Laman

Pelangi is Rainbow

Minggu, 19 Februari 2012

My First

Two

   Om Edward dan aku memasuki ruang tamu yang didesign klasik-modern. Di atas meja tamu utama ada lampu besar di mana setiap lampunya berbentuk lilin kecil dengan hiasan berbentuk kerang. Ruang tamu Tante Levana mempunyai jendela yang besar dan tinggi sekitar dua meteran berbeda dengan ruangan lainnya. Yang paling aku suka dari ruang tamu Tante Levana adalah perapiannya yang sangat nyaman saat musim dingin, selain itu di rumahku di Indonesia tidak ada perapiannya.
   Semuanya sudah berkumpul, termasuk cowok menyebalkan itu. Tante Levana menghampiriku, dan langsung menarikku supaya berjalan lebih cepat. Dia mendudukkan aku di sampingnya. Nenek Park duduk di sofa utama, di tengah-tengah. Sedangkan Om edward duduk di antara Evan dan cowok menyebalkan itu. Aduh Om, kenapa duduk disana, entar Om ketular penyakit menyebalkan. Sialnya, aku duduk berhadapan dengan cowok menyebalkan itu.
   ”Harmoni  sekarang sudah berumur tujuh puluh sembilan tahun, sudah banyak hal yang Harmoni alami,” Nenek Park mulai membuka acara khotbah paginya setelah tenang sejenak.”Baik itu senang maupun sedih,” tambah beliau
   Aku cuma mangut-mangut pura-pura paham dengan apa yang dikatakan beliau. Soalnya, beliau kebanyakan menggunakan bahasa Korea daripada bahasa Indonesia, aku kan tidak mengerti. Daripada dikira bodoh, lebih baik mangut-mangut pura-pura paham.
   Tante Levana menyikutku,”Sttt... dengerin kata-kata Harmoni,” bisik Tante Levana.
   Aku tersentak dan langsung membenarkan dudukku. Aduh, ngantuk! Masih lama tidak, ya, khotbahnya. Huaaaahhh... ngantuk banget! Kenapa khotbah lebih bikin mengantuk daripada lagu nina bobo, ya? Ha, mungkin karena ritmenya lebih indah. (Maksudnya?)
   ”Shin-woo, umurmu sudah dua puluh satu tahun, sekarang kamu sudah besar,” kata Nenek Park. Dua puluh satu? Wah, lebih tua daripada aku, tapi kenapa mukanya masih kayak remaja tujuh belas tahun, ya? Jangan-jangan dia Operasi Plastik. ”Kalian berdua sekarang sudah dewasa, Nenek ingin kalian segera menikah daripada kalian terkena dampak dunia bebas anak remaja sekarang,” Nenek Park Meneruskan khotbahnya.
   Menikah? Hahaha, pacar aja tidak punya, bagaimana aku akan menikah? Lagipula, Mama pasti akan memarahi aku kalau aku minta dikawinin. Hahaha, tidak terbayang nikah muda.
   Terkena dampak dunia bebas anak reamaja? Hahaha, kayak penyakit aja! Lagian gimana mau bebas coba, kalau teman-temanku pada maniak. Yang satu suka mengumpulkan sedotan, yang satu suka di laboratorium, yang satu suka berfantasi tidak jelas. Hahaha, mana mungkin bakalan kayak anak kota kalau gitu!
   Aku cekikan membayangkan teman-temanku yang terkena wabah anak gaul zaman sekarang. Tanpa kusadari semua orang yang ada di ruang tamu memandang aku dengan tatapan aneh dan kasihan.
”Ha, ha... Lucu... Femi disuruh nikah. Pacar aja tidak punya, gimana mo nikah?” jawabku dengan menggigit jemari telunjukku kemudian meringis.
  Nenek Park menepuk tanganku,”Tidak perlu pacaran, menikah saja langsung,” kata Nenek Park dengan senyum yang lebar.
   ”Ah, Nenek, Femi kan sudah bilang nggak punya pacar. Jadi, kontan nggak punya pasangan, masa menikah sendiri,” jawabku.
   Nenek Park melirik cowok menyebalkan itu kemudian memandang aku dalam-dalam dengan senyum yang merekah. Ada apa dengan lirikan itu? Aku jadi merinding.
   ”Menikahlah dengan Shin-woo!” ucap Nenek Park penuh semangat. Aku yang tadi tersenyum lebar sekarang malah melongok. Menikah?! Menikah... menikah dengan cowok menyebalkan itu?
   Aku salah dengar. Pasti. Pasti salah dengar! Mana mungkin ini terjadi... tidak... aku salah dengar... aku harus ke dokter THT sekarang juga. Iya, sekarang!
   Cowok menyebalkan itu langsung bangun dari duduknya,”Nenek!” ucap cowok menyebalkan itu dengan nada tinggi.
   Tidak, ini nyata! Aku sudah mencubit pahaku, rasanya sakit. Benar-benar sakit. Aku tidak percaya dengan ini semua. Oh, Tuhan!
   Nenek Park tetap memandangku dengan senyum yang sangaaat lebar. Aku tidak tau harus menjawab apa, aku tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Nenek Park. Aku bimbang, aku tidak ingin perjodohan ini, aku juga tidak ingin mengecawakan Nenek Park. Tuhan, tolong aku!
   ”Kamu mau kan menikah dengan Shin-woo?” Tanya Nenek Park.
   ”Nenek!” seru cowok menyebalkan itu dengan nada setengah membentak. ”Aku tidak ingin dijodohkan seperti ini!” tegas cowok itu.
   ”Apa maksudmu? Kami sekeluarga sudah membicara hal ini dengan keluarga Femi. Semuanya setuju.” Nenek Park terlihat marah dengan cowok menyebalkan itu.
