Eleven
”Ciee, yang sudah baikan!” seru
teman-temanku ketika aku menghampiri mereka yang sedang asyik duduk-duduk di
kantin.
Mendengar ucapan mereka membuatku senyam-senyum
bahagia. Hmm, jelas aku tidak dapat menyembunyikan wajah bahagiaku.
”Sini, sini, duduk, sini!” kata Icha seraya
menarik tanganku.
”Tadi malam kalian ngapain?” tanya Gebby
seraya melipat tangannya bersiap untuk mendengar ceritaku yang tadi malam pergi
kencan.
”Ngapain? Ih, mau tau aja! Rahasia, dong!”
sahutku.
”Yee! Kami penasaran tau! Ayo, ayo,
ceritakan!” pinta Pika.
”Baiklah kalau lo memaksa,” kataku
memperpanjang senyumku.
Teman-temanku langsung mencondongkan badan
mereka mendekatiku dan memasang wajah sok manis tapi menurutku sangat
mengerikan.
”Aah!
Wajah kalian terlalu mengerikan! Duduk seperti biasa aja!” seruku.
Mereka memasang wajah cemberut dan duduk
normal.
Aku menarik napas dan menceritakan apa yang
terjadi tadi malam. Malam tadi, Shin-woo mengajakku jalan-jalan, hmm, lebih
tepatnya kencan. Mulai dari menjemputku (yah, walaupun sampai sekarang dia
tidak pernah membukakan pintu mobil untukku), kemudian dia mengajakku ke
restoran, sungguh rasanya aku seperti seorang princess. Tidak di situ
saja malam itu berakhir,kami nonton, main game, dan berkeliling mall.
Walau pun aku sangat ingin memegang tangannya, tapi entah mengapa keberanianku
ciut begitu saja.
Di akhir kencan kami (Hehe, aku
sungguh-sungguh malu mengucapkan kata kencan), Shin-woo mencium keningku
dan aku masuk ke dalam rumah. Kurang lebih setengah jam, Shin-woo menelponku
dan kami mengakhiri pada jam satu pagi.
”Hanya itu?!” seru teman-temanku kompak.
Aku mengangguk. ”Kenapa? Bukankah seperti di
film-film? Romantis, kan?” tanyaku setengah membanggakan diriku.
”Itu sudah biasa dalam pacaran, Femi!” kata
Gebby.
”Sok tau lo! Emang lo pernah pacaran?”
tanyaku.
”Femi, gue emang nggak pernah pacaran, tapi gue
tau banyak tentang pacaran dari gosip yang gue kumpulin,” jawab Gebby.
” Iya! Gue kira ada sedikit hal menantang
yang lo lakuin, yang berbeda dengan orang pacaran kebanyakan,” tambah Pika.
”Hmmm… gue juga seperti lo Femi waktu
pacaran, maaf ya,” kata Icha lembut.
Aku menarik napasku. ”Setidaknya gue merasakan
rasanya pacaran yang normal,”
”Tapi, kami rasa itu sudah merupakan
kemajuan dari hubungan kalian,” kata Pika.
”Benarkah?!” seruku dengan tersenyum lebar.
Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Aku langsung
mengmbil handphone yang ada di kantung celanaku. Shin-woo! Aih, senangnya!
”Halo!” sapaku ceria.
”Sibuk? Bisa ke sini sebentar?”
tanya Shin-woo to the point.
”Kelas belum dimulai, nanti saja kalau sudah
selesai. Bagaimana?” tanyaku.
”Baiklah,” ucap Shin-woo seraya
menutup telponnya.
”Ada apa?” tanya Icha mewakili pertanyaan
teman-temanku.
”Nggak tau, Shin-woo minta gue datang ke
tempatnya,” jawabku.
”O, ya? Waah, Femi! Bukankah ini suatu
kemajuan?” seru Pika.
”Hah?”
”Iya! Shin-woo ingin bertemu lo buat apa?”
tanya Pika.
”Buat apa? Nggak tau, tuh!” jawabku.
Pika menjitak kepalaku. ”Femi, lo punya
otak, nggak sih?”
Aku mengelus-elus kepalaku yang kena jitak
oleh Pika. ”Apa sih!”
”Femi, kalau seseorang ingin bertemu dengan
seseorang, biasanya untuk apa?” tanya Pika.
”Hmmm… bisnis? Atau ada urusan,”
”Shhh, maksud gue, orang yang saling
mencintai!” desis Pika.
”Kangen?”
”Nah, itu! Shin-woo kangen sama lo!” seru
Pika seraya menepuk tangannya.
”Dari mana lo tau?” tanyaku.
”Femiiii! Lo itu lemoooot banget! Tadi
Shin-woo nelpon lo kan? Ngajak ketemu, kan? Nah, jelas sudah kalau Shin-woo
kangen sama lo!” seru Pika dengan wajah memerah.
”Benarkah?”
”Iya! Jelas sudah! Shin-woo kanget banget
sama lo dan nggak bisa menahan perasaannya sehingga menelponmu untuk bertemu,”
kata Pika penuh keyakinan.
Aku melihat jam tanganku, sudah waktunya
masuk kelas. ”Sudah, ya, gue mau masuk dulu, bye!” pamitku seraya berlari
menuju kelas.
Dua jam terasa dua abad! Oh, Tuhan lama
sekali! Aku sudah tidak sabar untuk bertemu Shin-woo. Aku melihat jam tanganku
entah yang keberepa kalinya.
”Kenapa, Fem?” tanya Tiyo yang dari tadi
memperhatikanku yang gerasah-gerusuh.
”Mau tau aja!” jawabku.
”Kebelet, Fem? Biar gue panggilin Pak Setyo
biar lo diijinin keluar,” kata Tiyo.
