Laman

Pelangi is Rainbow

Jumat, 30 Maret 2012

My First

Ten

   Sudah  lebih dari seminggu aku tidak bertemu dengan Shin-woo. Aku memang menghindarinya, teman-temanku tahu akan hal itu, kecuali orang tuaku. Selama satu minggu ini juga, aku tidak melihat Kevin. Aku sempat bertanya kepada temannya ke mana Kevin tetapi mereka juga tidak tahu ke mana Kevin. Aku hanya ingin mengucapkan maaf atas perlakuan Shin-woo kemarin. Aku bertanya-tanya untuk apa aku minta maaf kepada Kevin atas nama Shin-woo? Entahlah, aku tidak mengerti dengan perasaanku yang sekarang.
   Aku duduk di taman kampus sendirian. Setiap kali melihat pasangan yang sedang bermesraan di taman kampus, aku pasti menyingkir. Aku iri. Sekarang, aku berjalan di sisi kolam memperhatikan ikan-ikan. Coba aku jadi ikan, aku pasti tidak akan mengalami hal ini.
   Apa aku harus menemuinya? Aku sudah terlalu rindu dengannya. Rasanya, aku sudah tidak mampu menahan perasaan ini. Aku menatap langit, berharap ada jawaban di sana.
   Aku jadi teringat waktu kecil. Ketika itu, aku sedang menangis. Shin-woo datang menghampiriku dan membuatku tertawa, dia mampu membuatku melupakan hal yang membuatku sedih. Tapi, sekarang aku menangis karenanya, lalu siapa yang akan membuatku tertawa? Hatiku terasa hampa.
   Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku. Aku langsung menenguk ke arah orang itu. Kevin?
   Aku tersenyum, ”Kevin! Hai,” sapaku.
   Kevin balas tersenyum. ”Lagi apa sendirian?”
   ”Tidak ada,” jawabku.
   Baru pertama kali ini aku merasa canggung dengan Kevin. Kami berdua tidak bicara dalam beberapa saat dan hanya menatap ikan-ikan yang ada di kolam. Aku memperhatikan Kevin lewat ujung mataku, luka karena tamparan Shin-woo sudah menghilang, sekarang dia terlihat kurusan. Atau perasaanku saja?
   ”Oh, ya, aku… aku mau minta maaf atas perlakuan Shin-woo,” kataku memecahkan kebisuan antara kami.
   ”Oh, itu. Tidak apa-apa, aku mungkin juga akan melakukan hal yang sama kalau gadis yang aku sukai dengan laki-laki lain. Yah, maksudku marah,” jawab Kevin dengan senyumnya.
   Aku hanya tersenyum mendengarnya.
   ”Bagaimana kabarnya?” tanya Kevin.
   ”Siapa?” tanyaku.
   ”Shin-woo,” jawabnya.
   ”Oh, entahlah, aku tidak berhubungan sejak saat itu,” tuturku dengan suara melemah. Dada ini terasa sakit mengingat kalau aku dan Shin-woo sekarang sedang bertengkar.
   ”Maafkan aku,” kata Kevin bersungguh-sungguh.
   Aku tersenyum, ”Sudahlah, jangan begitu,”
   ”Apa yang harus aku lakukan untuk membayar ini semua?” tanya Kevin.
   ”Nyawamu,” jawabku asal.
   ”Sungguh? Aku rela,” sahut Kevin.
   ”Tapi, aku bercanda,” kataku. Aku melihat jam tanganku. ”Aku pulang dulu,”
   ”Mau aku antar?”
   ”Tidak perlu,” jawabku.
   Untuk kali ini, Kevin tidak menyebalkan, dia seakan berubah menjadi dulu. Apa yang terjadi dengannya selama seminggu ini? Aku jadi penasaran.
   Aku membalikkan badanku. ”Kevin?!”
   Kevin menoleh ke arahku dengan wajah yang tersenyum. ”Hmm?”
   ”Bagaimana kabarmu?” tanyaku.
   ”Beginilah, kenapa?” tanya Kevin balik.
   ”Tidak ada apa-apa. Badanmu kurusan.” jawabku.
   Kevin tersenyum. ”Kamu sendiri?”
   ”Kurasa kamu bisa menilai sendiri. Bye!” ucapku seraya berbalik badan.
   Aku berjalan menuju pintu gerbang kemudian menyapa Pak Maman dan sedikit berbincang-bincang dengannya, beliau sempat menanyakan ke mana Shin-woo yang selalu menjemputku. Aku hanya bisa menjawab dia tidak bisa menjemputku sekarang.
   Sekarang sudah sore, tapi cuaca hari ini agak mendung jadi rasanya agak nyaman karena tempuran angin sore. Aku berjalan di torotoar sambil menunduk.
   TIIIT…TIIIT…
   Seseorang membunyikan klakson yang membuatku tersentak. Aku menoleh ke arah mobil itu, kaca mobil itu perlahan-lahan terbuka buka, dan di dalamnya ada kakakku yang menyebalkan yang sedang tertawa terbahak-bahak karena melihat ekspresi terkejutku tadi.
   Aku membungkukkan badanku, ”Apa maumu Ry… Yo…” kataku tersendat melihat Shin-woo di dalam mobil Ryo.
   Oh, Tuhan! Shin-woo di dalam! Aku mengangkat badanku dan berjalan meninggalkan mobil Ryo. Aku syok melihat Shin-woo di dalam mobil Ryo. Jantungku terasa berat dan berdebar kencang. Kenapa aku menjauh dari mobil Ryo? Harusnya tadi aku melihatnya lebih lama, kenapa sebentar saja? Aku kesal pada diriku.
   Tapi… melihat Shin-woo baik-baik saja, aku sudah cukup lega. Selama ini, aku selalu bertanya-tanya, apakah Shin-woo baik-baik saja? Apakah Shin-woo sudah makan? Apa yang Shin-woo lakukan sekarang? Apa yang dia pikirkan sekarang? Dan… ketika melihat Shin-woo hari ini… semua kegelisahanku selama ini memudar. Aku senang… aku senang dia baik-baik saja.
   Ryo mengikuti dengan mobilnya dan mendumel tidak jelas. Aku memang adik yang tidak sopan, aku sangat tidak menyukai Ryo yang bicara tidak jelas seperti sekarang. Harusnya, sebagai Kakak, dia dapat memahami apa yang aku inginkan: I just want to be alone! Hah, susah juga punya kakak yang tidak pengertian. Aku terus bejalan tanpa mempedulikan apa yang didumelkan Ryo.
   Mungkin karena sudah capek tidak kuhiraukan, Ryo—akhirnya meninggalkan aku. Aku menarik napas dalam-dalam, Shin-woo sudah pergi dengan Ryo. Aku terus berjalan, dan kakiku berhenti ketika aku melihat sanggar melukis. Sudah lama aku tidak mampir.
   Aku membuka pagar sangggar yang sudah lama tidak diganti catnya. Hmm, sejak aku bergabung di sanggar ini catnya masih saja sama, yah, mungkin memang ada perubahan, yaitu warna catnya semakin memudar dan bahkan sudah ada yang terkoyak.
   ”Femi!” seru Albert. Pemilik sanggar sekaligus pembimbingku yang berasal dari Italia.
   ”Selamat sore,” sapaku balik.
   ”Whahaha, sapaan apa itu? Kamu terlalu formal padaku! Rasanya aku sudah tua dan harus menikah,” tawa Albert yang mengingatkanku kalau aku tidak perlu bersikap formal padanya.
   ”Kamu memang harus menikah! Umurmu sudah hampir setengah abad,” sahutku setengah bercanda.
   ”Apa?! Umurku baru dua puluh sembilan tahun! Ingat itu!” semprot Albert tidak terima.
   ”Aku tidak percaya,” kataku.
   Albert mengerti bahasa Indonesia karena dia sudah lebih lima belas tahun tinggal di sini. Aku mengenal Albert ketika aku sedang liburan dan aku yang memang mempunyai hobbi melukis tidak menyadari Albert yang sedang memperhatikan aku melukis.
   ”Lukisanmu indah sekali!” seru Albert mebuatku tersentak ketika aku sedang memandangi hasil karyaku.
   ”Eh, ah, terima kasih,” ucapku sambil tersipu malu.
   ”Aku serius! Gambarmu ceria! Kamu pelukis yang jujur,” kata Albert.
   ”Terima kasih,” kataku tambah malu.
   ”Hubungi aku, ini alamatku, bergabunglah dengan sanggar kami, ekspresikan isi hatimu!” kata Albert dengan penuh semangat.
   ”Apakah ini memungut biaya?” tanyaku.
   Albert tertawa dengan logat khas italiano, ”Tentu saja tidak, anak muda, sanggar ini dibuat untuk orang-orang yang mempunyai bakat alami dalam melukis.”
   ”Benarkah? Aku mau!” kataku tanpa pikir panjang.
   ”Bagus! Aku tidak perlu membunjukmu,” kata Albert penuh semangat.
   Aku tersenyum mengingat kejadian waktu itu. Kenapa aku mau bicara dengan orang macam Albert dan entah kenapa aku tidak berpikir dia orang mesum? Albert memang pria baik-baik, tapi mungkin karena dia seniman yang tidak pernah merawat diri, dia jadi terlihat seperti laki-laki maniak yang suka mengintip dan mencuri pakaian dalam wanita, yah, itulah yang dipikirkan oleh Mama dan teman-temanku. Tapi, pikiran mereka berubah ketika mereka lebih mengenal Albert.
   ”Kenapa cengar-cengir begitu?” tanya Albert.
   ”Apa? Eh, tidak ada,” jawabku kaget.
   ”Kenapa tidak ke sini lagi sejak ditunangkan? Aku merasa seperti sampah yang dipungut kembali karena aku terlalu baik untuk di buang,” kata Albert berlebihan.
   ”Sudahlah, yang penting aku tidak membuangmu ke tong sampah yang bercampur dengan kotoran anjing,” sahutku.
   ”Femi-chaaan!” seru Nanako.
   ”Nanako-chan! Konichiwa!” sapaku seraya berpelukan.
   Nanako adalah seniorku. Dari semua orang yang ada di dalam sanggat yang aku kenal, Nanako-lah yang paling aku hormati, yang kedua adalah ka Erik tapi dia tidak terlihat batang hidungnya, naah berikutnya barulah Edward. Nanako sangat baik padaku, perhatian, feminin, dan sopan. Nanako adalah pelukis terkenal dan katanya sedang mencari inspirasi di sini.
   ”Femi, kemana saja selama ini?” tanya Nanako dengan logat khas jepangnya.
   ”Tidak kemana-mana, hanya saja aku terlalu sibuk akhir-akhir ini,” jawabku.
   ”Harusnya kamu mampir, walau hanya sebentar,” kata Nanako.
   ”Maafkan aku,” ucapku seraya sedikit membungkukan badanku.
 ”Kita ini hanya sehelai benang yang dibutuhkan ketika ingin menjahit,” celutuk Albert dengan wajah sedih.
   ”Kamu terlalu mendramatisir!” seruku.
   ”Oh, ya, kita mempunyai anggota baru.” ujar Nanako.
   ”Benarkah? Siapa namanya?” tanyaku penuh antusias.
   Jarang sekali ada anggota baru. Ketika melihat sanggar melukis milik Albert, orang kebanyakan pasti berpikir dua kali untuk bergabung, selain karena Albert yang dikira otak mesum, bangunan sanggarnya juga terlihat kono dan kotor, hmm, lebih tepatnya tidak layak huni. Tapi, aku heran kenapa Nanako, seorang pelukis terkenal mau bergabung dengan sanggar Albert? Hmm, Albert memang terlalu cuek untuk memikirkan masalah bangunan dan aku sudah terlalu capek untuk minta pindah tempat sanggar melukis.
   ”Orangnya ada di sini,” kata Albert.
   ”Baiklah, ayo, aku perkenalkan dengan anggota baru kita,”