   ”Tapi Nenek tidak membicarakan hal ini dengan aku!”
   ”Nenek tidak akan pernah membicarakan hal yang penting dengan kamu selama kamu masih jadi penentang seperti sekarang ini!”
   ”Aku tidak akan pernah menerima perjodohan ini! Titik!” tegas cowok menyebalkan itu dengan nada tinggi.
   ”Ka... Ka... Kamu...!” Nenek Park menunjuk cowok menyebalkan itu  dengan napas tersengal-sengal.
   Aku menyimak pertengkaran antara cowok menyebalkan itu dan Nenek Park denga pikiran kosong, aku tidak terlalu paham apa yang mereka katakan karena mereka menggunakan bahasa korea tapi, aku tahu pasti yang mereka debatkan adalah masalah perjodohan ini. Tiba-tiba Nenek Park sesak napas dan hampir saja terjatuh kalau saja aku tidak langsung menangkapnya. Nenek Park memegangi dada beliau dengan napas yang sesak. Aku harus berbuat apa? Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan Nenek Park?
   ”Panggil 911!” teriak seseorang. Aku sudah tidak memeperdulikan hal lainnya selain Nenek Park yang terbaring di pahaku.
   ”Fhe... Fhemhi...” ucap Nenek Park napas yang tersendat-sendat.
   ”Iya, Nek,” jawabku gelisah.
    Kemudian beliau memalingkan wajahnya menghadap cowok yang menyebalkan itu yang entah sejak kapan .
   ”Sh... Shiinn...” ucap Nenek Park dengan tersendat-sendat.
   ”Me... Hhah.. Hha.. Mheni... Menikah... Lah...” ucap Nenek Park dengan memegang tanganku erat.
   ”Iya! Iya, Nek!” aku mengiyakan ucapan Nenek Park tanpa kusadari.
   Aduhh... Bagaimana ini? Aku mengiyakan ucapan Nenek Park tanpa disengaja, apa yang harus kulakukan?
   Tiba-tiba Nenek Park bangun dari pahaku dan langsung memegang tanganku. Nenek Park sudah sembuh? Cepat banget! Tapi, tidak apa-apa. Ya, Tuhan, terima kasih sudah menyembuhkan Nenek Park!
   ”Benarkah?! Kamu mau menikah dengan cucuku, Shin-woo!” seru Nenek Park bahagia.
   Aduh, aku harus jawab apa? Aku tadi sudah meng-iya-kan ucapan Nenek Park. Tuhan, bantu aku sekali lagi, aku mohon.
   ”Aku tidak mau! Aku tidak akan pernah!” cowok menyebalkan itu menegaskan dan bangkit dari duduknya.
   ”Ka... Kau...” Nenek Park mulai sesak napas lagi.
   ”Eh, mak... maksud dia... dia tidak mau... dia... dia... dia tidak mau menolak perjodohan ini!” kataku asal. Ahhh... Mulut! Mulut, kamu asal bicara.
   Nenek Park kembali segar lagi dan tersenyum dengan lebar.
   Aku melirik cowok menyebalkan itu. Dia... Dia mempelototiku seperti pandangan aku-akan membunuhmu-sekarang-juga! Femi, tamatlah riwayatmu sekarang!
   ”Benarkah?! Ini bagus! Malam ini kita akan mengadakan pesta. Sekarang kamu mandi, dan pergilah jalan-jalan bersama Shin-woo!” ucap Nenek Park seraya menepuk lenganku dua kali.
   Bahagia benar orang tua ini. Ini namanya, bahagia di atas penderitaan cucunya. Aku langsung terduduk sepeninggal Nenek Park.
  
   Aku masih belum percaya dengan ini semua. Shin-woojodohkuakujodohShin-woo. Aku yang dulu selalu menertawakan orang-orang yang dijodohkan, aku selalu bilang ”zaman sekarang dijodohkan? Hahaha. basi!” Nah, sekarang? Sekarang aku... Aku dijodohkan! Otakku tidak bisa mencerna ini semua.
   ”Puas?!” cowok menyebalkan itu angkat bicara.
   Ternyata dia masih di sini.
   Aku memalingkan wajahku ke arahnya. Dia pasti shock berat. Tapi, aku juga shock! Aku juga tidak ingin dijodohkan dengan orang yang menyebalkan seperti dia. Hah, ini merepotkan!
   Aku menunudukkan kepalaku, aku memang bersalah. Tapi, aku melakukan ini supaya Nenek Park tidak jatuh sakit lagi. Apa dia tidak sayang pada Neneknya? Setidaknya, aku mengorbankan masa mudaku untuk melihat orang tua bahagia.
   ”Ma... Maaf,” ucapku pelan. Aku takut.
   ”Maaf?! Kamu bilang cuma maaf? Kamu kira dengan maaf bisa mengembalikan semuanya?!” bentak cowok menyebalkan itu.
   Hhh... berani banget dia membentakku. Kalau saja bukan gara-gara aku, sudah lama aku parut dirinya dengan parutan keju! Biar tau rasa!
   ”Jadi, aku harus gimana?” tanyaku seraya mengangkat kepalaku dan memasang wajah memelas. Mungkin saja dia tersentuh bintang-bintang yang keluar dari mataku. Hehe.
   ”Haaaahhh!” cowok itu berteriak dan pergi meninggalkanku yang terkaget-kaget mendengar teriakannya. Mengerikan sekali orang itu.