”Gue nggak lagi kebelet tau! Masih lama
nggak?” tanyaku.
”Nggak tau,” jawab Tiyo. ”Pak!”
”Iya, Yo, ada apa?” tanya Pak Setyo.
”Masih lama pelajarannya? Kasihan Femi, Pak,
dia dari tadi melirik jam tangan terus. Dia kebelet, Pak,”ujar Tiyo seenaknya.
Aku langsung menoleh ke arah Tiyo. Apa? Hah,
manusia satu ini?! Harusnya aku tadi tidak duduk di sampingnya. Aku
memperhatikan sekelilingku, semua cengengesan sambil melihatku.
Pak Setyo memperhatikanku sejenak kemudian
melihat jam tangan dan jam dinding.
”Yah,
mungkin cukup sekian pertemuan kita hari ini. Selamat siang.” ucap Pak Setyo
seraya meloyor pergi.
”Aku nggak lagi kebelet pak!” seruku.
”Tiyo!” seruku seraya menjitak kepala anak itu.
Tiyo mengelus-elus kepalanya kemudian
merangkulku. ”Terima kasih sudah menyelamatkan kami dari dunia kebosanan yang menggerogoti
diri gur. Lapaaar!” kata Tiyo seraya berlari ke arah gerombolan anak laki-laki.
Awas saja kau Tiyo! Nanti malam aku santet
biar gagu selama satu bulan! Lihat saja! Hmm,hmm, tidak jadi, aku ralat! Aku
orang baik, aku tidak mungkin melakukan itu. Aku memaafkanmu Tiyo, bersyukurlah
kamu moodku hari ini sangat baik.
Handphoneku berbunyi. Shin-woo calling.
”Halo,”
”Sudah selesai?”
”Iya,”
”Apa perlu aku jemput?”
”Tidak perlu, aku akan naik taksi saja,”
jawabku.
”Aku tunggu, cepatlah,” kata
Shin-woo.
”Iya,” sahutku seraya menutup telpon.
TING, TONG!
Aku memencet bel rumah Shin-woo. Jantungku
berdetak kencang, tidak biasanya seperti ini. apa gara-gara ucapan Pika tadi? Iya!
Jelas sudah! Shin-woo terlalu rindu dan tidak dapat menahan perasaannya
sehingga menelponmu untuk bertemu. Aku mengibas-ngibas wajahku yang terasa
panas. Tenanglah Femi, tenanglah.
Shin-woo membuka pintu, aku masuk ke dalam
apartementnya seraya menutup pintu. Aku langsung duduk di sofa Shin-woo. Aku
memperhatikan apartement Shin-woo, berantakan sekali, tidak seperti biasanya.
”Kenapa?” tanya Shin-woo seraya memberikan orange
juice.
Aku langsung meneguk habis jus yang
diberikan Shin-woo. ”Haus!”
Shin-woo hanya tertawa kecil melihatku
seraya mengacak-acak rambutku.
”Tadi Ryo ke sini?” tanyaku sambil
memperhatikan gitar Ryo.
”Iya tau dari mana?” tanya Shin-woo.
”Gitarnya dan apartementmu yang selalu
berantakan setiap kali dia datang,” sahutku.
”Ya, kakakmu itu manusia yang sangat
merepotkan. Hmm, maaf kalau tersinggung,” kata Shin-woo.
”Tidak, aku tidak tersinggung, memang itu
kenyataannya.” sahutku. ”O, ya, ada apa memanggilku?”
Jantungku sangat berdebar-debar menunggu
jawabannya. Apa mungkin dia akan menjawab: Aku sangat rindu. Sangat. Aku ke
sini memanggilmu untuk menemaniku, hanya kamu dan aku. Aih! Senangnya.
”Femi, kamu mendengarkan aku tidak?” tanya
Shin-woo.
”Ah, apa?” tanyaku balik.
”Hah, kamu ini dasar!” keluh Shin-woo. ”Aku
ulang. Aku memanggilmu untuk membantuku membersihkan apartement ini. Kamu
sendiri tau, ini semua gara-gara siapa.” jelas Shin-woo.
Apa? Jadi dia menyuruhku ke sini hanya untuk
membersihkan apartementnya? Bukan karena kangen? Menyebalkan!
”Kenapa kamu mau? Harusnya kamu menendangnya
keluar,” sahutku.
”Sudah kulakukan, tapi dia mengetahui
kelemahanku. Bantu aku.” ucap Shin-woo seraya menyerahkan sapu.
”Apa? Tidak bisa begitu! Seenaknya!”
protesku. ”Aku tidak mau! Sampai mati aku tidak mau!”
Shin-woo membalikkan badannya.
”Aku mohon, bantu aku, ya?” pinta Shin-woo
dengan wajah memelas yang membuatku luluh.
Aku terlalu lemah melihat wajahnya yang
sangar manis ketika memelas. Aku mengangguk.
”Bagus! Kamu membersihkan bagian dalam, aku
membersihkan bagian luar.” kata Shin-woo lantang seperti seorang kapten.
”Apa?”
”Bukannya tadi mau bantu aku? Kamu tidak
mau? Haah,” ucap Shin-woo dengan memasang wajah sedih.
”Ah, bu… bukan begitu… aku mau, sudah,
jangan memasang wajah seperti itu. Hah, aku tidak tega.” pintaku.
Kenapa aku lemah dengan wajahnya yang
memelas seperti itu? Akh! Shin-woo terlalu imut saat memasang wajah memelas,
membuat hatiku luluh. Apa shin-woo akan seperti aku kalau aku memasang wajah
memelas?
”Ayo, cepat kerjakan! Aku akan membersihkan
jendela,” ucap Shin-woo.
