Laman

Pelangi is Rainbow

Minggu, 12 Februari 2012

My First

One

BRUUUUKKK
   Akh, kenapa begitu sial hari ini?! Sudah ditinggalkan keluarga di pulau orang, gara-gara asma Eyang kambuh, terus kesasar, sekarang malah ketabrak orang! Siiiaaaaalll!
   Aku langsung bangkit dari tanah sambil merapikan topi jeramiku yang sempat jatuh, “So... soori banget. Eh, bule kan nggak ngerti bahasa Indonesia, ai… ai… aim sori,” ucapku gagap. “Akh,dasar payah banget!” gumamku.
   Aku mengulurkan tangan untuk membantu orang yang kutabrak bangun.”Heir, ai bantu, eh, ai help,”
   Tapi, orang yang kutabrak tadi malah menatapku… Aku… Jadi malu… Tapi, tatapannya terasa sinis! Apa mungkin dia marah? Atau hanya perasaanku saja? Semoga hanya perasaanku saja.
   “Arie yu okey?” tanyaku. Akh! Bahasa Inggrisku payah banget! Harusnya aku tidak memakai bahasa Inggris.
   Bukannya mengucapkan terima kasih karena aku mau membantu, orang itu malah bangun tanpa bantuanku dan melenggang pergi begitu saja. Tipe orang yang menyebalkan!
   Aku terdiam dengan mulut ternganga, apa-apaan orang itu? Hah, benar-benar orang yang tidak sopan! Harusnya dia bilang ”terima kasih atas bantuanya nona,”  bukan melenggang pergi begitu saja. Menyebalkan!
   “Dasar bule sok cool lo! Kalo nggak ganteng sudah lama gue sikat pake sikat kawat lo! Dasar manusia yang tidak memenuhi pancasila sila kedua lo!” seruku dengan mengepalkan tangan kananku ke atas.
   Tiba-tiba orang yang kutabrak tadi berbalik. Akh, bagaimana ini?! Aduuh, gawat kalau dia mengerti bahasa Indonesia. Badanku juga tidak mau bekerja sama disaat darurat seperti ini. Akh! Benar-benar sial! Tidak ada jalan keluar selain…
    “Ampun tuan, aim sori master, aim jus, eh, jas kiding,” mohonku seraya membungkuk dan menyatukan telapak tanganku sambil menggosok-gosoknya.
   Tidak terjadi apa-apa..? Orang itu... orang itu tidak menghampiriku. Orang itu cuma mengambil notenya yang jatuh! Aku langsung meluruskan badan dan melongok heran. Ngapain tadi musti membungkuk dan meminta maaf? Akh! Memalukan!
   “Dasar cewek bodoh!" ucap cowok itu santai sambil berjalan tanpa ada rasa bersalah.
  Aku semakin melongok. Hah?! Dia bisa menggunakan bahasa Indonesia? Bahasa non-formal lagi. Eh, tapi apa maksudnya?  Cewek bodoh?! Berani amat! Belum tau dia, siapa aku! Femia Calandra, si cewek penumpas kejahatan! Dan kejahatan menghina orang lain tidak bisa diampuni!
   “Hei! Bukannya terima kasih mau ditolong, ini malah menghina orang!” teriakku. Pasti aku jadi pusat perhatian gara-gara teriak-teriak. Biarlah jadi artis sehari di Negara Orang, hehe.
   Cowok itu berhenti berjalan. “Bukannya yang menghina duluan itu kamu,”
   “Akh! Itu juga gara-gara sikap kamu yang nggak sopan,”sahutku.
   “Siapa juga yang nabrak, kalo nggak pengin cari masalah, harusnya jangan nabrak,” jawab cowok itu enteng dengan wajah datar.
   “Nggak sengaja tau! Aku kan sudah minta maaf!” balasku.
   “Kalo cuma dengan minta maaf semuanya beres, nggak bakalan ada penjahat  di penjara,”
   “It… Akh! Tau ah! Dasar manusia nyebelin! Moga aja nggak ketemu sama kamu lagi!”
   “Semoga,”ucap cowok itu enteng dan pergi begitu saja. Aku memeletkan lidah ke arah cowok itu. Nyebelin!
   “Kenapa semua cowok ganteng pada nyebelin?” gumamku. Entahlah. Aku mengangkat bahu dan langsung meninggalkan TKP (Tempat Kejadian Penabrakan).
***