   Sekarang, apa yang harus aku lakukan? Ah, mungkin... Ya, ya, ya, aku harus kabur dari sini. Aku harus meninggalkan tempat ini. Tapi, aku harus kemana? Kalau aku kabur, aku bakalan jadi pemulung. Hmm... Aku harus kerja! Tapi, aku bisa apa? Aku tidak mempunyai keterampilan. Yang kupunya hanyalah... Tidak ada! Aku tidak mempunyai bakat apa-apa.
   ”Femi!”
   ”Meaww!!!” ucapku seperti orang latah.
   Ah, Tante Levana! Bikin orang jantungan aja. O, ya, minta bantu sama Tante Levana aja!
   Tante Levana memegang kedua tanganku,”Femi... Tante berterima kasih banget kamu mau menerima perjodohan ini. Rencananya, kalau kamu tidak menerima perjodohan ini, Tante akan menyuruh Mamamu memelihara Bulldog,”
   Bulldog? Minta bantuan dengan Tante Levan sepertinya bukan solusi yang baik. Kalau minta bantuan sama Tante Levana sama saja aku bunuh diri. Aku kan paling takut sama anjing Bulldog. Membayanginnya aja aku takut, apa lagi ada dihadapanku. Lalu, aku minta bantuan sama siapa, dong?
   ”Femi! Kamu melamun mulu. Sana mandi, kamu kan harus jalan-jalan sore ini.” Tante Levana menepuk pundakku.
   ”Jalan-jalan?!” tanyaku antusias.
   Ah, sudah lama tidak jalan-jalan di Belanda. Pasti sudah banyak yang berubah di sini. Aku kan jalan-jalan cuma sebentar semalam sama Kevin, itu juga tidak termasuk jalan-jalan karena dia hanya mengantarkanku pulang. Jadi teringat sama Kevin, semoga nanti aku bertemu dengannya lagi.
   Tante Levana mengangguk,”Iya, kamu kan harus jalan-jalan sama Shin-woo.” jawab Tante Levana.
   Aku langsung tercengang,”Jalan-jalan sama Shin-woo?” tanyaku memastikan.
   ”Iya, sama Shin-woo. Iih, senengnya jalan-jalan sama calon suami,” goda Tante Levana seraya menyikutku.
   Aku cuma cengengesan padahal dalam hatiku, aku menyumpah-nyumpah. Seneng? Seneng darimana coba, musuh jadi calon suami. Itu bukan seneng namanya, melainkan kesengsaraan!
   ”Ya, sudah, sana kamu siap-siap dulu,” kata Tante Levana seraya pergi meninggalkanku yang masih duduk di ruang tamu.
   Ya, sudahlah. Ini semua terjadi gara-gara aku, bukan gara-gara cowok menyebalkan itu. Ini semua salah aku. Harusnya aku bersyukukur tidak dibunuh oleh cowok menyebalkan itu, karena sudah membuat dia mengikuti perjodohan ini.
   Aku bangkit dari sofa ruang tamu dan menuju tangga. Aku berjalan dengan lesu menaiki tangga. Diisengi Evan pun aku sudah tidak peduli. Aku membuka pintu kamarku. Harapanku sudah sirna, aku berharap menikah dengan laki-laki yang aku cintai, sekarang… akan menikah dengan laki-laki yang aku benci dalam hitungan beberapa menit. Nasib.
   Hssshh... Hssshh... Aku mengendus-endus ketekku. Huuu... bau banget! Dari semalam aku belum mandi. Pantes baunya kayak kambing kecemplong ke got. Aku membuka koperku yang berada di sisi lemari kemudian mencari-cari pakaian dalam dan baju untuk dipakai.
   ”Baju ini aja! Ini kan bukan kencan,” ujarku sambil memperhatikan baju kaos jadul berwarna merah norak. Setelah itu aku langsung ke kamar mandi.
   Kamar mandi Tante Levana memang keren! Bath up-nya terbuat dari kayu, bak mandinya rata dengan lantai, rasanya seperti ada sumber air di kamar mandi, semuanya didesign klasik tapi mewah. Padahal, kamar yang kutempati sekarang adalah kamar tamu. Wajar saja, Tante Levana kan menikah dengan seorang direktur perusahaan asuransi. Tante Levana memang beruntung.
   Aaahh... Segarnya! Rasanya, seperti hidup kembali. Yah, setidaknya, bebanku terasa berkurang setelah mandi.  Aku langsung berpakaian setelah mengeringkan rambutku. Aku memakai kaos yang sudah kupilih tadi dipadukan dengan celana jeans merek logo, aku memutar-mutar badanku berkali-kali di depan cermin. Bukan karena ingin memastikan cantik atau tidaknya aku, melainkan untuk memastikan norak-tidaknya aku.
   TOK... TOK...
   ”Femi...”  ternyata Tante Levana.
   Dia memandangi seperti tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Haha, ternyata jurus memakai pakaian norak ini memang jitu. Dia pasti tidak setuju dengan apa yang kupakai dan menyuruhku mengganti pakaian, berhubung pakaian yang bagus-bagus sudah kusimpan, jadinya aku tidak perlu takut dengan apa yang akan terjadi nanti.
   ”Femi!” kata Tante Levana setengah berteriak.
   Dia pasti tidak suka dengan pakaianku dan akan memarahiku. Biarlah, dimarahi sebentar tidak apa-apa. Yah, walaupun kalau Tante Levana marah-marah bikin telinga budeg sehari.
   Aku pura-pura tersenyum kecut,”Iya, Tante, nggak bagus, ya?”
   ”Kamu cantik banget!” puji Tante Levana seraya memelukku. Aku menepuk-nepuk punggung Tante Levana, kecewa.
   ”Makasih,” jawabku lesu.