   Kami berjalan ke dalam. Aku sempat mengomentari tempat sanggar yang kondisinya semakin bertambah buruk. Tapi, aku benar-benar kasihan dengan anggota sanggar yang hanya sepuluh orang termasuk aku, Albert, Nanako, dan anggota baru.
   Albert membuka pintu ruangan yang biasanya tempat memajang hasil karya para anggota dan yang akan dipamerankan. Walaupun bangunan dan orang yang mengelola agak tidak beres, kami selalu menang lomba dan tidak pernah keluar dari tiga besar. Aku sebenarnya bersyukur kenal dengan Albert, ka Erik (yang sekarang tidak ada di tempat), dan Nanako, mereka banyak mengajarkan aku hal yang baru dalam cara melukis yang benar. Mereka selalu mengatakan kalau lukisanku jujur sesuai dengan perasaanku.
   ”Ini anggota baru kita, taraaa! Aku-lah yang memilihnya dengan selektif, akurat, dan tajam, pluus dijamin terpercaya,” ucap Albert. Dia selalu begitu kalau ada anggota baru.
   ”Kevin!” seruku tidak percaya.
   ”Femi! Hai, anggota di sini juga?” sapa Kevin.
   ”Iya!”
   ”Kalian saling kenal?” tanya Nanako.
   ”Iya, dia temanku,” jawabku.
   ”Dan aku pengaggumnya,” tambah Kevin.
   Entah kenapa jantungku berdebar cepat mendengar ucapan Kevin, wajahku jadi terasa panas.
   ”Wah! Bagus kalau begitu! Sekarang, kami mempunyai alasan untuk menyuruh Femi datang kesini. Sebaiknya kamu jadi pembimbing Kevin,” ucap Nanako antusias.
   ”Hah?! Tapi… aku belum berpengalaman,” sahutku.
   ”Sudah ditetapkan! Sekarang, Femi menjadi pembimbing Kevin!” ujar Albert dengan suara lantang dan seenaknya.
   Albert dan Nanako memasang wajah puas, dan aku hanya bisa tersenyum pahit melihat mereka berdua. Tapi, tak apalah, sekalian latihan, aku kan mempunyai cita-cita untuk mengajar melukis dan menjadi pelukis profesional.
   ” Oh, ya, kenapa mau bergabung dengan sanggar ini?” tanyaku.
   ”Apa maksud dengan pertanyaan itu? Sangat tidak enak didengar,” dumel Albert.
   ”Benar, benar, aku jadi penasaran,” tambah Nanako mendukung pertanyaanku.
   ”Nanako-chan!” seru Albert dengan memasang wajah super-duper masam.
   ”Aku tertarik bergabung ketika melihat pameran lukisan dan dimenangkan oleh sanggar ini,” jawab Kevin. ”Dan sepertinya aku tidak salah bergabung,” lanjutnya.
   ”Selamat bergabung kalau begitu,” sambutku.
   ”Terima kasih,” sahut Kevin dengan tersenyum lebar.
   ”Oh, ya, mana ka Erik?” tanyaku.
   ”Dia sekarang ada di Kanada, pameran lukisan,” jawab Nanako.
   ”Oh…”
   ”Baiklah, mumpung kamu ada di sini, kamu ajarkan Kevin cara-cara melukis yang kamu pelajari dari senior-seniormu. Ayo, Nanako-san,” kata Albert seraya meninggalkanku.
   ”Femi-chan, fighting!” Nanako menyemangatiku sambil mengepalkan tangan kanannya.
   ”Terima kasih!” ujarku seraya membungkuk keras.
   ”Teman-temanmu sungguh hangat, kamu sungguh beruntung,” kata Kevin.
   ”Ah, mereka memang selalu begitu,”
   ”Ini lukisanmu?” tanya Kevin.
   ”Iya, di rumah lebih banyak.” jawabku.
   ”Boleh aku melihatnya kapan-kapan?” tanya Kevin.
   ”Tentu saja!” jawabku.
   Aku senang ada orang yang menyukai hasil karyaku, apalagi mengkritik, karena bagiku melukis bukan hanya sekedar hobbi. Melukis adalah apa yang sedang aku rasakan sekarang, selama bersama Shin-woo aku sering mengekspresikan isi hatiku dengan lukisan, tapi sekarang  tidak sanggup melihat lukisan yang berisi isi hatiku dengan Shin-woo. Itu hanya akan membuatku teringat dengannya.
   Kevin dan aku membahas berbagai macam bentuk lukisan. Menyenangkan, dan aku mendapat satu kecocokan dengan Kevin. Aku menjadi heran kenapa Kevin dulu berubah menjadi Kevin menyebalkan dan dia berubah lagi menjadi Kevin si malaikat penolong. Yah, walaupun dia sedikit menyinggung masalah cinta aku—dia. Tapi, dia tidak segencar dulu lagi.
   Aku sebenarnya agak sedikit merasa bersalah dengan Shin-woo karena hari ini aku pulang diantar Kevin. Tapi, kalau pun Shin-woo peduli denganku, ketika di mobil tadi, dia pasti menyapaku. Tapi, boro-boro menyapa, melirik saja, tidak dia lakukan. Hatiku jadi sesak karenannya.
   Setelah mengucapkan terima kasih sudah diantar, aku masuk ke dalam rumah. Aku berjalan ke dapur mencari mama. Aku menemukan mama di belakang rumah, dia sedang menyiram bunga.
   ”Sore, ma,” sapaku.
   ”Eh, sudah pulang, cepat mandi sana,” kata Mama.
   ”Baiklaaah!” ucapku seraya memberi hormat.
   Aku berlari-lari kecil menaiki tangga. Aku membuka kamarku.
   Oh, Tuhan! Apa-apaan ini?! siapa yang melakukan ini semua?! Aku memperhatikan lilin yang berbentuk cinta dan di bawahnya ada tulisan sorry.
   ”Ini isi hatiku. Walau satu kata tapi, aku ucapkan tulus dari isi hatiku,” kata Shin-woo yang muncul tiba-tiba dari samping.
   Aku terdiam tidak percaya. Tiba-tiba Shin-woo memelukku. Dia memelukku dengan sangat erat, rasanya sungguh hangat, aku rindu pelukkannya.
   ”Sungguh, aku minta maaf...” ujar Shin-woo dengan suara yang melemah namun penuh dengan ketulusan.
   Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku sangat bahagia Shin-woo memelukku tapi, hatiku yang lain masih kesal karena kejadian kemarin. Bagiku itu bukan kejadian biasa, aku merasa Shin-woo keterlaluan, dia harusnya bisa menjaga tempramentnya. Dan… untuk apa dia melakukan ini semua? Kalau dia ingin minta maaf, seharusnya dia melakukan hal ini ketika dia di mobil. Tapi… melirikku pun dia tidak ada. Tidak, seharusnya dia minta maaf sejak aku dia pergi dengan Rissa.
   Shin-woo melepaskan pelukkannya dan menatapku. Aku menunduk, aku tidak sanggup melihat wajah Shin-woo, jauh dari segala masalah yang ada, aku  sangat merindukannya. Shin-woo mengangkat daguku kemudian dia mencium keningku.
   ”Kali ini, aku sungguh menyesal… aku sungguh-sungguh tidak ingin kehilanganmu,” ucap Shin-woo dengan menatap mataku.
   Aku tidak dapat berkata-kata. Perasaanku campur aduk, senang, sedih, bingung, semuanya bercampur. Aku masih ragu untuk memaafkan Shin-woo karena dia sudah tidak jujur kepadaku, dari segala hal yang ada, aku hanya membutuhkan kejujuran. Tetapi, dia tidak. Dia pergi dengan wanita lain dan memintaku untuk tidak bertemu Kevin. Oke, aku tidak bertemu Kevin itu bukanlah masalah. Tapi, kenapa dia bertemu dengan wanita lain dan tidak jujur padaku? Apalagi, wanita itu adalah Rissa, mantannya sendiri! Aku merasa terpukul atas kejadian itu.
   Aku memalingkan wajahku dari Shin-woo. Untuk kali ini, aku harus berpikir dua kali, aku merasa aku terlalu bimbang. Otakku dan perasaanku tidak mau bekerja sama. Otakku berpikir kalau aku memaafkannya sekarang, aku tidak akan bisa menemukan jalan yang terbaik untuk hubunganku dan Shin-woo, dan nantinya akan berujung pada kekecewaan semuanya, terutama Shin-won. Tapi hatiku berpikir lain, hatiku ingin bersama Shin-woo, hanya itu, tidak lebih.
   ”Ke… kenapa?” tanyaku.
   ”Kenapa apa?” tanya Shin-woo.
   Aku menarik napas. ”Kenapa baru sekarang meminta maaf?”
   Shin-woo terdiam dan menatapku. ”Aku harus mengumpulkan kekuatanku untuk bertemumu dan…”
   ”Bertemuku? Apa susah untuk mempertahankan hubungan ini jadi kamu pergi dengan Rissa?” tanyaku. ”Ya, aku cemburu kamu pergi dengan Rissa. Tapi… aku lebih benci kamu tidak jujur padaku.”
   ”Femi… Rissa membutuhkanku waktu itu…” kata Shin-woo mencoba menjelaskan.
   ”Dan kamu kira aku tidak membutuhkanmu? Aku memang sangat menyukaimu. Tidak, aku memang tergila-gila denganmu! Aku memang egois! Aku hanya ingin kamu untukku!” ucapku setengah berteriak.
   Shin-woo memegang kedua pundakku. ”Femi! Aku sudah mulai jatuh cinta padamu! Aku mohon… aku mohon… jangan seperti ini…” ucap Shin-wooo.
   Aku terdiam dan menatap mata Shin-woo. Aku tahu dia mengucapkan dengan bersungguh-sungguh, tersirat dari matanya.
   ”Aku… tidak pernah merasakan ini lagi sejak kita berpisah. Aku memang pernah menyukai Rissa… tapi, aku sadar sukaku pada Rissa bukan seperti sukaku kepadamu…”
   Aku terdiam. Untuk sesaat aku terhanyut oleh ucapan Shin-woo.
   Selama ini, kami sering bertengkar, ucapan Shin-woo juga sangat menusuk di hatiku. Tapi… untuk pertama kalinya aku merasa Shin-woo mengucapkan kata-kata yang membuatku ingin melupakan segalanya dan bersandar di bahunya untuk selama-lamanya.
   Aku menarik nafasku dalam-dalam. ”Shin… Shin-woo, tinggalkan aku… aku butuh sendiri untuk sekarang ini,” kataku lemah.
   Sebenarnya, ada sedikit penyesalan di dalam hatiku, tapi aku yakin ini adalah jalan yang terbaik. sekarang, satu hal yang aku butuhkan… Shin-woo memahami perasaanku. Shin-woo mengerti kalau ini adalah jalan yang aku inginkan untuk beberapa waktu.
   Shin-woo terlihat ingin membantah, tapi melihat aku yang memasang wajah memohon, akhirnya dia mengerti.
   ”Baiklah, kapan pun kamu membutuhkanku… aku ada.” ucap Shin-woo.
   Sebelum dia pergi, dia sempat memelukku dan mencium keningku. Sesaat… aku merasakan kesedihan yang sangat dalam. Aku merasa ini terlalu menyakitkan. Aku sangat menyukai Shin-woo dari dulu sampai sekarang yang ada dalam pikiranku adalah Shin-woo, Shin-woo, dan Shin-woo. Tidak ada seorang pun selain dia. Tapi… tapi kenapa harus seperti ini?!
   Aku menutup pintuku dan bersandar di balik pintu. Sekarang, satu hal yang bisa aku lakukan adalah menangis. Apa yang aku tangisi? Aku yang menginginkan ini. Aku yang ingin dia pergi, kenapa aku harus menangis? Dadaku terasa terkoyak. Aku merasa sulit untuk bernapas.
   Aku berjalan menuju lilin yang berbentuk cinta. Aku mengambil buku dan mematikan lilin itu satu per satu. Semoga ini cepat berlalu, secepat aku mematikan lilin ini. Semoga…
***