   “AKU SEKARANG ADA DI MANAAAA?!” teriakku sambil merenggut topi jeramiku. Aku terduduk di kursi umum sambil memutar-mutar peta wisata.
   Padahal rencananya, aku akan berlibur bersama keluargaku di Negara penjajah. Belanda. Tapi, sekarang aku harus liburan sendirian karena Eyang lagi sakit. Tadinya, aku sudah mau pulang tapi tidak dikasih izin sama Eyang karena katanya, asma Eyang bakalan kambuh lagi kalau aku pulang. Alasan yang tidak logis memang, tapi kenapa aku percaya?
   Timur ke arah mana, selatan ke arah mana aja aku tidak tahu. Mau nanya sama orang, nanti malah dikira orang gila gara-gara bahasa Inggrisku kurang fasih (bukan kurang fasih, tapi memang tidak bisa bahasa inggris). Padahal, ke Belanda bukan pertama kalinya bagiku, malah sering. Yah, mungkin karena kelemahan diriku, yaitu buta arah dan selalu lupa dengan arah jalan. Harusnya liburan itu membawa kebahagia, ini malah liburan membawa kemelaratan.
   “Kamu tersesat?” tanya seseorang.
   Ini pasti gara-gara teriakanku yang tadi sempat menjadi pusat perhatian orang-orang, jadinya ada orang yang datang menghampiriku. Aku mengangkat kepalaku. Akh, ganteng banget! Tidak! Sekarang bukan saatnya mengaggumi ketampanan seseorang, sekarang saatnya harus minta bala bantuan dari sekutu. Tapi, cowok ini baik kan? Tidak seperti cowok tadi kan?
   Eh, tapi dia nanya sama siapa? Aku celingak-celinguk memastikan. Cowok itu juga ikut-ikutan celingak-celinguk.  Untuk lebih pasti, aku mengarahkan telunjukku ke arahku dengan memasang mimik wajah bertanya. Cowok itu mengangguk.
   Dengan antusias aku langsung bangkit dari dudukku,“Master, arie yu kenow dis pliece (Mr., are you know this place)?” tanyaku penuh semangat sambil menunjuk-nunjuk tempat yang kutuju di peta.
   Bukannya menjawab, dia malah tertawa,”Hahaha, funny girl,”
   Itu pujian, atau hinaan?
   Wajahku jadi cemberut. “Cowok yang ini, sama yang itu, sama aja, pada nyebelin,” gumamku pelan.
   “Hah? Apa? Sori, kamu lucu banget sih... bahasa inggrisnya. Tidak usah pakai bahasa Inggris sama aku,” terang cowok itu sambil menyapu matanya yang berair gara-gara tertawa,“Aku ini keturunan Indonesia,” tambah cowok itu dengan nada ala bule.
   Lucu apanya bahasa Inggrisku? Payah iya! Penghinaan.
   “Iya, hehe,” kataku malu sambil mengaruk-garuk leher.
    Keturunan Indonesia, ya? Tidak ada sisi yang membuktikan orang ini keturunan Indonesia. Aku memperhatikan cowok itu dari kaki sampai kepala.
   “Oh, ya, tadi katanya mau kemana?” tanya cowok itu.
   “Alamat ini,” jawabku sambil menyerahkan secarik kertas.
   Cowok itu melihat kertas yang kuberikan. Raut mukanya seakan-akan lagi berpikir, mungkin lagi mengingat alamat yang kutuju.
   ”Oh, tempat ini ! Dekat dari sini, kok, mau kuantar?” tawar cowok itu tersenyum ramah.
   Mau! Aku langsung mengangguk mau, tanpa ada perasaan curiga sama orang yang pertama kali aku kenal. Ngapain curiga juga kalau aku akan ditolong.

