Laman

Pelangi is Rainbow

Rabu, 02 Mei 2012

My First

Eleven

   ”Ciee, yang sudah baikan!” seru teman-temanku ketika aku menghampiri mereka yang sedang asyik duduk-duduk di kantin.
   Mendengar ucapan mereka membuatku senyam-senyum bahagia. Hmm, jelas aku tidak dapat menyembunyikan wajah bahagiaku.
   ”Sini, sini, duduk, sini!” kata Icha seraya menarik tanganku.
   ”Tadi malam kalian ngapain?” tanya Gebby seraya melipat tangannya bersiap untuk mendengar ceritaku yang tadi malam pergi kencan.
   ”Ngapain? Ih, mau tau aja! Rahasia, dong!” sahutku.
   ”Yee! Kami penasaran tau! Ayo, ayo, ceritakan!” pinta Pika.
   ”Baiklah kalau lo memaksa,” kataku memperpanjang senyumku.
   Teman-temanku langsung mencondongkan badan mereka mendekatiku dan memasang wajah sok manis tapi menurutku sangat mengerikan.
   ”Aah! Wajah kalian terlalu mengerikan! Duduk seperti biasa aja!” seruku.
   Mereka memasang wajah cemberut dan duduk normal.
   Aku menarik napas dan menceritakan apa yang terjadi tadi malam. Malam tadi, Shin-woo mengajakku jalan-jalan, hmm, lebih tepatnya kencan. Mulai dari menjemputku (yah, walaupun sampai sekarang dia tidak pernah membukakan pintu mobil untukku), kemudian dia mengajakku ke restoran, sungguh rasanya aku seperti seorang princess. Tidak di situ saja malam itu berakhir,kami nonton, main game, dan berkeliling mall. Walau pun aku sangat ingin memegang tangannya, tapi entah mengapa keberanianku ciut begitu saja.
    Di akhir kencan kami (Hehe, aku sungguh-sungguh malu mengucapkan kata kencan), Shin-woo mencium keningku dan aku masuk ke dalam rumah. Kurang lebih setengah jam, Shin-woo menelponku dan kami mengakhiri pada jam satu pagi.
   ”Hanya itu?!” seru teman-temanku kompak.
   Aku mengangguk. ”Kenapa? Bukankah seperti di film-film? Romantis, kan?” tanyaku setengah membanggakan diriku.
   ”Itu sudah biasa dalam pacaran, Femi!” kata Gebby.
   ”Sok tau lo! Emang lo pernah pacaran?” tanyaku.
   ”Femi, gue emang nggak pernah pacaran, tapi gue tau banyak tentang pacaran dari gosip yang gue kumpulin,” jawab Gebby.
   ” Iya! Gue kira ada sedikit hal menantang yang lo lakuin, yang berbeda dengan orang pacaran kebanyakan,” tambah Pika.
   ”Hmmm… gue juga seperti lo Femi waktu pacaran, maaf ya,” kata Icha lembut.
   Aku menarik napasku. ”Setidaknya gue merasakan rasanya pacaran yang normal,”
   ”Tapi, kami rasa itu sudah merupakan kemajuan dari hubungan kalian,” kata Pika.
   ”Benarkah?!” seruku dengan tersenyum lebar.
   Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Aku langsung mengmbil handphone yang ada di kantung celanaku. Shin-woo! Aih, senangnya!
   ”Halo!” sapaku ceria.
   ”Sibuk? Bisa ke sini sebentar?” tanya Shin-woo to the point.
   ”Kelas belum dimulai, nanti saja kalau sudah selesai. Bagaimana?” tanyaku.
   ”Baiklah,” ucap Shin-woo seraya menutup telponnya.
   ”Ada apa?” tanya Icha mewakili pertanyaan teman-temanku.
   ”Nggak tau, Shin-woo minta gue datang ke tempatnya,” jawabku.
   ”O, ya? Waah, Femi! Bukankah ini suatu kemajuan?” seru Pika.
   ”Hah?”
   ”Iya! Shin-woo ingin bertemu lo buat apa?” tanya Pika.
   ”Buat apa? Nggak tau, tuh!” jawabku.
   Pika menjitak kepalaku. ”Femi, lo punya otak, nggak sih?”
   Aku mengelus-elus kepalaku yang kena jitak oleh Pika. ”Apa sih!”
   ”Femi, kalau seseorang ingin bertemu dengan seseorang, biasanya untuk apa?” tanya Pika.
   ”Hmmm… bisnis? Atau ada urusan,”
   ”Shhh, maksud gue, orang yang saling mencintai!” desis Pika.
   ”Kangen?”
   ”Nah, itu! Shin-woo kangen sama lo!” seru Pika seraya menepuk tangannya.
   ”Dari mana lo tau?” tanyaku.
   ”Femiiii! Lo itu lemoooot banget! Tadi Shin-woo nelpon lo kan? Ngajak ketemu, kan? Nah, jelas sudah kalau Shin-woo kangen sama lo!” seru Pika dengan wajah memerah.
   ”Benarkah?”
   ”Iya! Jelas sudah! Shin-woo kanget banget sama lo dan nggak bisa menahan perasaannya sehingga menelponmu untuk bertemu,” kata Pika penuh keyakinan.
   Aku melihat jam tanganku, sudah waktunya masuk kelas. ”Sudah, ya, gue mau masuk dulu, bye!” pamitku seraya berlari menuju kelas.
   Dua jam terasa dua abad! Oh, Tuhan lama sekali! Aku sudah tidak sabar untuk bertemu Shin-woo. Aku melihat jam tanganku entah yang keberepa kalinya.
   ”Kenapa, Fem?” tanya Tiyo yang dari tadi memperhatikanku yang gerasah-gerusuh.
   ”Mau tau aja!” jawabku.
   ”Kebelet, Fem? Biar gue panggilin Pak Setyo biar lo diijinin keluar,” kata Tiyo.
   ”Gue nggak lagi kebelet tau! Masih lama nggak?” tanyaku.
   ”Nggak tau,” jawab Tiyo. ”Pak!”
   ”Iya, Yo, ada apa?” tanya Pak Setyo.
   ”Masih lama pelajarannya? Kasihan Femi, Pak, dia dari tadi melirik jam tangan terus. Dia kebelet, Pak,”ujar Tiyo seenaknya.
   Aku langsung menoleh ke arah Tiyo. Apa? Hah, manusia satu ini?! Harusnya aku tadi tidak duduk di sampingnya. Aku memperhatikan sekelilingku, semua cengengesan sambil melihatku.
   Pak Setyo memperhatikanku sejenak kemudian melihat jam tangan dan jam dinding.
  ”Yah, mungkin cukup sekian pertemuan kita hari ini. Selamat siang.” ucap Pak Setyo seraya meloyor pergi.
   ”Aku nggak lagi kebelet pak!” seruku. ”Tiyo!” seruku seraya menjitak kepala anak itu.
   Tiyo mengelus-elus kepalanya kemudian merangkulku. ”Terima kasih sudah menyelamatkan kami dari dunia kebosanan yang menggerogoti diri gur. Lapaaar!” kata Tiyo seraya berlari ke arah gerombolan anak laki-laki.
   Awas saja kau Tiyo! Nanti malam aku santet biar gagu selama satu bulan! Lihat saja! Hmm,hmm, tidak jadi, aku ralat! Aku orang baik, aku tidak mungkin melakukan itu. Aku memaafkanmu Tiyo, bersyukurlah kamu moodku hari ini sangat baik.
   Handphoneku berbunyi. Shin-woo calling.
   ”Halo,”
   ”Sudah selesai?”
   ”Iya,”
   ”Apa perlu aku jemput?”
   ”Tidak perlu, aku akan naik taksi saja,” jawabku.
   ”Aku tunggu, cepatlah,” kata Shin-woo.
   ”Iya,” sahutku seraya menutup telpon.