Akhirnya, aku datang ke rumah Shin-woo hanya
untuk membantunya membersihkan apartement, harusnya aku sudah mengira ini akan
terjadi. Shin-woo manusia yang sangat kecil untuk melakukan hal-hal romantis.
Sekarang sudah jam empat sore, berarti sudah
dua jam berlalu. Ini menandakan aku harus pulang. Sebenarnya aku lelah, tapi
ketika melihat Shin-woo, entah kenapa perasaan itu lenyap.
Aku memperhatikan Shin-woo yang sedang
menuangkan jus jeruk ke cangkir. Tampan sekali. Dia selalu terlihat tampan
walau tidak dengan ekspresi. Hah, aku sadar, sangat sadar kalau aku sangat
beruntung karena memiliki Shin-woo.
”Ada apa?” tanya Shin-woo seraya meletakkan
cangkir berisi jus jeruk di atas meja.
”Ha? Tidak ada,” jawabku.
”Kamu memperhatikanku?” tanya Shin-woo
dengan nada setengah menggoda.
”Apa? Mana mungkin!” jawabku mengelak.
”Hahaha, tidak perlu menyangkal! Aku tau apa
yang kamu pikirkan. Aku tampan, ya kan?” ucap Shin-woo.
”Hah?! Dasar manusia sok ganteng! Hmm, tapi
emang ganteng sih,” ucapku kemudian bergumam sendiri.
Shin-woo terus mentertawakan aku yang salah
tingkah. Daripada aku malu sendiri, lebih baik aku pulang. Ya, itu jalan
satu-satunya untuk kabur dari godaan Shin-woo yang menggerogoti salah
tingkahku.
Aku mengambil tasku yang ada di rung tamu
Shin-woo kemudian berjalan menuju pintu. Tapi, tanganku ditahan oleh Shin-woo.
”Mau kemana?” tanya Shin-woo.
”Pulang!” jawabku.
”Ikut
aku,” ucap Shin-woo seraya menarik tanganku.
”Kemana?” tanyaku.
Shin-woo tidak menjawab pertanyaanku dan
terus menarik tanganku keluar dari apartementnya. Aku tidak tahu dia akan
membawaku kemana, tapi aku terus mengikuti Shin-woo dan akhirnya kami berhenti
di belakang apartementnya.
”Aku sudah lama ingin membawamu ke sini,”
ujar Shin-woo.
”Kenapa?” tanyaku.
”Lihatlah. Bukankah tempat ini bagus? Tidak
ada yang menyadarinya. Di sini, kita dapat melihat kota. Aku sering ke sini
kalau sedang suntuk,” jawab Shin-woo.
Aku melihat sekelilingku, kemudian tersenyum
lebar. Benar! Benar kata Shin-woo, di sini sangat nyaman, kita dapat melihat
kota dan sungai. Di tambah aroma rumput dan ilalang yang membuat perasaan
damai.
Apa ini?! Geli banget!
”Huuuuuaaaachiii…”
Aku langsung mengambil benda asing yang
membuat wajahku geli dan bersin. Aku menoleh ke arah Shin-woo yang tertawa
gelak. Apanya yang lucu? Menyebalkan! Aku melihat benda yang ada di tangan
Shin-woo. Oh, jadi itu yang membuat aku kegelian? Ilalang!
Aku mengambil ilalang yang ada di sampingku.
”Shin-woo! Awas, ya!” seruku seraya berlari mengejar Shin-woo yang sudah
berlari lebih dulu.
Kami terus berlari sampai kami berdua
mengobarkan bendara putih, tanda menyerah. Kami duduk di atas tanah karena
kelelahan sambil tertawa.
”Tunggu sebentar.” ujar Shin-woo seraya
berdiri mengmbil tasnya.
”Taraaa!”seru Shin-woo mengeluarkan
kameranya.
Aku tersenyum heran. ”Buat apa?”
”Ini kamera, fungsinya untuk apa?” tanya
Shin-woo.
”Memotret,” jawabku seperti orang dungu.
”Nah! Jangan tanya lagi,” sahut Shin-woo.
”Maksud aku, buat memotret apa?”
JPREET
”Shin-wooo! Itu tidak boleh, aku belum
berpose manis! Kalau seperti ini, baru boleh,” kataku sambil berpose manis.
Shin-woo melihatku dengan tatapan aneh. ”Itu
pose paling mengerikan yang pernah aku lihat,”
”Apa?”
”Kemari!” ujar Shin-woo seraya menarikku.
Deg!
Oh, Tuhan! Wajah Shin-woo sangat dekat
dengan wajahku. Aku menelan ludahku beberapa kali. Aku melihat wajah Shin-woo
lewat ujung mataku. Aku menarik napasku, huh! Udara di sini jadi terasa panas.
”Bersiap sekali lagi, ya,” ucap Shin-woo.
Setelah mengambil beberapa foto, akhirnya
jantungku kembali dalam keadaan normal, yah, tidak sepenuhnya normal. Jantungku
tidak akan pernah normal selama bersama Shin-woo. dia selalu membuatku merasa
gugup, membuat wajahku terasa panas, dan tidak dapat bersikap normal.
”Femi…”
”Ya?”
”Apakah kamu sangat menyukaiku?” tanya
Shin-woo.
Aku terdiam. Apa yang sedang Shin-woo
pikirkan? Bukankah dia sudah tahu kalau aku sangat menyukainya bahkan aku
sangat mencintainya.
”Apakah perlu aku jawab?” tanyaku.
Shin-woo meraih kedua tanganku kemudian
memelukku. Ada apa ini? Kenapa dia tiba-tiba memelukku? A-Apa mungkin Shin-woo
punya penyakit mematikan dan ini adalah kebersamaan kami yang terakhir kalinya,
setelah itu Shin-woo menghilang karena tidak mau melihatku menangisi
kepergiannya.
Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Aku harus
mencegah Shin-woo melakukan itu. Apa pun yang terjadi, aku pasti akan selalu
bersamanya. Sedih, senang, akan aku lalui bersama.
”Aku merasa sangat nyaman berada di sisimu.
Kamu mampu membuatku tersenyum. Tapi…”
”Shin-woo! Apa pun yang terjadi aku akan
selalu bersamamu, aku akan selalu membuatmu tersenyum,” potongku.
”Terima kasih,” ucap Shin-woo kemudian
menarik napasnya. ”Aku selalu merasa kamu terlalu baik untukku, dan aku
berpikir sebaiknya…”
Aku langsung memeluk Shin-woo tanpa
membiarkannya melanjutkan ucapannya.
”Shin-woo, apa pun yang kamu pikirkan, seberapa singkat waktumu
bersamaku aku akan tetap bersamamu, kumohon jangan menghilang,” ucapku dengan
mempererat pelukanku.
Shin-woo melepaskan pelukannya dan menatapku
dengan aneh. ”Hah?”
Aku kembali memeluk Shin-woo. ”Aku tau kamu
akan meninggalkanku karena penyakit yang kamu derita,”
Shin-woo melepaskan pelukkanku. ”Penyakit?”
Aku kembali memeluk Shin-woo. ”Iya, itu kan
yang akan kamu ucapkan?”
Shin-woo tertawa terbahak-bahak dan
mengacak-acak rambutku.
”Femi, Femi,
apa yang kamu pikirkan? Aku tidak menderita penyakit,” tawa Shin-woo.
”Lalu? Kenapa kamu mengajakku ke sini?”
tanyaku.
”Sudah kubilang kan, aku suka tempat ini.”
jawab Shin-woo. ”Kamu terlalu sering menonton drama!”
Aku hanya bisa menunduk malu sambil
menggaruk-garuk kepalaku. Hah! Femi, harusnya kamu berpikir, tidak mungkin
orang seperti Shin-woo yang mempunyai badan kekar dan sehat menderita penyakit.
Aku terlalu mendramatisir keadaan.
”Kenapa? Malu?” goda Shin-woo.
Aku melihat Shin-woo dengan wajah cemberut.
Dasar manusia menyebalkan!
”Aaah, tingkahmu membuatku melupakan
tujuanku,” keluh Shin-woo seraya duduk di atas rerumputan sambil menatap sungai
di depan kami.
”Ha? Apa? Apa tujuanmu?” tanyaku penasaran
seraya duduk di samping Shin-woo.
Shin-woo menatapku dengan tatapan
mencurigakan. Aku langsung menyilangkan kedua tanganku di dada.
”Dasar cowok mesum! Maniak!” seruku.
”Ha? Maksudmu?! Hah, apa yang bisa kulihat
darimu? Cantik juga nggak,” seru Shin-woo kesal.
”Memang benar! Apa kamu tidak ingat ketika
kita berada di Belanda, kamu masuk kamarku tanpa mengetuk pintu padahal aku
baru selesai mandi!” balasku.
”Hey, wak…”
”Apa kamu juga tidak ingat waktu di rumahku,
aku juga baru selesai mandi dan kamu berada di kamarku, hah, waktu itu kamu
malah duduk bersila dan bersiap untuk melihatku ganti baju,” ucapku tanpa
membiarkan Shin-woo membela dirinya.
Tiba-tiba Shin-woo mendekap mulutku dan
menatapku lekat-lekat kemudian memelukku dengan erat. Sangat erat. Jantungku
berdebar-debar, tapi pikiranku bertanya-tanya, kenapa hari ini Shin-woo agak
aneh?
Shin-woo melepaskan pelukkannya dan
melihatku lekat-lekat kemudian mengelus rambutku. ”Kamu sangat manis,”
Aku pasti salah dengar. Itu kan, dia agak
aneh hari ini. ”Apa?”
Shin-woo memegang kedua tanganku. ”Apakah
ini terlalu cepat? Siapkah kamu saat aku mengucapkan will you marry me?
Hah, aku sudah mencoba mempratikannya, berulang-ulang kali aku lakukan. Aku
kira mudah untuk mengucapkannya. Ternyata… itu tidak mudah,”
Apa maksudnya ini? Jantungku juga tidak mau
kompromi. Somebody, help me! Aku tidak bisa bernapaaas! Wajahku panas, air,
air, aku butuh air sekarang!
”Shin… Shin-woo, apa maksudmu? Jangan
membuatku berpikiran lain,” pintaku.
”Femi…”
”Ya?!”
”Apa yang kamu pikirkan sekarang?” tanya
Shin-woo.
Apa yang kupikirkan sekarang? Aku tidak
dapat berpikir gara-gara ucapanmu!
”A-aku tidak tahu,”
”Kamu tahu… Aku sudah memikirkan ini
beribu-ribu kali dan… akhirnya aku memutuskan ini… Ini adalah pilihanku,” ucap
Shin-woo seraya meletakkan cincin di atas telapak tanganku.
”A-apa maksudnya dengan ini?” tanyaku gagap.
Shin-woo menatapku dengan penuh keyakinan.
”Femi… menikahlah denganku,”
”Hah?! Kamu sakit Shin-woo?” tanyaku seraya
meletakkan tanganku ke dahi Shin-woo. ”Badanmu tidak panas,”
”Aku tidak sakit. Aku serius… menikahlah
denganku,” jawab Shin-woo dengan tersenyum.
”Tidak, aku pasti bermimpi,” kataku seraya
menampar wajahku sendiri. ”Ini nyata!” gumamku.