   Cowok itu berjalan sejajar denganku sambil menunjukkan tempat-tempat yang paling dia sukai atau yang paling banyak orang kunjungi. Belanda memang bersih, tidak seperti kota-kota besar di Indonesia, banyak polusi.
   “Huuuuuuaaaacccchhhiiii,”
   Aku menyapu hidung dengan tanganku.
   “Kamu baru pertama kali ke sini, ya?” tanya cowok itu.
   Aku cuma meringis. Malu kan ketahuan kalau aku buta arah sama orang baru pertama kali dikenal, apalagi orangnya ganteng.
   “Sekarang sudah musim gugur, seharusnya memakai baju yang lebih tebal,”saran cowok itu seraya memasangkan syalnya ke leherku.
   Akh! Ganteng banget cowok ini dari dekat. Aduuuh, wajahku pasti sudah memerah. Bagaimana ini?
   “Makasih,” ucapku sambil memegang wajahku yang terasa panas.
   “Je bent welkom, leuke dame 1,” jawab cowok itu tersenyum lebar.
   Wajahku terasa panas. Aduuh… Bagaimana kalau cowok itu tau aku lagi salting? Tapi, apa sih yang dikatakan cowok tadi? Je… Je… Apa? Apa katanya tadi? Tahu ah!
   “Ini alamatnya, boleh aku mengantar kamu sampai ke tempat tujuan?” tawar cowok itu lagi ketika kami sudah berada di depan komplek.
   Tanpa ba-bi-bu, aku langsung mengangguk. Selain ingin lebih lama lagi bersama cowok itu, aku juga masih membutuh cowok itu untuk mengantarku ke tempat tujuan. Ini namanya dibalik kesengsaraan, ada kesenangan.

1 Sama-sama, Nona yang imut

   Aku dan cowok itu terus menelusuri jalanan komplek sambil menceritkan segala hal tentang Belanda. Dia tidak membicarakan hal lainnya selain Belanda dan selalu berhubungan dengan tempat aku liburan sekarang, kota Lisse. Kota yang terkenal dengan tempat wisata yang bernama Keukenhof, yang terkenal dengan taman bunganya. Sejujurnya, aku ingin dengar semua tentang dia. Bosen juga kan membahas Belanda mulu.
   “Oh, sampai lupa, alamat rumahnya tadi di mana?” tanya cowok itu seraya menghentikan jalannya kemudian menepuk dahinya.
   “Hah? Apa?” aku malah balik nanya.
   “Alamat rumah yang akan kamu tuju. Alamatnya di mana?” jawab cowok itu sambil menyunggingkan senyumnya. Murah senyum amat! Detak Jantungku makin kencang gara-gara senyumnya. Bertahan ya jantung, jangan copot dulu sampai ke tempat tujuan.
   “Oh, iya, sampai lupa!” aku menepuk dahi dan langsung mengambil peta yang telah kumasukkan ke dalam kantong tas. “Ini,” aku menyerahkan secarik kertas yang berisi alamat yang kutuju.
   “Haha, kita sudah terlewat,” tawa cowok itu sembil menggaruk-garuk belakang kepalanya. “Tapi, tidak jauh, kok, dari sini,” cowok itu seraya menarik tanganku.
   Tangan ku dipegang! Mimpi apa aku semalam, jadi tanganku dipegang sama cowok ganteng. Bahagianyaaa… Aku jadi tidak sanggup menghadapi godaan ini!
   Cowok itu terus berjalan menyeretku, yang bisa kulakukan hanyalah menggigit jari. Hanya itu yang bisa untuk menahan detak jantungku menjadi cepat.
   “Sudah sampai! Ini kan rumahnya?” tanya cowok itu.
   “Iya!” aku mengangguk keras.
   “Ya, sudah, sana, kamu masuk!” suruh cowok itu.
   “Iya, bedankt 2!” ucapku seraya membungkukan badan dan tersenyum lebar.
   “Je bent welkom, leuke dame,” jawab cowok itu sambil mencubit gemas kedua pipiku.
   Bukannya marah, aku malah mengelus-elus wajahku yang habis kena cubit dengan wajah yang sekonyong-konyongnya. Tangan cowok itu… sungguh hangat!
   “Oh, ya, dari tadi aku ingin tanya, wat is je naam 3?” tanya cowok itu dengan menggunakan bahasa Belandanya yang fasih.
   “Hah? Apa?” aku malah balik nanya. Wat is ja nem? Apa artinya?
   “What’s your name, beauty girl?” tanya cowok itu seraya mencium jari manisku.
   Wajahku yang dari tadi merah semakin merah gara-gara pujian cowok itu. Beauty? Beauty dari mana coba? Beauty kalau dilihat dari sedotan.
   “Fe… Femia Calandra,” jawabku gugup. “Je?” tanyaku balik.
   “Kevin Strefold, panggil aja kevin,”
   Aku mengangguk. “Kevin,”