   ”Tumben datang sepagi ini. Tidak kuliah?” tanya Albert memperhatikan lukisanku.
   ”Hari ini libur,” jawabku singkat.
   ”Sesakit itukah rasanya sakit hati?” tanya Albert tetap fokus pada lukisanku.
   Aku memang melukis seorang yang sedang sakit hati. Ini semua bentuk dari perasaanku.
   ”Ya,” jawabku singkat.
   ”Baiklah, aku tidak akan mengganggu eksperimenmu lagi,” ujar Albert seraya pergi meninggalkanku.
   ”Sepertinya, aku memang tidak harus menikah,” gumam Albert seraya menutup pintu.
   Aku menarik napasku dalam-dalam, air mataku keluar lagi. Aku memang tidak bertemu Shin-woo sudah hampir setengah bulan, dan rasanya sungguh menyakitkan. Aku terlalu takut untuk bertemu dengannya.
   Tadi pagi, Mama mengingatkanku kalau aku dan Shin-woo akan menikah dalam jangka satu bulan lagi. Iya, aku tahu itu. Tapi, bagaimana aku bisa menikah kalau hubungan aku dan Shin-woo sedang tidak baik. Aku sungguh tidak ingin melukai keluargaku, tapi dibalik itu semua… aku sangat merindukan Shin-woo.
   Handphone-ku bergetar. Ini sudah ketiga kalinya dalam hari ini. Aku membuka SMS, Shin-woo: sudah jam lima sore, sebaiknya kamu mandi sekarang. Dadaku terasa sakit ketika membaca SMS dari Shin-woo. Sejak hari itu, kami memang tidak bertemu, tapi dia selalu mengirim SMS kepadaku dan mengingatkan aku untuk makan tepat waktu, kuliah, tidur, dan sebagainya. Itu membuat aku merasa sakit, aku merasa semakin bimbang untuk mencari yang terbaik.
   Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, aku menoleh siapa yang masuk.
   ”Boleh aku masuk?” tanya Kevin.
   Aku tersenyum tanda membolehkannya masuk.
   ”Melukis lagi?” tanya Kevin seraya menarik kursi dan duduk di sampingku sambil memperhatikan lukisanku.
   Aku menarik napasku tanpa menjawab pertanyaan Kevin. Aku menatap kosong lukisan di depanku.
   ”Apa kamu sangat merindukannya?” tanya Kevin lagi.
   Merindukannya? Shin-woo? Ya, aku sangat merindunkannya. Tidak, aku sungguh-sungguh merindukannya. Aku rindu tawa, senyum, suaranya, semuanya. Bahkan aku rindu untuk dimarahinya, aku rindu dibentaknya.
   Aku tidak menjawab pertanyaan dari Kevin, aku hanya menarik napasku. Aku hanya berharap beban ini cepat berakhir.
   ”Femi…”
   Aku tidak menghiraukan ucapan Kevin. Sekarang, aku hanya butuh sendiri, dan kurasa itu adalah jalan yang terbaik.
   ”Baiklah kalau kamu ingin sendiri… aku akan selalu menunggumu sampai kamu kembali seperti dulu,” ucap Kevin seraya bangkit dari duduknya dan menepuk bahuku dengan penuh perasaan.


   ”Femi!” sapa teman-temanku ketika melihatku berada di taman kampus sedang melukis.
   Aku hanya tersenyum melihat teman-temanku yang sangat ceria. Setidaknya, aku merasa bahagia melihat mereka tidak merasakan apa yang aku rasakan.
   Teman-temanku langsung diam melihat aku yang memang akhir-kahir ini merasa malas untuk bicara. Aku sudah menceritakan kepada mereka semuanya. Mereka bilang, apa yang aku pilih itu adalah yang terbaik, tapi aku merasa salah! Aku merasa salah mengambil keputusan. Aku sangat menyesal.
   ”Femi…” ujar Icha
   ”Ya…” sahutku sambil memainkan kuasku di kertas lukis.
   ”Boleh kami nyampain sesuatu?” tanya Icha.
   ”Silahkan,” jawabku seraya meletakkan kuasku.
   ”Maaf ya kalo lo tersinggung.” ucap Icha.
   ”Kamu ini, apa yang mau kalian sampein?” tanyaku.
   ”Lo balikan aja dengan Shin-woo. Mungkin itu memang yang terbaik. Kita-kita nggak tega liat lo sedih terus. Apa perlu kami yang datang ke tempat Shin-woo dan memintanya?” tanya Icha.
   Aku tersenyum. ”Kalian sangat baik.” ucapku seraya memeluk teman-temanku.
   Aku melepaskan pelukkanku. ”Tapi, itu tidak perlu. Aku masih butuh waktu,”
   Teman-temanku tersenyum sedih dan menemaniku beberapa saat, mereka mengerti aku ingin sendiri dan membiarkanku sendirian. Aku kembali melukis. Aku memang akhir-akhir ini suka melukis, karena ini adalah cara untuk mengurangi kesedihanku, walaupun hanya sedikit.
   ”Femi…”
   Aku menoleh ke arah sumber suara itu. Kevin yang entah sejak kapan sudah duduk di sampingku menatapku dengan wajah simpati. Aku… aku tidak membutuhkan simpati dari orang lain!
   Kevin tiba-tiba memelukku. ”Aku tidak sanggup melihatmu seperti ini. Sungguh!” ujar Kevin.
   ”Ke… Kevin…?”
   ”Femi… aku mohon…” ujar Kevin mempererat pelukkannya.
   ”Kevin lepaskan!” aku meronta dan melepaskan pelukkanku dari Kevin.
   Aku berdiri dari dudukku dan berjalan meninggalkan Kevin.
   Kevin kembali memelukku. ”Ikutlah dengan aku… ikutlah denganku ke Prancis. Lupakan Shin-woo… bersamanya… kamu hanya akan merasakan penderitaan… ikutlah denganku ke Jerman, kamu  bisa meneruskan kuliahmu di sana,” ucap Kevin mempererat pelukkannya.
   Aku melepaskan pelukkanku dari Kevin dan medorong badan Kevin sehingga dia terjatuh ke tanah. Aku terdiam membisu. Apa yang dipikirkan Kevin? Apa dia tidak mengerti kalau aku sedang membuthkan ketenangan?
   Kevin bangkit dari tanah. Dia seperti membutuhkan jawabanku.
   Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. ”Tidak… aku tidak bisa melupakan Shin-woo… seberapa kali pun aku mencoba melupakannya, aku tetap tidak bisa… aku… aku tidak mampu…” ucapku dari lubuk hati yang terdalam.
   ”Tidak… kamu pasti bisa, aku anggap kamu belum menjawab perkataanku… aku akan tetap menunggumu… kapan pun…” ujar Kevin seraya meninggalkanku pergi.
***

   ”Femi, kamu sudah hampir menikah, tapi mama lihat kamu sangat jarang bersama Shin-woo,” ujar Mama ketika kami sedang makan malam.
   Aku hanya diam dan menyuap nasiku. Aku tidak tahu harus menanggapi bagaimana, aku sangat ingin jujur kepada kedua orang tuaku, dan meminta solusi yang terbaik.Tapi, rasa takutku sangat besar. Aku memang seorang pengecut.
   ”Femi… kamu lagi ada masalah dengan Shin-woo?” tanya Papa dengan wajah menyelidik.
   ”Ah… tidak,” bohongku.
   ”Pa, Ma, sudahlah. Ingat, ya, aku meminta pernikahanku lebih dulu, aku tidak mau Femi lebih dulu menikah,” kata Ryo tiba-tiba.
   ”Lho? Bukannya kamu setuju untuk menunda pernikahan dan membiarkan Femi lebih dulu menikah?” tanya Mama heran.
   ”Ryo! Jangan buat Papa-Mama malu, ya,” kata Papa sepertinya agak kesal.
   ”Nanti Ryo bicara sama keluarga Park, tenang saja,  Ryo sudah mengatur tanggal pernikahan dengan Kelly.” ujar Ryo seraya menyuap nasinya dengan lahap.
   ”Ah, sudahlah, atur secepatnya, biar kami bisa mengatur jarak waktu pernikahanmu dan Ryo,” kata Papa.
   Papa-Mama memang tidak suka berdebat dengan Ryo karena Ryo memang sangat keras kepala selain tiu, Papa-Mama memang menginginkan Ryo menikah lebih dulu, tapi Ryo uring-uringan dan dia bilang dia belum ingin terikat. Sekarang, Ryo ingin menikah lebih dulu, dan itu pasti membuat Papa-Mama jengkel.
   ”Siiip!”
   ”Aku ke atas dulu, ada yang dikerjakan,” kataku seraya meninggalkan meja makan dan berjalan lunglai menaiki tangga.
   Aku membuka pintu kamarku kemudian berdiri di depan jendela sambil menatap langit. Cuacanya cerah, bintang-bintang berkelap-kelip, bulan bersinar terang. Apakah Shin-woo melihat bintang dan bulan sama sepertiku?
   Handphoneku bergetar. SMS masuk. Aku membuka flap handphoneku. Shin-woo: apa kamu sibuk? Coba lihat langit, bintang dan bulan sungguh ceria. Semoga kamu juga. Tidak, aku tidak dapat ceria kalau seperti ini. Aku tidak dapat tersenyum bahagia tanpamu. Klasik memang, tapi itulah yang aku rasakan.
   Tok… tok.. tok..
   ”Gue masuk nih,” kata Ryo membuka pintu.
   Aku mengangguk.
   ”Suram banget muka lo.” ledek Ryo.
   Aku hanya menarik napasku mendengar ledekan dari Ryo.
   ”Ada apa?” tanyaku.
   ”To the point aja, ya?”
   Aku mengangguk.
   ”Gue tau lo sama Shin-woo lagi berantem.” ucap Ryo.
   Aku tersentak mendengar ucapan Ryo. Jantungku berdebar. Apakah Ryo ingin mengatakan ini kepada Papa-Mama?
   ”Shin-woo yang cerita,” ujar Ryo.
   ”Apa maumu?” tanyaku terdengar dingin.
   ”Gue pengin lo baikan sama Shin-woo. Jujur, aku tidak ingin terikat, lo tau kan? Tadi, di meja makan gue hanya tidak ingin Papa-Mama tau karena itu hanya akan membuat mereka sedih… gue nggak mau lo ngecewain mereka.” kata Ryo.
   Rasanya, aku sangat ingin berterima kasih pada Ryo karena sudah melindungiku. Tapi, merasa bersalah, aku dan Shin-woo hanya mempunyai 10% kesempatan untuk bersama, itu menurutku.
   ”Entahlah,” hanya itu tanggapanku.
   ”Pertimbangkan ucapanku. Aku sangat memohon lo baikan sama Shin-woo,” kata Ryo. ”Baiklah, aku keluar dulu.” ujar Ryo seraya berjalan keluar kamarku.
   Setelah Ryo menutup pintu kamarku, aku langsung menghempaskan diriku ke atas tempat tidur. Semoga hari esok lebih baik.


   Sudah seminggu berlalu. Pernikahan Ryo dan Kelly sudah ditentukan tanggalnya, abangku terlihat uring-uringan menghadapi pernikahannya yang hampir setengah bulan ini. Papa-Mama memang belum sempat melakukan pertemuan antar-besan. Aku dengar minggu depan mereka akan mengadakan acara pertemuan itu. Dan… selama seminggu ini juga, aku tidak melihat Kevin, tidak di sanggar, tidak di kampus.
   Aku memperhatikan dosen menjelaskan materi, tapi pelajaran tidak ada satu pun yang menyangkut ke dalam otakku. Aku selalu merasakan hal ini. Setiap hari terasa menyedihkan, satu hari terasa panjang, tidak tahu harus melakukan apa. Berhari-hari hanya duduk diam melihat apa yang ada di depan kita. Aku sekarang memahami bagaimana rasanya sakit hati, bagaimana rasanya hampa. Sangat menyakitkan.
   Akhir-akhir ini, aku jarang bertemu dengan teman-temanku. Aku menghindari mereka, aku tidak ingin mereka merasakan apa yang aku rasakan, cukup aku saja. Cukup aku yang merasakan hal ini…
   Setelah jam kelas selesai, aku langsung pergi ke sanggar. Albert memintaku untuk pergi ke sanggar karena aku harus mengurusi pentas pameran lukisan yang akan aku ikuti.
   Aku membuka pintu pagar, di sana sudah ada Nanako dan Ka Erik yang mengurusi hal-hal yang aku perlukan ketika pentas seni nanti. Tapi, aku merasa belum siap untuk ke acara yang sangat resmi itu, aku tahu itu peluangku untuk menjadi pelukis profesional seperti Ka Erik dan Nanako.
   ”Selamat siang.” sapaku pada kedua orang itu.
   ”Selamat siang Femi-chan!” sapa Ka Erik dan Nanako.
   Aku terdiam melihat formulir yang sudah diisi, semuanya sudah beres, tinggal aku.
   ”Kamu masih belum siap?” tanya Nanako.
   Aku menarik napasku dan mengangguk.
   ”Bukankah keinginanmu untuk menjadi pelukis terbaik sepanjang masa?” tanya Ka Erik.
   Sekali lagi aku menarik napas dan mengangguk.
   ”Femi-chan, ini sangat berarti, kan, untukmu? Jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan ini,” kata Nanako.
   ”Berikan aku kesempatan waktu untuk berpikir, aku masih ragu…” kataku.
   ”Baikalah.” kata Nanako. ”Semuanya sudah siap, tinggal kamu saja,” kata Nanako.
   Aku diam beberapa saat.
   ”Apakah ini bisa diwakili?” tanyaku.
   Ka Erik dan Nanako saling bertatapan.
   ”Bisa saja, tapi lebih baik kamu yang datang.” kata Erik.
   ”Aku mohon, wakili aku,” ucapku seraya membungkukan badanku.
   ”Tidak bisa!” seru Albert tiba-tiba.
   ”Ke… kenapa?!” tanyaku.
   ”Ini adalah karyamu dan ini adalah jiwamu. Kenapa kamu ingin orang lain yang mewakilinya? Aku tidak mengizinkan!” tegas Albert.
   Aku terdiam mendengar ucapan Albert. Apa yang dikatakan Albert memang benar. Aku menarik napasku dan meninggalkan mereka, aku tidak ingin berdebat dengan Albert. Aku berjalan ke ruang lukisanku. Di sana sudah ada Kevin yang memperhatikan lukisanku yang akan dipamerankan.
   ”Ke mana saja kamu?” tanyaku seraya menutup pintu.
   Kevin tersenyum. ”Kamu memperhatikanku?”
   Aku hanya diam tidak menjawab. Memperhatikan Kevin? Ya, memang benar aku memperhatikannya, tapi hanya sebatas teman, tidak lebih. Aku tidak akan bisa menyukai laki-laki lain selain Shin-woo.
   ”Kamu datang dan pergi sesukamu. Apa yang ada dalam pikiranmu?” tanyaku.
   ”Apakah aku sudah mulai mengalihkan perhatianmu?” tanya Kevin balik.
   Aku hanya menarik napas tanpa menjawab pertanyaannya.
   ”Aku rindu moeder1.” ujar Kevin setelah kami diam beberapa saat.
   Aku menoleh ke arah Kevin. Matanya terlihat hampa. Apa yang sedang dia pikirkan?
   ”Bagaimaana kabarnya?” tanyaku mencoba mencairkan perasaannya.
   Kevin tersenyum. ”Dia baik-baik saja ketika kukunjungi, semoga saja seterusnya.”
   Aku tersenyum mendengar ucapan Kevin. Dia anak yang baik.
   ”Oh, ya, kudengar kamu akan mengikuti pemeran melukis,” kata Kevin.
   ”Iya.” jawabku.
    ”Mana lukisan yang akan kamu ikut setakan?” tanya Kevin.
    ”Tepat di depanmu.” jawabku.
    Kevin memperhatikan lukisanku sekali lagi. Lukisan yang kugambar berupa seorang gadis menatap langit dengan mata terpejam seakan mencari kedamaian untuk membuatnya mudah untuk bernapas.
    ”Hampa sekali, aku dapat merasakannya,” komentar Kevin.
    ”Benarkah?”
   Aku dan Kevin tidak lagi bicara. Kami hanya diam dalam pikiran masing-masing.
   Aku melihat jam tanganku. Sudah jam tujuh sore. ”Aku pulang dulu,” pamitku kepada Kevin.
   Kevin tidak menanggapi ucapanku, dia masih saja menatap lukisanku dengan mata kosong. Entah apa yang sedang dia pikirkan sekarang.
   Aku berjalan keluar ruangan dan pamit kepada Nanako. Aku tidak mencari yang lain, terutama Albert. Aku merasa enggan untuk bertemu dengannya. Bertemu dengannya tidak akan membuat keadaan lebih baik, aku dan dia hanya akan berdebat.
   Jalanan sudah mulai sepi. Hanya beberapa orang saja yang lewat. Aku memperhatikan jalan dan menoleh ke arah kiri. Jalan itu… jalan menuju apartement Shin-woo. Aku melihat supermarket yang ada di seberang jalan. Supermarket yang pertama kali aku dan Shin-woo kunjungi ketika pulang dari Belanda. Aku menarik napasku dalam-dalam. Aku rindu saat itu.
   Aku merapikan rambutku yang ditempur angin, aku memejamkan mata merasakan kedamaian di sore hari. Nyaman sekali. Setidaknya, bebanku sedikit berkurang akibat tempuran angin sore.
   Tiba-tiba seseorang memelukku dari belakang.
   ”Apa kamu masih memikirkannya?”
   ”Ke… Kevin?!”
   ”Kamu tidak menjawab pertanyaanku. Apa kamu masih memikirkannya?” tanya Kevin.
   Aku tidak dapat berkata-kata karena kaget.
   Memikirkan Shin-woo? Tentu saja, tentu saja aku memikirkannya setiap aku makan, minum, bernapas, melukis, kapan pun… setiap saat di dalam benakku hanya ada Shin-woo.
   ”Tidak bisakah kamu melupakannya walau sedetik dan melihatku?” tanya Kevin.
   Aku menarik napasku, aku hanya berharap Kevin memahami perasaanku.
   Kevin membalikkan badanku, dia menatapku lekat-lekat dan menyelipkan rambutku di balik telingaku, kemudian memelukku sesaat.
   ”Kenapa dia sangat beruntung memiliki seseorang sepertimu yang sangat setia?” tanya Kevin pada dirinya sendiri. ”Aku sangat menyukaimu. Tidak, ini bukan rasa suka biasa… ini lebih dari rasa suka... ini cinta...”
   Aku melihat mata Kevin, matanya seperti mengharapkan sesuatu… aku tidak bisa menyukai Kevin. Aku memang tidak bisa dan aku tidak ingin mencoba menyukai laki-laki lain selain Shin-woo.
   Kevin terdiam dan menunduk, kedua tangannya berada di bahuku seakan tumpuannya untuk berpijak di atas tanah. Kevin… maafkan aku… rasanya ingin kuucapkan, tapi suaraku terasa tercekat.
   ”Kamu merindukannya?” tanya Kevin.
   Aku mengagguk lemah.
   ”Aku menyarankanmu untuk segera menemuinya… temui dirinya! Itu kan yang sangat kamu inginkan? Itu kan yang hatimu inginkan?” ujar Kevin.
   Aku mengangguk.
   ”Cepat pergi! Sekarang aku menyarankanmu sebagai seorang psikolog, bukan orang yang menyukaimu! Cepat, sebelum aku berubah pikiran dan takkan kubiarkan lagi kamu bertemu dengan Shin-woo!” seru Shin-woo seraya menlepaskan tangannya dan di bahuku.
   Aku melihat Kevin dengan pikiran bimbang, dia tidak mau melihat ke arahku. Entah mengapa air mataku menetes. Kevin…
   ”Cepat pergi!” seru Kevin setengah membentak.
   Aku langsung berlari sambil menangis. Aku terharu melihat apa yang telah Kevin lakukan untukku, aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan oleh Kevin. Kevin… terima kasih…
   Kakiku terus berlari menuju apatement Shin-woo. Aku sudah membulatkan keinginanku untuk bertemu dengannya. Aku tidak ingin mengecewakan semuanya. Papa, Mama, Ryo… dan…  Kevin…
   Aku berhenti di depan apartement Shin-woo. Aku menyapu air mataku, aku terdiam tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku merapikan buju dan rokku. Aku menarik napasku dan mencoba memencet bel apartement Shin-woo, tapi… aku terlalu gugup! Aku menjauhkan jariku dari bel apartement Shin-woo.
   Jantungku berdebar kencang, kenapa Femi? Tinggal pencet, nanti akan berbunyi ting-tong—Shin-woo membuka pintu—sapa, hai!—selesai. Apa yang susah dari itu semua? Kenapa rasanya badanku susah sekali bergerak? Femi! Ayo lakukan! Ini adalah kesempatanmu! Cepat lakukan!
   TING… TONG…
   Akhirnya aku memencet bel dengan memejamkan mataku. Jantungku  berdetak semakin bertambah kencang menunggu Shin-woo membukakan pintu. Tapi, tidak ada jawaban dari Shin-woo, sekali lagi aku memencet bel, tetap saja tidak ada jawaban. Mungkin Shin-woo tidak ada di apartement. Aku mencoba memegang gagang pintu apartement rumah Shin-woo dan membuka pintu apartement Shin-woo. Pintunya terbuka.
   Aku masuk ke dalam apartement Shin-woo. Apa tidak apa-apa aku masuk? Aku heran kenapa Shin-woo tidak mengunci pintu apartementnya, selama aku datang ke apartement Shin-woo, dia tidak pernah tidak mengunci pintu meskipun dia ada di dalam apartement.
   Apa mungkin… terjadi apa-apa pada Shin-woo?! Iya! Mungkin ada perompok yang datang dan perampok itu guy! Mereka tergoda dengan wajah tampan Shin-woo, dan Shin-woo… Shin-woo dijadikan… oh, Femi! Apa yang kamu pikirkan? Tidak mungkin itu terjadi! Tapi, apa yang tidak mungkin di dunia ini?
   ”Shin-woo?!” teriakku.
   Tidak ada jawaban dari Shin-woo.
   Aku mencari Shin-woo di kamarnya, tetapi tidak ada. Aku berlari-lari  mengelilingi apartement mencari Shin-woo, dan aku berhenti ketika melihat Shin-woo yang terbaring lemah di dekat meja makan.
   Aku berlari menghampiri Shin-woo. ”Shin-woo!”
   Shin-woo pingsan. Aku memegang dahinya, panas sekali. Aku mencoba membangunkan Shin-woo dan membopohnya menuju kamar. Setelah sampai, aku langsung membaringkannya ke atas tempat tidur.
   ”Tungu sebentar, aku ambilkan termos dulu,” kataku pada Shin-woo. Aku tahu dia tidak mendengarku.
   Aku keluar kamar dan berlari kecil menuju dapur untuk mengambil termos. Aku mengisi termos dengan air es dan aku mengambil handuk kecil untuk mengompres Shin-woo, setelah itu, aku kembali ke kamar Shin-woo.
   Aku meletakan handuk yang sudah kuperas di atas dahinya. Mata Shin-woo perlahan-lahan terbuka, dia menoleh ke arahku kemudian dia memelukku.
   ”Femi! Jangan tinggalkan aku lagi! Aku mohon!” pinta Shin-woo.
   ”Apa yang kamu pikirkan? Kenapa kamu sampai sakit begini? Kamu setiap hari mengirim pesan untuk hidup teratur? Kenapa kamu tidak melakukannya? Kenapa kamu sampai sakit begini?” tanyaku marah.
   ”Aku… aku tidak bisa hidup teratur tanpamu… aku selalu memikirkanmu dan… dan mengingat kamu tidak di sini itu… itu rasanya sangat menyakitkan…” ujar Shin-woo. Dia menangis.
   ”Kamu pikir aku tidak merasakannya? Kamu pikir aku tidak mengalami apa yang kamu alami? Kamu salah! Aku selalu mengingatmu dan aku tidak bisa tidak memikirkanmu setiap waktu!” kataku.
   ”Maafkan aku… aku telah melanggar janjiku untuk akan selalu melindungimu... aku tidak berguna!” ucap Shin-woo setengah berteriak.
   Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dan membalas pelukkan Shin-woo. Aku memeluknya dengan erat.
   ”Aku tidak berguna Femi… aku sangat tidak berguna,” ucap Shin-woo melemah kemudian menangis tersedu-sedu.
   ”Tidak! Tidak…” sahutku dengan suara yang terisak-isak.
   ”Aku sangat mencintaimu… melihatmu di sini membuatku lebih baik.” ujar Shin-woo.
   Aku mengangguk. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa selain memeluk Shin-woo dengan erat.
   ”Tetaplah di sini. Jangan pergi tinggalkan aku lagi,” pinta Shin-woo.
   Aku mengangguk. Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu karena itu terasa sakit saat kamu tidak ada di sampingku. Melihatmu baik-baik saja sudah membuatku merasa tenang, seakan bebanku sudah tidak ada lagi.
(Bersambung…)
Terima kasih sudah membaca.
Kritik sarannya, ya!