Shin-woo meraih tanganku kemudian mengambil
cincin yang dari tadi dalam genggamanku. Dia melihatku dengan tersenyum lebar,
kemudian memasukkan cincin itu ke jari manisku.
”Ini bukan mimpi, ini juga bukan khayalan.
Femi, aku benar-benar serius untuk hubungan kita. Menikahlah denganku,” ucap
Shin-woo.
”Apakah ini tidak terlalu cepat?” tanyaku.
Shin-woo menggeleng-gelengkan kepalanya.
”Tidak. Apakah kamu belum siap?” tanya Shin-woo.
Oh Tuhan! Aku bakalan menjadi istri
Shin-woo! Ini artinya, namaku akan bertambah menjadi Femi Calandra Park atau
Park Femi Calandra. Eh, kok, agak aneh ya? Ah, masa bodo! Yang penting intinya
AKU ISTRI SHIN-WOO. Haha, berarti sekarang aku harus memanggil Om Park, ayah,
dan tante Jasmine, Mama.
Huh, jantungku jadi berdebar-debar, padahal
aku hanya memikirkannya saja, apalagi kalau ini benar-benar terjadi. Shin-woo
mulai sekarang harus memanggilku apa, ya? Mama? Sayang? Astaga! Ini benar-benar
membuatku terbang ke langit ketujh.
”Femi, kamu mendengarkanku?” tanya Shin-woo
sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahku.
”Hah? Apa?” tanyaku kaget.
”Haah, anak ini, aku bertanya, kalau kamu
tidak siap, kita tidak akan menikah bulan ini,” jawab Shin-woo.
”Hah? Bulan ini?!” kataku setengah berseru
kaget.
”Kenapa? Aku ingin menikah secepatnya,”
jawab Shin-woo dengan tersenyum lebar.
”Secepatnya?” tanyaku seperti orang dungu.
”Iya,” jawab Shin-woo dengan tersenyum lebar
sambil mengacak-acak rambutku.
Aku memegang dadaku dengan kedua tanganku,
mungkin saja dengan ini aku bisa mengurangi detak jantungku yang terlalu cepat
dan dapat berpikir dengan jelas.
”Kalau kamu tidak mau, tidak apa-apa,” ucap
Shin-woo.
Aku menarik ujung baju Shin-woo, Shin-woo
menoleh ke arahku dengan tersenyum. Sekarang, dia lebih banyak tersenyum, yah
sejak kami bertengkar dulu, sikapnya mulai mencair dan banyak tersenyum.
”Ada apa?” tanya Shin-woo.
Aku mengangguk. Sejenak, Shin-woo menatap
aneh diriku.
”Kamu setuju?” tanya Shin-woo.
Aku mengangguk.
Tiba-tiba Shin-woo memelukku dengan erat dan
hampir saja membuatku jantungan.
”Terima kasih… terima kasih Femi,” ucap
Shin-woo.
Aku menepuk-nepuk punggung Shin-woo. ”Untuk
apa berterima kasih?”
”Aku bahagia sekali! Aku sangat bahagia! Aku
tidak pernah merasakan sebahagia ini,” ucap Shin-woo.
Shin-woo melepaskan pelukannya dan menatapku
lekat-lekat yang pastinya membuatku salah tingkah. Shin-woo mendekatkan
wajahnya ke wajahku. A-apa yang akan dia lakukan? Apa mungkin dia akan… tidak
boleh! Aku langsung menyilangkan kedua tanganku di depan bibirku.
”Tidak boleh!” seruku.
”Hah?”
”Kalau sudah resmi… baru boleh,” ucapku
seraya memalingkan wajahku.
Aduuh, kenapa setelah mengucapkan kata-kata
wajahku terasa panas? Udara memang tidak pernah bersahabat denganku. Apa aku
membuang kesempatan berharga? Femi! Apa yang kamu pikirkan? Kamu sudah benar!
Tidak boleh kissa-kissu sebelum menikah. Ingat itu! Auh, tapi itu kesempatan
langka! Aaakkkhhh! Apa yang sedang merasukiku sekarang? Hush, hush, sana iblis!
Melihat sikapku yang gerasah-gerusuh,
Shin-woo tertawa terbahak-bahak. Dia memang suka melihat aku menderita. Haah,
tapi aku senang bisa melihatnya tertawa, tersenyum, itu membuat hatiku tenang.
Shin-woo menyadarkan kepalanya ke bahuku.
Aku menoleh kaget ke arah Shin-woo. Baru kali ini dia menyadarkan kepalanya ke
bahuku. Aku senang, aku merasa bermanfaat.
***
”Femi!” seru Mama.
”Ada apa, Ma?” sahutku dengan berseru juga.
”Sudah siap belum?” tanya Mama.
Aku berlari menuruni tangga menghampiri Mama
yang duduk di teras dengan Shin-woo.
”Sudah!” jawabku.
”Kamu ini bagaimana, Shin-woo sudah lama
menuggumu,” celoteh ria Mama.
”Tante Levana yang salah, datang ke
Indonesia nggak ngasih kabar,” ucapku membela diri.
Ya, Tante Levana datang ke Indonesia, karena
sekarang di Belanda libur karena salju turun lebat (seperti hujan saja). Dan seperti biasa, tante Levana tidak pernah
memberitahu lebih dulu kalau dia akan datang ke Indonesia, tapi kali ini
berbeda, aku akan menjemput tante Levan bersama dengan Shin-woo, bukan dengan
Ryo lagi.
”Tuh, orang lain kan yang disalahin,” ucap
mama.
”Emang benar, kok,” sahutku.
”Sudah pergi sana,” kata Mama seakan-akan
mengusirku.
”Iya,” kataku seraya menyalami tangan mama.
”Kami pamit dulu, tante,” ucap Shin-woo
sambil menyalami tangan Mama.
”Iya, hati-hati, ya,” kata Mama sambil
melambai-lambaikan tangannya.
Aku membalas lambaian tangan mama sampai
masuk ke dalam mobil. Shin-woo menghidupkan mobil dan menjalankannya. Sekilas,
aku melirik Shin-woo yang fokus pada jalanan.
”Femi.”
”Ya?” jawabku langsung.
”Dua hari lagi orang tuaku datang,” kata
Shin-woo.
”Oh, ya? Ada urusan bisnis, ya?” tanyaku.
”Tidak,” jawab Shin-woo.
”Lalu?” tanyaku.
”Buat meresmikan pernikahan kita dan menentukan
tanggal pernikahan kita,” jawab Shin-woo.
”Ha?!” seruku kaget.
Ayah mer… hmm, maksudku Om dan Tante akan
datang ke Indonesia untuk meresmikan hubunganku dengan Shin-woo! Oh, Tuhan!
Ternyata ini benar-benar bukan mimpi! Aku akan menjadi istri Shin-woo!
menyenangkan sekali mengetahu ini.
”Kenapa? Tidak suka?” tanya Shin-woo.
”Tidak! Aku senang!” jawabku dengan
berseru.
Shin-woo tersenyum melihatku yang
gerasah-gerusuh bahagia. Aku tidak bisa menutupi perasaan bahagiaku, biarkan saja
Shin-woo melihat betapa bahagianya aku.
Begitu bahagianya aku sampai-sampai aku
tidak mengetahui kalau kami sudah sampai di bandara. Aku keluar dari mobil dan
mengikuti Shin-woo dari belakang, jalan Shin-woo terlalu cepat. Hah, dia itu,
apa tidak ingat kalau aku tidak bisa berjalan cepat (karena kakiku pendek)?
Mentang-mentang punya kaki panjang.
BUUUKK
Aku menbrak punggung Shin-woo. kenapa
berhenti? Aku menoleh ke samping karena terlindung punggung Shin-woo. ah, Tante
Levana!
”Tante!” seruku.
”Femi!”
Tante Levana membuka tangannya siap
memelukku, gawat! Aku harus cepat menghidar sebelum… terlambat! Gerakkanku
kurang gesit, tante Levana sudah keburu memelukku.
”Tanteee kangeen!” ujar tante Levana seraya
mempererat pelukkanku.
”Tanth… Mhi… Ghak… Sha… Phas!” ucapku sambil
menepuk-nepuk pundak tante Levana.
”Femi!” kata tante Levana seraya melepaskan
pelukkannya.
Aku menepuk-nepuk dadaku sambil menarik
napas dalam-dalam. ”Ohok… ohok… ohok..”
”Dadamu tambah besar, ya!” bisik tante
Levana.
Aku tersentak mendengar ucapan tante Levana
dan langsung menyilangkan kedua tangan di dadaku. Haah, kenapa aku punya tente
yang rada-rada… m-e-s-u-m.
”Tante!” seruku.
”Ah, iya!” ujar tante Levana seraya
menepukkan tangannya yang digempalkan ke telapak tangannya.
Tante Levana merangkulku. ”Tante dengar,
dalam minggu ini kamu akan menetapkan tangaal pernikahanmu?” bisik tante
Levana.
Senyumku mengembang. ”Iya.”
”Benarkah?!” pekik tante Levana.
”Tante! Stttt….” ujarku seraya meletakkan
telunjuk di depan mulutku.
Tante Levana meletakkan keduannya di
dadanya. ”Haaah, kenapa tante yang gugup?”
”Moeder, ik heb gekocht melk1.”
ucap seseorang yang suaranya tidak asing di telingaku.
Aku menoleh ke arah sumber suara, sudah kuduga!
Bocah tengik yang langsung memeletkan lidahnya. Kenapa tante Levana membawa
bocoh satu ini? Harusnya tante Levana mengikatnya kemudian dimasukkan ke dalam
kandang bulldog. Kedengarannya sangat mengerikan.
”Alles
is compleet? Laten we naar huis gaan2.”
kata Om Edward.
Dua hari sudah berlalu. Hari ini, ayah me…
hmm, salah lagi. Om Park dan tante Jasmine akan datang ke rumahku, mereka sudah
datang kemarin. Mulanya, aku mau menemui mereka untuk menyambut kedatangan
mereka. Tapi, Shin-woo tidak mengizinkan, dia bilang biar besok saja, lagipula
mereka harus istirahat.
Hatiku tidak karuan sekarang. Jantungku
berdebar kencang, pikiranku tidak bisa fokus dan terus memikirkan apa yang akan
terjadi hari ini. Apakah mungkin aku akan melakukan kecerobohan seperti waktu
pertunangan? Atau mungkin aku nanti hanya bisa mematung menghadapi om dan
tante? Aku guggup!
BIIIPPPP
Handphoneku bergetar tanda pesan masuk, apa
mungkin Shin-woo? aku langsung menghampiri handphoneku. Kevin? Tumben mengirim
pesan. Sudah lama tidak bertemu Kevin sejak hari itu. Apa dia baik-baik saja?
Aku membuka pesan Kevin: Sedang sibuk?
Bisa bertemu sebentar?
Bertemu? Apa tidak apa-apa bertemu dengan
Kevin? Aku menarik napasku. Aku ingin bertemu dengan Kevin, aku ingin mengucapkan
terima kasih karena sudah membantuku.
Tok… Tok… Tok…
”Femi?” sapa tante Levana.
”Tante!” sapaku balik.
”Boleh masuk?” tanya tante Levana.
”Masuk saja, sok formal,” kataku kemudian
tertawa.
Tante Levana menghampiriku dan duduk di
sampingku.
”Femi, apa kamu gugup?” tanya Tante Levana.
”Tentu saja! Apa tante seperti ini juga
sebelum menikah?” tanyaku balik.
”Jelaslah! Tapi, tante berbeda denganmu,”
kata tante Levana.
1 Ma, aku sudah membeli susunya
2 Aapakah semuanya sudah komplit? Ayo
pulang.
”Berbeda? Berbeda apanya?” tanyaku penasaran.
”Sebelum mertua tante datang, tante ke salon
dan ke butik untuk mempercantik diri. Biar terkesan lebih cantik.” kata Levana.
”Oh ya? Haah, tapi aku tidak punya uang,”
keluhku.
”Maka dari itu tante kemari. Ini, pakailah,”
kata tante Levana seraya memberikan kartu kredit.
”Benarkah?!” seruku bahagia seraya memeluk
tante Levana.
”Yaaa, cepat pergi, tapi ingat datang
sebelum enam sore,” ingat Tante Levana.
Aku mengambil tasku dan berlari keluar
kamar. ”Baiklah. Bedankt, tante!”
”Mau ke mana?” tanya Ryo ketika aku melewati
ruang tamu.
”Ke salaon,” jawabku.
”Hah, lo itu tetap jelek biar pake maku up,”
ledek Ryo.
”Biarin!” sahutku seraya berlari keluar
rumah.
Ah, iya! Aku mengambil handphone dari dalam
tasku. Ke salon sekalian bertemu Kevin, dia kan sering bawa mobil, bisa nebeng
dong! Haha,
”Aku menunggumu di taman dekat rumahku.
Kirim, selesai!” ucapku sambil memencet tombol handphone.
Aku duduk bangku taman. Apa tidak apa-apa
bertemu dengan Kevin? Kenapa hatiku tidak enak dengan Shin-woo? Ah, tidak
apa-apa! Aku dan Kevin tidak mempunyai hubungan apa-apa, aku juga tidak ingin
selingkuh. Aku tidak ingin, memikirkannya pun aku tidak ingin.
”Hey!”
Kevin sudah datang. Ada yang berbeda, oh,
rambutnya! Kevin memotong rambutnya, terlihat sangat cocok dengannya. Seperti
biasa, Kevin dan senyumnya yang selalu terpikat, yah, mungkin itulah kelebihan
Kevin.
”Cepat sekali,” kataku.
”Aku tadi mampir ke rumah temanku dekat
sini,” jelas Kevin.
Aku mengangguk-angguk tanda paham. ”Mau
menemaniku hari ini?”
”Ke mana?” tanya Kevin.
”Ke salon,” jawabku.
”Baiklah, aku tau salon yang menurutku
bagus,” kata Kevin.
Seharian Kevin menemaniku ke salon dan
membeli baju. Kevin memiliki selera yang bagus, dia mengetahui banyak hal
mengenai fashion, mengajak Kevin untuk belanja ternyata tidak salah.
Kevin mengenal baik dengan pemilik butik yang kami kunjungi, hmm, dan aku
mendapat beberapa diskon. Menyenangkan.
Oh, ya, aku belum bilang kalau hari ini
Shin-woo dan aku akan menetapkan hari pernikahan kami. Sebaiknya aku
mengatakannya sekarang. Mungkin saja Kevin mengetahui tanggal yang baik untuk
menikah, dia kan sangat bisa diandalkan.
”Bagaimana kalau kita ke kaffé?” tanya Kevin
seraya menghentikan mobilnya di sebuah kaffé.
Aku mengangguk.
Kevin keluar dari mobil dan berlari kecil ke
arah pintu mobilku, kemudian dia membukakan pintu mobil untukku. Wah! Kevin
selalu melakukan hal ini ketika aku menumpang mobilnya, sangat berbeda dengan
Shin-woo. Tapi, tidak apa, Shin-woo sudah mulai berubah saja aku senang.
”Terima kasih!” ucapku ceria.
Kevin tersenyum. ”Be
rien3.”
Aku berjalan menuju pintu kaffé. Sekali lagi
Kevin melakukan hal yang tidak pernah Shin-woo lakukan untukku. Mendorongkan
pintu kaffé. Aku tersenyum tanda terima kasih kepada Kevin.
kevin menarikkan kursi untukku duduk. Kevin
sangat sopan kepada wanita. Ini yang membuatku kagum padanya.
Seorang pelayan menghampirir kami.
”Mau pesan apa?” tanya pelayan itu sopan
seraya menyerahkan buku menu.
”Kamu pesan apa, Fem?” tanya Kevin.
”Es k… nggak jadi, apa ya?”
”Siang-siang begini enaknya pesan es kelapa.
Bagaimana?” tanya Kevin.
”Ah, ya, betul!” sahutku.
”Es kelapanya dua, ya.” kata Kevin ramah
pada pelayan.
Dia mengagumkan sekali, pelayan tadi pasti
sangat merasa beruntung melayani Kevin.
”Makanannya?” tanya pelayan tadi.
”Kamu mau apa?” tanya Kevin.
”Aku tidak lapar,” jawabku.
”Itu saja, mbak,” kata Kevin seraya
menyerahkan buku menu dengan tersenyum khasnya.
Manusia satu ini sangat berbeda dengan
Shin-woo. Kalau makan bersamanya di luar, dia tidak pernah menanyakan aku mau
makan apa, dia juga tidak pernah ramah dengan pelayan. Tapi, sebenarnya
Shin-woo itu baik, dia selalu memberi uang berlebih untuk pelayan.
Sebenarnya, dulu Shin-woo tidak pernah kasar
seperti itu kepada orang lain, dia selalu menolong orang kalau ada yang
kesusahan. Entah apa yang membuatnya berubah.
”Hey, kenapa melamun?” tanya Kevin
mebuyarkanku.
”Mau tau ajau. Oh, ya, kenapa mengirim
pesan? Ada yang ingin kamu bicarakan?” tanyaku.
3 Sama-sama
Kevin mengangguk. ”Hmmm,”
”Aku juga! Aku punya berita baik!” seruku.
”ini pesanannya,” pelyan tadi meletakkan es
kelapa yang kami pesan di meja.
”Terima kasih,” ucapku dan Kevin bersamaan.
”Oh, ya, apa yang ingin kamu katakan?”
tanyaku.
”Habiskan dulu minumannya.” kata Kevin tanpa
menjawab pertanyaanku.
Aku mengangguk. Aku menuruti kata-kata
Kevin, aaah, segar sekali! Minum es kelapa di siang hari membuat energiku yang
terkuras kembali lagi.
Setelah selesai menghabiskan es kelapa yang
membuatku kenyang (kenyag air), Kevin meletekkan dagunya yang bertumpu dengan
kedua tangannya.
”Kamu dulu yang bercerita, kelihatannya
berita yang sangat mengembirakan.” ucap Kevin.
”Hmm, ini sangat mengembirakan! Ehem… ehem..
Kevin, aku dan Shin-woo hari ini akan menentukan tanggal pernikahan kami!”
seruku.
Entah perasaanku saja, sekilas aku melihat
wajah Kevin yang terkejut dan memucat. Apa… apa dia masih menaruh rasa padaku? Ah,
aku kegeeran banget! Tapi, aku jadi merasa tidak enak. Aku mengira, Kevin sudah
melupakanku dan menjadi sahabatku.
”Kevin?”
”Ah, ya, ini memang berita yang sangat membahagiakan!”
kata Kevin dengan mengembangkan senyumnya.
Aku menarik napasku. Aku merasa keterlaluan,
harusnya aku tidak mengatakan ini pada Kevin. Sifatnya menjadi kaku seperti
itu. Femi, Femi, bodohnya dirimu.
”Ah, tadi apa yang ingin kamu bicarakan?” tanyaku.
”Oh, itu, Albert menanyakan kenapa kamu
tidak datang ke sanggar lukis lagi?” jawab Kevin.
Kevin menatapku dengan tatapan kosong. Aku semakin
merasa bersalah.
”Aku terlalu sibuk. Tolong sampaikan, nanti
setelah semua urusan beres, aku akan kembali melukis seperti biasa. Dan… aku
akan mengikuti pameran lukisan yang diinginkan Albert.” jelasku.
”Wah, itu bagus.” ucap Kevin semakin kaku.
Beberapa saat kami terdiam dan hanyut dalam
pikiran masing-masing. Aku melirik Kevin, wajah Kevin, wajahnya mulus seperti
wajah Shin-woo. Shin-woo dan Kevin memiliki sifat yang sangat berbeda, tapi
mengapa aku memilih Shin-woo? Hah, memikirkan Shin-woo saja membuat jantungku
berderak cepat seperti ini.
Tapi… apakah sudah benar pilihanku ini? Aku
tahu, cepat atau lambat aku akan menikah juga dengan Shin-woo. Femi, apa yang
kamu ragukan? Ahh, mungkin aku sudah mabuk es kelapa muda.
”Kita pulang, yuk.” ajak Kevin.
Aku mengangguk.
Seperti biasa, Kevin membukakan pintu kaffé
dan pintu mobil untukku. Aku tahu hati Kevin sekarang tidak karuan, dan itu
disebabkan oleh aku. Di sepanjang jalan, kami tidak berbicara, tidak seperti
biasa, Kevin tidak pernah membiarkan suasana menjadi kaku.
”Kevin…”
”Ya?”
”Apakah pilihanku ini benar? Apakah pernikahan
ini tidak terburu-buru?” tanyaku.
”Apa yang kamu ragukan?” tanya Kevin
kembali.
Aku menarik napasku. Sebenarnya, aku masih
bingung, kenapa Shin-woo sangat terburu-buru.
Kevin menghentikan mobilnya di dekat
rumahku.
”Femi…”
”Ya?”
”Ikutilah kata hatimu. Hati adalah petunjuk
jalan.” kata Kevin.
Aku tersenyum. ”Terima kasih.”
Kevin tersenyum.
”Aku pilang dulu, daah.” pamitku.
Aku berjalan menuju rumahku yang hanya
beberapa langkah dari mobil Kevin.
”Femi!”
teriak Kevin.
Aku memalingkan tubuhku.
”Selamat, ya!”
”Terima kasih!”
***
Tanggal pernikahan kami sudah ditetapkan. 6
juni. Artinya, tinggal beberapa sekitar delapan hari lagi aku akan menikah
dengan Shin-woo. Jantungku berdetak semakin cepat saja, pikiranku juga semakin
tidak karuan.
Aku duduk di halaman belakang sambil
memperhatikan langit yang berawan, bintang-bintang jadi tidak terlihat. Aku menoleh
ke sampingku ketika menyadari ada yang duduk di sampingku.
”Femi, kamu mau ikut?” tanya Shin-woo.
”Ke mana?” tanyaku.
”Ke korea, menjemput nenek dan eyang,” jawab
Shin-woo.
”Benarkah?! Ikuuut!” teriakku.
”Haaah, ternyata memang takdirku punya istri
brisik,” ledek Shin-woo.
Aku cemberut kemudian tersenyum. ”Kapan ke
korea?”
”Besok,” jawab Kevin santai.
”Besok?!” pekikku.
Shin-woo mengangguk sambil tersenyum lebar. Bagiku,
senyumnya terlihat jahat.