2 Terima Kasih

   “Ya, sudah, cepat masuk, cuaca sekarang kan sudah mulai dingin,” suruh Kevin.
   “Iya, vaarwel 4,” aku membalikkan badan dan berjalan dengan perasaan berat hati memasuki halaman rumah yang tidak terlalu besar, tapi tertata dengan rumput yang dipotong rapi.
   Astaga! Syal Kevin! Aku belum mengembalikannya. Aku langsung membalikkan badan. Tapi dia sudah tidak terlihat lagi. Cepet banget cowok itu menghilang. Aku berlari mencari Kevin ke sana-kemari tapi tidak ada hasilnya, cowok itu menghilang bagai ditiup angin. Jangan-jangan dia malaikat penolongku? Akh! Tidak mungkin! Takhayul.
   Aku mengangkat bahu, “Nanti kalau jalan-jalan, aku akan ke tempat pertama kali bertemu deh, eh, tapi tempatnya di mana? Ah, entar dia bisa ngambil sendiri,” gumamku.

   TING TONG
   Aku memencet bel untuk ketiga kalinya. Jangan bilang kalau tidak ada orang di rumah.
   “Sepi amat sih? Biasanya rame kayak ada orang kesurupan,” kataku sambil melihat isi rumah lewat jendela.
   KREEEKKK
   Seseorang membukakan pintu. Akhirnya, dibukain juga pintu.
   “FEMMMIIIII!!!” seru orang itu seraya memelukku erat.  Aku kelepek-kelepek tidak bisa bernapas.
   “Thanthe, Fhemhi nhgghak  bhi… bhiisa nhafhas!” ucapku sesak sambil menepuk-nepuk bahu Tanteku.
   Tante Levana. Tante Levana memang selalu memelukku erat setiap ketemu. Katanya sih gemas, tapi tidak sadar apa dia kalau nyawaku sudah melayang separunya!
   “Oh, maaf, habis kamu tambah imut aja!” alasan Tante Levana sambil mencubit pipiku gemas.
   “Ikh, mau ngebunuh Femi kali,”  semprotku sambil mengusap-usap dada.
   “Aw! Sudah tumbuh, ya?! Dulu rata banget!” komentar Tante Levana seraya menyentuh dadaku.
   Tumbuh?! Apa maksudnya?! Aku langsung memukul tangan Tante dan menyilangkan kedua tanganku di dada.
   “Tindakan kriminaaaal! Asusila beraaat!!!” teriakku seraya berlari menuju tangga meninggalkan Tante dan koper-koperku.
   Kamarku sudah disiapkan. Tiap kali ke Belanda, aku selalu menginap di rumah Tante Levana. Rumah Tante Levana lumayan besar dengan tiga kamar utama dan empat kamar tamu. Aku tidur di kamar tamu paling ujung yang apabila melihat ke jendela bisa melihat taman bunga yang dirawat oleh Tante Levana. Kamar yang nyaman.
   Aku menghempaskan badanku ke tempat tidur yang empuk dengan seprai berwarna kuning bergambar bulan bintang. Tante Levana tau kalau aku suka dengan warna kuning, makanya dia menyiapkan segalanya sebelum aku datang.