   Wajahku yang tadi penuh senyum kemenagan, sekarang malah jadi cemberut. Huh, kok, malah dipuji? Aku kan pengin acara hari ini gagal. Aku takut jalan-jalan sama orang itu. Aku takut mati hari ini juga, aku kan masih ingin menikmati masa muda.
   ”Aduh, kok kamu cemberut? Ayo, kita ke bawah,” ajak Tante Levana penuh semangat. ”Eeehhh... Tunggu! Pakai ini. Nah, sekarang, perfect!” Tante Levana memasangkan bando ke kepalaku.
   Dulu, aku suka banget dengan pujian, sekarang aku benci banget dengan pujian. Rasanya, seperti mendengar kabar buruk. Tante Levana menggandeng tanganku menuju pintu depan, kayak lagi menggandeng mempelai wanita saja. Ternyata semuanya sudah menungguku.
   ”Ya, ampun, Femi, kamu cantik sekali,” sambut Nenek Park ketika aku berada di depan pintu. Beliau memegang pipiku dan kemudian memegang tanganku dengan senyum yang sangaaat lebar, kalau saja senyumnya dapat ditarik, mungkin lebarnya sudah berhektar-hektar.
   Aku hanya tersenyum. Tersenyum pahit.”Makasih, Nek,” ucapku.
   ”Shin-woo, lihat, calon istrimu sangat cantik kan?” tanya Nenek Park kepada cowok yamg menyebalkan itu.
   ”Laid!” jawab Shin-woo.
   Apa dia bilang? Jelek?! Dia kira aku tidak ngerti apa maksudnya! laid dalam bahasa prancis artinya jelek! Haah, berani banget dia bilang aku jelek padahal dia sama sekali tidak melihat aku. Dasar cowok menyebalkan!
   Nenek Park menyikutku,”Apa yang dia bilang, Fem?” tanya Nenek Park.
   ”Dia bilang je... eh, cantik, Nek,” jawabku dengan pura-pura tersenyum manis.
   ”Aahhh... kalian ini... memang pasangan yang serasi,” puji Nenek Park dengan menyenggolku sampai aku terdorong ke samping. Kuat juga, nih, Nenek-Nenek.
   ”Bukan, Harmoni! Oppa2 bilang, Femi itu jel... ehmm... emmm...” Evan mencoba mengungkapkan kebenaran tapi keburu Tante membungkam mulutnya.
   ”Hehehe... Evan memang begini, Harmoni, tidak pernah suka ada yang memuji, Femi,” kata Tante Levana cengengesan.
   Dasar bocah! Awas saja nanti kalau aku sudah pulang, aku jadikan kamu makanan ikan hiu! Biar tau rasa!
   ”Ya, sudah, kalian pergi saja dulu,” kata Nenek Park.
   Aku mengangguk,”Iya, kami pergi dulu, ya, Nek,” pamitku.
   ”Iya, hati-hati di jalan, ya,” kata Nenek Park sambil melambai-lambai tangannya.
   ”Iya, Nek, daaahhh...” aku terus  melambai-lambaikan tanganku sampai rumah Tante Levana tidak terlihat lagi.
   ”Mau terus melambai-lambai sampai kapan?” tanya cowok menyebalkan itu sinis.
   Aku langsung menurunkan tanganku. Eh, dia tau dari mana aku masih melambai-lambaikan tanganku, dia kan ada di depanku? Wah, jangan-jangan dia punya indra ketujuh atau jangan-jangan dia punya tuyul yang bisa memberi tau apa yang terjadi sekarang. Astaga, tidak boleh su’udzon.
   ”Kita mau... kemana?” tanyaku.
   ”Kita? Haa, gue mau kemana bukan urusan lo,” jawab cowok menyebalkan itu dingin.
   Ha?! Ceritanya kita berpisah, nih? Aku kan buta arah, bagaimana aku pulang nanti? Haruskah berteriak-teriak seperti semalam biar Kevin datang dan menolongku? Mana mungkin itu terjadi lagi! Haaahh! Dasar cowok yang tidak berperi kemanusiaan dan keadilan! Nyebelin!

2 Kakak, panggilan untuk saudara laki-laki
   Tiba-tiba cowok menyebalkan itu berbalik.
   ”Ini,” katanya seraya mengarahkan sebuah amplop ke arahku.
   Amplop apa itu? Jangan-jangan isinya adalah bom yang akan meledak ketika akan dibuka, seperti yang ada di film-film. Diambil apa tidak, ya?
   ”A... apa itu?” tanyaku deg-degan.
   ”Ha? Lo ini bodoh atau apa? Ini amplop! Ahh.. cewek seperti ini yang akan jadi istriku?” jawabnya sinis kemudian bergumam. ”Cepat ambil!” perintahnya.
Kalau mau bergumam jangan keras-keras, aku mendengar, tau! Aku juga tidak ingin menjadi istrimu, keluargamu yang menginginkan aku!
   Aku berjalan pelan-pelan ke arahnya sampai-sampai dia memutar matanya dan berjalan ke arahku dengan kesal. Dia menarik tanganku dengan kasar, kemudian meletakkan amplop itu ditelapak tanganku. Mataku terpejam ketika dia meletakkan amplop itu di atas telapak tanganku.
   Ketika kubuka mataku, cowok menyebalkan itu sudah ngeloyor pergi. Badannya terlihat kecil dari kejauhan. Kalau saja dia tidak menyebalkan, aku akui dia adalah laki-laki yang tampan. Dia mirip seperti artis korea kebanyakan. Tinggi, putih, keren, styles, pokoknya perfecto kalau segi tampang, tapi segi tingkah laku... jangan ditanya!
    ”Ah, aku ada di mana?!” tanyaku setelah tersadar dari lamunan.
    Aku berjalan sedikit menuju kursi umum yang terletak di pinggir jalan. Aku duduk sambil memperhatikan orang berjalan melakukan aktifitas mereka, sedangkan aku... aku hanya duduk sendirian di kursi umum sambil menunggu cowok menyebalkan itu melewati tempat aku duduk. Tapi, apakah dia akan lewat sini? Bagaimana kalau dia tidak lewat sini? Haaa... Mama tolong Femi! Mama! Oouuukh! Ini semua terjadi gara-gara Eyang tidak izinin aku pulang.
    Aku mengambil handphoneku dari tasku, kemudian mencari tulisan home didaftar kontakku, setelah ketemu, aku memencet tombol hijau. Dan terteralah tulisan calling home... Ini harus berhasil! Mama pasti bisa membantuku untuk membatalkan perjodohan ini.
   ”Halo,”
   Terdengar suara sapaan dari handphoneku. Suara laki-laki, pasti kakakku.
   ”Halo, Yo, ini Femi, Mama ada?” tanyaku langsung to the point.
   ”Ada, emang kenapa? Lo pengin bilang makasih sama Mama, ya, karena sudah dijodohin sama Shin-woo,” tebak Ryo, Kakakku yang sok tahu.
   ”Ah, sok tau lo! Cepet panggilin Mama!” pintaku setengah memerintah.
   Ternyata semua orang yang ada di rumah memang merencanakan hal ini sejak awal. Dasar keluarga iseng! Tapi, ini sama sekali tidak lucu! Sengsara banget aku gara-gara ini.
   ”Dapat apa gue kalo manggilin Mama?” tanya Ryo. Dasar manusia yang selalu mencari keuntungan dibalik penderitaan!
   ”Akh! Ini gawat darurat, lo minta macem-macem! Kakakku apa bukan sih, lo?” kesalku.
   ”Ya, sudah, selamat berbulan madu adikku sayaaang, byeeee,” ucap Ryo.
   ”E, e, e, eh, iya, iya, lo pengin apa?” tanyaku akhirnya sebelum dia menutup telponnya.
   ”Gitu dong, baru adikku. Gue pengin dibeliin dompet terbaru dolce and gabana,” jawabnya ceria.
   ”Apaaa?! Lo pengin morotin gue?! Itu barang, kan mahal!” tanyaku setengah berteriak yang membuat orang-orang menoleh ke arahku.
   ”Ya, sudah, gue tutup. Byeee,”
   ”Iya, deh! Entar gue beliin! Cepet panggil Mama,”
   ”Baiklah. Eh, sebelum lo beliin, boneka pandamu kujadikan jaminan,”
   ”Tidak adil! Cepat panggil Mama!” perintahku.
   ”Iya, iya. Mama... ini, Femi Nelpon!” Ryo berteriak manggil Mama. Aduh, telingaku sakit! Harusnya jangan teriak-teriak di telepon.
   Terdengar bunyi orang yang sedang berlari kecil lewat telpon. Walaupun badan Mama langsing, tapi tulang Mama berat.
   ”Halo, Femi. Bagaimana, Fem? Tampan kan?” tanya Mama langsung. Aku tahu siapa yang dimaksud Mama dengan ”tampan” itu. Siapa lagi kalau bukan cowok yang menyebalkan itu.
   ”Mama! Kenapa Mama lakuin ini sama aku?” tanyaku kesal.
   ”Kenapa? Kamu tidak suka?” tanya Mama balik.
   ”Iyalah, Ma! Siapa juga yang suka dijodohin sama orang yang nggak dikenal,” jawabku.
   ”Nggak kamu kenal? Haha, dia itu sahabat kecil kamu, Fem. Kamu lupa?” tanya Mama.
   Teman kecil? Kok, aku lupa? Aku kan tidak pernah punya teman cowok waktu kecil. Iya! Memang tidak ada.
   ”Tapi tetep aja ini di luar hukum. Kata Mama, aku harus lulus kuliah dulu baru menikah,” aku mengingatkan Mama.
   ”Ini semua keinginan Eyang. Mulanya, Mama menolak menjodohkan kamu dengan alasan masih kuliah,” Mama menjelaskan,”Tapi, karena Eyang bilang ini adalah permintaan terakhir beliau dan setelah Mama timbang-timbang, tidak buruk juga menjodohkan kamu dengan Shin-woo, soalnya, dia tipekal Mama banget! Ganteng! Mirip banget sama Choi Seung-hyun!” ucap Mama penuh semangat.
   ”Ya, tidak bisa gitu, dong, Ma!” tolakku. ”Aku kan masih muda, masa harus nikah! Dia juga masih muda!”
   ”Yaa, Mama juga tadinya berpikiran begitu, tapi, setelah Mamanya Seu...eh, Mamanya Shin-woo bilang, kalian bisa ditunangkan dulu. Mama jadi lega,” kata Mama.
   ”Boleh bicara sama Eyang? Kale aja Eyang kasihan sama Femi, terus membatalkan perjodohan ini.” pintaku.
   ”Kalau kamu pengin Eyang meninggal, ya, sudah, Mama panggilin,” kata Mama.
   Aku terdiam sejenak. Ckk... ternyata memang sulit. Santai... kalau dia bukan jodohku, aku dan dia pasti nanti akan berpisah. Tapi, bagaimana kalau berpisahnya setelah menikah? Hhh... jadi janda cerai dong! Gak mau!
   ”Femi... Femi... kamu masih ada di sana, nak?” panggil Mama.
   ”Ah, iya, Ma, sudah dulu, ya, Ma,” pamitku.
   ”Iyaa... maafkan Mama sudah memutuskan ini tanpa ngomong sama kamu,” ujar Mama.