   TING, TONG!
   Aku memencet bel rumah Shin-woo. Jantungku berdetak kencang, tidak biasanya seperti ini. apa gara-gara ucapan Pika tadi? Iya! Jelas sudah! Shin-woo terlalu rindu dan tidak dapat menahan perasaannya sehingga menelponmu untuk bertemu. Aku mengibas-ngibas wajahku yang terasa panas. Tenanglah Femi, tenanglah.
   Shin-woo membuka pintu, aku masuk ke dalam apartementnya seraya menutup pintu. Aku langsung duduk di sofa Shin-woo. Aku memperhatikan apartement Shin-woo, berantakan sekali, tidak seperti biasanya.
   ”Kenapa?” tanya Shin-woo seraya memberikan orange juice.
   Aku langsung meneguk habis jus yang diberikan Shin-woo. ”Haus!”
   Shin-woo hanya tertawa kecil melihatku seraya mengacak-acak rambutku.
   ”Tadi Ryo ke sini?” tanyaku sambil memperhatikan gitar Ryo.
   ”Iya tau dari mana?” tanya Shin-woo.
   ”Gitarnya dan apartementmu yang selalu berantakan setiap kali dia datang,” sahutku.
   ”Ya, kakakmu itu manusia yang sangat merepotkan. Hmm, maaf kalau tersinggung,” kata Shin-woo.
   ”Tidak, aku tidak tersinggung, memang itu kenyataannya.” sahutku. ”O, ya, ada apa memanggilku?”
   Jantungku sangat berdebar-debar menunggu jawabannya. Apa mungkin dia akan menjawab: Aku sangat rindu. Sangat. Aku ke sini memanggilmu untuk menemaniku, hanya kamu dan aku. Aih! Senangnya.
   ”Femi, kamu mendengarkan aku tidak?” tanya Shin-woo.
   ”Ah, apa?” tanyaku balik.
   ”Hah, kamu ini dasar!” keluh Shin-woo. ”Aku ulang. Aku memanggilmu untuk membantuku membersihkan apartement ini. Kamu sendiri tau, ini semua gara-gara siapa.” jelas Shin-woo.
   Apa? Jadi dia menyuruhku ke sini hanya untuk membersihkan apartementnya? Bukan karena kangen? Menyebalkan!
   ”Kenapa kamu mau? Harusnya kamu menendangnya keluar,”  sahutku.
   ”Sudah kulakukan, tapi dia mengetahui kelemahanku. Bantu aku.” ucap Shin-woo seraya menyerahkan sapu.
   ”Apa? Tidak bisa begitu! Seenaknya!” protesku. ”Aku tidak mau! Sampai mati aku tidak mau!”
   Shin-woo membalikkan badannya.
   ”Aku mohon, bantu aku, ya?” pinta Shin-woo dengan wajah memelas yang membuatku luluh.
   Aku terlalu lemah melihat wajahnya yang sangar manis ketika memelas. Aku mengangguk.
   ”Bagus! Kamu membersihkan bagian dalam, aku membersihkan bagian luar.” kata Shin-woo lantang seperti seorang kapten.
   ”Apa?”
   ”Bukannya tadi mau bantu aku? Kamu tidak mau? Haah,” ucap Shin-woo dengan memasang wajah sedih.
   ”Ah, bu… bukan begitu… aku mau, sudah, jangan memasang wajah seperti itu. Hah, aku tidak tega.” pintaku.
   Kenapa aku lemah dengan wajahnya yang memelas seperti itu? Akh! Shin-woo terlalu imut saat memasang wajah memelas, membuat hatiku luluh. Apa shin-woo akan seperti aku kalau aku memasang wajah memelas?
   ”Ayo, cepat kerjakan! Aku akan membersihkan jendela,” ucap Shin-woo.
   Akhirnya, aku datang ke rumah Shin-woo hanya untuk membantunya membersihkan apartement, harusnya aku sudah mengira ini akan terjadi. Shin-woo manusia yang sangat kecil untuk melakukan hal-hal romantis.
   Sekarang sudah jam empat sore, berarti sudah dua jam berlalu. Ini menandakan aku harus pulang. Sebenarnya aku lelah, tapi ketika melihat Shin-woo, entah kenapa perasaan itu lenyap.
   Aku memperhatikan Shin-woo yang sedang menuangkan jus jeruk ke cangkir. Tampan sekali. Dia selalu terlihat tampan walau tidak dengan ekspresi. Hah, aku sadar, sangat sadar kalau aku sangat beruntung karena memiliki Shin-woo.
   ”Ada apa?” tanya Shin-woo seraya meletakkan cangkir berisi jus jeruk di atas meja.
   ”Ha? Tidak ada,” jawabku.
   ”Kamu memperhatikanku?” tanya Shin-woo dengan nada setengah menggoda.
   ”Apa? Mana mungkin!” jawabku mengelak.
   ”Hahaha, tidak perlu menyangkal! Aku tau apa yang kamu pikirkan. Aku tampan, ya kan?” ucap Shin-woo.
   ”Hah?! Dasar manusia sok ganteng! Hmm, tapi emang ganteng sih,” ucapku kemudian bergumam sendiri.
   Shin-woo terus mentertawakan aku yang salah tingkah. Daripada aku malu sendiri, lebih baik aku pulang. Ya, itu jalan satu-satunya untuk kabur dari godaan Shin-woo yang menggerogoti salah tingkahku.
   Aku mengambil tasku yang ada di rung tamu Shin-woo kemudian berjalan menuju pintu. Tapi, tanganku ditahan oleh Shin-woo.
   ”Mau kemana?” tanya Shin-woo.
   ”Pulang!” jawabku.
   ”Ikut aku,” ucap Shin-woo seraya menarik tanganku.
   ”Kemana?” tanyaku.
   Shin-woo tidak menjawab pertanyaanku dan terus menarik tanganku keluar dari apartementnya. Aku tidak tahu dia akan membawaku kemana, tapi aku terus mengikuti Shin-woo dan akhirnya kami berhenti di belakang apartementnya.
   ”Aku sudah lama ingin membawamu ke sini,” ujar Shin-woo.
   ”Kenapa?” tanyaku.
   ”Lihatlah. Bukankah tempat ini bagus? Tidak ada yang menyadarinya. Di sini, kita dapat melihat kota. Aku sering ke sini kalau sedang suntuk,” jawab Shin-woo.
   Aku melihat sekelilingku, kemudian tersenyum lebar. Benar! Benar kata Shin-woo, di sini sangat nyaman, kita dapat melihat kota dan sungai. Di tambah aroma rumput dan ilalang yang membuat perasaan damai.
   Apa ini?! Geli banget!
   ”Huuuuuaaaachiii…”
   Aku langsung mengambil benda asing yang membuat wajahku geli dan bersin. Aku menoleh ke arah Shin-woo yang tertawa gelak. Apanya yang lucu? Menyebalkan! Aku melihat benda yang ada di tangan Shin-woo. Oh, jadi itu yang membuat aku kegelian? Ilalang!
   Aku mengambil ilalang yang ada di sampingku. ”Shin-woo! Awas, ya!” seruku seraya berlari mengejar Shin-woo yang sudah berlari lebih dulu.
   Kami terus berlari sampai kami berdua mengobarkan bendara putih, tanda menyerah. Kami duduk di atas tanah karena kelelahan sambil tertawa.
   ”Tunggu sebentar.” ujar Shin-woo seraya berdiri mengmbil tasnya.
   ”Taraaa!”seru Shin-woo mengeluarkan kameranya.
   Aku tersenyum heran. ”Buat apa?”
   ”Ini kamera, fungsinya untuk apa?” tanya Shin-woo.
   ”Memotret,” jawabku seperti orang dungu.
   ”Nah! Jangan tanya lagi,” sahut Shin-woo.
   ”Maksud aku, buat memotret apa?”
   JPREET
   ”Itu misalnya. Hehe,” jawab Shin-woo sambil cengengesan.
   ”Shin-wooo! Itu tidak boleh, aku belum berpose manis! Kalau seperti ini, baru boleh,” kataku sambil berpose manis.
   Shin-woo melihatku dengan tatapan aneh. ”Itu pose paling mengerikan yang pernah aku lihat,”
   ”Apa?”
   ”Kemari!” ujar Shin-woo seraya menarikku.
   Deg!
   Oh, Tuhan! Wajah Shin-woo sangat dekat dengan wajahku. Aku menelan ludahku beberapa kali. Aku melihat wajah Shin-woo lewat ujung mataku. Aku menarik napasku, huh! Udara di sini jadi terasa panas.
   ”Bersiap sekali lagi, ya,” ucap Shin-woo.

   Setelah mengambil beberapa foto, akhirnya jantungku kembali dalam keadaan normal, yah, tidak sepenuhnya normal. Jantungku tidak akan pernah normal selama bersama Shin-woo. dia selalu membuatku merasa gugup, membuat wajahku terasa panas, dan tidak dapat bersikap normal.
   ”Femi…”
   ”Ya?”
   ”Apakah kamu sangat menyukaiku?” tanya Shin-woo.
   Aku terdiam. Apa yang sedang Shin-woo pikirkan? Bukankah dia sudah tahu kalau aku sangat menyukainya bahkan aku sangat mencintainya.
   ”Apakah perlu aku jawab?” tanyaku.
   Shin-woo meraih kedua tanganku kemudian memelukku. Ada apa ini? Kenapa dia tiba-tiba memelukku? A-Apa mungkin Shin-woo punya penyakit mematikan dan ini adalah kebersamaan kami yang terakhir kalinya, setelah itu Shin-woo menghilang karena tidak mau melihatku menangisi kepergiannya.
   Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Aku harus mencegah Shin-woo melakukan itu. Apa pun yang terjadi, aku pasti akan selalu bersamanya. Sedih, senang, akan aku lalui bersama.
   ”Aku merasa sangat nyaman berada di sisimu. Kamu mampu membuatku tersenyum. Tapi…”
   ”Shin-woo! Apa pun yang terjadi aku akan selalu bersamamu, aku akan selalu membuatmu tersenyum,” potongku.
   ”Terima kasih,” ucap Shin-woo kemudian menarik napasnya. ”Aku selalu merasa kamu terlalu baik untukku, dan aku berpikir sebaiknya…”
   Aku langsung memeluk Shin-woo tanpa membiarkannya melanjutkan ucapannya.
”Shin-woo, apa pun yang kamu pikirkan, seberapa singkat waktumu bersamaku aku akan tetap bersamamu, kumohon jangan menghilang,” ucapku dengan mempererat pelukanku.
   Shin-woo melepaskan pelukannya dan menatapku dengan aneh. ”Hah?”
   Aku kembali memeluk Shin-woo. ”Aku tau kamu akan meninggalkanku karena penyakit yang kamu derita,”
   Shin-woo melepaskan pelukkanku. ”Penyakit?”
   Aku kembali memeluk Shin-woo. ”Iya, itu kan yang akan kamu ucapkan?”
   Shin-woo tertawa terbahak-bahak dan mengacak-acak rambutku.
   ”Femi, Femi,  apa yang kamu pikirkan? Aku tidak menderita penyakit,” tawa Shin-woo.
   ”Lalu? Kenapa kamu mengajakku ke sini?” tanyaku.
   ”Sudah kubilang kan, aku suka tempat ini.” jawab Shin-woo. ”Kamu terlalu sering menonton drama!”
   Aku hanya bisa menunduk malu sambil menggaruk-garuk kepalaku. Hah! Femi, harusnya kamu berpikir, tidak mungkin orang seperti Shin-woo yang mempunyai badan kekar dan sehat menderita penyakit. Aku terlalu mendramatisir keadaan.
   ”Kenapa? Malu?” goda Shin-woo.
   Aku melihat Shin-woo dengan wajah cemberut. Dasar manusia menyebalkan!
   ”Aaah, tingkahmu membuatku melupakan tujuanku,” keluh Shin-woo seraya duduk di atas rerumputan sambil menatap sungai di depan kami.
   ”Ha? Apa? Apa tujuanmu?” tanyaku penasaran seraya duduk di samping Shin-woo.
   Shin-woo menatapku dengan tatapan mencurigakan. Aku langsung menyilangkan kedua tanganku di dada.
   ”Dasar cowok mesum! Maniak!” seruku.
   ”Ha? Maksudmu?! Hah, apa yang bisa kulihat darimu? Cantik juga nggak,” seru Shin-woo kesal.
   ”Memang benar! Apa kamu tidak ingat ketika kita berada di Belanda, kamu masuk kamarku tanpa mengetuk pintu padahal aku baru selesai mandi!” balasku.
   ”Hey, wak…”
   ”Apa kamu juga tidak ingat waktu di rumahku, aku juga baru selesai mandi dan kamu berada di kamarku, hah, waktu itu kamu malah duduk bersila dan bersiap untuk melihatku ganti baju,” ucapku tanpa membiarkan Shin-woo membela dirinya.
   Tiba-tiba Shin-woo mendekap mulutku dan menatapku lekat-lekat kemudian memelukku dengan erat. Sangat erat. Jantungku berdebar-debar, tapi pikiranku bertanya-tanya, kenapa hari ini Shin-woo agak aneh?
   Shin-woo melepaskan pelukkannya dan melihatku lekat-lekat kemudian mengelus rambutku. ”Kamu sangat manis,”
   Aku pasti salah dengar. Itu kan, dia agak aneh hari ini.  ”Apa?”
   Shin-woo memegang kedua tanganku. ”Apakah ini terlalu cepat? Siapkah kamu saat aku mengucapkan will you marry me? Hah, aku sudah mencoba mempratikannya, berulang-ulang kali aku lakukan. Aku kira mudah untuk mengucapkannya. Ternyata… itu tidak mudah,”
   Apa maksudnya ini? Jantungku juga tidak mau kompromi. Somebody, help me! Aku tidak bisa bernapaaas! Wajahku panas, air, air, aku butuh air sekarang!
   ”Shin… Shin-woo, apa maksudmu? Jangan membuatku berpikiran lain,” pintaku.
   ”Femi…”
   ”Ya?!”
   ”Apa yang kamu pikirkan sekarang?” tanya Shin-woo.
   Apa yang kupikirkan sekarang? Aku tidak dapat berpikir gara-gara ucapanmu!
   ”A-aku tidak tahu,”
   ”Kamu tahu… Aku sudah memikirkan ini beribu-ribu kali dan… akhirnya aku memutuskan ini… Ini adalah pilihanku,” ucap Shin-woo seraya meletakkan cincin di atas telapak tanganku.
   ”A-apa maksudnya dengan ini?” tanyaku gagap.
   Shin-woo menatapku dengan penuh keyakinan. ”Femi… menikahlah denganku,”
   ”Hah?! Kamu sakit Shin-woo?” tanyaku seraya meletakkan tanganku ke dahi Shin-woo. ”Badanmu tidak panas,”
   ”Aku tidak sakit. Aku serius… menikahlah denganku,” jawab Shin-woo dengan tersenyum.
   ”Tidak, aku pasti bermimpi,” kataku seraya menampar wajahku sendiri. ”Ini nyata!” gumamku.
   Shin-woo meraih tanganku kemudian mengambil cincin yang dari tadi dalam genggamanku. Dia melihatku dengan tersenyum lebar, kemudian memasukkan cincin itu ke jari manisku.
   ”Ini bukan mimpi, ini juga bukan khayalan. Femi, aku benar-benar serius untuk hubungan kita. Menikahlah denganku,” ucap Shin-woo.
   ”Apakah ini tidak terlalu cepat?” tanyaku.
   Shin-woo menggeleng-gelengkan kepalanya. ”Tidak. Apakah kamu belum siap?” tanya Shin-woo.
   Oh Tuhan! Aku bakalan menjadi istri Shin-woo! Ini artinya, namaku akan bertambah menjadi Femi Calandra Park atau Park Femi Calandra. Eh, kok, agak aneh ya? Ah, masa bodo! Yang penting intinya AKU ISTRI SHIN-WOO. Haha, berarti sekarang aku harus memanggil Om Park, ayah, dan tante Jasmine, Mama.
   Huh, jantungku jadi berdebar-debar, padahal aku hanya memikirkannya saja, apalagi kalau ini benar-benar terjadi. Shin-woo mulai sekarang harus memanggilku apa, ya? Mama? Sayang? Astaga! Ini benar-benar membuatku terbang ke langit ketujh.
   ”Femi, kamu mendengarkanku?” tanya Shin-woo sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahku.
   ”Hah? Apa?” tanyaku kaget.
   ”Haah, anak ini, aku bertanya, kalau kamu tidak siap, kita tidak akan menikah bulan ini,” jawab Shin-woo.
   ”Hah? Bulan ini?!” kataku setengah berseru kaget.
   ”Kenapa? Aku ingin menikah secepatnya,” jawab Shin-woo dengan tersenyum lebar.
   ”Secepatnya?” tanyaku seperti orang dungu.
   ”Iya,” jawab Shin-woo dengan tersenyum lebar sambil mengacak-acak rambutku.
   Aku memegang dadaku dengan kedua tanganku, mungkin saja dengan ini aku bisa mengurangi detak jantungku yang terlalu cepat dan dapat berpikir dengan jelas.
   ”Kalau kamu tidak mau, tidak apa-apa,” ucap Shin-woo.
   Aku menarik ujung baju Shin-woo, Shin-woo menoleh ke arahku dengan tersenyum. Sekarang, dia lebih banyak tersenyum, yah sejak kami bertengkar dulu, sikapnya mulai mencair dan banyak tersenyum.
   ”Ada apa?” tanya Shin-woo.
   Aku mengangguk. Sejenak, Shin-woo menatap aneh diriku.
   ”Kamu setuju?” tanya Shin-woo.
    Aku mengangguk.
   Tiba-tiba Shin-woo memelukku dengan erat dan hampir saja membuatku jantungan.
   ”Terima kasih… terima kasih Femi,” ucap Shin-woo.
   Aku menepuk-nepuk punggung Shin-woo. ”Untuk apa berterima kasih?”
   ”Aku bahagia sekali! Aku sangat bahagia! Aku tidak pernah merasakan sebahagia ini,” ucap Shin-woo.
   Shin-woo melepaskan pelukannya dan menatapku lekat-lekat yang pastinya membuatku salah tingkah. Shin-woo mendekatkan wajahnya ke wajahku. A-apa yang akan dia lakukan? Apa mungkin dia akan… tidak boleh! Aku langsung menyilangkan kedua tanganku di depan bibirku.
   ”Tidak boleh!” seruku.
   ”Hah?”
   ”Kalau sudah resmi… baru boleh,” ucapku seraya memalingkan wajahku.
   Aduuh, kenapa setelah mengucapkan kata-kata wajahku terasa panas? Udara memang tidak pernah bersahabat denganku. Apa aku membuang kesempatan berharga? Femi! Apa yang kamu pikirkan? Kamu sudah benar! Tidak boleh kissa-kissu sebelum menikah. Ingat itu! Auh, tapi itu kesempatan langka! Aaakkkhhh! Apa yang sedang merasukiku sekarang? Hush, hush, sana iblis!
   Melihat sikapku yang gerasah-gerusuh, Shin-woo tertawa terbahak-bahak. Dia memang suka melihat aku menderita. Haah, tapi aku senang bisa melihatnya tertawa, tersenyum, itu membuat hatiku tenang.
   Shin-woo menyadarkan kepalanya ke bahuku. Aku menoleh kaget ke arah Shin-woo. Baru kali ini dia menyadarkan kepalanya ke bahuku. Aku senang, aku merasa bermanfaat.
***

   ”Femi!” seru Mama.
   ”Ada apa, Ma?” sahutku dengan berseru juga.
   ”Sudah siap belum?” tanya Mama.
   Aku berlari menuruni tangga menghampiri Mama yang duduk di teras dengan Shin-woo.
   ”Sudah!” jawabku.
   ”Kamu ini bagaimana, Shin-woo sudah lama menuggumu,” celoteh ria Mama.
   ”Tante Levana yang salah, datang ke Indonesia nggak ngasih kabar,” ucapku membela diri.
   Ya, Tante Levana datang ke Indonesia, karena sekarang di Belanda libur karena salju turun lebat (seperti hujan saja).  Dan seperti biasa, tante Levana tidak pernah memberitahu lebih dulu kalau dia akan datang ke Indonesia, tapi kali ini berbeda, aku akan menjemput tante Levan bersama dengan Shin-woo, bukan dengan Ryo lagi.
   ”Tuh, orang lain kan yang disalahin,” ucap mama.
   ”Emang benar, kok,” sahutku.
   ”Sudah pergi sana,” kata Mama seakan-akan mengusirku.
   ”Iya,” kataku seraya menyalami tangan mama.
   ”Kami pamit dulu, tante,” ucap Shin-woo sambil menyalami tangan Mama.
   ”Iya, hati-hati, ya,” kata Mama sambil melambai-lambaikan tangannya.
   Aku membalas lambaian tangan mama sampai masuk ke dalam mobil. Shin-woo menghidupkan mobil dan menjalankannya. Sekilas, aku melirik Shin-woo yang fokus pada jalanan.
   ”Femi.”
   ”Ya?” jawabku langsung.
   ”Dua hari lagi orang tuaku datang,” kata Shin-woo.
   ”Oh, ya? Ada urusan bisnis, ya?” tanyaku.
   ”Tidak,” jawab Shin-woo.
   ”Lalu?” tanyaku.
   ”Buat meresmikan pernikahan kita dan menentukan tanggal pernikahan kita,” jawab Shin-woo.
   ”Ha?!” seruku kaget.
    Ayah mer… hmm, maksudku Om dan Tante akan datang ke Indonesia untuk meresmikan hubunganku dengan Shin-woo! Oh, Tuhan! Ternyata ini benar-benar bukan mimpi! Aku akan menjadi istri Shin-woo! menyenangkan sekali mengetahu ini.
    ”Kenapa? Tidak suka?” tanya Shin-woo.
    ”Tidak! Aku senang!” jawabku dengan berseru.
   Shin-woo tersenyum melihatku yang gerasah-gerusuh bahagia. Aku tidak bisa menutupi perasaan bahagiaku, biarkan saja Shin-woo melihat betapa bahagianya aku.
   Begitu bahagianya aku sampai-sampai aku tidak mengetahui kalau kami sudah sampai di bandara. Aku keluar dari mobil dan mengikuti Shin-woo dari belakang, jalan Shin-woo terlalu cepat. Hah, dia itu, apa tidak ingat kalau aku tidak bisa berjalan cepat (karena kakiku pendek)? Mentang-mentang punya kaki panjang.
   BUUUKK
   Aku menbrak punggung Shin-woo. kenapa berhenti? Aku menoleh ke samping karena terlindung punggung Shin-woo. ah, Tante Levana!
   ”Tante!” seruku.
   ”Femi!”
   Tante Levana membuka tangannya siap memelukku, gawat! Aku harus cepat menghidar sebelum… terlambat! Gerakkanku kurang gesit, tante Levana sudah keburu memelukku.
   ”Tanteee kangeen!” ujar tante Levana seraya mempererat pelukkanku.
   ”Tanth… Mhi… Ghak… Sha… Phas!” ucapku sambil menepuk-nepuk pundak tante Levana.
   ”Femi!” kata tante Levana seraya melepaskan pelukkannya.
   Aku menepuk-nepuk dadaku sambil menarik napas dalam-dalam. ”Ohok… ohok… ohok..”
   ”Dadamu tambah besar, ya!” bisik tante Levana.
   Aku tersentak mendengar ucapan tante Levana dan langsung menyilangkan kedua tangan di dadaku. Haah, kenapa aku punya tente yang rada-rada… m-e-s-u-m.
   ”Tante!” seruku.
   ”Ah, iya!” ujar tante Levana seraya menepukkan tangannya yang digempalkan ke telapak tangannya.
   Tante Levana merangkulku. ”Tante dengar, dalam minggu ini kamu akan menetapkan tangaal pernikahanmu?” bisik tante Levana.
   Senyumku mengembang. ”Iya.”
   ”Benarkah?!” pekik tante Levana.
   ”Tante! Stttt….” ujarku seraya meletakkan telunjuk di depan mulutku.
   Tante Levana meletakkan keduannya di dadanya. ”Haaah, kenapa tante yang gugup?”
   ”Moeder, ik heb gekocht melk1.” ucap seseorang yang suaranya tidak asing di telingaku.
   Aku menoleh ke arah sumber suara, sudah kuduga! Bocah tengik yang langsung memeletkan lidahnya. Kenapa tante Levana membawa bocoh satu ini? Harusnya tante Levana mengikatnya kemudian dimasukkan ke dalam kandang bulldog. Kedengarannya sangat mengerikan.
   ”Alles is compleet? Laten we naar huis gaan2.” kata Om Edward.

    Dua hari sudah berlalu. Hari ini, ayah me… hmm, salah lagi. Om Park dan tante Jasmine akan datang ke rumahku, mereka sudah datang kemarin. Mulanya, aku mau menemui mereka untuk menyambut kedatangan mereka. Tapi, Shin-woo tidak mengizinkan, dia bilang biar besok saja, lagipula mereka harus istirahat.
   Hatiku tidak karuan sekarang. Jantungku berdebar kencang, pikiranku tidak bisa fokus dan terus memikirkan apa yang akan terjadi hari ini. Apakah mungkin aku akan melakukan kecerobohan seperti waktu pertunangan? Atau mungkin aku nanti hanya bisa mematung menghadapi om dan tante? Aku guggup!
   BIIIPPPP
   Handphoneku bergetar tanda pesan masuk, apa mungkin Shin-woo? aku langsung menghampiri handphoneku. Kevin? Tumben mengirim pesan. Sudah lama tidak bertemu Kevin sejak hari itu. Apa dia baik-baik saja?
   Aku membuka pesan Kevin: Sedang sibuk? Bisa bertemu sebentar?
   Bertemu? Apa tidak apa-apa bertemu dengan Kevin? Aku menarik napasku. Aku ingin bertemu dengan Kevin, aku ingin mengucapkan terima kasih karena sudah membantuku.
   Tok… Tok… Tok…
   ”Femi?” sapa tante Levana.
   ”Tante!” sapaku balik.
   ”Boleh masuk?” tanya tante Levana.
   ”Masuk saja, sok formal,” kataku kemudian tertawa.
   Tante Levana menghampiriku dan duduk di sampingku.
   ”Femi, apa kamu gugup?” tanya Tante Levana.
   ”Tentu saja! Apa tante seperti ini juga sebelum menikah?” tanyaku balik.
   ”Jelaslah! Tapi, tante berbeda denganmu,” kata tante Levana.

1 Ma, aku sudah membeli susunya
2 Aapakah semuanya sudah komplit? Ayo pulang.
    ”Berbeda? Berbeda apanya?” tanyaku penasaran.
   ”Sebelum mertua tante datang, tante ke salon dan ke butik untuk mempercantik diri. Biar terkesan lebih cantik.” kata Levana.
   ”Oh ya? Haah, tapi aku tidak punya uang,” keluhku.
   ”Maka dari itu tante kemari. Ini, pakailah,” kata tante Levana seraya memberikan kartu kredit.
   ”Benarkah?!” seruku bahagia seraya memeluk tante Levana.
   ”Yaaa, cepat pergi, tapi ingat datang sebelum enam sore,” ingat Tante Levana.
   Aku mengambil tasku dan berlari keluar kamar. ”Baiklah. Bedankt, tante!”
   ”Mau ke mana?” tanya Ryo ketika aku melewati ruang tamu.
   ”Ke salaon,” jawabku.
   ”Hah, lo itu tetap jelek biar pake maku up,” ledek Ryo.
   ”Biarin!” sahutku seraya berlari keluar rumah.
   Ah, iya! Aku mengambil handphone dari dalam tasku. Ke salon sekalian bertemu Kevin, dia kan sering bawa mobil, bisa nebeng dong! Haha,
   ”Aku menunggumu di taman dekat rumahku. Kirim, selesai!” ucapku sambil memencet tombol handphone.
    Aku duduk bangku taman. Apa tidak apa-apa bertemu dengan Kevin? Kenapa hatiku tidak enak dengan Shin-woo? Ah, tidak apa-apa! Aku dan Kevin tidak mempunyai hubungan apa-apa, aku juga tidak ingin selingkuh. Aku tidak ingin, memikirkannya pun aku tidak ingin.
   ”Hey!”
   Kevin sudah datang. Ada yang berbeda, oh, rambutnya! Kevin memotong rambutnya, terlihat sangat cocok dengannya. Seperti biasa, Kevin dan senyumnya yang selalu terpikat, yah, mungkin itulah kelebihan Kevin.
   ”Cepat sekali,” kataku.
   ”Aku tadi mampir ke rumah temanku dekat sini,” jelas Kevin.
   Aku mengangguk-angguk tanda paham. ”Mau menemaniku hari ini?”
   ”Ke mana?” tanya Kevin.
   ”Ke salon,” jawabku.
   ”Baiklah, aku tau salon yang menurutku bagus,” kata Kevin.
   Seharian Kevin menemaniku ke salon dan membeli baju. Kevin memiliki selera yang bagus, dia mengetahui banyak hal mengenai fashion, mengajak Kevin untuk belanja ternyata tidak salah. Kevin mengenal baik dengan pemilik butik yang kami kunjungi, hmm, dan aku mendapat beberapa diskon. Menyenangkan.
   Oh, ya, aku belum bilang kalau hari ini Shin-woo dan aku akan menetapkan hari pernikahan kami. Sebaiknya aku mengatakannya sekarang. Mungkin saja Kevin mengetahui tanggal yang baik untuk menikah, dia kan sangat bisa diandalkan.
   ”Bagaimana kalau kita ke kaffé?” tanya Kevin seraya menghentikan mobilnya di sebuah kaffé.
   Aku mengangguk.
   Kevin keluar dari mobil dan berlari kecil ke arah pintu mobilku, kemudian dia membukakan pintu mobil untukku. Wah! Kevin selalu melakukan hal ini ketika aku menumpang mobilnya, sangat berbeda dengan Shin-woo. Tapi, tidak apa, Shin-woo sudah mulai berubah saja aku senang.
   ”Terima kasih!” ucapku ceria.
   Kevin tersenyum. ”Be rien3.
   Aku berjalan menuju pintu kaffé. Sekali lagi Kevin melakukan hal yang tidak pernah Shin-woo lakukan untukku. Mendorongkan pintu kaffé. Aku tersenyum tanda terima kasih kepada Kevin.
   kevin menarikkan kursi untukku duduk. Kevin sangat sopan kepada wanita. Ini yang membuatku kagum padanya.
   Seorang pelayan menghampirir kami.
   ”Mau pesan apa?” tanya pelayan itu sopan seraya menyerahkan buku menu.
   ”Kamu pesan apa, Fem?” tanya Kevin.
   ”Es k… nggak jadi, apa ya?”
   ”Siang-siang begini enaknya pesan es kelapa. Bagaimana?” tanya Kevin.
   ”Ah, ya, betul!” sahutku.
   ”Es kelapanya dua, ya.” kata Kevin ramah pada pelayan.
   Dia mengagumkan sekali, pelayan tadi pasti sangat merasa beruntung melayani Kevin.
   ”Makanannya?” tanya pelayan tadi.
   ”Kamu mau apa?” tanya Kevin.
   ”Aku tidak lapar,” jawabku.
   ”Itu saja, mbak,” kata Kevin seraya menyerahkan buku menu dengan tersenyum khasnya.
   Manusia satu ini sangat berbeda dengan Shin-woo. Kalau makan bersamanya di luar, dia tidak pernah menanyakan aku mau makan apa, dia juga tidak pernah ramah dengan pelayan. Tapi, sebenarnya Shin-woo itu baik, dia selalu memberi uang berlebih untuk pelayan.
   Sebenarnya, dulu Shin-woo tidak pernah kasar seperti itu kepada orang lain, dia selalu menolong orang kalau ada yang kesusahan. Entah apa yang membuatnya berubah.
   ”Hey, kenapa melamun?” tanya Kevin mebuyarkanku.
   ”Mau tau ajau. Oh, ya, kenapa mengirim pesan? Ada yang ingin kamu bicarakan?” tanyaku.

3 Sama-sama
   Kevin mengangguk. ”Hmmm,”
   ”Aku juga! Aku punya berita baik!” seruku.
   ”ini pesanannya,” pelyan tadi meletakkan es kelapa yang kami pesan di meja.
   ”Terima kasih,” ucapku dan Kevin bersamaan.
   ”Oh, ya, apa yang ingin kamu katakan?” tanyaku.
   ”Habiskan dulu minumannya.” kata Kevin tanpa menjawab pertanyaanku.
   Aku mengangguk. Aku menuruti kata-kata Kevin, aaah, segar sekali! Minum es kelapa di siang hari membuat energiku yang terkuras kembali lagi.
   Setelah selesai menghabiskan es kelapa yang membuatku kenyang (kenyag air), Kevin meletekkan dagunya yang bertumpu dengan kedua tangannya.
   ”Kamu dulu yang bercerita, kelihatannya berita yang sangat mengembirakan.” ucap Kevin.
   ”Hmm, ini sangat mengembirakan! Ehem… ehem.. Kevin, aku dan Shin-woo hari ini akan menentukan tanggal pernikahan kami!” seruku.
   Entah perasaanku saja, sekilas aku melihat wajah Kevin yang terkejut dan memucat. Apa… apa dia masih menaruh rasa padaku? Ah, aku kegeeran banget! Tapi, aku jadi merasa tidak enak. Aku mengira, Kevin sudah melupakanku dan menjadi sahabatku.
   ”Kevin?”
   ”Ah, ya, ini memang berita yang sangat membahagiakan!” kata Kevin dengan mengembangkan senyumnya.
   Aku menarik napasku. Aku merasa keterlaluan, harusnya aku tidak mengatakan ini pada Kevin. Sifatnya menjadi kaku seperti itu. Femi, Femi, bodohnya dirimu.
   ”Ah, tadi apa yang ingin kamu bicarakan?” tanyaku.
   ”Oh, itu, Albert menanyakan kenapa kamu tidak datang ke sanggar lukis lagi?” jawab Kevin.
   Kevin menatapku dengan tatapan kosong. Aku semakin merasa bersalah.
   ”Aku terlalu sibuk. Tolong sampaikan, nanti setelah semua urusan beres, aku akan kembali melukis seperti biasa. Dan… aku akan mengikuti pameran lukisan yang diinginkan Albert.” jelasku.
   ”Wah, itu bagus.” ucap Kevin semakin kaku.
   Beberapa saat kami terdiam dan hanyut dalam pikiran masing-masing. Aku melirik Kevin, wajah Kevin, wajahnya mulus seperti wajah Shin-woo. Shin-woo dan Kevin memiliki sifat yang sangat berbeda, tapi mengapa aku memilih Shin-woo? Hah, memikirkan Shin-woo saja membuat jantungku berderak cepat seperti ini.
   Tapi… apakah sudah benar pilihanku ini? Aku tahu, cepat atau lambat aku akan menikah juga dengan Shin-woo. Femi, apa yang kamu ragukan? Ahh, mungkin aku sudah mabuk es kelapa muda.
   ”Kita pulang, yuk.” ajak Kevin.
   Aku mengangguk.
   Seperti biasa, Kevin membukakan pintu kaffé dan pintu mobil untukku. Aku tahu hati Kevin sekarang tidak karuan, dan itu disebabkan oleh aku. Di sepanjang jalan, kami tidak berbicara, tidak seperti biasa, Kevin tidak pernah membiarkan suasana menjadi kaku.
   ”Kevin…”
   ”Ya?”
   ”Apakah pilihanku ini benar? Apakah pernikahan ini tidak terburu-buru?” tanyaku.
   ”Apa yang kamu ragukan?” tanya Kevin kembali.
   Aku menarik napasku. Sebenarnya, aku masih bingung, kenapa Shin-woo sangat terburu-buru.
   Kevin menghentikan mobilnya di dekat rumahku.
   ”Femi…”
   ”Ya?”
   ”Ikutilah kata hatimu. Hati adalah petunjuk jalan.” kata Kevin.
   Aku tersenyum. ”Terima kasih.”
   Kevin tersenyum.
   ”Aku pilang dulu, daah.” pamitku.
   Aku berjalan menuju rumahku yang hanya beberapa langkah dari mobil Kevin.
   ”Femi!” teriak Kevin.
   Aku memalingkan tubuhku.
   ”Selamat, ya!”
   ”Terima kasih!”
***

   Tanggal pernikahan kami sudah ditetapkan. 6 juni. Artinya, tinggal beberapa sekitar delapan hari lagi aku akan menikah dengan Shin-woo. Jantungku berdetak semakin cepat saja, pikiranku juga semakin tidak karuan.
   Aku duduk di halaman belakang sambil memperhatikan langit yang berawan, bintang-bintang jadi tidak terlihat. Aku menoleh ke sampingku ketika menyadari ada yang duduk di sampingku.
   ”Femi, kamu mau ikut?” tanya Shin-woo.
   ”Ke mana?” tanyaku.
   ”Ke korea, menjemput nenek dan eyang,” jawab Shin-woo.
   ”Benarkah?! Ikuuut!” teriakku.
   ”Haaah, ternyata memang takdirku punya istri brisik,” ledek Shin-woo.
   Aku cemberut kemudian tersenyum. ”Kapan ke korea?”
   ”Besok,” jawab Kevin santai.
   ”Besok?!” pekikku.
   Shin-woo mengangguk sambil tersenyum lebar. Bagiku, senyumnya terlihat jahat.

Jumat, 30 Maret 2012

My First

Ten

   Sudah  lebih dari seminggu aku tidak bertemu dengan Shin-woo. Aku memang menghindarinya, teman-temanku tahu akan hal itu, kecuali orang tuaku. Selama satu minggu ini juga, aku tidak melihat Kevin. Aku sempat bertanya kepada temannya ke mana Kevin tetapi mereka juga tidak tahu ke mana Kevin. Aku hanya ingin mengucapkan maaf atas perlakuan Shin-woo kemarin. Aku bertanya-tanya untuk apa aku minta maaf kepada Kevin atas nama Shin-woo? Entahlah, aku tidak mengerti dengan perasaanku yang sekarang.
   Aku duduk di taman kampus sendirian. Setiap kali melihat pasangan yang sedang bermesraan di taman kampus, aku pasti menyingkir. Aku iri. Sekarang, aku berjalan di sisi kolam memperhatikan ikan-ikan. Coba aku jadi ikan, aku pasti tidak akan mengalami hal ini.
   Apa aku harus menemuinya? Aku sudah terlalu rindu dengannya. Rasanya, aku sudah tidak mampu menahan perasaan ini. Aku menatap langit, berharap ada jawaban di sana.
   Aku jadi teringat waktu kecil. Ketika itu, aku sedang menangis. Shin-woo datang menghampiriku dan membuatku tertawa, dia mampu membuatku melupakan hal yang membuatku sedih. Tapi, sekarang aku menangis karenanya, lalu siapa yang akan membuatku tertawa? Hatiku terasa hampa.
   Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku. Aku langsung menenguk ke arah orang itu. Kevin?
   Aku tersenyum, ”Kevin! Hai,” sapaku.
   Kevin balas tersenyum. ”Lagi apa sendirian?”
   ”Tidak ada,” jawabku.
   Baru pertama kali ini aku merasa canggung dengan Kevin. Kami berdua tidak bicara dalam beberapa saat dan hanya menatap ikan-ikan yang ada di kolam. Aku memperhatikan Kevin lewat ujung mataku, luka karena tamparan Shin-woo sudah menghilang, sekarang dia terlihat kurusan. Atau perasaanku saja?
   ”Oh, ya, aku… aku mau minta maaf atas perlakuan Shin-woo,” kataku memecahkan kebisuan antara kami.
   ”Oh, itu. Tidak apa-apa, aku mungkin juga akan melakukan hal yang sama kalau gadis yang aku sukai dengan laki-laki lain. Yah, maksudku marah,” jawab Kevin dengan senyumnya.
   Aku hanya tersenyum mendengarnya.
   ”Bagaimana kabarnya?” tanya Kevin.
   ”Siapa?” tanyaku.
   ”Shin-woo,” jawabnya.
   ”Oh, entahlah, aku tidak berhubungan sejak saat itu,” tuturku dengan suara melemah. Dada ini terasa sakit mengingat kalau aku dan Shin-woo sekarang sedang bertengkar.
   ”Maafkan aku,” kata Kevin bersungguh-sungguh.
   Aku tersenyum, ”Sudahlah, jangan begitu,”
   ”Apa yang harus aku lakukan untuk membayar ini semua?” tanya Kevin.
   ”Nyawamu,” jawabku asal.
   ”Sungguh? Aku rela,” sahut Kevin.
   ”Tapi, aku bercanda,” kataku. Aku melihat jam tanganku. ”Aku pulang dulu,”
   ”Mau aku antar?”
   ”Tidak perlu,” jawabku.
   Untuk kali ini, Kevin tidak menyebalkan, dia seakan berubah menjadi dulu. Apa yang terjadi dengannya selama seminggu ini? Aku jadi penasaran.
   Aku membalikkan badanku. ”Kevin?!”
   Kevin menoleh ke arahku dengan wajah yang tersenyum. ”Hmm?”
   ”Bagaimana kabarmu?” tanyaku.
   ”Beginilah, kenapa?” tanya Kevin balik.
   ”Tidak ada apa-apa. Badanmu kurusan.” jawabku.
   Kevin tersenyum. ”Kamu sendiri?”
   ”Kurasa kamu bisa menilai sendiri. Bye!” ucapku seraya berbalik badan.
   Aku berjalan menuju pintu gerbang kemudian menyapa Pak Maman dan sedikit berbincang-bincang dengannya, beliau sempat menanyakan ke mana Shin-woo yang selalu menjemputku. Aku hanya bisa menjawab dia tidak bisa menjemputku sekarang.
   Sekarang sudah sore, tapi cuaca hari ini agak mendung jadi rasanya agak nyaman karena tempuran angin sore. Aku berjalan di torotoar sambil menunduk.
   TIIIT…TIIIT…
   Seseorang membunyikan klakson yang membuatku tersentak. Aku menoleh ke arah mobil itu, kaca mobil itu perlahan-lahan terbuka buka, dan di dalamnya ada kakakku yang menyebalkan yang sedang tertawa terbahak-bahak karena melihat ekspresi terkejutku tadi.
   Aku membungkukkan badanku, ”Apa maumu Ry… Yo…” kataku tersendat melihat Shin-woo di dalam mobil Ryo.
   Oh, Tuhan! Shin-woo di dalam! Aku mengangkat badanku dan berjalan meninggalkan mobil Ryo. Aku syok melihat Shin-woo di dalam mobil Ryo. Jantungku terasa berat dan berdebar kencang. Kenapa aku menjauh dari mobil Ryo? Harusnya tadi aku melihatnya lebih lama, kenapa sebentar saja? Aku kesal pada diriku.
   Tapi… melihat Shin-woo baik-baik saja, aku sudah cukup lega. Selama ini, aku selalu bertanya-tanya, apakah Shin-woo baik-baik saja? Apakah Shin-woo sudah makan? Apa yang Shin-woo lakukan sekarang? Apa yang dia pikirkan sekarang? Dan… ketika melihat Shin-woo hari ini… semua kegelisahanku selama ini memudar. Aku senang… aku senang dia baik-baik saja.
   Ryo mengikuti dengan mobilnya dan mendumel tidak jelas. Aku memang adik yang tidak sopan, aku sangat tidak menyukai Ryo yang bicara tidak jelas seperti sekarang. Harusnya, sebagai Kakak, dia dapat memahami apa yang aku inginkan: I just want to be alone! Hah, susah juga punya kakak yang tidak pengertian. Aku terus bejalan tanpa mempedulikan apa yang didumelkan Ryo.
   Mungkin karena sudah capek tidak kuhiraukan, Ryo—akhirnya meninggalkan aku. Aku menarik napas dalam-dalam, Shin-woo sudah pergi dengan Ryo. Aku terus berjalan, dan kakiku berhenti ketika aku melihat sanggar melukis. Sudah lama aku tidak mampir.
   Aku membuka pagar sangggar yang sudah lama tidak diganti catnya. Hmm, sejak aku bergabung di sanggar ini catnya masih saja sama, yah, mungkin memang ada perubahan, yaitu warna catnya semakin memudar dan bahkan sudah ada yang terkoyak.
   ”Femi!” seru Albert. Pemilik sanggar sekaligus pembimbingku yang berasal dari Italia.
   ”Selamat sore,” sapaku balik.
   ”Whahaha, sapaan apa itu? Kamu terlalu formal padaku! Rasanya aku sudah tua dan harus menikah,” tawa Albert yang mengingatkanku kalau aku tidak perlu bersikap formal padanya.
   ”Kamu memang harus menikah! Umurmu sudah hampir setengah abad,” sahutku setengah bercanda.
   ”Apa?! Umurku baru dua puluh sembilan tahun! Ingat itu!” semprot Albert tidak terima.
   ”Aku tidak percaya,” kataku.
   Albert mengerti bahasa Indonesia karena dia sudah lebih lima belas tahun tinggal di sini. Aku mengenal Albert ketika aku sedang liburan dan aku yang memang mempunyai hobbi melukis tidak menyadari Albert yang sedang memperhatikan aku melukis.
   ”Lukisanmu indah sekali!” seru Albert mebuatku tersentak ketika aku sedang memandangi hasil karyaku.
   ”Eh, ah, terima kasih,” ucapku sambil tersipu malu.
   ”Aku serius! Gambarmu ceria! Kamu pelukis yang jujur,” kata Albert.
   ”Terima kasih,” kataku tambah malu.
   ”Hubungi aku, ini alamatku, bergabunglah dengan sanggar kami, ekspresikan isi hatimu!” kata Albert dengan penuh semangat.
   ”Apakah ini memungut biaya?” tanyaku.
   Albert tertawa dengan logat khas italiano, ”Tentu saja tidak, anak muda, sanggar ini dibuat untuk orang-orang yang mempunyai bakat alami dalam melukis.”
   ”Benarkah? Aku mau!” kataku tanpa pikir panjang.
   ”Bagus! Aku tidak perlu membunjukmu,” kata Albert penuh semangat.
   Aku tersenyum mengingat kejadian waktu itu. Kenapa aku mau bicara dengan orang macam Albert dan entah kenapa aku tidak berpikir dia orang mesum? Albert memang pria baik-baik, tapi mungkin karena dia seniman yang tidak pernah merawat diri, dia jadi terlihat seperti laki-laki maniak yang suka mengintip dan mencuri pakaian dalam wanita, yah, itulah yang dipikirkan oleh Mama dan teman-temanku. Tapi, pikiran mereka berubah ketika mereka lebih mengenal Albert.
   ”Kenapa cengar-cengir begitu?” tanya Albert.
   ”Apa? Eh, tidak ada,” jawabku kaget.
   ”Kenapa tidak ke sini lagi sejak ditunangkan? Aku merasa seperti sampah yang dipungut kembali karena aku terlalu baik untuk di buang,” kata Albert berlebihan.
   ”Sudahlah, yang penting aku tidak membuangmu ke tong sampah yang bercampur dengan kotoran anjing,” sahutku.
   ”Femi-chaaan!” seru Nanako.
   ”Nanako-chan! Konichiwa!” sapaku seraya berpelukan.
   Nanako adalah seniorku. Dari semua orang yang ada di dalam sanggat yang aku kenal, Nanako-lah yang paling aku hormati, yang kedua adalah ka Erik tapi dia tidak terlihat batang hidungnya, naah berikutnya barulah Edward. Nanako sangat baik padaku, perhatian, feminin, dan sopan. Nanako adalah pelukis terkenal dan katanya sedang mencari inspirasi di sini.
   ”Femi, kemana saja selama ini?” tanya Nanako dengan logat khas jepangnya.
   ”Tidak kemana-mana, hanya saja aku terlalu sibuk akhir-akhir ini,” jawabku.
   ”Harusnya kamu mampir, walau hanya sebentar,” kata Nanako.
   ”Maafkan aku,” ucapku seraya sedikit membungkukan badanku.
 ”Kita ini hanya sehelai benang yang dibutuhkan ketika ingin menjahit,” celutuk Albert dengan wajah sedih.
   ”Kamu terlalu mendramatisir!” seruku.
   ”Oh, ya, kita mempunyai anggota baru.” ujar Nanako.
   ”Benarkah? Siapa namanya?” tanyaku penuh antusias.
   Jarang sekali ada anggota baru. Ketika melihat sanggar melukis milik Albert, orang kebanyakan pasti berpikir dua kali untuk bergabung, selain karena Albert yang dikira otak mesum, bangunan sanggarnya juga terlihat kono dan kotor, hmm, lebih tepatnya tidak layak huni. Tapi, aku heran kenapa Nanako, seorang pelukis terkenal mau bergabung dengan sanggar Albert? Hmm, Albert memang terlalu cuek untuk memikirkan masalah bangunan dan aku sudah terlalu capek untuk minta pindah tempat sanggar melukis.
   ”Orangnya ada di sini,” kata Albert.
   ”Baiklah, ayo, aku perkenalkan dengan anggota baru kita,”
   Kami berjalan ke dalam. Aku sempat mengomentari tempat sanggar yang kondisinya semakin bertambah buruk. Tapi, aku benar-benar kasihan dengan anggota sanggar yang hanya sepuluh orang termasuk aku, Albert, Nanako, dan anggota baru.
   Albert membuka pintu ruangan yang biasanya tempat memajang hasil karya para anggota dan yang akan dipamerankan. Walaupun bangunan dan orang yang mengelola agak tidak beres, kami selalu menang lomba dan tidak pernah keluar dari tiga besar. Aku sebenarnya bersyukur kenal dengan Albert, ka Erik (yang sekarang tidak ada di tempat), dan Nanako, mereka banyak mengajarkan aku hal yang baru dalam cara melukis yang benar. Mereka selalu mengatakan kalau lukisanku jujur sesuai dengan perasaanku.
   ”Ini anggota baru kita, taraaa! Aku-lah yang memilihnya dengan selektif, akurat, dan tajam, pluus dijamin terpercaya,” ucap Albert. Dia selalu begitu kalau ada anggota baru.
   ”Kevin!” seruku tidak percaya.
   ”Femi! Hai, anggota di sini juga?” sapa Kevin.
   ”Iya!”
   ”Kalian saling kenal?” tanya Nanako.
   ”Iya, dia temanku,” jawabku.
   ”Dan aku pengaggumnya,” tambah Kevin.
   Entah kenapa jantungku berdebar cepat mendengar ucapan Kevin, wajahku jadi terasa panas.
   ”Wah! Bagus kalau begitu! Sekarang, kami mempunyai alasan untuk menyuruh Femi datang kesini. Sebaiknya kamu jadi pembimbing Kevin,” ucap Nanako antusias.
   ”Hah?! Tapi… aku belum berpengalaman,” sahutku.
   ”Sudah ditetapkan! Sekarang, Femi menjadi pembimbing Kevin!” ujar Albert dengan suara lantang dan seenaknya.
   Albert dan Nanako memasang wajah puas, dan aku hanya bisa tersenyum pahit melihat mereka berdua. Tapi, tak apalah, sekalian latihan, aku kan mempunyai cita-cita untuk mengajar melukis dan menjadi pelukis profesional.
   ” Oh, ya, kenapa mau bergabung dengan sanggar ini?” tanyaku.
   ”Apa maksud dengan pertanyaan itu? Sangat tidak enak didengar,” dumel Albert.
   ”Benar, benar, aku jadi penasaran,” tambah Nanako mendukung pertanyaanku.
   ”Nanako-chan!” seru Albert dengan memasang wajah super-duper masam.
   ”Aku tertarik bergabung ketika melihat pameran lukisan dan dimenangkan oleh sanggar ini,” jawab Kevin. ”Dan sepertinya aku tidak salah bergabung,” lanjutnya.
   ”Selamat bergabung kalau begitu,” sambutku.
   ”Terima kasih,” sahut Kevin dengan tersenyum lebar.
   ”Oh, ya, mana ka Erik?” tanyaku.
   ”Dia sekarang ada di Kanada, pameran lukisan,” jawab Nanako.
   ”Oh…”
   ”Baiklah, mumpung kamu ada di sini, kamu ajarkan Kevin cara-cara melukis yang kamu pelajari dari senior-seniormu. Ayo, Nanako-san,” kata Albert seraya meninggalkanku.
   ”Femi-chan, fighting!” Nanako menyemangatiku sambil mengepalkan tangan kanannya.
   ”Terima kasih!” ujarku seraya membungkuk keras.
   ”Teman-temanmu sungguh hangat, kamu sungguh beruntung,” kata Kevin.
   ”Ah, mereka memang selalu begitu,”
   ”Ini lukisanmu?” tanya Kevin.
   ”Iya, di rumah lebih banyak.” jawabku.
   ”Boleh aku melihatnya kapan-kapan?” tanya Kevin.
   ”Tentu saja!” jawabku.
   Aku senang ada orang yang menyukai hasil karyaku, apalagi mengkritik, karena bagiku melukis bukan hanya sekedar hobbi. Melukis adalah apa yang sedang aku rasakan sekarang, selama bersama Shin-woo aku sering mengekspresikan isi hatiku dengan lukisan, tapi sekarang  tidak sanggup melihat lukisan yang berisi isi hatiku dengan Shin-woo. Itu hanya akan membuatku teringat dengannya.
   Kevin dan aku membahas berbagai macam bentuk lukisan. Menyenangkan, dan aku mendapat satu kecocokan dengan Kevin. Aku menjadi heran kenapa Kevin dulu berubah menjadi Kevin menyebalkan dan dia berubah lagi menjadi Kevin si malaikat penolong. Yah, walaupun dia sedikit menyinggung masalah cinta aku—dia. Tapi, dia tidak segencar dulu lagi.
   Aku sebenarnya agak sedikit merasa bersalah dengan Shin-woo karena hari ini aku pulang diantar Kevin. Tapi, kalau pun Shin-woo peduli denganku, ketika di mobil tadi, dia pasti menyapaku. Tapi, boro-boro menyapa, melirik saja, tidak dia lakukan. Hatiku jadi sesak karenannya.
   Setelah mengucapkan terima kasih sudah diantar, aku masuk ke dalam rumah. Aku berjalan ke dapur mencari mama. Aku menemukan mama di belakang rumah, dia sedang menyiram bunga.
   ”Sore, ma,” sapaku.
   ”Eh, sudah pulang, cepat mandi sana,” kata Mama.
   ”Baiklaaah!” ucapku seraya memberi hormat.
   Aku berlari-lari kecil menaiki tangga. Aku membuka kamarku.
   Oh, Tuhan! Apa-apaan ini?! siapa yang melakukan ini semua?! Aku memperhatikan lilin yang berbentuk cinta dan di bawahnya ada tulisan sorry.
   ”Ini isi hatiku. Walau satu kata tapi, aku ucapkan tulus dari isi hatiku,” kata Shin-woo yang muncul tiba-tiba dari samping.
   Aku terdiam tidak percaya. Tiba-tiba Shin-woo memelukku. Dia memelukku dengan sangat erat, rasanya sungguh hangat, aku rindu pelukkannya.
   ”Sungguh, aku minta maaf...” ujar Shin-woo dengan suara yang melemah namun penuh dengan ketulusan.
   Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku sangat bahagia Shin-woo memelukku tapi, hatiku yang lain masih kesal karena kejadian kemarin. Bagiku itu bukan kejadian biasa, aku merasa Shin-woo keterlaluan, dia harusnya bisa menjaga tempramentnya. Dan… untuk apa dia melakukan ini semua? Kalau dia ingin minta maaf, seharusnya dia melakukan hal ini ketika dia di mobil. Tapi… melirikku pun dia tidak ada. Tidak, seharusnya dia minta maaf sejak aku dia pergi dengan Rissa.
   Shin-woo melepaskan pelukkannya dan menatapku. Aku menunduk, aku tidak sanggup melihat wajah Shin-woo, jauh dari segala masalah yang ada, aku  sangat merindukannya. Shin-woo mengangkat daguku kemudian dia mencium keningku.
   ”Kali ini, aku sungguh menyesal… aku sungguh-sungguh tidak ingin kehilanganmu,” ucap Shin-woo dengan menatap mataku.
   Aku tidak dapat berkata-kata. Perasaanku campur aduk, senang, sedih, bingung, semuanya bercampur. Aku masih ragu untuk memaafkan Shin-woo karena dia sudah tidak jujur kepadaku, dari segala hal yang ada, aku hanya membutuhkan kejujuran. Tetapi, dia tidak. Dia pergi dengan wanita lain dan memintaku untuk tidak bertemu Kevin. Oke, aku tidak bertemu Kevin itu bukanlah masalah. Tapi, kenapa dia bertemu dengan wanita lain dan tidak jujur padaku? Apalagi, wanita itu adalah Rissa, mantannya sendiri! Aku merasa terpukul atas kejadian itu.
   Aku memalingkan wajahku dari Shin-woo. Untuk kali ini, aku harus berpikir dua kali, aku merasa aku terlalu bimbang. Otakku dan perasaanku tidak mau bekerja sama. Otakku berpikir kalau aku memaafkannya sekarang, aku tidak akan bisa menemukan jalan yang terbaik untuk hubunganku dan Shin-woo, dan nantinya akan berujung pada kekecewaan semuanya, terutama Shin-won. Tapi hatiku berpikir lain, hatiku ingin bersama Shin-woo, hanya itu, tidak lebih.
   ”Ke… kenapa?” tanyaku.
   ”Kenapa apa?” tanya Shin-woo.
   Aku menarik napas. ”Kenapa baru sekarang meminta maaf?”
   Shin-woo terdiam dan menatapku. ”Aku harus mengumpulkan kekuatanku untuk bertemumu dan…”
   ”Bertemuku? Apa susah untuk mempertahankan hubungan ini jadi kamu pergi dengan Rissa?” tanyaku. ”Ya, aku cemburu kamu pergi dengan Rissa. Tapi… aku lebih benci kamu tidak jujur padaku.”
   ”Femi… Rissa membutuhkanku waktu itu…” kata Shin-woo mencoba menjelaskan.
   ”Dan kamu kira aku tidak membutuhkanmu? Aku memang sangat menyukaimu. Tidak, aku memang tergila-gila denganmu! Aku memang egois! Aku hanya ingin kamu untukku!” ucapku setengah berteriak.
   Shin-woo memegang kedua pundakku. ”Femi! Aku sudah mulai jatuh cinta padamu! Aku mohon… aku mohon… jangan seperti ini…” ucap Shin-wooo.
   Aku terdiam dan menatap mata Shin-woo. Aku tahu dia mengucapkan dengan bersungguh-sungguh, tersirat dari matanya.
   ”Aku… tidak pernah merasakan ini lagi sejak kita berpisah. Aku memang pernah menyukai Rissa… tapi, aku sadar sukaku pada Rissa bukan seperti sukaku kepadamu…”
   Aku terdiam. Untuk sesaat aku terhanyut oleh ucapan Shin-woo.
   Selama ini, kami sering bertengkar, ucapan Shin-woo juga sangat menusuk di hatiku. Tapi… untuk pertama kalinya aku merasa Shin-woo mengucapkan kata-kata yang membuatku ingin melupakan segalanya dan bersandar di bahunya untuk selama-lamanya.
   Aku menarik nafasku dalam-dalam. ”Shin… Shin-woo, tinggalkan aku… aku butuh sendiri untuk sekarang ini,” kataku lemah.
   Sebenarnya, ada sedikit penyesalan di dalam hatiku, tapi aku yakin ini adalah jalan yang terbaik. sekarang, satu hal yang aku butuhkan… Shin-woo memahami perasaanku. Shin-woo mengerti kalau ini adalah jalan yang aku inginkan untuk beberapa waktu.
   Shin-woo terlihat ingin membantah, tapi melihat aku yang memasang wajah memohon, akhirnya dia mengerti.
   ”Baiklah, kapan pun kamu membutuhkanku… aku ada.” ucap Shin-woo.
   Sebelum dia pergi, dia sempat memelukku dan mencium keningku. Sesaat… aku merasakan kesedihan yang sangat dalam. Aku merasa ini terlalu menyakitkan. Aku sangat menyukai Shin-woo dari dulu sampai sekarang yang ada dalam pikiranku adalah Shin-woo, Shin-woo, dan Shin-woo. Tidak ada seorang pun selain dia. Tapi… tapi kenapa harus seperti ini?!
   Aku menutup pintuku dan bersandar di balik pintu. Sekarang, satu hal yang bisa aku lakukan adalah menangis. Apa yang aku tangisi? Aku yang menginginkan ini. Aku yang ingin dia pergi, kenapa aku harus menangis? Dadaku terasa terkoyak. Aku merasa sulit untuk bernapas.
   Aku berjalan menuju lilin yang berbentuk cinta. Aku mengambil buku dan mematikan lilin itu satu per satu. Semoga ini cepat berlalu, secepat aku mematikan lilin ini. Semoga…
***

   ”Tumben datang sepagi ini. Tidak kuliah?” tanya Albert memperhatikan lukisanku.
   ”Hari ini libur,” jawabku singkat.
   ”Sesakit itukah rasanya sakit hati?” tanya Albert tetap fokus pada lukisanku.
   Aku memang melukis seorang yang sedang sakit hati. Ini semua bentuk dari perasaanku.
   ”Ya,” jawabku singkat.
   ”Baiklah, aku tidak akan mengganggu eksperimenmu lagi,” ujar Albert seraya pergi meninggalkanku.
   ”Sepertinya, aku memang tidak harus menikah,” gumam Albert seraya menutup pintu.
   Aku menarik napasku dalam-dalam, air mataku keluar lagi. Aku memang tidak bertemu Shin-woo sudah hampir setengah bulan, dan rasanya sungguh menyakitkan. Aku terlalu takut untuk bertemu dengannya.
   Tadi pagi, Mama mengingatkanku kalau aku dan Shin-woo akan menikah dalam jangka satu bulan lagi. Iya, aku tahu itu. Tapi, bagaimana aku bisa menikah kalau hubungan aku dan Shin-woo sedang tidak baik. Aku sungguh tidak ingin melukai keluargaku, tapi dibalik itu semua… aku sangat merindukan Shin-woo.
   Handphone-ku bergetar. Ini sudah ketiga kalinya dalam hari ini. Aku membuka SMS, Shin-woo: sudah jam lima sore, sebaiknya kamu mandi sekarang. Dadaku terasa sakit ketika membaca SMS dari Shin-woo. Sejak hari itu, kami memang tidak bertemu, tapi dia selalu mengirim SMS kepadaku dan mengingatkan aku untuk makan tepat waktu, kuliah, tidur, dan sebagainya. Itu membuat aku merasa sakit, aku merasa semakin bimbang untuk mencari yang terbaik.
   Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, aku menoleh siapa yang masuk.
   ”Boleh aku masuk?” tanya Kevin.
   Aku tersenyum tanda membolehkannya masuk.
   ”Melukis lagi?” tanya Kevin seraya menarik kursi dan duduk di sampingku sambil memperhatikan lukisanku.
   Aku menarik napasku tanpa menjawab pertanyaan Kevin. Aku menatap kosong lukisan di depanku.
   ”Apa kamu sangat merindukannya?” tanya Kevin lagi.
   Merindukannya? Shin-woo? Ya, aku sangat merindunkannya. Tidak, aku sungguh-sungguh merindukannya. Aku rindu tawa, senyum, suaranya, semuanya. Bahkan aku rindu untuk dimarahinya, aku rindu dibentaknya.
   Aku tidak menjawab pertanyaan dari Kevin, aku hanya menarik napasku. Aku hanya berharap beban ini cepat berakhir.
   ”Femi…”
   Aku tidak menghiraukan ucapan Kevin. Sekarang, aku hanya butuh sendiri, dan kurasa itu adalah jalan yang terbaik.
   ”Baiklah kalau kamu ingin sendiri… aku akan selalu menunggumu sampai kamu kembali seperti dulu,” ucap Kevin seraya bangkit dari duduknya dan menepuk bahuku dengan penuh perasaan.


   ”Femi!” sapa teman-temanku ketika melihatku berada di taman kampus sedang melukis.
   Aku hanya tersenyum melihat teman-temanku yang sangat ceria. Setidaknya, aku merasa bahagia melihat mereka tidak merasakan apa yang aku rasakan.
   Teman-temanku langsung diam melihat aku yang memang akhir-kahir ini merasa malas untuk bicara. Aku sudah menceritakan kepada mereka semuanya. Mereka bilang, apa yang aku pilih itu adalah yang terbaik, tapi aku merasa salah! Aku merasa salah mengambil keputusan. Aku sangat menyesal.
   ”Femi…” ujar Icha
   ”Ya…” sahutku sambil memainkan kuasku di kertas lukis.
   ”Boleh kami nyampain sesuatu?” tanya Icha.
   ”Silahkan,” jawabku seraya meletakkan kuasku.
   ”Maaf ya kalo lo tersinggung.” ucap Icha.
   ”Kamu ini, apa yang mau kalian sampein?” tanyaku.
   ”Lo balikan aja dengan Shin-woo. Mungkin itu memang yang terbaik. Kita-kita nggak tega liat lo sedih terus. Apa perlu kami yang datang ke tempat Shin-woo dan memintanya?” tanya Icha.
   Aku tersenyum. ”Kalian sangat baik.” ucapku seraya memeluk teman-temanku.
   Aku melepaskan pelukkanku. ”Tapi, itu tidak perlu. Aku masih butuh waktu,”
   Teman-temanku tersenyum sedih dan menemaniku beberapa saat, mereka mengerti aku ingin sendiri dan membiarkanku sendirian. Aku kembali melukis. Aku memang akhir-akhir ini suka melukis, karena ini adalah cara untuk mengurangi kesedihanku, walaupun hanya sedikit.
   ”Femi…”
   Aku menoleh ke arah sumber suara itu. Kevin yang entah sejak kapan sudah duduk di sampingku menatapku dengan wajah simpati. Aku… aku tidak membutuhkan simpati dari orang lain!
   Kevin tiba-tiba memelukku. ”Aku tidak sanggup melihatmu seperti ini. Sungguh!” ujar Kevin.
   ”Ke… Kevin…?”
   ”Femi… aku mohon…” ujar Kevin mempererat pelukkannya.
   ”Kevin lepaskan!” aku meronta dan melepaskan pelukkanku dari Kevin.
   Aku berdiri dari dudukku dan berjalan meninggalkan Kevin.
   Kevin kembali memelukku. ”Ikutlah dengan aku… ikutlah denganku ke Prancis. Lupakan Shin-woo… bersamanya… kamu hanya akan merasakan penderitaan… ikutlah denganku ke Jerman, kamu  bisa meneruskan kuliahmu di sana,” ucap Kevin mempererat pelukkannya.
   Aku melepaskan pelukkanku dari Kevin dan medorong badan Kevin sehingga dia terjatuh ke tanah. Aku terdiam membisu. Apa yang dipikirkan Kevin? Apa dia tidak mengerti kalau aku sedang membuthkan ketenangan?
   Kevin bangkit dari tanah. Dia seperti membutuhkan jawabanku.
   Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. ”Tidak… aku tidak bisa melupakan Shin-woo… seberapa kali pun aku mencoba melupakannya, aku tetap tidak bisa… aku… aku tidak mampu…” ucapku dari lubuk hati yang terdalam.
   ”Tidak… kamu pasti bisa, aku anggap kamu belum menjawab perkataanku… aku akan tetap menunggumu… kapan pun…” ujar Kevin seraya meninggalkanku pergi.
***

   ”Femi, kamu sudah hampir menikah, tapi mama lihat kamu sangat jarang bersama Shin-woo,” ujar Mama ketika kami sedang makan malam.
   Aku hanya diam dan menyuap nasiku. Aku tidak tahu harus menanggapi bagaimana, aku sangat ingin jujur kepada kedua orang tuaku, dan meminta solusi yang terbaik.Tapi, rasa takutku sangat besar. Aku memang seorang pengecut.
   ”Femi… kamu lagi ada masalah dengan Shin-woo?” tanya Papa dengan wajah menyelidik.
   ”Ah… tidak,” bohongku.
   ”Pa, Ma, sudahlah. Ingat, ya, aku meminta pernikahanku lebih dulu, aku tidak mau Femi lebih dulu menikah,” kata Ryo tiba-tiba.
   ”Lho? Bukannya kamu setuju untuk menunda pernikahan dan membiarkan Femi lebih dulu menikah?” tanya Mama heran.
   ”Ryo! Jangan buat Papa-Mama malu, ya,” kata Papa sepertinya agak kesal.
   ”Nanti Ryo bicara sama keluarga Park, tenang saja,  Ryo sudah mengatur tanggal pernikahan dengan Kelly.” ujar Ryo seraya menyuap nasinya dengan lahap.
   ”Ah, sudahlah, atur secepatnya, biar kami bisa mengatur jarak waktu pernikahanmu dan Ryo,” kata Papa.
   Papa-Mama memang tidak suka berdebat dengan Ryo karena Ryo memang sangat keras kepala selain tiu, Papa-Mama memang menginginkan Ryo menikah lebih dulu, tapi Ryo uring-uringan dan dia bilang dia belum ingin terikat. Sekarang, Ryo ingin menikah lebih dulu, dan itu pasti membuat Papa-Mama jengkel.
   ”Siiip!”
   ”Aku ke atas dulu, ada yang dikerjakan,” kataku seraya meninggalkan meja makan dan berjalan lunglai menaiki tangga.
   Aku membuka pintu kamarku kemudian berdiri di depan jendela sambil menatap langit. Cuacanya cerah, bintang-bintang berkelap-kelip, bulan bersinar terang. Apakah Shin-woo melihat bintang dan bulan sama sepertiku?
   Handphoneku bergetar. SMS masuk. Aku membuka flap handphoneku. Shin-woo: apa kamu sibuk? Coba lihat langit, bintang dan bulan sungguh ceria. Semoga kamu juga. Tidak, aku tidak dapat ceria kalau seperti ini. Aku tidak dapat tersenyum bahagia tanpamu. Klasik memang, tapi itulah yang aku rasakan.
   Tok… tok.. tok..
   ”Gue masuk nih,” kata Ryo membuka pintu.
   Aku mengangguk.
   ”Suram banget muka lo.” ledek Ryo.
   Aku hanya menarik napasku mendengar ledekan dari Ryo.
   ”Ada apa?” tanyaku.
   ”To the point aja, ya?”
   Aku mengangguk.
   ”Gue tau lo sama Shin-woo lagi berantem.” ucap Ryo.
   Aku tersentak mendengar ucapan Ryo. Jantungku berdebar. Apakah Ryo ingin mengatakan ini kepada Papa-Mama?
   ”Shin-woo yang cerita,” ujar Ryo.
   ”Apa maumu?” tanyaku terdengar dingin.
   ”Gue pengin lo baikan sama Shin-woo. Jujur, aku tidak ingin terikat, lo tau kan? Tadi, di meja makan gue hanya tidak ingin Papa-Mama tau karena itu hanya akan membuat mereka sedih… gue nggak mau lo ngecewain mereka.” kata Ryo.
   Rasanya, aku sangat ingin berterima kasih pada Ryo karena sudah melindungiku. Tapi, merasa bersalah, aku dan Shin-woo hanya mempunyai 10% kesempatan untuk bersama, itu menurutku.
   ”Entahlah,” hanya itu tanggapanku.
   ”Pertimbangkan ucapanku. Aku sangat memohon lo baikan sama Shin-woo,” kata Ryo. ”Baiklah, aku keluar dulu.” ujar Ryo seraya berjalan keluar kamarku.
   Setelah Ryo menutup pintu kamarku, aku langsung menghempaskan diriku ke atas tempat tidur. Semoga hari esok lebih baik.


   Sudah seminggu berlalu. Pernikahan Ryo dan Kelly sudah ditentukan tanggalnya, abangku terlihat uring-uringan menghadapi pernikahannya yang hampir setengah bulan ini. Papa-Mama memang belum sempat melakukan pertemuan antar-besan. Aku dengar minggu depan mereka akan mengadakan acara pertemuan itu. Dan… selama seminggu ini juga, aku tidak melihat Kevin, tidak di sanggar, tidak di kampus.
   Aku memperhatikan dosen menjelaskan materi, tapi pelajaran tidak ada satu pun yang menyangkut ke dalam otakku. Aku selalu merasakan hal ini. Setiap hari terasa menyedihkan, satu hari terasa panjang, tidak tahu harus melakukan apa. Berhari-hari hanya duduk diam melihat apa yang ada di depan kita. Aku sekarang memahami bagaimana rasanya sakit hati, bagaimana rasanya hampa. Sangat menyakitkan.
   Akhir-akhir ini, aku jarang bertemu dengan teman-temanku. Aku menghindari mereka, aku tidak ingin mereka merasakan apa yang aku rasakan, cukup aku saja. Cukup aku yang merasakan hal ini…
   Setelah jam kelas selesai, aku langsung pergi ke sanggar. Albert memintaku untuk pergi ke sanggar karena aku harus mengurusi pentas pameran lukisan yang akan aku ikuti.
   Aku membuka pintu pagar, di sana sudah ada Nanako dan Ka Erik yang mengurusi hal-hal yang aku perlukan ketika pentas seni nanti. Tapi, aku merasa belum siap untuk ke acara yang sangat resmi itu, aku tahu itu peluangku untuk menjadi pelukis profesional seperti Ka Erik dan Nanako.
   ”Selamat siang.” sapaku pada kedua orang itu.
   ”Selamat siang Femi-chan!” sapa Ka Erik dan Nanako.
   Aku terdiam melihat formulir yang sudah diisi, semuanya sudah beres, tinggal aku.
   ”Kamu masih belum siap?” tanya Nanako.
   Aku menarik napasku dan mengangguk.
   ”Bukankah keinginanmu untuk menjadi pelukis terbaik sepanjang masa?” tanya Ka Erik.
   Sekali lagi aku menarik napas dan mengangguk.
   ”Femi-chan, ini sangat berarti, kan, untukmu? Jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan ini,” kata Nanako.
   ”Berikan aku kesempatan waktu untuk berpikir, aku masih ragu…” kataku.
   ”Baikalah.” kata Nanako. ”Semuanya sudah siap, tinggal kamu saja,” kata Nanako.
   Aku diam beberapa saat.
   ”Apakah ini bisa diwakili?” tanyaku.
   Ka Erik dan Nanako saling bertatapan.
   ”Bisa saja, tapi lebih baik kamu yang datang.” kata Erik.
   ”Aku mohon, wakili aku,” ucapku seraya membungkukan badanku.
   ”Tidak bisa!” seru Albert tiba-tiba.
   ”Ke… kenapa?!” tanyaku.
   ”Ini adalah karyamu dan ini adalah jiwamu. Kenapa kamu ingin orang lain yang mewakilinya? Aku tidak mengizinkan!” tegas Albert.
   Aku terdiam mendengar ucapan Albert. Apa yang dikatakan Albert memang benar. Aku menarik napasku dan meninggalkan mereka, aku tidak ingin berdebat dengan Albert. Aku berjalan ke ruang lukisanku. Di sana sudah ada Kevin yang memperhatikan lukisanku yang akan dipamerankan.
   ”Ke mana saja kamu?” tanyaku seraya menutup pintu.
   Kevin tersenyum. ”Kamu memperhatikanku?”
   Aku hanya diam tidak menjawab. Memperhatikan Kevin? Ya, memang benar aku memperhatikannya, tapi hanya sebatas teman, tidak lebih. Aku tidak akan bisa menyukai laki-laki lain selain Shin-woo.
   ”Kamu datang dan pergi sesukamu. Apa yang ada dalam pikiranmu?” tanyaku.
   ”Apakah aku sudah mulai mengalihkan perhatianmu?” tanya Kevin balik.
   Aku hanya menarik napas tanpa menjawab pertanyaannya.
   ”Aku rindu moeder1.” ujar Kevin setelah kami diam beberapa saat.
   Aku menoleh ke arah Kevin. Matanya terlihat hampa. Apa yang sedang dia pikirkan?
   ”Bagaimaana kabarnya?” tanyaku mencoba mencairkan perasaannya.
   Kevin tersenyum. ”Dia baik-baik saja ketika kukunjungi, semoga saja seterusnya.”
   Aku tersenyum mendengar ucapan Kevin. Dia anak yang baik.
   ”Oh, ya, kudengar kamu akan mengikuti pemeran melukis,” kata Kevin.
   ”Iya.” jawabku.
    ”Mana lukisan yang akan kamu ikut setakan?” tanya Kevin.
    ”Tepat di depanmu.” jawabku.
    Kevin memperhatikan lukisanku sekali lagi. Lukisan yang kugambar berupa seorang gadis menatap langit dengan mata terpejam seakan mencari kedamaian untuk membuatnya mudah untuk bernapas.
    ”Hampa sekali, aku dapat merasakannya,” komentar Kevin.
    ”Benarkah?”
   Aku dan Kevin tidak lagi bicara. Kami hanya diam dalam pikiran masing-masing.
   Aku melihat jam tanganku. Sudah jam tujuh sore. ”Aku pulang dulu,” pamitku kepada Kevin.
   Kevin tidak menanggapi ucapanku, dia masih saja menatap lukisanku dengan mata kosong. Entah apa yang sedang dia pikirkan sekarang.
   Aku berjalan keluar ruangan dan pamit kepada Nanako. Aku tidak mencari yang lain, terutama Albert. Aku merasa enggan untuk bertemu dengannya. Bertemu dengannya tidak akan membuat keadaan lebih baik, aku dan dia hanya akan berdebat.
   Jalanan sudah mulai sepi. Hanya beberapa orang saja yang lewat. Aku memperhatikan jalan dan menoleh ke arah kiri. Jalan itu… jalan menuju apartement Shin-woo. Aku melihat supermarket yang ada di seberang jalan. Supermarket yang pertama kali aku dan Shin-woo kunjungi ketika pulang dari Belanda. Aku menarik napasku dalam-dalam. Aku rindu saat itu.
   Aku merapikan rambutku yang ditempur angin, aku memejamkan mata merasakan kedamaian di sore hari. Nyaman sekali. Setidaknya, bebanku sedikit berkurang akibat tempuran angin sore.
   Tiba-tiba seseorang memelukku dari belakang.
   ”Apa kamu masih memikirkannya?”
   ”Ke… Kevin?!”
   ”Kamu tidak menjawab pertanyaanku. Apa kamu masih memikirkannya?” tanya Kevin.
   Aku tidak dapat berkata-kata karena kaget.
   Memikirkan Shin-woo? Tentu saja, tentu saja aku memikirkannya setiap aku makan, minum, bernapas, melukis, kapan pun… setiap saat di dalam benakku hanya ada Shin-woo.
   ”Tidak bisakah kamu melupakannya walau sedetik dan melihatku?” tanya Kevin.
   Aku menarik napasku, aku hanya berharap Kevin memahami perasaanku.
   Kevin membalikkan badanku, dia menatapku lekat-lekat dan menyelipkan rambutku di balik telingaku, kemudian memelukku sesaat.
   ”Kenapa dia sangat beruntung memiliki seseorang sepertimu yang sangat setia?” tanya Kevin pada dirinya sendiri. ”Aku sangat menyukaimu. Tidak, ini bukan rasa suka biasa… ini lebih dari rasa suka... ini cinta...”
   Aku melihat mata Kevin, matanya seperti mengharapkan sesuatu… aku tidak bisa menyukai Kevin. Aku memang tidak bisa dan aku tidak ingin mencoba menyukai laki-laki lain selain Shin-woo.
   Kevin terdiam dan menunduk, kedua tangannya berada di bahuku seakan tumpuannya untuk berpijak di atas tanah. Kevin… maafkan aku… rasanya ingin kuucapkan, tapi suaraku terasa tercekat.
   ”Kamu merindukannya?” tanya Kevin.
   Aku mengagguk lemah.
   ”Aku menyarankanmu untuk segera menemuinya… temui dirinya! Itu kan yang sangat kamu inginkan? Itu kan yang hatimu inginkan?” ujar Kevin.
   Aku mengangguk.
   ”Cepat pergi! Sekarang aku menyarankanmu sebagai seorang psikolog, bukan orang yang menyukaimu! Cepat, sebelum aku berubah pikiran dan takkan kubiarkan lagi kamu bertemu dengan Shin-woo!” seru Shin-woo seraya menlepaskan tangannya dan di bahuku.
   Aku melihat Kevin dengan pikiran bimbang, dia tidak mau melihat ke arahku. Entah mengapa air mataku menetes. Kevin…
   ”Cepat pergi!” seru Kevin setengah membentak.
   Aku langsung berlari sambil menangis. Aku terharu melihat apa yang telah Kevin lakukan untukku, aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan oleh Kevin. Kevin… terima kasih…
   Kakiku terus berlari menuju apatement Shin-woo. Aku sudah membulatkan keinginanku untuk bertemu dengannya. Aku tidak ingin mengecewakan semuanya. Papa, Mama, Ryo… dan…  Kevin…
   Aku berhenti di depan apartement Shin-woo. Aku menyapu air mataku, aku terdiam tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku merapikan buju dan rokku. Aku menarik napasku dan mencoba memencet bel apartement Shin-woo, tapi… aku terlalu gugup! Aku menjauhkan jariku dari bel apartement Shin-woo.
   Jantungku berdebar kencang, kenapa Femi? Tinggal pencet, nanti akan berbunyi ting-tong—Shin-woo membuka pintu—sapa, hai!—selesai. Apa yang susah dari itu semua? Kenapa rasanya badanku susah sekali bergerak? Femi! Ayo lakukan! Ini adalah kesempatanmu! Cepat lakukan!
   TING… TONG…
   Akhirnya aku memencet bel dengan memejamkan mataku. Jantungku  berdetak semakin bertambah kencang menunggu Shin-woo membukakan pintu. Tapi, tidak ada jawaban dari Shin-woo, sekali lagi aku memencet bel, tetap saja tidak ada jawaban. Mungkin Shin-woo tidak ada di apartement. Aku mencoba memegang gagang pintu apartement rumah Shin-woo dan membuka pintu apartement Shin-woo. Pintunya terbuka.
   Aku masuk ke dalam apartement Shin-woo. Apa tidak apa-apa aku masuk? Aku heran kenapa Shin-woo tidak mengunci pintu apartementnya, selama aku datang ke apartement Shin-woo, dia tidak pernah tidak mengunci pintu meskipun dia ada di dalam apartement.
   Apa mungkin… terjadi apa-apa pada Shin-woo?! Iya! Mungkin ada perompok yang datang dan perampok itu guy! Mereka tergoda dengan wajah tampan Shin-woo, dan Shin-woo… Shin-woo dijadikan… oh, Femi! Apa yang kamu pikirkan? Tidak mungkin itu terjadi! Tapi, apa yang tidak mungkin di dunia ini?
   ”Shin-woo?!” teriakku.
   Tidak ada jawaban dari Shin-woo.
   Aku mencari Shin-woo di kamarnya, tetapi tidak ada. Aku berlari-lari  mengelilingi apartement mencari Shin-woo, dan aku berhenti ketika melihat Shin-woo yang terbaring lemah di dekat meja makan.
   Aku berlari menghampiri Shin-woo. ”Shin-woo!”
   Shin-woo pingsan. Aku memegang dahinya, panas sekali. Aku mencoba membangunkan Shin-woo dan membopohnya menuju kamar. Setelah sampai, aku langsung membaringkannya ke atas tempat tidur.
   ”Tungu sebentar, aku ambilkan termos dulu,” kataku pada Shin-woo. Aku tahu dia tidak mendengarku.
   Aku keluar kamar dan berlari kecil menuju dapur untuk mengambil termos. Aku mengisi termos dengan air es dan aku mengambil handuk kecil untuk mengompres Shin-woo, setelah itu, aku kembali ke kamar Shin-woo.
   Aku meletakan handuk yang sudah kuperas di atas dahinya. Mata Shin-woo perlahan-lahan terbuka, dia menoleh ke arahku kemudian dia memelukku.
   ”Femi! Jangan tinggalkan aku lagi! Aku mohon!” pinta Shin-woo.
   ”Apa yang kamu pikirkan? Kenapa kamu sampai sakit begini? Kamu setiap hari mengirim pesan untuk hidup teratur? Kenapa kamu tidak melakukannya? Kenapa kamu sampai sakit begini?” tanyaku marah.
   ”Aku… aku tidak bisa hidup teratur tanpamu… aku selalu memikirkanmu dan… dan mengingat kamu tidak di sini itu… itu rasanya sangat menyakitkan…” ujar Shin-woo. Dia menangis.
   ”Kamu pikir aku tidak merasakannya? Kamu pikir aku tidak mengalami apa yang kamu alami? Kamu salah! Aku selalu mengingatmu dan aku tidak bisa tidak memikirkanmu setiap waktu!” kataku.
   ”Maafkan aku… aku telah melanggar janjiku untuk akan selalu melindungimu... aku tidak berguna!” ucap Shin-woo setengah berteriak.
   Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dan membalas pelukkan Shin-woo. Aku memeluknya dengan erat.
   ”Aku tidak berguna Femi… aku sangat tidak berguna,” ucap Shin-woo melemah kemudian menangis tersedu-sedu.
   ”Tidak! Tidak…” sahutku dengan suara yang terisak-isak.
   ”Aku sangat mencintaimu… melihatmu di sini membuatku lebih baik.” ujar Shin-woo.
   Aku mengangguk. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa selain memeluk Shin-woo dengan erat.
   ”Tetaplah di sini. Jangan pergi tinggalkan aku lagi,” pinta Shin-woo.
   Aku mengangguk. Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu karena itu terasa sakit saat kamu tidak ada di sampingku. Melihatmu baik-baik saja sudah membuatku merasa tenang, seakan bebanku sudah tidak ada lagi.
(Bersambung…)
Terima kasih sudah membaca.
Kritik sarannya, ya!