3 Siapa namamu?
4 Sampai jumpa

    Aku menghempas-hempaskan pantatku, mencoba menghilangkan sakit pinggang gara-gara kebanyakan berjalan. Ah, hari ini sangat melelahkan! Kupejamakan mataku yang sudah terasa berat.

   “Di mana aku? Tempat ini indah banget?” kataku sambil memperhatikan taman bunga yang dipenuhi dengan berbagai macam bunga.
   Tiba-tiba ada seseorang yang datang menghampiriku dengan kuda putih. Seorang lelaki tampan. Kevin kah itu?
   “Kevin…” sapaku  memastikan.
   “Ja5, leuke dame?” sahut Kevin seraya turun dari kuda putihnya.
   Aku menggelengkan kepala.
   “Femi…” Kevin meraih kedua tanganku dan kemudian menggenggam jemariku.
   Aku tersipu malu,”Iya, Kevin,”
  “Kamu adalah wanita yang pertama kali membuat aku jatuh cinta,” ucap Kevin dengan tatapan yang serius namun sungguh hangat.
   “Ka... Ka… Kamu adalah laki-laki yang selalu ada dalam pikiranku,” balasku.
   Kevin dan aku saling menatap penuh rasa cinta.
   “Naiklah,” ajak Kevin seraya mengulurkan tangannya.
   Aku menyambut tangan kevin dengan senang hati. Kevin dan aku sekarang menunggangi kuda yang sama! Kevin memelukku dari belakang. Sungguh pelukkan yang sangat hangat.
   “Kita mau kemana?” tanyaku.
   “Ke tempat yang hanya untuk kita berdua,” jawab Kevin.
   Aku memalingkan wajahku. Wajah Kevin sungguh tampan kalau dari dekat. Kevin memang laki-laki yang sempurna. Mata yang biru, kulit putih, rambut pirang, hidung mancung. Oh, sungguh sempurna!
   Kuda yang ditunggangi kevin dan aku mendengus ketika Kevin hentikan. Kevin menatap hangat, sungguh tatapan seorang pangeran berkuda putih. Kevin dan aku saling menatap. Sekarang wajah kami saling berdekatan. Ciuman pertamaku… inikah ciuman pertamaku? Ikh, tapi, kok mulut Kevin bau gini? Akh, nggak tahaaaan!!! Nggak… nggak boleh… aku harus bertahan!
   “Uuuoooowwwwweeekkksss!” akhirnya aku muntah.
   “Hahaha… Bau, ya?!” tawa Kevin.
   Kok, Kevin malah ketawa? Nyebelin banget!
   “Sini emmmmmuuuuuu…” Kevin mencoba menciumku dengan memonyongkan bibirnya.
   “Jangggaaaaaaaaaaaaaaaaaaannn!!!” teriakku.