   ”Iya, nggak pa-pa, kok, ma, bye, ma,” ucapku.
   ”Byee, lusa kami datang ke sana,”
   ”Iya,”
   KLIK. Aku menutup telpon dan kemudian memasukkannya ke dalam tas.
   ”Haaahhh... Melelahkan,” keluhku pada diri sendiri.
   Aku tidak bisa pulang lagi, gara-gara tidak tau jalan pulang. Sampai kapan aku menunggu di sini. Kulihat jam tanganku yang bergambar cinta imut-imut sudah menunjukkan jam setengah enam sore. Kalau aku masih kecil, aku pasti akan menangis. Huhuhu... hwaaaa.
   ”Halo, Nona!” sapa seseorang.
   Aku langsung menoleh. Om-om berumur sekitar tiga puluhan sedang menatapku dengan tatapan mesum. Ah, mungkin bukan aku yang disapa. Aku celingak-celinguk melihat apakah ada orang selain aku? Tidak ada, ternyata orang itu memang menyapaku.
   ”Ha... ha... halo...” sapaku balik dengan gugup.
   Orang itu langsung duduk di sampingku dengan merangkul pundakku. Aah... apa-apaan orang ini! aku melepaskan rangkulannya dari pundakku, tapi orang itu terus merangkulku meskipun aku telah melepaskannya berkali-kali.
   ”Nona, apakah kamu punya waktu malam ini?” tanya pria itu. Mulutnya bau alkohol!
   Dia bilang apa? Aku tidak mengerti. Aduuuh, aku takut. Aku harus bagaimana? Tuhan, tolong aku.
   ”Wat dat (What’s that)?!” seru seraya menujuk sesuatu yang tidak jelas ke arah kanannya.
   Pria itu menoleh ke arah yang kutunjuk. Ini kesempatanku, aku harus kabur! Aku langsung berlari entah kemana yang penting bisa kabur. Aku sempat menoleh kebelakang, ternyata pria itu mengejar aku. Gawat!
   Aku mempercepat lariku.
   ”Aaa! Aku harus bagaimana?!” teriakku sambil terus berlari.
   Aku langsung bersembunyi di tengah-tengah gang toko. Tuhan, semoga pria itu tidak menemukan aku. Hah, aku kira di Belanda tidak ada orang mesum, eeeeh, ternyata ada! Syukur otakku seperti kancil, cerdik, coba kalau tidak.
   Aku menglihat jam tanganku, sudah lima belas menit aku di sini. Shhh... dingin banget di sini.
   ”Huuuuuaaaachhhhiii!!!” aku bersin kedinginan.
   Aku melipat tanganku, mungkin dengan ini dinginnya musim gugur di sini berkurang. Aku berjalan keluar, sambil melihat kiri-kanan. Aman! Aku langsung meloncat keluar. Aku berjalan mundur dan mencoba berbalik tapi tiba-tiba...
   BRUUUKKK
   Aaaahhh! Aku menabrak orang lagi! Menyebalkan! Kenapa setiap kali jalan-jalan aku selalu menabrak orang sih?!
   ”Aduuuh... sori... sori...” ucapku seraya bangun dari jatuhku dan mengancungkan sebelah tanganku.
   Aku bangun dengan sempoyongan, mungkin gara-gara aku terlalu lama berlari, kepalaku jadi terasa pusing. Aku juga sudah tidak peduli lagi siapa yang kutabrak.
   ”Hei! Kenapa lo suka sekali nabrak orang!” bentak orang itu.
   Aku meluruskan badan dan mencoba memfokuskan pandanganku.
   ”Kenapa mempelototi gue!” bentak orang itu.
   Aku mendekatkan mataku kemuka orang yang aku tabrak. Akh, mataku terlalu kabur untuk melihat wajah orang itu. Orang itu mendorong kepalaku dengan kasar. Haha, dia pasti malu dilihati oleh wanita sexy seperti aku.
   ”Femi!” seru orang itu setengah berteriak.
   Tiba-tiba pusing di kepalaku hilang. Akh! Cowok menyebalkan itu! Bikin malu aja tingkahku tadi!
   ”Ka... kamu!” aku menunjuk cowok menyebalkan itu.
   ”Aaahhh... merepotkan banget! Kenapa belum pulang?!” tanyanya kasar.
   Aku diam menundukkan kepalaku. Aku tidak tau harus mengatakan apa. Apakah aku harus mengakatakan kalau aku buta arah dan tidak tau jalan pulang sehingga dia mengajak aku pulang? Iya. Aku harus mengatakannya daripada aku tidak bisa pulang walaupun memalukan.
   ”Aku... aku...”
   Belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, dia sudah membalikkan badannya dan berjalan begitu saja. Dasar cowok menyebalkan! Sekarang... aku cuma bisa menarik napas. Haaah... mungkin memang nasibku jadi anak jalanan.
   ”Kenapa diam saja? Lo nggak mau pulang?!” tanyanya sinis.
   ”A...aaa! Terima kasih!” teriakku seraya menggamit tangannya.
   Dia melepaskan tangannya dengan kasar.”Lepaskan!”
   ”Baiklah, tuan muda,” jawabku ceria seraya menghormat kepadanya.
   Akh! Kepalaku sakit lagi! Tiba-tiba semuanya berkunang-kunang. Aku langsung terduduk di tanah. Ssshhh... ini pasti aku gara-gara berlari tadi. Memalukan, masa aku harus terduduk tiba-tiba seperti ini dihadapannya. Aku juga sudah tidak sanggup bangun.