Minggu, 25 Maret 2012

My First

Nine

   Semalaman aku tidak dapat tertidur karena selalu teringat apa yang telah Shin-woo lakukan. Ciuman pertamaku… Aku ingin memberikannya kepada suamiku! Bukan calon suami! Dia harus bertanggung jawab! Kalau dia tidak mau bertanggung jawab, aku akan membantainya menjadi tujuh bagian kemudian memberinya ke Piranha!
   Seletah hatiku mulai tenang, akhirnya aku dapat tertidur. Tapi, beberapa saat setelah aku terlelap, aku langsung terbangun. Mimpiku! Aakkkh, mimpi dan pikiranku masih tertuju pada kejadian yang telah terjadi berjam-jam yang lalu! Wajahku terasa panas, tanganku terasa bergetar, jantung bergetar,  tubuhku terasa membeku. Inikah rasanya?
   JAM ENAM! Sekarang sudah jam enam dan aku masih saja tidak dapat tidur nyenyak!
   Pintukku terbuka. Aku langsung menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhku.
   ”Bangun!” seru Shin-woo sambil membuka horden kamar.
   ”Pa… pa… pagi,” sapaku.
   Aku malu! Aku malu melihat Shin-woo, terutama bibirnya.
   ”Hei! Cepat bangun!” katanya seraya menarik selimutku.
   ”Aaaa!” teriakku seraya menarik selimut kembali.
   ”Hei, hei, hei, cepat bangun! Sarapan!” suruh Shin-woo seperti Ibu-ibu.
   ”Iya! Nanti setelah kamu keluar!” sahutku.
   ”Kakimu masih terkilir! Bagaimana kamu bisa jalan?” tanya Shin-woo setengah mengomel.
   ”Aku bisa, tenanglah!” jawabku.
   ”Hei! Aku tidak ingin terjadi apa-apa denganmu. Lagipula, aku masih harus membawamu ke dokter!” kata Shin-woo sambil menarik selimutku
   Aku memegangi selimutku supaya tidak tertarik oleh Shin-woo. ”Tidak perlu! Aku baik-baik saja!”
   ”Dasar bodoh! Ayo, cepat bangun!” ujarnya seraya melepaskan tarikannya.
   Aku tidak menghiraukan ucapannya. Aku terlalu malu untuk melihat wajahnya. Sungguh!
   ”Haah! Anak satu ini!” keluh Shin-woo seraya menarik selimutku sekali lagi dan membangunkan badanku. ”Kenapa wajahmu merah? Kamu sakit?” tanya Shin-woo cemas seraya menempelkan tangannya ke dahiku.
   ”Tidak!” jawabku langsung.
   ”Badanmu tidak panas. Kamu tidak demam,”
   Iya! Aku memang tidak demam! Tapi, pikiran dan jantungku yang demam gara-gara teringat kejadian tadi malam!
   ”Ayo, kita sarapan,” ajak Shin-woo seraya menyodorkan tangannya.
   Aku menyambut tangannya dengan hati ragu. Tangannya dingin, apa mungkin karena cuaca pagi ini? Tapi, dulu waktu siang hari, aku pernah memegang tangannya dan sama dinginnya dengan sekarang.
   Shin-woo membantuku berjalan menuju ruang makan. Dia menarik kursi makan untukku, kemudian dia duduk dihadapanku. Kalau kami menikah nanti, apakah hal seperti ini akan terjadi setiap hari? Sepertinya, sangat menyenangkan. Aku bisa memandang wajah Shin-woo setiap hari.
  Aku memperhatikan makanan yang dihidangkan di meja makan, semua terlihat lezat, aromanya juga menggoda. Apakah dia memesan ini semua? Makanannya terlihat mahal, aku jadi ragu memasukkan ke dalam mulut, terlalu sayang untuk dimakan, karena nanti pasti akan menjadi spesies yang tidak enak dilihat dan memiliki aroma mengerikan.
   ”Kenapa? Aku yang masak, ayo, cepat makan,” kata Shin-woo.
   ”I… iya,”
   Dia yang memasak? Benarkah? Berbakat sekali dia. Kaya, tampan, mempunyai berbagai keahlian, apa yang kurang? Sikap? Dia baik dengan semua orang kecuali aku dan Ryo. Ralat, sikapnya sudah baik kepada aku, kecuali Ryo.
   ”Oh, ya…”
   ”Iya!” kataku kaget memotong kata-kata Shin-woo.
   Shin-woo tersenyum, ”aku cuma mau bilang kalau masakan tadi malam, aku juga yang membuat,”
   ”Benarkah? Masakanmu enak,” kataku. ”Eh, bukan! Sangaaat lezat!” ralatku.
   ”Tentu saja,” jawabnya bangga.
   Aku menunduk, kemudian menyuap nasi goreng buatannya. Enak, bumbunya pas, perfecto! Aku mengangkat kepalaku dan melihat Shin-woo yang sedang makan. Bibir Shin-woo… bibirnya merah, bibirnya berminyak… Oh, Tuhan! Bibirnya bergerak mengunyah! Femi! Apa yang sedang kamu pikirkan? Sadarlaaah! Bibirnya indah, aku… aku… wajahku terasa panas! Apa yang aku pikirkan? Aku telah jadi wanita mesum.
   ”Hei, kamu kenapa?” tanya Shin-woo mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahku.
   ”Hah? Ohok… ohok… ohok!” aku tersedak.
   Aku gelagapan seperti ikan yang ada di darat. Aku butuh air! Air, air mana? Mana air? Shin-woo memberikan cangkir yang penuh dengan air. Tanganku menyentuh tangan Shin-woo! Aku menjadi bertambah gelagapan sehingga airnya tumpah, dan aku cegukan.
   Shin-woo memberikan gelas berisi air sekali lagi. Aku langsung meminumnya sampai tak tersisa setetes pun. Aaah, leganya!
   ”Kamu kenapa?” tanya Shin-woo.
   ”Apa?” sahutku kaget.
   ”Sikapmu aneh,” kata Shin-woo.
   ”Be… benarkah?” tanyaku gagap.
   Shin-woo mendekatkan wajahnya ke wajahku. Glek! Apa dia… dia… dia akan menciumku lagi? Aduh, jantung berdegup terlalu kencang! Aku langsung memegang dadaku, dan meneguk ludahku beberapa kali.
   ”Aaaaa!”
   Aku terjatuh dari kursi makanku.
   ”Aaauuuwww! Sakiiit!” rintihku.
   ”Kamu nggak apa-apa?” tanya Shin-woo seraya menghampiriku. Shin-woo memegang lengan kananku. Wajahku terasa panas lagi. Sungguh, sekarang aku merasa seperti orang bodoh.
   ”I… iya,” jawabku.
   Shin-woo mengacak-acak rambutku. ”Apa yang ada dalam pikiranmu?”
   Aku menunduk sambil memegang kepalaku. ”Ber… bertanggung jawablah!”
   ”Apa?”
   ”Itu… Itu… ciuman pertamaku!” seruku seraya bangkit dan berjalan dengan tertatih. Aku malu!
   Dia langsung tertawa gelak mendengar ucapanku. Menyebalkan! Apanya yang lucu?! Dasar cowok yang tidak mengerti perasaan wanita!
   Tiba-tiba Shin-woo memelukku dari belakang. Oh, Tuhan! Aku… aku… apa yang harus aku lakukan sekarang? Entahlah, perasaanku sekarang campur aduk, seperti gado-gado. Cinta, bahagia, ingin tertawa bahagia, rasanya… bersatu! Sulit diungkapkan dengan kata-kata. Aku tidak ingin perasaan ini menghilang, aku ingin tetap dan selalu mencintai Shin-woo, aku tidak ingin ada orang lain yang menggantikan Shin-woo dalam pikiranku.
   ”Merci dieu1,”
   ”Apa?”
   ”Nan dangsin-ui cheos-sarang-ilaseo haengboghaeyo.. geuleona cheos-sarang-i anilado, majimag sarang-i doego sip-eoyo2.”
   ”Apa? Aku nggak ngerti,” kataku.
   ”Je suis responsable. Je serai ton protec3,”
   ”Apaaa? Aku nggak negertiii!” kataku kesal.
   ”Kalau ini, mengerti nggak tunanganku?”
   Aku mengangguk kencang. Iya! Kalau ini, aku juga mengerti tunanganku! Bahagianya!
   ”Sekarang, aku pengin kamu menutup hatimu untuk laki-laki lain. Dan, izinkan aku masuk. Hanya aku. Maukah kamu?” tanya Shin-woo
   Tubuhku terasa panas, mataku terasa panas, kakiku terasa lumpuh, jantungku terasa berdetak dua kali lebih cepat. Aku… aku sungguh ingin merekam kata-kata Shin-woo dan mendengarkannya berkali-kali. Aku benar-benar ingin waktu berhenti dan membiarkan aku merasakan kebahagiaan ini.
   ”Iya, tentu saja.” jawabku.
   ”Egoiskah aku?” tanyanya lagi.
   ”Tidak! Aku senang kamu mengatakan hal itu,” kataku langsung. ”Apa aku juga boleh minta sesuatu?” tanyaku.
   ”Apa?”

1 terima kasih Tuhan
2 Aku bahagia, aku yang pertama…mungkin, aku bukan cinta pertamamu, tapi aku berharap aku yang terakhir…
3 Aku bertanggung jawab. Aku akan menjadi pelindungmu.

My First


Eight

   Baru aja aku sampai ke kampus, teman-temanku langsung menyeretku ke papan pengumuman kampus. Kata mereka, ada berita heboh. Tapi, apa?
   Di depan papan pengumuman sudah dipenuhi oleh gerombongan mahasiswa. Mereka terlihat penuh antusias melihat papan pengumuman.
   ”Minggir, minggir!” kata Gebby sambil merentangkan kedua tangannya untuk membiarkanku berjalan di belakang Gebby.
   Aku melihat papan pengumuman. OMG!
Fr; P T-W
To; Femia Calandra
Femi dalam bahasa mesir berarti cinta. Calandra dalam bahasa Yunani berati kasih sayang. Di dalam namamu sudah menyiratkan isi hatiku. Femia Calandra, maukah kau jadi kekasih hatiku?







 
    A-Apa... Apa-apaan ini? Norak amat! Setelah sadar, aku langsung merobek kertas yang ada di papan pengumuman. Shock. Jiwaku sekarang shock berat! Ini memalukan! Seluruh mahasiswa pasti akan menggosipkan aku, dan aku tidak suka hal itu terjadi! Tidaaak!
   ”Siapa sih yang kurang kerjaan kayak gini?!” seruku.
   ”Jangan-jangan Shin-woo,” duga Pika.
   ”Mana mungkin!” sahutku. ”Dia itu gak punya sisi romantis! Apalagi melakukan hal seperti ini! dia pasti berpikir seribu kali!”tambahku.
   ”Apa yang tidak mungkin sih di dunia ini!” kata Icha.
   Tiba-tiba bahuku dirangkul seseorang. Di saat seperti ini Pika ingin bercanda! Tidak lucu!
   ”Apa-apaan sih, Pik?!” ujarku seraya melepaskan rangkulannya dan menoleh ke arahnya.
   OMG! Bukan Pika yang merangkulku tapi... Kevin! Aduuuh, kepalaku jadi pusing! Beberapa waktu lalu, Kevin ada di acara Shin-woo, sekarang Kevin ada di depanku. Ada apa ini?
   ”Sudah baca?” tanya Kevin dengan senyum yang merona.
   Aku mengernyitkan keningku, ”Baca?”
   ”Iya, yang di papan pengumuman tadi?” kata Kevin menjelaskan.
   Aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Otakku hari ini rasanya tidak bisa berjalan lancar seperti hari-hari biasanya.
   Kevin merangkulku. ”Itu isi hati aku ke kamu,”
   Aku langsung menoleh ke arah Kevin. Apa maksudnya dengan isi hatinya? Apa mungkin Kevin... ah, mana mungkin! Kami hanya kenal dalam beberapa kali pertemuan, mana mungkin ada rasa. Cinta pada pandangan pertama? Haha, itu kan ditujukan untuk cewek-cewek cantik. Bukan cewek biasa-biasa seperti aku.
   Kevin tersenyum dengan wajah polos seperti tidak merasa bersalah dengan apa yang telah dia perbuat kepadaku. Kali ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Sekarang, aku benar-benar tidak bisa berpikir. Semoga ini mimpi!
   Kevin melihat jam tangannya, ”Wah! Aku harus pergi mengurus kepindahanku... o, ya, aku tunggu jawabannya nanti sore, ya,” kata Kevin. ”Entar aku jemput kamu,” tambahnya seraya mencium pipiku.
   Dia mencium pipiku! Harusnya tadi aku menghindar! Aaaaakkkkh! Kenapa tubuhku selalu tidak bisa bergerak di saat kubutuhkan! Sepertinya, aku harus pergi ke psikiater! Aku sudah gilaaaaa! Iya, aku memang sudah gila, buktinya, sekarang aku tidak bisa mendengar apa yang dikatakan teman-temanku. Hwaaaaaaaa!
   Dari kejadian tadi, yang kira-kira sudah berlalu sekitar dua jam, aku masih aja belum bisa mencerna apa yang sudah terjadi. Kenapa Kevin sampai ada pindah? Oke, tidak masalah kalau dia pindah, tapi kenapa harus pindah ke INDONESIA?! Ini aneh! Kemana ada aku, di sana pasti ada Kevin. Apa mungkin... dia membuntuti aku? Mungkin, oh, tidak! Dia memang membuntuti aku! Buktinya, dia tau di mana aku kuliah! Tapi, untuk apa? Dia sudah tahu aku tunangan! Aneh! Untuk apa menyatakan cinta kepada orang yang sudah bertunangan?! Atau aku yang terlalu kegeeran?
  Aku mengacak-acak rambutku, mungkin saja ada jawaban yang jatuh bersamaan dengan jatuhnya ketombeku.
   Kelasku sudah selesai, tepat setelah selesai, Shin-woo menelponku, katanya dia akan menjemputku. Hehe, senangnya dijemput oleh tunangan sendiri. Shin-woo sekarang pasti lagi menungguku di depan kampus. Aih, senengnya! Yaaah, biar Shin-woo itu kasar, tetep aja dia perhatian sama aku.
   ”Sore, Pak!” sapaku ceria kepada Pak Maman yang lagi asyik melihat mahasiswa lalu lalang di depan gerbang.
   ”Sore, Non!” Pak Maman menyapa balik.
   Aku celingak-celinguk mencari mobil Shin-woo. Kok, tidak ada? Apa mungkin dia naik motor lagi? Tapi, motornya juga tidak terlihat. Tumben dia telat, biasanya setelah menelpon, dia sudah ada di depan gerbang dan selalu marah-marah kalau aku telat keluar walaupun satu detik.
   ”Femi!” sapa seseorang dengan menepuk bahuku. Aku tersentak kaget.
   Aku langsung menoleh ke arah orang yang menepuk bahuku. Kevin?
   ”Ini,” ujarnya seraya menyerahkan sebuket bunga mawar merah.
   ”Makasih, tapi, aku—”
   ”Sttt... terima aja,” potong Kevin dengan meletakkan jari telunjuknya di bibirku.
   ”Aku nggak bisa, Vin.” tolakku.
   ”Kaki pendek! Ngapain lo?”
   Shin-woo tiba-tiba datang dan langsung berjalan menghampiriku. Hhh, bagaimana ini?
   ”Gue... gue...” aku tidak tau harus berkata apa.
   ”Lo lagi, hah!” ucap Shin-woo setelah melihat Kevin ada di sampingku. Ucapannya lebih terdengar seperti keluhan.
   ”Kevin... kamu sudah tahu kan dengan tunanganku? Apa kamu lupa?” tanyaku dengan hati-hati.
   ”Tidak. Aku masih ingat! Ingat sekali!” jawab Kevin dengan menatap tajam Shin-woo. Tatapannya aneh. Padahal Kevin lagi tersenyum. Shin-woo juga aneh, dia menatap Kevin dengan tatapan aneh. Ada apa dengan mereka? 
   Daripada terjadi perang dunia ketiga, lebih baik aku berkorban nyawa.
   ”Shin-woo, pulang, yuk!” ajakku seraya menarik tangan Shin-woo.
   ”Hei, aku mau terang-terangan aja, deh. Kalo aku bakalan merebut Femi dari tangan kamu,” kata Kevin penuh percaya diri.
   ”Kevin!” seruku sambil melotot ke arah Kevin. Orang yang kuplototi malah tersenyum lebar. Aku langsung melihat Shin-woo. Mata Shin-woo terlihat seperti mengancam Kevin. Aaah! Kenapa jadi kayak gini!
   Aku menarik tangan Shin-woo lagi tapi, Shin-woo langsung melepaskan tangannya. Aaakkkh! Jangan-jangan dia marah. Bagaimana ini?!
   Aku masuk ke dalam mobil. ”Shin-woo, yang tadi jangan dipikirin,”
   Shin-woo diam tidak menjawab ucapanku. Aku jadi semakin takut kalau dia marah sama aku.
   ”Shin-woo... gue... gue sama sekali tidak tertarik dengan Kevin,”
    Shin-woo memalingkan wajahnya ke arahku sambil menyalakan mobil. ”Gue nggak peduli, lo mo tertarik atau apa, itu bukan urusan gue...”
   ”Kenapa?”
   ”Karena kita masih masa percobaan...” Shin-woo mulai menjalankan mobilnya. ”Mungkin ini tidak akan berhasil,”
   Kenapa kata-katanya kali ini sangat menyakitkan di hatiku? Aku kira selama ini, Shin-woo sudah mulai suka sama aku. Hhh, aku tidak berpikir kalau Shin-woo itu ternyata cuma memainkan perasaanku. Shin-woo cuma mencoba-coba dengan perasaanku. Harusnya sekarang aku marah. Harusnya sekarang aku kesal. Tapi... kenapa aku tidak bisa! Aku tidak dapat marah kepadanya!
   Shin-woo mengantarku sampai ke rumah, dia mampir ke rumahku, katanya untuk menjenguk Omaku yang sudah pulang dari Korea. Aku tidak menjamunya seperti biasa. Badanku rasanya sangat lelah dengan kejadian hari ini. Aku ingin berbaring dan tidur. Aku perlu mengistirahatkan otakku yang hari ini sedang berusaha mencerna apa yang terjadi. Semoga ini mimpi. Aku ingin terbangun dengan keadaan normal. Aku ingin semua kembali seperti biasa.

***
   Sudah hampir sepuluh hari aku tidak bertemu dengan Shin-woo. Aku tidak mau mengangkat telepon, SMS, atau menemuinya sejak mendengar ucapannya waktu itu. Aku tahu kalau aku salah, harusnya aku tidak melakukan hal ini. Lagi pula, yang menyetujui perjodohan ini aku, bukan Shin-woo.
  Aku terlalu pengecut untuk bertemu Shin-woo dan menghadapi ini semua. Aku terlalu takut kalau tiba-tiba nanti dia akan mengatakan kalau dia akan membatalkan perjodohan ini. Aku tidak ingin Shin-woo meninggalkan aku, aku tau aku ini egois. Tapi... aaakkkhhh! Ini sungguh membuatku gila!
   Dan satu lagi yang membuatku gila, Kevin. Sejak Kevin mengatakan kalau dia akan merebutku dari tangan Shin-woo, Kevin makin gentol aja deket-deket sama aku. Aku jadi merasa aneh dengan Kevin yang sekarang. Dia seperti orang asing bagiku, tidak seperti Kevin sang malaikat penolong yang aku kenal.
   Gilanya, Kevin sekarang kuliah di kampusku! Aku makin tidak percaya kalau ini adalah nyata. Kenapa Kevin suka dengan aku yang mempunyai wajah pas-pasan. Hhh... dan lagi, aku sering banget kena omel teman-temanku gara-gara Kevin. Kata mereka, aku harus tegas, milih Kevin apa Shin-woo, kalau masalah itu, jelas banget kan aku milih Shin-woo... lagi pula, tidak tegas gimana lagi coba, sudah berkali-kali aku bilang sama Kevin kalau aku ini sudah tunangan sama Shin-woo dan menyuruhnya untuk tidak mendekati aku lagi tapi itu semua tidak ada hasilnya. Entahlah, kepalaku sakit! Bisa botak kalau gini terus.

   Handphoneku sudah berkali-kali berbunyi, mungkin sudah berpuluh-puluh kali. Bisa ditebak siapa menelpon. Iya, benar. Kevin. Siapa lagi kalau bukan dia, aku jadi sebal. Nada, getar, sudah  kumatikan. Kalau aku matikan handphoneku, pasti pesan suara menumpuk. Hhh, aku harus bagaimana lagi agar Kevin tidak mengganggu hidupku.
   Akhirnya aku putuskan untuk mengangkat telponnya. Setelah, telpon yang ke 106. Fantastiskan?
   Aku membuka flap handphoneku dengan kesal dan menempelkan handphoneku ke telingaku. ”APA?”
   ”Wow, sabar, jangan galak... kayak bukan Femi yang kukenal aja,” katanya.
   ”Sori... maaf...” ujarku.
   ”Mau nggak jalan sama aku? Give me a chance, please,” ajaknya to the point.
   ”Lagi nggak mood,”
   ”Yaah... kalau gitu, aku ke rumah kamu aja,”
   ”Jangan!” kataku langsung.
   ”Kenapa?”
   ”Karena kamu nggak boleh... nggak boleh ke rumahku!”
   ”Tapi, aku sudah ada di depan rumahmu,”
   Di depan rumah? Gawat!
   ”Pokoknya, kamu nggak boleh ke rumahku!” seruku.
   ”Kalo gitu, kita jalan,”
   ”Nggak!”
   ”Kalo nggak, berarti aku boleh masuk ke rumahmu,”
   Hhh, orang ini benar-benar menyebalkan! Rasanya ingin aku bunuh! Aaakkkh!
   ”Iya! Baiklah!”
   ”Yes! Aku tunggu di depan, ya,” katanya ceria kemudian menutup telponnya.
   Kenapa Kevin sangat menyebalkan sekarang? Sungguh menyebalkan!
   Aku langsung keluar rumah, tanpa ganti pakaian. Lagi pula, bagi aku, ini bukan kencan atau apa. Aku celingak-celinguk mencari sosok Kevin. Hah, ternyata dia menipku, buktinya tidak ada sosok Kevin di depan rumahku.
   ”Ngapain celingak-celinguk kayak gitu?”
   Aku langsung memalingkan wajahku untuk melihat orang yang menepuk bahuku. Kevin. Ternyata memang ada. Hhh... aku sudah berharap kalau dia tidak ada.
   ”Cepat banget keluarnya,” katanya dengan tersenyum.
   Hhh, sebenarnya, senyum Kevin itu selalu membuatku lemah. Aku selalu gundah ketika melihat senyumnya. Senyumnya sungguh manis.
   ”Memangnya, aku harus ngapain lama-lama?” tanyaku ketus.
   ”Dandan,” jawabnya. ”Cewek kan kan suka dandan kalau ingin jalan apalagi kencan,”
   ”Hah, buang waktu. Lagian, aku kan cuma pengin jalan sama kamu,” sahutku.
   ”Suatu hari nanti, aku pasti akan membuatmu dandan untuk aku, di pernikahan kita,” kata Kevin penuh semangat.
   ”Jangan mimpi! Aku sudah punya tunangan tau!”
   ”Aku kan sudah bilang, bakalan rebut kamu dari cowok itu,”
   ”Terserahlah! Jadi nggak? Gue masih banyak kerjaan,”
   ”Iya, sini,”
   Aku berjalan sedikit menuju mobil BMW keluaran terbaru. Masih bening, pasti baru beli. Aku ini sepertinya perlu bersyukur memiliki dua cowok tajir yang menyukaiku. Hmmm, Shin-woo menyukaiku apa tidak ya? Termasuk daftar menyukaikukah dia? Sekarang, rasanya aku diemput oleh seorang pangerang berkuda putih. Aku selalu merasa seperti itu kalau di dekat Kevin.
   ”Kenapa bengong begitu? Kamu merasa seperti seorang putri yang sedang dijemput oleh pangeran tampan, ya?” tanya Kevin membuyarkan lamunanku seperti bisa membaca pikiranku.
      ”Ayo masuk,” ujarnya sambil memegangi pintu mobil.
   Aku masuk ke dalam mobilnya dan duduk kemudian memasang sabuk pengaman. Sementara itu, Kevin berlari kecil setelah menutup pintu mobilku, kemudian membuka pintu mobil yang lain dan duduk kemudian memasang sabuk pengaman. Sebelum menyalakan mobil, sempat-sempatnya dia menatapku lekat-lekat, membuatku salah tingkah saja.
   Di sepanjang perjalanan, aku sama sekali tidak menanggapi apa yang dibicarakan oleh Kevin. Aku cuma ingin hari ini berlalu dengan cepat. Aku sebenarnya tidak membenci Kevin. Tapi, aku sama sekali tidak suka dengan caranya yang tiba-tiba berubah menjadi cowok seperti ini dan dia tidak memberikan alasan kenapa dia menyukaiku.
   Kevin mengentikan mobilnya di basment mall. Kevin langsung membuka pintu mobil di sampingnya, kemudian berlari kecil setelah keluar dari mobil dan menuju pintu mobil di sampingku selagi aku melepaskan sabuk pengaman.
   ”Ayo,” ujar Kevin dengan tersenyum lebar.
   Aku keluar dari mobil Kevin. ”Makasih,”
   ”Je welkom,” sahutnya dengan tersenyum lebar.
   Aku diajak Kevin menjelajahi mall yang berada di kawasan Jakarta selatan. Jalan-jalan ke mall jadi mengingatkan aku dengan Shin-woo, kami sering jalan-jalan ke mall, yaah, biarpun dia berjalan di depanku, tidak sejajar denganku seperti Kevin sekarang, aku tetap bahagia. Berbagai pertanyaan mulai berterbangan di kepalaku: apakah Shin-woo akan cemburu melihatku jalan dengan Kevin? Apakah aku salah jalan dengan Kevin? Apa yang sedang Shin-woo lakukan? Rindukah dia denganku?
   ”Femi? Femi...?”
   Kevin membangunkan aku dari lamunanku.
   ”Ah, iya, ada apa?”
   Kevin meraih tanganku dan memegangnya. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi serius.
   ”Kali ini... kali ini, aku mohon... bukalah hatimu, buka hatimu agar kamu bisa melihat aku... agar aku bisa membuatmu menyadari aku ada... aku mohon,” mohon Kevin.
   Aku terdiam mendengar ucapannya. Aku harus jawab apa? Aku tidak pernah mendapat pernyataan cinta dari seorang cowok secara berhadapan seperti sekarang. Jantung berdegup kencang ketika Kevin menatapku penuh harap.
   ”Ngapain kamu di sini?”
   Shin-woo! Apa yang Shin-woo lakukan di sini? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Hah, rasanya aku ingin berteriak! Shin-woo menatapku dengan dingin, kemudian melihat tanganku yang sedang di pegang Kevin. Dengan cepat aku langsung melepaskan tanganku dari tangan Kevin.
   ”Shin-woo…” gumamku pelan.
   ”Shin-woo, ada apa?”
   Rissa? Kenapa…? Kenapa Rissa bisa bersama dengan Shin-woo? Apakah… apakah dia kencan dengan Shin-woo? Apakah mereka balikan? Tidak, Shin-woo tidak mungkin menghianatiku. Dia tidak mungkin melanggar janjinya untuk mencoba hubungan denganku.
   Aku memalingkan wajahku. Ini menyakitkan. Sungguh!
   ”Oh, kamu Femi! How are you?” tanya penuh keceriaan.
   Apa kabar? Di saat seperti ini dia nanya gimana kabarku? Cantik-cantik, kok, agak blo’on, sejalas-jelas kalau sekarang aku sedang memasang wajah paling suntuk sedunia. Apa dia tidak melihat?
   ”Baik,” jawabku jutek.
   ”Kelihatannya memang begitu.” katanya dengan senyum.
   Kalau saja wajah manusia bisa keluar segala benda, mungkin sekarang wajah Rissa akan penuh dengan bunga yang harumnya semerbak yang membuat orang flu bertambah dan aku pasti akan keluar duri kaktus, kalau saja itu terjadi, duri-duri kaktusku pasti saja kutancapkan ke wajahnya.
   ”Oh, ya, siapa dia?” tanya Rissa yang dari tadi memang memperhatikan Kevin yang juga sama-sama tersenyum.
   ”Oh, dia? Kenalin, dia Kevin, TEMAN SEKAMPUS gue,” jawabku dengan menekankan kata teman sekampus. Iya, tujuanku biar si jelek Shin-woo kalau aku HANYA berteman dengan Kevin.
   Rissa mengulurkan tangannya, Marissa Barclay, nice to meet you,”
  ”Just call me Kevin,” jawab Kevin seraya membalas jabat tangan Rissa.
”Hmm… sedang apa kalian di sini?” tanya Rissa lagi kepadaku.
”Sedang apa juga kalian di sini?” tanyaku balik tanpa menjawab pertanyaan Rissa.
”Aku minta temani Shin-woo membeli ini, pakaian,” jawab Rissa sambil menunjukkan tas pakaian yang ditenteng oleh Shin-woo.
”Oh,”
Aku memperhatikan belanjaan Rissa yang sangat banyak. Tapi, bukan itu masalahnya. Masalah bagi diriku adalah kenapa Shin-woo mau membawakan belanjaan Rissa?  Aku memang tidak pernah belanja pakaian dengan Shin-woo tapi, aku kecewa dengan sikapnya. Dia… dia… seolah mempermainkan aku.
   Rissa menggamit tangan Shin-woo, ”bagaimana kalau kita makan?”
   Shin-woo… dia tidak melepaskan gamitan tangan Rissa. Selama bersamaku, dia tidak pernah membiarkanku menggamit tanganku, kecuali di acara pertemuan itu. Ugh! Dadaku terasa sesak.
   ”Baiklah,” kata Kevin.
   Kami berjalan menuju kaffé di mall. Aku duduk berhadapan dengan Rissa. Rissa terlihat ceria dan cantik hari ini. Aku melirik sekilas ke arah Shin-woo, dia tidak melakukan apa-apa selain diam. Tapi, setiap kali Rissa bertanya dengan suara manjanya, dia merespon. Aku tidak tahan! Aku tidak sanggup melihat Rissa dan Shin-woo bermesraan di depanku.
   ”Selamat datang, mau pesan apa?” tanya pelayan.
   ”Aku ingin pesan lemon juice aja, kalau Shin-woo biasanya suka black coffe, iya kan?” kata Rissa seraya menggamit tangan Shin-woo.
   ”Kalau kamu?” tanya Rissa kepadaku.
   Aku berdiri dari kursiku, ”Aku ingin pulang!”
   Rissa tertawa, ”tidak ada di dalam menu aku ingin pulang,”
   Aku tidak mendengarkan ocehan Rissa. Aku berlari keluar kaffé. Aku sudah tidak tahan melihat Shin-woo. Aku cemburu. Inikah rasanya cemburu? Sesakit inikah rasa cemburu?
   Aku berlari menuju pintu keluar. Hujan. Kenapa saat seperti ini tidak ada taksi! Hhh… rasanya, aku ingin berteriak ”mana taksiiiiii!” tapi, tenagaku tidak cukup kuat untuk berteriak. Aku tetap berlari meskipun hujan membasahi tubuhku. Semoga saja dengan ini bebanku berkurang.
   Aku terus berlari dan berlari sampai akhirnya aku terjatuh. Lututku terluka. Aku mencoba bangun tapi, kaki sepertinya terkilir. Air mataku… air mataku keluar, memalukan! Sebegitu cengengnya aku, untuk hal seperti ini saja aku menangis? Badanku mungkin terluka, tapi, ini tidak sesakit hatiku. Sungguh, ini benar-benar sakit. Aku tidak sanggup.
   Sebuah mobil berhenti di sampingku. Aku tidak ingin tahu siapa yang datang. Aku tidak ingin kalau yang datang itu bukan Shin-woo. Tapi, aku tidak ingin melihat Shin-woo di saat aku begitu menyedihkan seperti ini.
   Orang itu langsung menggendongku, aku melihat baju yang orang itu. Ini baju Shin-woo. Aku… aku tidak ingin Shin-woo melihatku seperti ini!
   ”Turunkan aku!” seruku sekuat tenaga.
   Dia tidak menurunkan aku, dia berjalan menuju mobil.
   ”Turunkan aku! Turunkan aku! Tolong, turunkan aku!” kataku melemah.