   5 Ya

   Hah? Mimpi? Jadi tadi mimpi? Akh, syukurlah, mana mungkin mulut Kevin bau kayak gitu! Aku mengelus-elus dadaku penuh syukur karena itu hanya mimpi. Haaah, endingnya tidak bagus!
   “Bwahahahahahaha!!!” tawa seseorang.
   Aku langsung menoleh ke arah orang itu. Ternyata bocah ini biang keroknya? Akh, Dasar perusak mimpi indah orang! Bocah ini malah ketawa sambil memukul-mukul tempat tidur.
   “Kok, bau, Vin?” ledek anak itu.
   “EEEEEVVVAAAAANNNNN!!!” teriakku seraya mencoba menangkap bocah tengik itu. Tapi tidak ketangkap karena kalah gesitnya.
   Evan langsung berlari keluar kamar sambil memeletkan lidahnya.
   ”Kok, bau,  Vin,” ledek Evan sambil memutar-mutar kaus kaki yang menjadi sumber perusak mimpi indahku.
   Aku langsung bangkit dari tempat tidur dan berlari mengejar Evan.
   “Awas, ya, kamu, Van! Kalau ketangkap aku jadiin kamu makanan ikan! Sini kamu!” teriakku.
   Evan adalah anak Tante Levana. Makanya, aku tidak heran sama sifat Evan yang sama isengnya dengan ibunya. Seperti kata pepatah; buah tidak jauh jatuhnya dari pohonnya. Tapi, Tante Levana tidak bisa disamakan dengan Evan, yang jauh lebih iseng daripada Tante Levana. Kalau Evan isengnya sampai ke akar-akar.
   Evan dan aku akhirnya terbaring di lantai ruang tamu karena sudah kecapean lari-lari. Tante Levana menghampiri kami berdua.
   “Sarapan dulu, yuk,” ajak Tante Levana.
   Kami langsung bangun dari lantai dengan semangat 45. “Ayoooooo!!!” teriak kami kompak. Ada saatnya kami kompak, ada saatnya kami kayak kucing dan anjing.
   Evan dan aku langsung menarik kursi makan. Aku duduk di samping Tante Levana yang berada di samping Om Edward, suami Tante Levana yang duduk di tengah-tengah meja makan, sedangkan Evan duduk di depan Tante Levana.
    Tante Levana memberikan bubur ke mangkukku dan Evan. Keluargaku  keturunan korea, makanya tidak heran kalau tiap pagi Tante Levana menyiapkan bubur atau nasi meskipun tinggal di Belanda. Walaupun keturunan Korea, aku sama sekali tidak mirip dengan orang korea kebanyakan, yang mirip cuma matanya, rada sipit. Huh!
   “Oh, iya, sampai lupa, tunggu sebentar, ya,” kata Tante Levana seraya bangkit dari kursi makannya.
   Aku menoleh ke arah Tante Levana, “hah? Ada apa? Apa yang tertinggal?” tanyaku.
   Tante Levana tidak menjawab malah tersenyum aneh dan berjalan keluar ruang makan. Kayaknya ada yang direncanakan Tante Levana. Hmm… Apa, ya? Mencurigakan.
   “Kenapa sih Tante? Senyumnya mencurigakan” kataku pada Evan dan Om Edward.
   Evan dan Om Edward saling menatap, kemudian mengangkat bahu. Ikh, kayaknya ada yang aneh dengan keluarga ini. Aku juga ikut-ikutan mengangkat bahu dan kemudian melanjutkan makan.
   Tante Levana menepuk bahuku. Sudah turun rupanya. Eh, ternyata Tante Levana memanggil seseorang untuk turun ke bawah.
    “Morning,” sapa orang itu. Emm… Ternyata cowok.
   “Maaf ya, Tante sampai lupa membangunkan kamu,” ucap Tante Levana kepada cowok itu dan memberikan semangkuk bubur.
   Aku mengangkat kepala setelah menghabiskan bubur. “Akh… Ohok… Ohok… Ohok…” aku tersedak ketika melihat orang yang dipanggil Tante Levana tadi.
   Orang itu... orang itu adalah cowok yang kutabrak semalam! Akh, kenapa jadi ada cowok yang menyebalkan itu, sih? Cowok yang langsung  menjadi orang kubenci dalam hitungan beberapa menit. Ini kebetulan yang menyengsarakan! Ternyata benar kata orang: dunia memang sempit.
   “Kenapa, Fem?” tanya Tante Levana sambil mengelus-elus punggungku. “Kamu nggak pa-pa kan? Tanya Tante Levana khawatir seraya memberikan air yang dikasih Om Edward.
    Aku langsung menyambut cangkir yang diberikan Tante Levana dan meminumnya sambil menepuk-nepuk dadaku.
   “KAMU?! Ngapain kamu ada di sini?” teriakku seraya bangkit dari kursi makan dan menunjukkan telunjukku ke arah lelaki itu.
    Cowok itu bertingkah seperti tidak ada yang terjadi. Dengan santainya dia menyuap bubur yang diberikan Tante Levana. Setelah menelan bubur, cowok itu menatap ke arahku dengan tatapan dingin. Aku langsung termundur ketika melihat mata cowok itu. Matanya mirip seekor elang, penuh kekejaman.
    “Kalian sudah saling kenal?” tanya Tante Levana dengan nada bahagia.
   Hup! Aku mengambil piring yang berisi brokoli sebelum dia mengambilnya. Aku memicingkan mataku. Kamu tak akan bisa makan dengan nyaman selama masih ada aku di sini. Lihat saja! Dia menatapku lagi dengan tatapan seperti melihat orang yang aneh kemudian dia mengambil dak-bulgogi 6 di piring lain dengan sumpitnya. Aku langsung menyerompot piring itu. Mata kami saling bertatapan. Mata yang ind… Akh! Bukan! Mata yang mengenaskan! Matanya seperti mengeluarkan kilat-kilat, atau perasaanku saja?
   Om Edward, Tante Levana, dan Evan pasti heran melihat aku bertingkah seperti ini sama orang yang pertama kali aku kenal. Tapi, tenanglah Om, Tante, dia bukan orang yang pertama aku kenal, dia adalah orang yang paling menyebalkan sedunia.
   “Femi, ken
 TING TONG… TING TONG
   Belum sempat Tante Levana meneruskan bicaranya, bel berbunyi. Siapa yang membukakan pintu pun aku tidak tau karena masih beradu mata sama cowok yang menyebalkan di depanku.
   “Shin-woo!” seru seseorang yang membuatku buyar. Siapa Shin-woo?
Aku menoleh ke sumber suara itu. Suara tadi berasal dari seorang wanita tua yang masih segar dan fit. Wajahnya tampak familiar, sepertinya aku pernah bertemu dengan wanita ini, tapi di mana?

