. Rio memang suka bermain sulap dan dia hanya memainkan sulap-nya satu kali dalam sehari dan itu ketika dia meminta untuk tidak dikerumbuni selama enam jam ke depan.
   Hal yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang juga, ketika Rio masuk ke kelas 1 IPS-2. Rio memang suka melakukan atraksi di sana. Kelas 1 IPS-2 , bukan kelas Rio. Rio itu sebenarnya sudah kelas 3. Jadi, kenapa alasan Rio sering bermain ke kelas 1 IPS-2 juga tidak jelas. Isu-isu beredar kalau Rio lagi Pe-de-ka-te dengan Lisa, sahabat Pika. Benar atau tidaknya belum tahu.
***

   Pika melihat Rio masuk ke dalam kelasnya. Datang lagi, keluh Pika dalam hati. Padahal hari ini, mood Pika lumayan baik, tapi kenapa Rio merusak mood-nya sekarang. Hah, ini mengesalkan.
   Pika bangkit dari bangkunya. “Gue ke toilet dulu, ya,” kata Pika kepada Lisa.
   Lisa mengangkat kepalanya dan tersenyum tanda mengizinkan tapi raut wajahnya seolah-olah menggoda Pika.
   “Iya, gue emang tidak tahan satu atap dengan cowok itu,” kata Pika mengeti dengan maksud raut wajah Lisa.
   Lisa hanya tersenyum mendengar ocehan Pika kemudian dia mengangkat bahunya.
   Pika langsung berbalik dan melangkah meninggalkan kelasnya. Pika berjalan menuju toilet. Kenapa aku yang selalu keluar dari kelas setiap cowok itu datang? Keluh Pika dalam hatinya.
   Sebenarnya, Pika pernah menyuruh Rio untuk tidak datang ke kelasnya, dan seketika itu pula, para fans Rio langsung memarahi Pika, dan saat itu sempat terjadi perang mulut, dan kalau saja guru yang mengajar kelas Pika tidak datang mungkin sudah akan terjadi pernag dunia ke-3. Sejak saat itu, Pika dikenal dengan dengan cewek dingin yang anti-cowok ganteng.
   Pika mengurung dirinya sesaat di dalam toilet. Syukur toilet sekolahnya bersih dan terawat, coba kalau di WC umum, haha, jangan harap akan betah di dalam. Pika keluar dari toilet setelah mencuci tangannya. Setelah itu, dia keluar dari toilet.
   “Pagi,” sapa seseorang.
   Pika sudah mengenal siapa dari suaranya. Iya, Rio. Siapa lagi kalau bukan cowok itu? Pika cuma melirik Rio sekilas kemudian menghela napasnya  dan meninggalkan Rio. Pika memang malas meladeni Rio.
   Bagi Pika, Rio itu cowok bermuka dua, Rio itu playboy! Rio memang ramah dengan gadis-gadis, tapi perhatikan saja… Rio itu memang ramah, tapi, dia makin baik ramah sama gadis-gadis cantik. Salah satu contoh cewek yang paling sering dideketin Rio adalah Lisa. Sahabat Pika itu memang salah satu primadona sekolah.
   Pika berjalan dengan cepat meninggalkan Rio. Tiba-tiba Pika terpeleset. Syukur ada Rio yang dengan segapnya langsung menahan Pika dari belakang.
   “Pik, kamu nggak pa-pa?” tanya Rio.
   Pika melirik sekilas Rio yang lagi menahan tubuhnya dengan kedua tangannya. Wajah Rio terlihat cemas! Itu… ah, itu mungkin perasaan Pika aja. Mana mungkin seorang cowok seperti Rio tertarik dengan Pika.