   Dia memasukkan aku ke dalam mobilnya. Sekarang, aku hanya bisa menangis. Aku terlalu memalukan!
   Shin-woo menghidupkan mobilnya dan menjalankannya. Selama di mobil kami berdua tidak berbicara. Tidak ada topik untuk dibicarakan. Aku tidak ingin dia melihat keadaanku yang memalukan dan aku tidak ingin menatapnya karena itu hanya akan membuatku menangis. Aku sedih melihatnya dengan wanita lain tapi, aku tidak mampu membencinya. Rasa ini sangat dalam, aku tidak mengerti.
   Aku memperhatikan jalan dan aku tersadar. Jalan ini… jalan ini menuju apartement Shin-woo, bukan ke rumahku. Kenapa dia membawaku ke apartementnya? Apa mungkin dia ingin mengambil barang-barangku yang ada di rumahnya kemudian memutuskan hubungan denganku? Tidak! Memikirkan saja membuatku sakit.
   Shin-woo menghentikan mobilnya ketika di dalam basement. Shin-woo membukakan pintu mobil untukku, tapi ketika aku menginjakkan kakiku ke tanah, keseimbanganku hilang karena kaki terlalu sakit. Shin-woo menahan tubuhku. Aku melepaskan tanganku dan bertumpu pada pintu mobil Shin-woo.
   ”Aku mau pulang, tidak perlu mengantarku, aku masih bisa berjalan. Kalau pun tidak mampu berjalan, aku bisa ngesot,” kataku dingin.
   ”Apa?”
”Apa harus aku ulangi lagi? Aku ingin pulang, aku lelah,” kataku.
Shin-woo mengacak-acak rambutku yang basah, ”Gadis bodoh! Apa kamu mau aku kena marah orang tuamu?” tanya Shin-woo.
   Aku menjauhkan tangannya dari kepalaku. ”Itu bagus. Hubungan kita tidak akan berhasil, itu katamu,”
   Shin-woo tersentak mendengar ucapanku.
   ”Waktu itu aku emosi…” ujar Shin-woo. Saat dia mengucapkan kata-kata itu sungguh pelan dan penuh penyesalan, sungguh!
   Aku diam. Aku menyadari dari sorot matanya dia tidak berbohong. Aku merasa kasihan melihatnya seperti orang bersalah.
   Tiba-tiba Shin-woo menggendongku.
   ”Apa yang kau lakukan?” tanyaku cemas.
   ”Aku harus menyembuhkan kakimu sebagai tanda maafku,” jawab Shin-woo sambil cengengesan.
   Cepat sekali sikapnya berubah.
   ”Turunkan aku, aku bisa berjalan sendiri,” pintaku.
   ”Kalau tidak bisa berjalan kamu bakalan ngesot?” tanyanya seolah meledek kata-kataku yang kuucapkan tadi. ”Ah, sudahlah jangan banyak bicara,”
   Shin-woo membawaku ke apartementnya. Syukur apartement tidak seramai pasar, coba kalau seramai pasar, kami pasti sudah menjadi sorotan warga.
   Shin-woo membantuku duduk. ”Badanmu berat. Seperti membawa kebo,” ledeknya seraya berjalan menuju kamar mandi.
   ”Siapa suruh menggendongku,” sahutku tidak terima.
   ”Keringkan tubuhmu,” kata Shin-woo seraya memberikan sebuah handuk.
   ”Mau kemana?” tanyaku kepada Shin-woo.
   ”Mandi. Di lemari, ada pakaian, pakai bajuku saja, dalamnya… ada di bawah lemari itu!” kata Shin-woo dengan menujuk lemari yang dimaksudnya.
   Aku mengangguk lemah. Aku mencium handuk yang diberikan Shin-woo. Bau Shin-woo. Aku mengeringkan rambutku, setelah itu, aku berjalan menuju lemari Shin-woo. Banyak sekali baju Shin-woo. Aku mengambil kemeja putih milik Shin-woo, kemudian celana pendek miliknya. Sebelum kupakai, aku membuka laci lemari yang di tunjuk Shin-woo tadi. Pakaian wanita? Buat apa dia menyimpan pakaian dalam wanita? Apa mungkin pakaian dalam wanita yang pernah dia tiduri? Tidak, itu tidak mungkin, pakaian dalam ini masih baru.
   Aku memakai pakaian dalam itu. Aku membuang prasangka buruk yang ada dalam pikiranku. Nanti, aku tanyakan saja. Aku keluar dari kamar Shin-woo dengan jalan tidak seimbang. Shin-woo sudah ada di depan pintu dengan sebuah baskom dan handuk kecil.
   Shin-woo langsung meraih tanganku. ”Hati-hati,” kata Shin-woo.
   ”Makasih,” ucapku seraya duduk di sofa tempat Shin-woo menonton televisi.
   ”Mana kakimu, biarku kompres,” kata Shin-woo.
   Aku mengulurkan kakiku. Shin-woo mengolesi lututku dengan obat merah kemudian megompres kaki kiriku yang terkilir. Aku mengiris sakit. Entah kenapa hatiku yang tadi terasa sakit, kini berubah menjadi damai. Mudah sekali aku memaafkan Shin-woo, aku jadi tidak mengerti, inikah cinta?
   Shin-woo duduk di sampingku. Aku menunduk tidak mau menatap Shin-woo, keadaanku sekarang terlalu memalukan untuk dilihat. Aku dan Shin-woo hanya diam. Entah apa yang dipikirkannya sekarang.
   ”Apa yang kamu lakukan dengan Kevin hari ini?” tanya Shin-woo.
   ”Tidak ada, hanya jalan-jalan,” jawabku lemah.
   ”Kenapa dia memegang tanganmu?” tanya Shin-woo lagi.
   ”Kenapa kamu mengizinkan Rissa menggamit tanganmu?” tanyaku balik.
   ”Entahlah, aku tidak menyadarinya…”
   ”Begitu pula aku!” potongku. ”Aku tidak sadar Kevin memegang tanganku. Apa kamu cemburu?” tanyaku.
   ”Iya, aku cemburu,” jawab Shin-woo.
   Aku langsung menunduk malu.
   Shin-woo mengangkat daguku. Aku memalingkan wajahku. Aku tidak ingin dia menyadari kalau aku sedang malu, aku juga tidak sanggup menatp wajahnya krena jantungku akan berdetak cepat dan itu membuatku susah bernapas.
   ”Apakah aku yang tidak pantas untukmu? Apakah aku yang terlalu egois?” tanya Shin-woo.
   Aku tidak menjawab pertanyaan Shin-woo. Tenggerokanku terasa kering ketika mendengar ucapan Shin-woo. Aku tidak percaya kalau Shin-woo mengucapkan hal ini! Ini berarti… Shin-woo menyukaiku!
   ”Femi… haruskah aku menghindarimu? Sungguh, aku tidak ingin mencobanya, tapi ketika aku melihatmu terluka. Di sini… di sini terasa sakit…” ujar Shin-woo dengan meletakkan tangannya di dada. ”Aku sepertinya jatuh cinta padamu lagi,” tambahnya setelah diam beberapa saat.
  Aku hanya bisa diam. Perasaanku sekarang tidak karuan. Ketidak percayaan mendominasi hatiku. Oh, Tuhan!
  ”Aku… aku… takut…” kataku lirih
   Shin-woo langsung memelukku. ”Apa yang kamu takutkan?”
   Aku mempererat pelukan Shin-woo. Aku tidak ingin pelukan ini lepas, aku ingin waktu berhenti. Aku ingin selalu seperti ini… bersama Shin-woo.
”Aku takut kamu meninggalkanku,” jawabku.
”Tidak akan,”
   Shin-woo melepaskan pelukkannya. Dia mengecup keningku. Aku merasakan lagi perasaan ini. Perasaan hangat dan kuat. Shin-woo, dia cinta pertamaku. Aku rindu dirinya. Aku menatap Shin-woo. Dia juga menatapku, tatapannya sungguh hangat. Tuhan, aku ingin Shin-woo seperti ini. Aku ingin selalu seperti ini, aku ingin dia… menjadi jodohku. Dengarlah, aku Tuhan.
   Shin-woo memelukku lagi. ”Jangan pergi dariku. Tetaplah lihat aku sampai hatiku sepenuhnya menjadi milikmu. Aku mohon, bertahanlah dengan semua ini… mungkin besok dan besok dan hari-hari lainnya akan menjadi hari yang lebih sulit,”
   Aku mengangguk. Shin-woo berusaha membuka hatinya untukku, dan sekarang aku harus berusaha masuk ke dalam hatinya. Kami harus saling percaya antara satu sama lain. Apa pun yang terjadi, aku akan berusaha tetap di sisi Shin-woo.
   ”Maukah kamu menginap malam ini?” tanya Shin-woo.
   Aku mengangguk. Shin-woo tersenyum. Jantungku… jantungku berdebar kencang lagi. Sungguh, rasanya sangat bahagia.
   ”Aku sudah menyiapkan makanan, sekarang, ayo kita makan,” ajak Shin-woo.
   ”Iya!” kataku kencang.
    Shin-woo hanya tersenyum melihat sifatku yang sudah kembali ceria. Hanya dia yang bisa mengembalikan senyumku. Hanya Shin-woo.
   Setelah makan, aku dan Shin-woo menonton film-film yang ingin aku dan Shin-woo tonton. Walaupun, sekali-kali dia mengerjai aku, aku tidak marah, justru aku bahagia, karena hubungan kami bertambah erat. Aku semakin mengenal Shin-woo dan aku ingin mengenalnya lebih jauh.
   Waktu berlalu dengan cepat. Berbagai hal kami lakukan, mulai karaoke bersama, main monopoli, mencuci piring, membersihkan ruangan apartementnya yang luas, bahkan kami sudah berfoto bersama. Aku sudah melakukan yang ingin aku lakukan dengan Shin-woo malam ini, aku tidak butuh apa-apa sekarang selain waktu berhenti. Ya, memang terdengar klasik dan egois tapi, itulah perasaanku sekarang.
   Oh, ya, aku sudah menanyakan kenapa dia memiliki pakaian dalam wanita. Ternyata, nenek Park menyimpannya untukku. Kata Nenek Park, kalau aku tidak memakai pakain dalam ke sini. Aduh, buat apa kau ke rumah Shin-woo tanpa pakaian dalam? Haha, ada-ada saja Nenek Park itu.
   Sekarang, sudah jam sepuluh malam, mataku sudah terasa berat. Aku lelah. Aku meminta izin kepada Shin-woo untuk tidur. Dia mengantarkan aku ke kamar utama kedua.
   Apartement Shin-woo memiliki dua kamar utama, dan satu kamar tamu. Kamar kedua rencananya buat nenek Park, berhubung Nenek Park tidak ada, aku disuruh Shin-woo tidur di sana. Shin-woo membantuku berjalan dan membukakan pintu untukku. Hari ini, dia baik sekali.
   ”Kamu tidak tidur?” tanyaku kepada Shin-woo setelah duduk di tempat tidur.
   Kamar kedua ini, di cat kelabu dan berkesan klasik, berbeda dengan kamar Shin-woo yang berkesan cowok.
   ”Masih ada yang harus aku kerjakan, tapi, kalau kamu mau aku tidur, aku bisa tidur di sini bersamamu,” jawabnya dengan senyum menyebalkan.
   ”Hahaha, terima kasih!” sahutku sebal.
   ”Ya, sudah, istirahatlah,” kata Shin-woo seraya berjalan keluar kamar.
   Aku menatap belakang Shin-woo. Walau dari belakang, dia tetap terlihat gentle, dan tampan.
   Belum sempat aku terbaring, Shin-woo tiba-tiba membuka pintu kamarku dan berlari ke arahku kemudian memelukku.
   ”Ada apa?” tanyaku kaget.
   ”Kalau kamu terbangun… berjanjilah… jangan tinggalkan aku,” katanya.
   ”Apa?”
   ”Berjanjilah.” katanya setengah mendesak.
   Aku mengangguk. ”Iya,”
   Shin-woo mempererat pelukkannya. Setelah beberapa saat, dia melepaskan dan menatapku, wajahnya mendekat ke wajahku. Tubuhku… tubuhku terasa membeku. Jantungku… jantungku berdetak sangat cepat. Bibir Shin-woo menyentuh bibirku. Ciuman pertamaku.
   ”Itu sebagai jaminan,” kata Shin-woo seraya meninggalkanku yang terdiam tak percaya. Oh Tuhan!
   Shin-woo… Shin-woo… Dia menciumku! I can’t belive this!