6 potongan daging sapi yang dipanggang dengan kecap, minyak wijen, bawang putih, bawang bombai dan lada hitam

   “Femia? Kamu Femia Calandra?” tanya Nenek itu setengah berseru.
   Nah, tuh kan! Dia pasti orang pernah aku kenal, tapi siapa? kok, aku sampai lupa? Aku kan tidak pernah amnesia, haha, apalagi pikun.
   Nenek itu menghampiri aku dan menepuk lenganku. “Kamu lupa, ya, sama Nenek?”
   Aku mengernyitkan kening kemudian memiringkan kepalaku, berusaha mengingat siapa gerangan Nenek yang ada di depanku ini. Siapaaa, ya? Siapa… siapa… Akh! Aku menyerah! Aku tidak tau!
   “Aduh, kamu sudah lupa ternyata. Ini aku, Nenek Park!” ucap Nenek itu sambil menepuk-nepuk dada beliau.
    Nenek Park? Ssshhh… Nenek Park! Ah, aku ingat!
      “Ah, Nenek Park! Femi bener-bener kangen sama Nenek!” seruku.
   Aku langsung tersenyum ceria dan langsung memeluk Nenek Park. Beliau adalah teman Kakek dan Nenekku. Kakekku berasal dari Korea dan masih mempunyai ikatan darah dengan Nenek Park walaupun sudah cukup jauh, sedangkan Nenekku keturunan Belanda, makanya tidak heran kalau Tante Levana tinggal di Belanda. Perlu diketahui, Tante Levana adalah adik dari ayahku. Jadi, kesimpualannya aku adalah anak keturunan Korea-Belanda-Indonesia. Indonesia dari ibukku. Makanya, wajahku aneh kayak gini. Kalau orang kebanyakan anak keturunan cantik-cantik, aku mah tidak jelas! Mata sipit keturunan ayah, kulit kemerahan keturunan Nenek, wajah agak bulat keturunan kakek, badan pendek keturunan Mama, nah, hidung rada-rada pesek keturunan siapa?!
   “Kalau kangen, kok, sampai lupa sama Nenek,” sahut Nenek Park sambil menepuk-nepuk punggungku.
   “Habis, Nenek tambah cantik!” jawabku setengah menggoda dan melepaskan pelukanku.
   Nenek Park menepuk lenganku,”Ah, kamu bisa aja,"
   Aku tersenyum lebar sampai-sampai aku melupakan cowok menyebalkan itu. Padahal, cowok itu tidak melakukan apa-apa sama aku, tapi rasanya sebaaaal banget sama dia.
   “Harmoni 7, Femi ternyata sudah kenal sama Shin-woo ssi,” kata Tante Levana antusias dengan bahasa koreanya yang sangat fasih.
   “Benarkah? Ini pasti jodoh!” sahut Nenek Park dengan antusias dengan bahasa koreanya.
   Apa sih yang mereka bicarakan? Tadi mereka bilang jodoh apa bukan, ya? Hmm, siapa yang jodoh? Tadi ada nama aku dan Shin-woo kan? Apa mungkin mereka… Ah, mana mungkin! Hah, mustahil! Shin-woo...? Siapa juga Shin-woo?
   Nenek Park menyikutku dan berkata dengan bahasa Korea,”Femi, kamu ingat tidak sama Shin-woo?”
   Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, Nenek bilang apa, ya? Aku tidak mengerti. Tante Levana yang tau kalau aku tidak terlalu mengerti bahasa Korea selain annyeonghaseyo, annyeong, janen, ye, saranghae, gamshamida, biyanae, dan panggilan untuk keluarga mendekatiku.
   “Ah, Femi, kamu bikin malu aja nggak ngerti bahasa Korea,” ucap Tante Levana seraya menjitakku,”Nenek bilang, kamu masih ingat nggak sama Shin-woo?” tambah Tante Levana.