   Cowok menyebalkan itu memegang bahuku,”Lo nggak pa-pa?” tanyanya. Dari nadanya, aku tau kalau dia khawatir. Aku tidak bisa melihat wajahnya, karena tempat ini terlalu gelap.
   Aku menggelengkan kepalaku.
   ”Kamu tidak apa-apa?! Hah, dasar bodoh!” katanya kasar.
   Dasar cowok kasar! Kalau saja aku punya tenaga, sudah lama aku menjitak kepalanya.
   Dia membalikkan badannya dan berjongkok.
   ”Naik!” perintahnya.
   ”Tidak mau!” tolakku.
   Mana mungkin aku mau dibokongnya. Memangnya, aku anak kecil?!
   ”Cepat!” hardiknya.
   ”Tidak!” tolakku berteriak.
   ”Ahhh... Ini merepotkan!” gumamnya seraya mengangkat badanku dan menggendongku. Gendongannya bukan seperti menggendong manusia, melainkan seperti menggendong barang dan diletakkan dipundak kanannya. Menyebalkan, bukan?
   Aku memukul-mukul belakangnya tapi, tidak dihiraukannya. Dia terus saja berjalan dengan santainya.
   ”Turunkan aku!” teriakku lemah.
   ”Apakah kamu selalu seperti ini? Apakah kamu lupa kalau kamu tidak kuat berlari?” tanya cowok menyebalkan itu.
   Dia mengajukan banyak pertanyaan kepadaku, tapi aku tidak dapat mendengarkan apa yang dikatakan olehnya. Karena tiba-tiba pandanganku berubah menjadi gelap. Aku pingsan.

Minggu, 12 Februari 2012

My First

One

BRUUUUKKK
   Akh, kenapa begitu sial hari ini?! Sudah ditinggalkan keluarga di pulau orang, gara-gara asma Eyang kambuh, terus kesasar, sekarang malah ketabrak orang! Siiiaaaaalll!
   Aku langsung bangkit dari tanah sambil merapikan topi jeramiku yang sempat jatuh, “So... soori banget. Eh, bule kan nggak ngerti bahasa Indonesia, ai… ai… aim sori,” ucapku gagap. “Akh,dasar payah banget!” gumamku.
   Aku mengulurkan tangan untuk membantu orang yang kutabrak bangun.”Heir, ai bantu, eh, ai help,”
   Tapi, orang yang kutabrak tadi malah menatapku… Aku… Jadi malu… Tapi, tatapannya terasa sinis! Apa mungkin dia marah? Atau hanya perasaanku saja? Semoga hanya perasaanku saja.
   “Arie yu okey?” tanyaku. Akh! Bahasa Inggrisku payah banget! Harusnya aku tidak memakai bahasa Inggris.
   Bukannya mengucapkan terima kasih karena aku mau membantu, orang itu malah bangun tanpa bantuanku dan melenggang pergi begitu saja. Tipe orang yang menyebalkan!
   Aku terdiam dengan mulut ternganga, apa-apaan orang itu? Hah, benar-benar orang yang tidak sopan! Harusnya dia bilang ”terima kasih atas bantuanya nona,”  bukan melenggang pergi begitu saja. Menyebalkan!
   “Dasar bule sok cool lo! Kalo nggak ganteng sudah lama gue sikat pake sikat kawat lo! Dasar manusia yang tidak memenuhi pancasila sila kedua lo!” seruku dengan mengepalkan tangan kananku ke atas.
   Tiba-tiba orang yang kutabrak tadi berbalik. Akh, bagaimana ini?! Aduuh, gawat kalau dia mengerti bahasa Indonesia. Badanku juga tidak mau bekerja sama disaat darurat seperti ini. Akh! Benar-benar sial! Tidak ada jalan keluar selain…
    “Ampun tuan, aim sori master, aim jus, eh, jas kiding,” mohonku seraya membungkuk dan menyatukan telapak tanganku sambil menggosok-gosoknya.
   Tidak terjadi apa-apa..? Orang itu... orang itu tidak menghampiriku. Orang itu cuma mengambil notenya yang jatuh! Aku langsung meluruskan badan dan melongok heran. Ngapain tadi musti membungkuk dan meminta maaf? Akh! Memalukan!
   “Dasar cewek bodoh!" ucap cowok itu santai sambil berjalan tanpa ada rasa bersalah.
  Aku semakin melongok. Hah?! Dia bisa menggunakan bahasa Indonesia? Bahasa non-formal lagi. Eh, tapi apa maksudnya?  Cewek bodoh?! Berani amat! Belum tau dia, siapa aku! Femia Calandra, si cewek penumpas kejahatan! Dan kejahatan menghina orang lain tidak bisa diampuni!
   “Hei! Bukannya terima kasih mau ditolong, ini malah menghina orang!” teriakku. Pasti aku jadi pusat perhatian gara-gara teriak-teriak. Biarlah jadi artis sehari di Negara Orang, hehe.
   Cowok itu berhenti berjalan. “Bukannya yang menghina duluan itu kamu,”
   “Akh! Itu juga gara-gara sikap kamu yang nggak sopan,”sahutku.
   “Siapa juga yang nabrak, kalo nggak pengin cari masalah, harusnya jangan nabrak,” jawab cowok itu enteng dengan wajah datar.
   “Nggak sengaja tau! Aku kan sudah minta maaf!” balasku.
   “Kalo cuma dengan minta maaf semuanya beres, nggak bakalan ada penjahat  di penjara,”
   “It… Akh! Tau ah! Dasar manusia nyebelin! Moga aja nggak ketemu sama kamu lagi!”
   “Semoga,”ucap cowok itu enteng dan pergi begitu saja. Aku memeletkan lidah ke arah cowok itu. Nyebelin!
   “Kenapa semua cowok ganteng pada nyebelin?” gumamku. Entahlah. Aku mengangkat bahu dan langsung meninggalkan TKP (Tempat Kejadian Penabrakan).
***

   “AKU SEKARANG ADA DI MANAAAA?!” teriakku sambil merenggut topi jeramiku. Aku terduduk di kursi umum sambil memutar-mutar peta wisata.
   Padahal rencananya, aku akan berlibur bersama keluargaku di Negara penjajah. Belanda. Tapi, sekarang aku harus liburan sendirian karena Eyang lagi sakit. Tadinya, aku sudah mau pulang tapi tidak dikasih izin sama Eyang karena katanya, asma Eyang bakalan kambuh lagi kalau aku pulang. Alasan yang tidak logis memang, tapi kenapa aku percaya?
   Timur ke arah mana, selatan ke arah mana aja aku tidak tahu. Mau nanya sama orang, nanti malah dikira orang gila gara-gara bahasa Inggrisku kurang fasih (bukan kurang fasih, tapi memang tidak bisa bahasa inggris). Padahal, ke Belanda bukan pertama kalinya bagiku, malah sering. Yah, mungkin karena kelemahan diriku, yaitu buta arah dan selalu lupa dengan arah jalan. Harusnya liburan itu membawa kebahagia, ini malah liburan membawa kemelaratan.
   “Kamu tersesat?” tanya seseorang.
   Ini pasti gara-gara teriakanku yang tadi sempat menjadi pusat perhatian orang-orang, jadinya ada orang yang datang menghampiriku. Aku mengangkat kepalaku. Akh, ganteng banget! Tidak! Sekarang bukan saatnya mengaggumi ketampanan seseorang, sekarang saatnya harus minta bala bantuan dari sekutu. Tapi, cowok ini baik kan? Tidak seperti cowok tadi kan?
   Eh, tapi dia nanya sama siapa? Aku celingak-celinguk memastikan. Cowok itu juga ikut-ikutan celingak-celinguk.  Untuk lebih pasti, aku mengarahkan telunjukku ke arahku dengan memasang mimik wajah bertanya. Cowok itu mengangguk.
   Dengan antusias aku langsung bangkit dari dudukku,“Master, arie yu kenow dis pliece (Mr., are you know this place)?” tanyaku penuh semangat sambil menunjuk-nunjuk tempat yang kutuju di peta.
   Bukannya menjawab, dia malah tertawa,”Hahaha, funny girl,”
   Itu pujian, atau hinaan?
   Wajahku jadi cemberut. “Cowok yang ini, sama yang itu, sama aja, pada nyebelin,” gumamku pelan.
   “Hah? Apa? Sori, kamu lucu banget sih... bahasa inggrisnya. Tidak usah pakai bahasa Inggris sama aku,” terang cowok itu sambil menyapu matanya yang berair gara-gara tertawa,“Aku ini keturunan Indonesia,” tambah cowok itu dengan nada ala bule.
   Lucu apanya bahasa Inggrisku? Payah iya! Penghinaan.
   “Iya, hehe,” kataku malu sambil mengaruk-garuk leher.
    Keturunan Indonesia, ya? Tidak ada sisi yang membuktikan orang ini keturunan Indonesia. Aku memperhatikan cowok itu dari kaki sampai kepala.
   “Oh, ya, tadi katanya mau kemana?” tanya cowok itu.
   “Alamat ini,” jawabku sambil menyerahkan secarik kertas.
   Cowok itu melihat kertas yang kuberikan. Raut mukanya seakan-akan lagi berpikir, mungkin lagi mengingat alamat yang kutuju.
   ”Oh, tempat ini ! Dekat dari sini, kok, mau kuantar?” tawar cowok itu tersenyum ramah.
   Mau! Aku langsung mengangguk mau, tanpa ada perasaan curiga sama orang yang pertama kali aku kenal. Ngapain curiga juga kalau aku akan ditolong.

   Cowok itu berjalan sejajar denganku sambil menunjukkan tempat-tempat yang paling dia sukai atau yang paling banyak orang kunjungi. Belanda memang bersih, tidak seperti kota-kota besar di Indonesia, banyak polusi.
   “Huuuuuuaaaacccchhhiiii,”
   Aku menyapu hidung dengan tanganku.
   “Kamu baru pertama kali ke sini, ya?” tanya cowok itu.
   Aku cuma meringis. Malu kan ketahuan kalau aku buta arah sama orang baru pertama kali dikenal, apalagi orangnya ganteng.
   “Sekarang sudah musim gugur, seharusnya memakai baju yang lebih tebal,”saran cowok itu seraya memasangkan syalnya ke leherku.
   Akh! Ganteng banget cowok ini dari dekat. Aduuuh, wajahku pasti sudah memerah. Bagaimana ini?
   “Makasih,” ucapku sambil memegang wajahku yang terasa panas.
   “Je bent welkom, leuke dame 1,” jawab cowok itu tersenyum lebar.
   Wajahku terasa panas. Aduuh… Bagaimana kalau cowok itu tau aku lagi salting? Tapi, apa sih yang dikatakan cowok tadi? Je… Je… Apa? Apa katanya tadi? Tahu ah!
   “Ini alamatnya, boleh aku mengantar kamu sampai ke tempat tujuan?” tawar cowok itu lagi ketika kami sudah berada di depan komplek.
   Tanpa ba-bi-bu, aku langsung mengangguk. Selain ingin lebih lama lagi bersama cowok itu, aku juga masih membutuh cowok itu untuk mengantarku ke tempat tujuan. Ini namanya dibalik kesengsaraan, ada kesenangan.

1 Sama-sama, Nona yang imut