***

   Rio langsung meraih tubuh Pika yang hampir terpeleset. Lantai WC memang licin karena baru dipel. Rio menatap lekat-lekat gadis yang ada di rangkulannya. Saat itu juga, jatung Rio berdetak makin cepat. Jauh di lubuk hatinya paling dalam, dia benar-benar menyukai gadis yang ada di hadapannya.
   Rio membulatkan hatinya. Rio hari ini akan mengungkapkan lagi apa isi hatinya. Semoga saja Pika mengerti kalau dia serius dengan Pika.
   Rio tersadar dari lamunannya ketika Pika melepaskan diri dari tangannya. Wajah Pika memerah. Rio heran, kenapa wajah cewek itu memerah? Marahkah dia? Atau dia lagi malu? Tapi, alasan untuk marah dan malu tidak ada! Dia tadi hanya bergerak refleks ketika melihat Pika akan terjatuh.
   Saat Pika melangkah pergi, Rio langsung mengucapkan nama cewek itu. “Pika…”
   Pika tidak menghiraukan ucapan Rio dia tetap melangkah pergi.
   “Pika!” ucap Rio dengan setengah berseru.
   Pika menghentikan langkah kakinya. Ada terbesit perasaan lega dalam hati Rio.
   “Pik… lo benci banget, ya sama gue?” tanya Rio.
   Kenapa itu yang keluar dari mulut Rio? Rio sangat menyesali kata-kata yang keluar dari mulutnya. Harusnya sekarang dia mengungkapkan perasaannya yang ke-98 kali. Entah mengapa,  mulutnya mengucapkan hal itu.
   Sekarang Rio hanya berharap Pika tidak membencinya. Karena, satu hal yang paling dia takuti di dunia ini adalah di benci Pika. Walaupun sebenarnya dia penasaran apakah Pika membencinya atau  tidak.
   Rio menatap punggung Pika dengan penuh harap. Berharap gadis itu mengatakan tidak, aku tidak membencimu. Gadis itu tidak membalikan badannya untuk melihat dirinya. Begitukah? Sebegitu bencikah dia kepada Rio, sampai-sampai tidak mau melihat wajah Rio.
   “Gue nggak benci sama lo,” jawab Pika datar.
   Rio menghela napas leganya. Dia baru mengerti, senangnya tidak dibenci oleh orang lain, senangnya orang yang terlihat dingin kepadanya mengatakan tidak membencinya.
   “Lalu kenapa lo dingin banget sama gue?”
   “Kenapa? Lo pikir aja,” jawab Pika ketus.
   “Gue suka sama lo, gue serius sama lo,” kata Rio dengan segenap perasaannya.
   Pika membalikkan badannya. Cewek itu marah, Rio tahu itu. Rio sudah terbiasa dengan reaksi Pika setelah dia menyatakan perasaannya. Tapi, kali ini berbeda, kali ini dia menyatakan perasaannya dengan serius, tidak di depan orang lain atau tidak juga dengan lagu-lagu yang dikhususkan untuk Pika. Hanya ada dia dan Pika. Dan dia serius serta tulus.
   Rio menatap Pika lekat-lekat. Rio mencoba memahami apa yang dipikirkan gadis itu dengan menatap matanya. Akhirnya Rio menyerah untuk menatap mata gadis di depannya, karena setiap dia menatap mata gadis itu, dia selalu teringat dengan seseorang.
   Pika menghela napasnya kemudian melangkah meninggalkan Rio.
   Rio langsung meraih tangan Pika dan memegang erat tangan gadis itu. Entah kekuatan dari mana hingga Rio sanggup memegang tangan Pika.
   “Apa yang nggak lo suka dari gue?”
  Pika tersenyum jengkel, “banyak,” jawab gadis itu singkat.
   “Apa aja itu?”
   “Lo pengin tau?”
   Rio terdiam sejenak, berpikir. Mungkin lebih baik dia tahu, sehingga dia bisa memperbaiki hal-hal yang tidak disukai Pika.
   Akhirnya, Rio mengangguk lemah.
   Pika menatap Rio dengan tatapan dingin. “Jawabanya cuma satu… karena lo itu Rio.” Kata Pika. Pika menghela napas kemudian melanjutkan ucapannya. “Itulah alasan, kenapa gue nggak suka sama lo,”
   Sebenarnya, hati Pika terasa berat untuk mengatakan hal itu. Entahlah, Pika juga tidak tahu mengapa, mungkin dia hanya merasa tidak enak hati menyakiti orang lain.
   “Benarkah itu?” tanya Rio. Dia tidak percaya dengan alasan Pika. Dia yakin, jawaban gadis itu bukanlah hal yang ingin dia katakan.
   “Iya,” jawab Pika seraya memalingkan wajahnya dari Rio.
   “Gue nggak percaya. Jujurkah jawaban lo itu?” tanya Rio dengan nada putus asa.
   Pika menatap Rio lekat-lekat. Saat itu, entah kenapa semangat Rio menjadi surut. Pika menghela napasnya, dadanya entah mengapa merasa sesak ketika melihat wajah sedih Rio.
   “Gue mohon, jangan mainin Lisa… Gue sayang dia… Dia satu-satunya sahabat yang nerima aku apa adanya,” kata Pika akhirnya dengan nada memohon.
   “Gue nggak pernah mainin Lisa,” sangkal Rio.
   Rio benar-benar terkejut mendengar ucapan Pika. Kenapa Pika berpikir begitu tentangnya?
   “Kalo nggak mainin Lisa, lo jangan deket-deket dengan cewek lain atau nyatain perasaan lo ke gue,” kata Pika.
   “Kenapa lo berpikir begitu tentang gue?” tanya Rio heran.
   Benarkan, Rio itu sama saja dengan playboy lainnya, dia sama nggak gantlenya. Buktinya  dia tidak mau mengaku kalau Lisa adalah pacarnya.
   Pika membuang muka, dia malas melihat cowok playboy seperti Rio. “Lo sama saja seperti playboy lainnya, suka nggak ngakuin pcar sendiri di hadapan cewek lain.”
   “Lo kira gue sama Lisa itu pacaran?” tanya Rio hati-hati.
   “Jangan bilang kalau lo nggak pacaran sama Lisa!” hardik Pika kesal.
   “Kalau kenyataannya memang gue nggak pacaran sama Lisa, mau gimana lagi?”
   “Lo itu memang playboy!” seru Pika marah.
   “Lisa itu sepupu gue,”
   Pika tersentak kaget mendengar ucapan Rio. Lisa sepupu Rio? Benarkah itu?
   Rio merapatkan bibirnya menahan senyum karena merasa lucu melihat wajah Pika yang terkejut dengan apa yang telah di ucapkan oleh Rio.
   Pika langsung membalikkan badannya dan berlari kecil. Rio sekilas melihat telinga Pika agak merah. Cewek itu pasti malu banget setelah  mengetahui fakta kalau Lisa itu sepupu Rio.
   Rio langsung mengejar Pika dan menarik tangan gadis itu. Kemudian menahannya. Pika memalingkan wajahnya. Sekarang, dia pasti seperti orang bodoh di hadapan Rio.
   “Kenapa lo ngejauhin gue terus, Pik?” tanya Rio dengan nada menuntut.
   “Nggak kenapa-napa,” jawab Pika seraya melepaskan tangannya.
   “Kalau gitu, sekarang, gue boleh deketin lo? Boleh, kan? Karena sekarang lo nggak punya alasan kenapa gue harus ngejauhin lo atau kenapa lo benci gue,” kata Rio.
   “Boleh aja kalau magic-mu mempan sama aku,” sahut Pika seraya melenggang pergi.
   Rio langsung tersenyum lebar. Jadi… maksudnya… Rio boleh deketin Pika! Hebat! Ini berita bahagia! Rio mengepalkan tangannya dan mengayunkan ke bawah dengan bergumam, “yes,”
  Rio langsung berteriak, “PIKA! I WILL MAGIC YOU WITH MY POWDER LOVE!”

***

   “Haaah… apa-apaan sih dengan cowok itu?” desis Pika seraya menutupi wajahnya dengan kedua tangannya ketika Pika masuk ke dalam kelas.
   Jelas. Sudah sangat jelas, kalau teriakan Rio tdi membuat murid-murid SMA Trisatya tumbar. Langsung dalam sehari teriakan itu menjadi gosip panas dengan judul: RIO MENYATAKAN PERASAANNYA DENGAN BERTERIAK DI KORIDOR! APAKAH PIKA AKAN MENJAWAB PERASAAN RIO?
   Lisa menyikut tangan Pika yang dari tadi menelungkupkan wajahnya. “Pika, kayaknya…”
   “Udah! Tuh anak nyebelin banget!” potong Pika. “Lo juga nyebelin banget! Kenapa selama ini lo nggak bilang kalo lo itu sepupu-an sama Rio! Gue kan jadi malu,” semprot Pika.
   “Iya, deh, sori. Gue mau bilang, tapi, lo-nya aja yang susah dikasih tau. Saking sensitifnya denger nama Rio,” sahut Lisa setengah membela diri. “Rio serius tau sama kamu, Pik,”
“Lis, mana ada cowok seperti Rio serius sama cewek… Dia kan nggak pernah serius sama cewek dan selalu main-main dengan cewek,” kata Pika.
“Memangnya kamu tau apa isi hati Rio yang sebenarnya?”
Pika tersentak mendengar ucapan Lisa. Astaga, tersinggungkah Lisa? Aduuuh, harusnya aku hati-hati bicara tentang Rio di depan Lisa.
   “Lis…” ujar Pika dengan wajah memelas. “Maafin aku… Aku nggak maksud menghina sepupumu,”
   Lisa cuma diam dan tersenyum manis. Dia tidak tersinggung.
   “Pika! Lo apain Rio kami sampai-sampai dia jadi nyatain cinta sama lo!” bentak Bertha seraya menarik badan Pika.
   Bertha adalah salah satu fans fanatik Rio. Dalam satu hari, dia lebih dari lima kali menyatakan cintanya dan hasilnya selalu PENOLAKAN! Mendengar gosip tentang Rio yang meneriakkan pernyataan cintanya kepada Pika yang anti-fans Rio, Bertha langsung naik pitam. Sungguh  menyakitkan bagi Bertha untuk menerima kenyataan.
   “Apaan sih?!” kata Pika seraya melepaskan tangannya dari cengkeraman Bertha.
   “Sadar diri, dong! Lo itu gak pantes sama Rio!” teriak Bertah sambil menunjuk-nujuk kepala Pika dengan telunjuknya.
   “Siapa bilang cowok itu pantes sama gue! Udah deh,  lo yang harusnya sadar diri! Muka lo, sama muka gue, jelas banget bagusan muka gue! Dan satu lagi, kulit, sama badan lo itu dekil bin lebar!” sahtu Pika enteng.
   “Pak Eko datang, Bert!” kata Chacha yang merupakan teman geng Bertha.
   Coba aja kalau Pak Eko tidak datang, Pika sudah pasti babak belur. Meskipup Pika ikut karate, tetap aja dia bakalan kalah, soalnya, Bertha bukan hanya besar tetapi sudah sabuk hitam, dan satu lagi, semua anak cowok termasuk guru enggan berurusan dengan Bertha.
   “Awas aja lo!” ancam Bertha seraya melenggang pergi.
   Pika mencibirkan bibirnya kemudian duduk kembali ke bangkunya.
   “Pik, lo nggak pa-pa kan?” tanya Lisa khawatir.
   “Iya, tenang aja! Aku kan  kuat!” jawab Pika dengan menepukkan tangannya ke dada.
   Pelajaran dimulai saat Pak Eko sudah masuk ke dalam kelas. Pak Eko mulai menjelaskan pelajaran sosiologi tentang kelompok multikultural dan saatnya bagi Pika untuk pergi ke alam tidurnya. (ini bukan contoh remaja yang baik)
   Setelah pulang sekolah, Pika bersiap-siap untuk ke kafé. Pika ke kafé bukan untuk melepas bebannya karena seharian sudah di sindir-sindir oleh para fans Rio, terutama Bertha, Pika ke kafé melainkan untuk bekerja.
   Pika memang seorang gadis yang mandiri. Pika tidak suka minta-minta uang dengan orang tuanya selama  dia masih bisa mencari uang sendiri. Tapi, bukan berarti Pika tidak menghargai orang tuanya yang mencari nafkah untuk dirinya, Pika tetap minta uang kalau lagi butuh uang dalam dana besar, contohnya bayar iuran sekolah, beli pakaian, dan itu pun separonya menggunakan uang Pika sendiri. Satu hal lagi, orang tua Pika itu, orang yang lumayan kaya.
 
***

Di kafé…
   “Rio, mau nggak kencan sama aku?” tanya seorang pelanggan cewek yang datang ke kafé hanya dengan satu tujuan, yaitu, Rio.
   Rio istirahat di meja samping kasir, dia sekarang lagi meneguk air yang kelimanya. Tenggorokannya benar-benar kering karena dia sudah bernyanyi selama dua jam penuh. Penyanyi pengganti Rio, tidak bisa bekerja hari itu, jadi dengan senang hati Rio yang menggantikan.
   Alasan kenapa Rio mau bekerja sebagai penyanyi di kafé itu karena ada Pika. Dia ingin melihat lebih dekat gadis yang sangat disukainya.
   “Mau nggak, Yo?” tanya cewek itu setengah memaksa.
   “Ohok, ohok, ohok,”
   “Rio, kamu nggak pa-pa?” tanya cewek itu sok peduli.
   Rata-rata cewek yang datang ke kafé, hanya untuk melirik Rio atau mengajak Rio nge-date. Mereka cuma ingin memamerkan kepada teman-temannya kalau dia bisa menggebet cowok cakep seperti Rio. Itulah deritanya jadi orang cakep; dimanfaatin.
    “Nggak pa-pa… hhhhmmmm… tenang aja,” jawab Rio sambil berdehem-dehem kemudian tersenyum ramah.
   Di lihat dari kondisi Rio sekarang, Rio sepertinya sudah tidak bisa menyanyi. Suaranya agak serak.
   “Bro, suaramu hancur banget! Lo masih bisa nyanyi?” tanya Ryan ragu,  dia adalah pemain bass di kafé.
   “Iya nih… hhhmmm, kayaknya, bakalan susah deh, bro,” jawab Ryo sambil mengosok-gosok tenggorokannya. “Gue nggak mungkin nyanyi sekarang , tapi gue ganti sama penyanyi lain, entar gue ganti, bos mau nggak, ya?”
   “Waaah, gue nggak tau. Kayaknya susah deh, bos kita orangnya agak ‘susah’” jawab Ryan sambil mengacungkan kedua tangannya memberi tanda kutip pada kata susah.
   “Bagaimana ini?” gumam Rio.
   “Biar gue gantiin,” ujar seseorang.
   Rio langsung mengangkat kepalanya.
   Pika! Pika mau membantu Rio!

***

   Pika yang sedari tadi sudah mendengar percakapan Rio dan Ryan, dan dia merasa kasihan dengan Rio. Kalau berpikir Pika mulai menyukai Rio, itu salah besar. Sampai detik ini, Pika tidak menyukai Rio, tapi, dia tidak juga membencinya.
   “Emang lo bisa nyanyi?” tanya Ryan ragu.
   “Lo pikir, gue nggak ada bakat dalam nyanyi apa,” sahut Pika. “Gue ini jago banget! gue pernah memenangkan kompetisi menyanyi se-Indonesia tau!” tambah Pika dengan menyombongkan dirinya.
   Ryan cuma bisa mengangkat bahunya tanda tidak percaya dengan kata-kata Pika.
   “Emang bos ngizinin?” tanya Ryan.
   “Iya. Tadi gue udah bicara sama bos,” jawab Pika.
   “Ya, udah, sekarang kita ke panggung,” ujar Ryan.
   “Jangan! Gue pengin denger suara Rio aja,” kata pelanggan cewek yang tadi.
   “Lo tadi nggak denger apa kalau pangeran lo itu nggak bisa nyanyi?! Kalau ngefans, ya, ngefans, tapi jangan bikin idola lo tersiksa, dong!” bentak Pika seraya berjalan menuju panggung.
   Pelanggan wanita itu langsung terdiam, setelah tersadar dia bangkit dari kursinya dan pergi meninggalkan kafé.
   Pika mengambil mikrofon, “Selamat malam semua, saya Pika, hari ini saya akan menyanyikan lagu yang berjudul writing in the stars dari westlife,”

Stay with me
Don’t fall asleep too soon
The angels can wait for a moment
Come real close
Forgot the world outside
Tonight we’re alone
It’s finall you and I
It wasn’t meant to feel like this
Not without you
   Tiba-tiba, Rio menaiki panggung dan ikut menyanyi. Pika sempat terkejut, tapi dia dengan cepat menyesuaikan keadaan. Mereka menyanyi bersama. Suara dan kemesraan mereka di atas panggung membuat mereka menjadi sorotan seluruh mata.

Coz when I look at my life
How the pieces fall into place
It just wouldn’t ryhme without you
When I see how my path
Seem to end up before your face
The state of my heart
The place where we are
Was writing in the stars
   Tepuk tangan dari pelangan kafé membahana menyambut akhir lagu, dengan Rio dan Pika yang saling bertatapan dengan mesra.
   Bagi Rio, malam ini, adalah malam yang paling terindah dan moment yang paling berwarna dalam hidupnya. Kenapa tidak? Malam ini dia bisa bernyanyi dengan pujaan hatinya.
   “RIP!” kata Rio mengucapkan mantra magic-nya ketika Pika hendak meninggalkan panggung.
   Kelopak mawar merah berjatuhan dari langit dan tirai pun ditututp, terdengar lagi riuhnya tepuk tangan dari para penonton.
   Tanpa disadari, tangan mereka bergandengan selama dipanggung. Setelah tersadar Pika langsung melepaskan tangannya, Rio hanya tersenyum cengengesan. Entah kenapa Pika juga ikut-ikutan cengingisan, kemudian mereka berdua tertawa.
   “Entar duet lagi, ya?” ajak Rio.
   “Iya, kalau entar gue udah jadi nenek-nenek,” canda Pika.
   “Kita udah menikah dong artinya. Nenek gue,” sahut Rio.
"Ikh, ngarep!" sahtu Pika dengan tersenyum lebar.
   Deg!
   Jantung Rio langsung berdegup kencang ketika melihat senyum Pika. Ouh, Tuhan, jantungku bisa copot kalo begini! Senyumnya cantik banget! batin Rio.
  “Gue mau nyelesain pekerjaan gue dulu,” kata Pika seraya meninggalkan Rio yang masih hanyut dalam lamunannya.
   “Yo, ngapain lo diam aja di sini dari tadi?” tegur Riyan seraya menepuk bahu Rio.
   Rio tersentak sadar dari lamunannya. Rio celingak-celinguk mencari-cari sosok gadis yang disukai, Pika.
   “Cari Pika lo?” tanya Ryan seolah tahu isi hati Rio.
   “Iya. Mana, ya?”
“Tuh siapa yang lagi bersihin meja 17?” kata Ryan seraya menunjuk ke arah Pika yang lagi sibuk membersihkan meja.
Rio langsung menghampiri Pika dan mencoba membantunya. Pika yang tidak suka dibantu oleh Rio langsung marah-marah. Rio tidak peduli, asalkan pekerjaan Pika menjadi lebih ringan dia mau bekerja lembur demi membantu Pika.

***

   Setelah pekerjaan Pika selesai, Pika langsung pulang. Tadi, Pika sempat mengira dirinya akan lembur semalaman mengerjakan pekerjaannya. Bosnya memang disiplin, dia tidak ingin pegawai lain merasa timpang atas perlakuannya kepada Pika yang mengizinkannya menggantikan Rio.
   “Thanks udah nolongin gue tadi,” kata Rio sambil mengimbangi jalannya Pika.
   “Oh, no problem,” sahut Pika. “Tapi, kalo tadi tau lo masih mampu nyanyi, gue nggak bakalan gantiin lo,”
   “Gue juga nggak tau kenapa gue mampu nyanyi. Padahal, suaraku benar-benar sudah habis tadi.”
   “Benarkah?”
   Rio merogoh isi jaket hija belang kuning. “Hmm. Ketemu! Ini, tanda terima kasih gue,” ujar Rio seraya menyerahkan coklat batangan.
   “Nggak ah, takut gue. Makasih,” tolak Pika.
   “Hey! Ini nggak ada racunnya tau!” kata Rio.
   “Eh, yang bilang ada racunnya juga siapa?” sahut Pika. “Wah, jangan-jangan beneran ada, nih,”
   “Kalo pun gue ngasih racun, pasti itu racun cinta,”
   “Maka dari itu, gue takut. Ntar kesambet racun playboy lagi,”
   Rio meraih tangan Pika dan meletakan coklatnya di telapak tangan Pika.
   “Gue bukan cowok yang ngeracunin cewek yang gue suka dengan yang begituan. Lagian, emangnya ada racun playboy. Ada-ada kamu ini,”
   “Hmmm…” Pika menyimpan coklatnya ke dalam tas.
   Tidak ada yang bicara di sepanjang perjalanan. Rio ingin bicara, tapi dia terlalu gugup untuk bicara. Dia tidak menyangka, keinginannya untuk jalan bersama Pika akhirnya terwujud. Andai sekarang dia mampu berteriak, dia pasti akan berteriak sambil berjingkrak-jingkrak.
   Tidak, sekarang bukan saatnya untuk diam saja. Sekarang, aku nggak boleh menyia-nyiakan waktu ini. Kapan lagi aku bisa jalan berduaan dengan Pika, celoteh Rio dalam hati.
   “Rumah lo di mana, Pik?” tanya Rio.
   “Masih jauh. Sebenarnya, gue biasa pake bis, kalo jam segini bis yang searah ke rumahku udah nggak ada,” jawab Pika.
   Betap takjubnya Rio mendengar jawaban Pika yang panjang. Biasanya, gadis itu hanya menjawab sepatah—dua patah kata. Ini artinya, hubungan Rio dan Pika mulai membaik.
   “Oh, kalo gitu, kita pulang bareng, ya,” ajak Rio.
   “Boleh aja,” jawab Pika. “Eh, memangnya rumahmu di mana?”
   “Di komplek Citra Permai,” jawab Rio
   “Wah, sama dong, gue juga di situ,”
   “Oh, ya, denger-denger lo kerja di kafé clever,”
   “Hmm, iya. Kenapa?”
   “Nggak pa-pa. Berarti lo tadi nggak kerja di sana?”
   “Malam ini bukan jadwal gue kerja di sana,”
   “Kenapa lo kerja sampingan, Yo?” tanya Pika hati-hati.
   Pika ingin memastikan apakah benar gosip yang beredar tentang Rio yang hidup sebatang kara. Ayah dan Ibunya bekerja menjadi tenaga kerja di luar negeri, sedangkan adiknya di asuh oleh tantenya. Memang ini bukan urusan Pika, tapi, setidaknya dengan itu, dia mempunyai alasan untuk tidak menjahati Rio.
   “Buat penghasilanlah,” jawab Rio enteng sambil ketawa-tawa.
   “Nggak minta sama ortu lo?” pancing Pika.
   Rio memalingkan wajahnya. “Emm… Nggak, ortu gue di luar negeri,”
   “Oh, maaf,”
   Rio tertawa, “buat apa minta maaf?”
   “Nggak pa-pa, sekarang lo tinggal sama siapa?” tanya Pika lagi.
   “Sendiri. Adik gue sama tante gue, buat mancing kehamilan katanya. Kenapa? Mau nemenin gue di rumah?”
   Yang tadinya Pika kasihan malah jadi eneg denger kata-kata nyebelin Rio.
   “Enak aja!”
   Sepanjang perjalanana mereka terus berbicara. Mulai dari hal yang penting sampai hal yang tidak penting untuk di bicarakan. Pika mulai merasa kalau Rio bukanlah seperti orang yang ada di dalam pikirannya. Dia mulai merasa nyaman berbicara dengan Rio dan mulai membuka diri.
   Pika tidak mengungkit-ungkit masalah keluarga Rio lagi. Dia takut membuat sedih lelaki itu, entah mengapa. Dia mendengarkan penuh antusias cerita Rio yang direbutkan oleh cewek-cewek. sekarang, dia tahu kalau Rio itu bukanlah playboy. Selama ini dia hanya pacaran satu kali.
   Pacar Rio. Rika, namanya. Rika meninggal akibat kecelakaan pesawat ketika dia akan pergi ke Australia untuk mengunjungi orangtuanya. Tragis memang. Tapi, itulah takdir, tidak ada seorang pun yang tahu kapan seseorang dipanggil-Nya.
   “Sifatnya, sangat mirip denganmu, jutek. Tapi, aku sudah melupakannya. Aku harus membuka lembaran-lembaran baru. Benarkan?” kata Rio.
   Pika mengangguk. Pasti berat untuknya menjalani hari-harinya, runtuk Pika dalam hati.
   “Emm, aku sudah sampai, selamt malam, hati-hati,” ujar Pika seraya membuka pagar rumah yang hanya setinggi pinggang orang dewasa.
   “Oh, selamat tidur,” balas Rio.
   Pika tersenyum kemudian membalikkan badannya. Pika memasuki halaman rumahnya yang tidak terlalu luas, rumahnya juga sederhana. Pika seakan tersadar akan sesuatu dan berlari menghmpiri Rio yang sudah mulai berjalan cukup jauh.
   “Riooo!” teriak Pika.
   Rio memalingkan badannya.
   “Gue mau nanya. RIP itu apa?” tanya Pika ngos-ngosan.
“Gue kira apa teriak-teriak, itu rahasia,” tawa Rio.
“Huh! Ya udah, deh kalo nggak mo ngasih tau!” kata Pika seraya berjalan meninggalkan Rio.
Rio meraih tangan Pika dan tiba-tiba memeluk Pika. Pika terdiam terkejut. Jantung Pika berdegup kencang. Oh, Tuhan! Gumam Pika dalam hati. Pika tidak dapat menolak atau berkata apa-apa, dia terlalu gugup untuk bertindak.

***

   Entah kekuatan dari mana, Rio tanpa sadar memeluk Pika. Rio tahu, gadis itu pasti sangat tekejut. Badan gadis itu bergetar namun hangat. Rio ingin waktu berhenti untuk berdetik. Sungguh, sekarang dia tidak ingin ada hari besok, dia takut Pika menjadi Pika yang membencinya.
   “Rio…” ujar Pika dengan suara bergetar.
   Rio tersadar dan langsung melepaskan pelukannya. “Maaf,”
   Pika langsung membalikkan badannya, dan berjalan cepat. Sekali lagi Rio meraih tangan Pika.
   “Biar gue antar,” kata Rio.
   Pika cuma diam. Sepertinya, gadis itu tidak tahu mau mengucapkan iya atau tidak. Kalau saja sekarang siang hari, Rio pasti melihat wajah Pika yang merah seperti kepiting rebus.
   Pika membuka pintu pagar rumahnya sekali lagi.
   “Pika. Bolehkah gue meminta satu hal dari lo?” tanya Rio.
   Diam. Pika tidak menjawab, tidak juga membalikkan badannya. Dia mungkin terlalu malu untuk melihat Rio saat itu.
   “Apa itu?” tanya Pika akhirnya.
   “Saat besok pagi lo bangun dari tidur lo. Gue mohon, jangan berubah menjadi Pika yang membenciku,” pinta Rio.
Pika hanya mengangguk lemah.
“Kalo gitu, gue bisa tenang. Selamat tidur,” ujar Rio seraya melangkah pergi.
Rio meninggalkan Pika yang masih terdiam berdiri. Dari kejauhan Rio mendengar Pika berteriak-teriak sendiri untuk menyadarkan dirinya. Rio tersenyum mendengar runtukan Pika terhadap dirinya sendiri.
Tiba-tiba mobil mewah berhenti di depannya. Wajah Rio yang tadi penuh dengan kegembiraan berubah menjadi pucat. Beberapa detik kemudian, keluar tiga laki-laki berjas hitam.

***

Akhir-akhir ini, hubungan Rio dan Pika semakin dekat. Pika sudah tidak menjaga jarak lagi dengan Rio. Sekarang pun, mereka pulang sekolah, ke kafé, atau ke tempat-tempat lainnya sering bersama-sama. Kalau bagi Pika itu hanya jalan-jalan biasa, berbeda dengan Rio. Rio menganggap itu adalah kencan walaupun Pika sering menegaskan kalau itu bukan kencan.
Sudah seminggu Rio tidak masuk sekolah. Fans-fansnya sibuk meributkan gosip yang beredar tentang menghilangnya Rio dari sekolah. Pika tidak ingin percaya dengan gosip negatif yang beredar, dia bertanya kepada Lisa, tapi, Lisa juga tidak tahu ke mana Rio.
Seminggu Rio menghilang, Pika menyadari kalau Rio mulai mengisi hari-harinya. Sekarang, dia mengerti bagaimana rasanya merindukan seseorang. Tanpa Pika sadari, rasa yang berbeda dengan kehendanya tumbuh dan berkembah dalam hatinya. Dia sadar, kalau Rio adalah orang yang berarti dalam hidupnya.
Pagi itu mendung. Sekolah libur, orangtua Pika pergi ke rumah neneknya, jadi Pika sendirian di rumah. Pika duduk berjongkok di halaman rumahnya sambil memperhatikan ikan-ikan yang memakan roti yang dikasih Pika.
“Koki, lo tau nggak, gue kangen sama orang itu. Dia sudah seminggu nggak muncul-muncul.” Celutuk Pika.
Pika menghela napasnya. Pika merasa dirinya sudah menjadi gila. Buktinya, dia berbicara sendiri pada Ikan koi yang tidak bisa mengerti bahasanya.
“Kangen sama siapa? gue?”
Pika langsung melihat ke arah suara itu. Rio! Rio ada di sampingnya berdiri sambil cengar-cengir. Pika langsung berdiri. Entah apa yang dia rasakan sekarang. Senang, kesal, rindu, semua bercampur menjadi satu.
Rio merentangkan kedua tangannya siap untuk memeluk Pika. Pika malah penepuk dada Rio. Dasar cowok nyebelin!
“Kenapa?” tanya Rio sambil tertawa.
“Ke mana aja selama ini?” tanya Pika.
“Kangen?”
“Nggak bakalan!” jawab Pika sambil mencibir.
Rio tertawa. Kemudian, keduanya terdiam. Pika kembali berjongkok memperhatikan ikan-ikan koinya yang berenang kesana-kemari. Rio duduk dan merendamkan kakinya ke dalam kolam. Pika mengikuti hal yang dilakukan Rio.
“Apa nggak kotor?” tanya Pika memecahkan keheningan.
“Berani kotor itu baik,” jawab Rio menirukan salah satu semboyan iklan.
Setelah itu, diam lagi. Pika memperhatikan dari sudut matanya. Cowok itu jadi agak pendiam, tidak seperti biasanya, selalu mengoceh hal yang tidak perlu. Pika bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang dipikirkan oleh cowok itu. Rio agak murung dan seperti orang yang sedang menanggung beban yang berat.
Pika merasakan tangannya digenggam. Dia langsung melihat ke samping, kemudian melihat tangannya yang digenggam Rio. Rio tidak memalingkan wajahnya, dia tetap menatap kosong ke arah kolam.
“Izinkan aku… memegang tanganmu,” kata Rio pelan.
“Hah?” Pika kurang jelas mendengar ucapan Rio.
Rio memalingkan wajahnya dan menatap Pika. Tatapan kerinduan. Pika merasakan hal itu. Pika bingung dengan perasaannya terhadap Rio. Walaupun dia mulai sadar akan pentingnya Rio baginya.
“Pika… gue pengin serius sama lo.” Kata Rio.
“Maksud lo?” tanya Pika.
“Gue pengin jadi orang yang bisa melindungi lo.” Jawab Pika.
“Gue nggak suka kalo lo bercanda seperti ini lagi. Eneg gue.”
“Gue serius, Pik. Gue serius sama lo,” kata Pika.
“Kenapa?” tanya Pika. “Kenapa lo suka sama gue?”
“Apakah lo masih ingat kalo lo dulu pernah nolongin gue dari anak-anak cewek yang merebutkan aku? Saat gue jatuh dari pohon, lo orang pertama nolongin gue dan manggil guru. Dulu waktu SMP, lo juga pernah nolongin gue dari anak-anak cowok yang pengin ngeroyok gue. Dan sekarang, lo nolongin gue lagi untuk lupain Rika,” kata Rio. “Gue udah jatuh cinta sama lo, jauh sebelum Rika datang. Bagi gue, lo itu malaikat penolong gue. Lo orang paling baik yang pernah aku kenal. Lo selalu bantu orang lain, nggak pengin rpotin orang lain.” Tambah Rio.
Pika tidak menjawab. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Apa yang dilakukan selanjutnya juga tidak tahu.
“Pika Anggia…” kata Rio seraya memegang erat kedua tangan Pika. “Gue sekarang pengin ngelindungin lo. Gue pengin lo jadi cewek gue.”
“Gue takut…” kata Pika bergetar.
“Takut kenapa?”
“Gue takut lo mainin gue… Gue takut sakti hati…” jawab Pika.
Rio memperat gengaman tangannya. “Percayalah padaku. Aku tidak akan menyakitimu, karena aku berjanji untuk melindungimu,”
“Entahlah,”
“Seminggu lagi, gue akan ke Jerman. Gue disuruh melanjutkan kuliah gue di sana,” kata Rio.
Pika tersentak kaget. Baru saja Rio datang, dia akan pergi lagi? Kenapa?
“Bukannya gue pengin ninggalin lo, tapi, Papa pengin aku belajar mengurus perusahaannya. Aku sudah menolak berkali-kali, sekarang aku nggak bisa nolak. Aku sudah nggak punya alasan untuk tinggal di sini.” Kata Rio seolah mengetahui apa yang dipikirkan oleh Pika.
“Kenapa lo nembak gue di saat lo mau ke negeri,” tanya Pika.
“Gue hanya butuh jawabanmu setelah dua tahun nanti. Maka dari itu, pikirkanlah baik-baik. Gue pasti kembali.” Jawab Rio yakin.
Mendengar jawaban sesimple itu, Pika merasa hatinya yang gundah berubah menjadi tenang. Pika menatap mata Rio. Tidak ada terbesit keraguan di mata cowok itu. Mata memang tidak dapat berbohong.
Pika tersenyum lembut membuat Rio merasa nyaman.

***

Dua tahun berlalu. Tidak ada hal menarik bagi Pika. Entah mengapa dia merindukan hari-harinya bersama Rio. Di mana dia sering membentak, memarahi, bahkan saat tertawa bersama Rio.
Pika duduk di depan kafé sambil memutar-mutar spaghetti dengan garpunya. Sesekali dia melirik jam tangannya, seperti orang yang sedang menunggu. Pika menghela napasnya kemudian menyadarkan dirinya ke sandaran kursi.
“RIP!”
Tiba-tiba mawar merah dan putih berterbangan dari atas langit. Pika celingak-celinguk mencari siapa yang melakukan hal itu. Rio kah? Pika menghela napasnya ketika menyadari tidak ada sosok Rio di sana. Pika kembali memutar-mutar spaghetti-nya.
Pika tersentak kaget ketika merasa bahunya di tepuk seseorang. Dia langsung membalikkan badannya. Bibir Pika terangkat ketika dia tersenyum.
“Rio!” seru Pika seraya bangkit dari kursinya.
“Haha, kangen banget, ya? Jadi seperti orang putus asa gitu,” ledek Rio seraya duduk di bangku samping Pika.
“Enak aja! Nggak tau! Gue nggak kangen!” sahut Pika seraya duduk.
“Rio, apa itu RIP? Kamu selalu mengucapkannya setiap magic, mantrakah?” tanya Pika.
“Mau tau?”
Pika mengangguk.
“Cium dulu,” kata Rio sambil menunjuk-nunjuk pipnya.
“Enak aja!”
“Hehe, RIP itu singkatan Rio In Pika. Norak, ya?”
“Banget!”
Rio mulai melakukan hal yang paling disenanginya. Berceloteh ria bareng Pika. Di luar negeri, tidak ada cewek semenarik Pika dan seseru Pika. Melirik wanita lain pun, Rio tidak pernah, dia hanya teringat Pika, Pika, dan Pika.

***

Pika keluar rumahnya setelah bersalaman dan pamit kepada kedua orangtuanya. Rio sudah menunggu di depan rumahnya dengan mobil berwarna silver. Mulanya, Pika menolak diantar dengan mobil, tapi, setelah Rio jelaskan kalau setelah mengantar Pika dia akan ke rumah tantenya, akhirnya, Pika setuju.
“Pagi,” sapa Pika.
“Pagi, nona Febrian,” sahut Rio seraya membukakan pintu mobil untuk Pika.
“Nona Febrian? Sejak kapan nama akhirku bertambah nama Febrian?” celetuk Pika.
“Sejak kamu menerima cinta aku.” Jawab Rio.
“Dasar genit!” ledek Pika seraya masuk ke dalam mobil. Rio menutup pintu mobil dengan hati-hati.
Rio berjalan menuju pintu mobil satunya. Kemudian dia memasang sabuk pengaman. Sebelum menyalakan mobil, dia menatap Pika.
“Apa?” tanya Pika salah tingkah.
“Kamu hari ini rapi banget, gara-gara aku jemput, ya?”
“Enak aja! Aku memang rapi dari dulu, kok!” sahut Pika tidak terima.
Rio tertawa gelak melihat wajah cemberut Pika yang pipinya menggelembung. Rio menyalakan mobilnya dan menyetir dengan hati-hati.
Pika tidak bicara di sepanjang perjalanan, begitu pula Rio yang merasa deg-degan berada di samping Pika. Pika memeperhatikan cowok yang ada di sampingnya. Rio dan dia sudah jadian, perasaannya sekarang sangat bahagia.
CIIIIITTTT
Mobil Rio berhenti di depan SMA Trisatya. Rio langsung keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu mobil Pika kemudia membukakan pintu mobilnya.
“Aku antar sampai depan pagar, ya?” kata Rio.
“Nggak pa-pa, nih?” tanya Pika.
“Tentu aja,” jawab Rio.
“Eh, itu kan Rio Febrian, kakak kelas kita dulu?” bisik dua orang cewek.
Beberapa detik setelah Pika menoleh ke arah dua gadis itu, sekelompok gadis langsung mengkerumbuni Rio. Pika hanya bisa menertawakan Rio yang gelagapan. Kemudian Pika meninggalkan Rio menuju ke dalam kelas.

***

Pelajaran sudah di mulai. Seperti biasa, hanya beberapa pelajaran saja yang masuk ke dalam otaknya. Pika melirik Lisa yang penuh antusias mendengarkan Pak Hendra, guru mate-matika. Pak Hendra merupakan salah satu guru killer.
Tiba-tiba kelas Pika penuh dengan asap, kemudian berbagai mawar jatuh dari atas. Kelas menjadi ribut, Pak Hendra menyuruh semua tenang tapi tidak berhasil.
“RIP!”
Ketika asap sudah mulai memudar, semua mata tertuju pada Pika. Kenapa tidak? Rio sedang memeluk leher Pika dan cengar-cengir. Pika tidak bisa apa-apa karena terlalu shock.
“Maaf, Pak! Saya ambil Pika-nya dulu, hehe,”kata Rio seraya menggendong Pika dan lari keluar kelas.
Pak Hendra mengejar Rio, tapi, lari cowok itu terlalu cepat.
“RIO FEBRIAN! KEMBALIKAN MURIDKU!” teriak Pak Hendra.
Rio langsung memasukkan Pika ke dalam mobil. Dia tidak henti-hentinya tertawa. (ini bukan contoh anak muda yang baik).
Pika menatap jengkel ke arah Rio.
Rio menghapus air matanya karena terlalu gelak ketawa. “Ada apa, say?”
“AAAA~!” teriak Pika. “Ini namanya penculikan!”
Rio makin gelak tertawa.
Pika menepuk bahu Rio. “Eh, gimana entar aku? Bisa mampus aku kena marahin oleh Pak Hendra!”
“Urusan itu gampang, lagian, nyulik cewek sendirikan, nggak pa-pa.” kata Rio seraya menghidupkan mobil.
“Mau ke mana?” tanya Pika cemas.
“Ada, deh. Liat aja entar.” Jawab Rio sambil cengar-cengir.

***

Rio menghentikan mobilnya di pinggir pantai. Pika langsung turun sebelum Rio membukakan pintu untuknya. Pika berjalan entah ke mana. Dia benar-benar marah sama Rio.
Rio langsung memeluk Pika dari belakang.
“Lepasin!” seru Pika.
“Maafin aku. Aku cuma mau ngasih surprise sama kamu, apakah aku kelewatan?” ujar Rio mempererat pelukannya.
“Aku mo maafin, asal dengan sati syarat,” kata Pika.
“Apa?”
“Kasih tau gimana cara menurunkan mawar dari langit,” kata Pika.
“Emmm, iya, deh.” Rio melepaskan pelukannya. “Tapi, cium dulu,” katanya.
“Ya, udah, berarti nggak jadi dong diajarin,” kata Rio seraya mengeluarkan tisu dan membakarnya. Tara! Berubahlah tisu itu mmenjadi mawar.
“Riooo! Ajarin!” rengek Pika seraya mengejar Pika.
“Cium dulu,”
“Riooo Febrian! Dasar cowok rese!” seru Pika.
end

kritiknya, ya!
ouhhhmmm, nggak ada sedihnya? Nggak ada tantangannya? Hehe, maklum ini cerita sudah lama banget! baru sekarang tersalin ke dalam memori Billy. So, makasih udah baca.
(• ̑   ̮  ̑•)