6 Nenek

   Aku megelus-elus dahiku yang kena jitak Tante Levana, sakit banget! Tuh kan Shin-woo lagi, siapa sih Shin-woo itu?
   Aku mengaruk-garuk telinga bawahku. Mau bilang lupa, takut disangka Nenek Park kalau aku itu kacang yang lupa dengan kulitnya. Sudah lupa sama Nenek Park sekarang lupa sama orang bernama Shin-woo. Tapi, sungguh, aku bener-bener tidak kenal dengan orang yang bernama Shin-woo.
   Nenek Park menepuk pundakku lemah. Pasti dia kecewa kalau tau aku lupa sama Shin-woo, yang dari tadi dibicarakan. Padahal, aku tidak ingin mengecewakan Nenek Park yang sudah lebih sepuluh tahun tidak bertemu.
   ”Tidak apa-apa kalau kamu sampai lupa sama Shin-woo, karena sudah lama kamu tidak bertemu sama dia,” kata Nenek Park. ”Shin-woo sekarang, ada di depan kamu duduk,” tambah Nenek Park dengan wajah berseri-seri.

   Di depan aku duduk? Berarti... berarti memang benar dugaanku kalau Shin-woo itu adalah cowok yang menyebalkan itu! Aku langsung memalingkan wajahku ke orang yang bernama Shin-woo, orang yang sekarang makan dengan santainya.
”Nenek mau bicara sama kalian setelah kalian makan. Nenek tunggu kalian di ruang tamu,” kata Nenek Park.
   Aku langsung terduduk setelah Nenek Park pergi meninggalkan kami yang diiringi Tante Levana. Aku shock berat. Kenapa seperti ini?  Ternyata, kebetulan itu tidak menyenangkan seperti di komik-komik atau novel kebanyakan.
   ”Kamu kenapa, Femi?” tanya Om Edward.
   Aku hanya menggelengkan kepalaku. Aku masih heran dengan apa yang terjadi. Nenek Park bilang aku mungkin sudah lupa sama Shin-woo? Berarti aku pernah kenal sama cowok menyebalkan itu, tapi aku tidak ingat pernah kenal sama cowok menyebalkan itu.
   ”Kenapa masih ada di sini? Semua orang sudah ada diruang tamu,” Om Edward membuyarkan lamunanku. Aku melihat jam dinding, wah… Aku sudah melamun selama lima belas menit.
   ”Ah, iya, nanti Femi setelah membereskan meja makan,” jawabku sambil mengambili piring-piring.
   ”Ah, ini nanti saja! Semua orang sudah menunggu kamu,” ucap Om Edward seraya mendorongku keluar dari ruang makan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar