Laman

Pelangi is Rainbow

Rabu, 02 Mei 2012

My First

Eleven

   ”Ciee, yang sudah baikan!” seru teman-temanku ketika aku menghampiri mereka yang sedang asyik duduk-duduk di kantin.
   Mendengar ucapan mereka membuatku senyam-senyum bahagia. Hmm, jelas aku tidak dapat menyembunyikan wajah bahagiaku.
   ”Sini, sini, duduk, sini!” kata Icha seraya menarik tanganku.
   ”Tadi malam kalian ngapain?” tanya Gebby seraya melipat tangannya bersiap untuk mendengar ceritaku yang tadi malam pergi kencan.
   ”Ngapain? Ih, mau tau aja! Rahasia, dong!” sahutku.
   ”Yee! Kami penasaran tau! Ayo, ayo, ceritakan!” pinta Pika.
   ”Baiklah kalau lo memaksa,” kataku memperpanjang senyumku.
   Teman-temanku langsung mencondongkan badan mereka mendekatiku dan memasang wajah sok manis tapi menurutku sangat mengerikan.
   ”Aah! Wajah kalian terlalu mengerikan! Duduk seperti biasa aja!” seruku.
   Mereka memasang wajah cemberut dan duduk normal.
   Aku menarik napas dan menceritakan apa yang terjadi tadi malam. Malam tadi, Shin-woo mengajakku jalan-jalan, hmm, lebih tepatnya kencan. Mulai dari menjemputku (yah, walaupun sampai sekarang dia tidak pernah membukakan pintu mobil untukku), kemudian dia mengajakku ke restoran, sungguh rasanya aku seperti seorang princess. Tidak di situ saja malam itu berakhir,kami nonton, main game, dan berkeliling mall. Walau pun aku sangat ingin memegang tangannya, tapi entah mengapa keberanianku ciut begitu saja.
    Di akhir kencan kami (Hehe, aku sungguh-sungguh malu mengucapkan kata kencan), Shin-woo mencium keningku dan aku masuk ke dalam rumah. Kurang lebih setengah jam, Shin-woo menelponku dan kami mengakhiri pada jam satu pagi.
   ”Hanya itu?!” seru teman-temanku kompak.
   Aku mengangguk. ”Kenapa? Bukankah seperti di film-film? Romantis, kan?” tanyaku setengah membanggakan diriku.
   ”Itu sudah biasa dalam pacaran, Femi!” kata Gebby.
   ”Sok tau lo! Emang lo pernah pacaran?” tanyaku.
   ”Femi, gue emang nggak pernah pacaran, tapi gue tau banyak tentang pacaran dari gosip yang gue kumpulin,” jawab Gebby.
   ” Iya! Gue kira ada sedikit hal menantang yang lo lakuin, yang berbeda dengan orang pacaran kebanyakan,” tambah Pika.
   ”Hmmm… gue juga seperti lo Femi waktu pacaran, maaf ya,” kata Icha lembut.
   Aku menarik napasku. ”Setidaknya gue merasakan rasanya pacaran yang normal,”
   ”Tapi, kami rasa itu sudah merupakan kemajuan dari hubungan kalian,” kata Pika.
   ”Benarkah?!” seruku dengan tersenyum lebar.
   Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Aku langsung mengmbil handphone yang ada di kantung celanaku. Shin-woo! Aih, senangnya!
   ”Halo!” sapaku ceria.
   ”Sibuk? Bisa ke sini sebentar?” tanya Shin-woo to the point.
   ”Kelas belum dimulai, nanti saja kalau sudah selesai. Bagaimana?” tanyaku.
   ”Baiklah,” ucap Shin-woo seraya menutup telponnya.
   ”Ada apa?” tanya Icha mewakili pertanyaan teman-temanku.
   ”Nggak tau, Shin-woo minta gue datang ke tempatnya,” jawabku.
   ”O, ya? Waah, Femi! Bukankah ini suatu kemajuan?” seru Pika.
   ”Hah?”
   ”Iya! Shin-woo ingin bertemu lo buat apa?” tanya Pika.
   ”Buat apa? Nggak tau, tuh!” jawabku.
   Pika menjitak kepalaku. ”Femi, lo punya otak, nggak sih?”
   Aku mengelus-elus kepalaku yang kena jitak oleh Pika. ”Apa sih!”
   ”Femi, kalau seseorang ingin bertemu dengan seseorang, biasanya untuk apa?” tanya Pika.
   ”Hmmm… bisnis? Atau ada urusan,”
   ”Shhh, maksud gue, orang yang saling mencintai!” desis Pika.
   ”Kangen?”
   ”Nah, itu! Shin-woo kangen sama lo!” seru Pika seraya menepuk tangannya.
   ”Dari mana lo tau?” tanyaku.
   ”Femiiii! Lo itu lemoooot banget! Tadi Shin-woo nelpon lo kan? Ngajak ketemu, kan? Nah, jelas sudah kalau Shin-woo kangen sama lo!” seru Pika dengan wajah memerah.
   ”Benarkah?”
   ”Iya! Jelas sudah! Shin-woo kanget banget sama lo dan nggak bisa menahan perasaannya sehingga menelponmu untuk bertemu,” kata Pika penuh keyakinan.
   Aku melihat jam tanganku, sudah waktunya masuk kelas. ”Sudah, ya, gue mau masuk dulu, bye!” pamitku seraya berlari menuju kelas.
   Dua jam terasa dua abad! Oh, Tuhan lama sekali! Aku sudah tidak sabar untuk bertemu Shin-woo. Aku melihat jam tanganku entah yang keberepa kalinya.
   ”Kenapa, Fem?” tanya Tiyo yang dari tadi memperhatikanku yang gerasah-gerusuh.
   ”Mau tau aja!” jawabku.
   ”Kebelet, Fem? Biar gue panggilin Pak Setyo biar lo diijinin keluar,” kata Tiyo.
   ”Gue nggak lagi kebelet tau! Masih lama nggak?” tanyaku.
   ”Nggak tau,” jawab Tiyo. ”Pak!”
   ”Iya, Yo, ada apa?” tanya Pak Setyo.
   ”Masih lama pelajarannya? Kasihan Femi, Pak, dia dari tadi melirik jam tangan terus. Dia kebelet, Pak,”ujar Tiyo seenaknya.
   Aku langsung menoleh ke arah Tiyo. Apa? Hah, manusia satu ini?! Harusnya aku tadi tidak duduk di sampingnya. Aku memperhatikan sekelilingku, semua cengengesan sambil melihatku.
   Pak Setyo memperhatikanku sejenak kemudian melihat jam tangan dan jam dinding.
  ”Yah, mungkin cukup sekian pertemuan kita hari ini. Selamat siang.” ucap Pak Setyo seraya meloyor pergi.
   ”Aku nggak lagi kebelet pak!” seruku. ”Tiyo!” seruku seraya menjitak kepala anak itu.
   Tiyo mengelus-elus kepalanya kemudian merangkulku. ”Terima kasih sudah menyelamatkan kami dari dunia kebosanan yang menggerogoti diri gur. Lapaaar!” kata Tiyo seraya berlari ke arah gerombolan anak laki-laki.
   Awas saja kau Tiyo! Nanti malam aku santet biar gagu selama satu bulan! Lihat saja! Hmm,hmm, tidak jadi, aku ralat! Aku orang baik, aku tidak mungkin melakukan itu. Aku memaafkanmu Tiyo, bersyukurlah kamu moodku hari ini sangat baik.
   Handphoneku berbunyi. Shin-woo calling.
   ”Halo,”
   ”Sudah selesai?”
   ”Iya,”
   ”Apa perlu aku jemput?”
   ”Tidak perlu, aku akan naik taksi saja,” jawabku.
   ”Aku tunggu, cepatlah,” kata Shin-woo.
   ”Iya,” sahutku seraya menutup telpon.

   TING, TONG!
   Aku memencet bel rumah Shin-woo. Jantungku berdetak kencang, tidak biasanya seperti ini. apa gara-gara ucapan Pika tadi? Iya! Jelas sudah! Shin-woo terlalu rindu dan tidak dapat menahan perasaannya sehingga menelponmu untuk bertemu. Aku mengibas-ngibas wajahku yang terasa panas. Tenanglah Femi, tenanglah.
   Shin-woo membuka pintu, aku masuk ke dalam apartementnya seraya menutup pintu. Aku langsung duduk di sofa Shin-woo. Aku memperhatikan apartement Shin-woo, berantakan sekali, tidak seperti biasanya.
   ”Kenapa?” tanya Shin-woo seraya memberikan orange juice.
   Aku langsung meneguk habis jus yang diberikan Shin-woo. ”Haus!”
   Shin-woo hanya tertawa kecil melihatku seraya mengacak-acak rambutku.
   ”Tadi Ryo ke sini?” tanyaku sambil memperhatikan gitar Ryo.
   ”Iya tau dari mana?” tanya Shin-woo.
   ”Gitarnya dan apartementmu yang selalu berantakan setiap kali dia datang,” sahutku.
   ”Ya, kakakmu itu manusia yang sangat merepotkan. Hmm, maaf kalau tersinggung,” kata Shin-woo.
   ”Tidak, aku tidak tersinggung, memang itu kenyataannya.” sahutku. ”O, ya, ada apa memanggilku?”
   Jantungku sangat berdebar-debar menunggu jawabannya. Apa mungkin dia akan menjawab: Aku sangat rindu. Sangat. Aku ke sini memanggilmu untuk menemaniku, hanya kamu dan aku. Aih! Senangnya.
   ”Femi, kamu mendengarkan aku tidak?” tanya Shin-woo.
   ”Ah, apa?” tanyaku balik.
   ”Hah, kamu ini dasar!” keluh Shin-woo. ”Aku ulang. Aku memanggilmu untuk membantuku membersihkan apartement ini. Kamu sendiri tau, ini semua gara-gara siapa.” jelas Shin-woo.
   Apa? Jadi dia menyuruhku ke sini hanya untuk membersihkan apartementnya? Bukan karena kangen? Menyebalkan!
   ”Kenapa kamu mau? Harusnya kamu menendangnya keluar,”  sahutku.
   ”Sudah kulakukan, tapi dia mengetahui kelemahanku. Bantu aku.” ucap Shin-woo seraya menyerahkan sapu.
   ”Apa? Tidak bisa begitu! Seenaknya!” protesku. ”Aku tidak mau! Sampai mati aku tidak mau!”
   Shin-woo membalikkan badannya.
   ”Aku mohon, bantu aku, ya?” pinta Shin-woo dengan wajah memelas yang membuatku luluh.
   Aku terlalu lemah melihat wajahnya yang sangar manis ketika memelas. Aku mengangguk.
   ”Bagus! Kamu membersihkan bagian dalam, aku membersihkan bagian luar.” kata Shin-woo lantang seperti seorang kapten.
   ”Apa?”
   ”Bukannya tadi mau bantu aku? Kamu tidak mau? Haah,” ucap Shin-woo dengan memasang wajah sedih.
   ”Ah, bu… bukan begitu… aku mau, sudah, jangan memasang wajah seperti itu. Hah, aku tidak tega.” pintaku.
   Kenapa aku lemah dengan wajahnya yang memelas seperti itu? Akh! Shin-woo terlalu imut saat memasang wajah memelas, membuat hatiku luluh. Apa shin-woo akan seperti aku kalau aku memasang wajah memelas?
   ”Ayo, cepat kerjakan! Aku akan membersihkan jendela,” ucap Shin-woo.
   Akhirnya, aku datang ke rumah Shin-woo hanya untuk membantunya membersihkan apartement, harusnya aku sudah mengira ini akan terjadi. Shin-woo manusia yang sangat kecil untuk melakukan hal-hal romantis.
   Sekarang sudah jam empat sore, berarti sudah dua jam berlalu. Ini menandakan aku harus pulang. Sebenarnya aku lelah, tapi ketika melihat Shin-woo, entah kenapa perasaan itu lenyap.
   Aku memperhatikan Shin-woo yang sedang menuangkan jus jeruk ke cangkir. Tampan sekali. Dia selalu terlihat tampan walau tidak dengan ekspresi. Hah, aku sadar, sangat sadar kalau aku sangat beruntung karena memiliki Shin-woo.
   ”Ada apa?” tanya Shin-woo seraya meletakkan cangkir berisi jus jeruk di atas meja.
   ”Ha? Tidak ada,” jawabku.
   ”Kamu memperhatikanku?” tanya Shin-woo dengan nada setengah menggoda.
   ”Apa? Mana mungkin!” jawabku mengelak.
   ”Hahaha, tidak perlu menyangkal! Aku tau apa yang kamu pikirkan. Aku tampan, ya kan?” ucap Shin-woo.
   ”Hah?! Dasar manusia sok ganteng! Hmm, tapi emang ganteng sih,” ucapku kemudian bergumam sendiri.
   Shin-woo terus mentertawakan aku yang salah tingkah. Daripada aku malu sendiri, lebih baik aku pulang. Ya, itu jalan satu-satunya untuk kabur dari godaan Shin-woo yang menggerogoti salah tingkahku.
   Aku mengambil tasku yang ada di rung tamu Shin-woo kemudian berjalan menuju pintu. Tapi, tanganku ditahan oleh Shin-woo.
   ”Mau kemana?” tanya Shin-woo.
   ”Pulang!” jawabku.
   ”Ikut aku,” ucap Shin-woo seraya menarik tanganku.
   ”Kemana?” tanyaku.
   Shin-woo tidak menjawab pertanyaanku dan terus menarik tanganku keluar dari apartementnya. Aku tidak tahu dia akan membawaku kemana, tapi aku terus mengikuti Shin-woo dan akhirnya kami berhenti di belakang apartementnya.
   ”Aku sudah lama ingin membawamu ke sini,” ujar Shin-woo.
   ”Kenapa?” tanyaku.
   ”Lihatlah. Bukankah tempat ini bagus? Tidak ada yang menyadarinya. Di sini, kita dapat melihat kota. Aku sering ke sini kalau sedang suntuk,” jawab Shin-woo.
   Aku melihat sekelilingku, kemudian tersenyum lebar. Benar! Benar kata Shin-woo, di sini sangat nyaman, kita dapat melihat kota dan sungai. Di tambah aroma rumput dan ilalang yang membuat perasaan damai.
   Apa ini?! Geli banget!
   ”Huuuuuaaaachiii…”
   Aku langsung mengambil benda asing yang membuat wajahku geli dan bersin. Aku menoleh ke arah Shin-woo yang tertawa gelak. Apanya yang lucu? Menyebalkan! Aku melihat benda yang ada di tangan Shin-woo. Oh, jadi itu yang membuat aku kegelian? Ilalang!
   Aku mengambil ilalang yang ada di sampingku. ”Shin-woo! Awas, ya!” seruku seraya berlari mengejar Shin-woo yang sudah berlari lebih dulu.
   Kami terus berlari sampai kami berdua mengobarkan bendara putih, tanda menyerah. Kami duduk di atas tanah karena kelelahan sambil tertawa.
   ”Tunggu sebentar.” ujar Shin-woo seraya berdiri mengmbil tasnya.
   ”Taraaa!”seru Shin-woo mengeluarkan kameranya.
   Aku tersenyum heran. ”Buat apa?”
   ”Ini kamera, fungsinya untuk apa?” tanya Shin-woo.
   ”Memotret,” jawabku seperti orang dungu.
   ”Nah! Jangan tanya lagi,” sahut Shin-woo.
   ”Maksud aku, buat memotret apa?”
   JPREET
   ”Itu misalnya. Hehe,” jawab Shin-woo sambil cengengesan.
   ”Shin-wooo! Itu tidak boleh, aku belum berpose manis! Kalau seperti ini, baru boleh,” kataku sambil berpose manis.
   Shin-woo melihatku dengan tatapan aneh. ”Itu pose paling mengerikan yang pernah aku lihat,”
   ”Apa?”
   ”Kemari!” ujar Shin-woo seraya menarikku.
   Deg!
   Oh, Tuhan! Wajah Shin-woo sangat dekat dengan wajahku. Aku menelan ludahku beberapa kali. Aku melihat wajah Shin-woo lewat ujung mataku. Aku menarik napasku, huh! Udara di sini jadi terasa panas.
   ”Bersiap sekali lagi, ya,” ucap Shin-woo.

   Setelah mengambil beberapa foto, akhirnya jantungku kembali dalam keadaan normal, yah, tidak sepenuhnya normal. Jantungku tidak akan pernah normal selama bersama Shin-woo. dia selalu membuatku merasa gugup, membuat wajahku terasa panas, dan tidak dapat bersikap normal.
   ”Femi…”
   ”Ya?”
   ”Apakah kamu sangat menyukaiku?” tanya Shin-woo.
   Aku terdiam. Apa yang sedang Shin-woo pikirkan? Bukankah dia sudah tahu kalau aku sangat menyukainya bahkan aku sangat mencintainya.
   ”Apakah perlu aku jawab?” tanyaku.
   Shin-woo meraih kedua tanganku kemudian memelukku. Ada apa ini? Kenapa dia tiba-tiba memelukku? A-Apa mungkin Shin-woo punya penyakit mematikan dan ini adalah kebersamaan kami yang terakhir kalinya, setelah itu Shin-woo menghilang karena tidak mau melihatku menangisi kepergiannya.
   Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Aku harus mencegah Shin-woo melakukan itu. Apa pun yang terjadi, aku pasti akan selalu bersamanya. Sedih, senang, akan aku lalui bersama.
   ”Aku merasa sangat nyaman berada di sisimu. Kamu mampu membuatku tersenyum. Tapi…”
   ”Shin-woo! Apa pun yang terjadi aku akan selalu bersamamu, aku akan selalu membuatmu tersenyum,” potongku.
   ”Terima kasih,” ucap Shin-woo kemudian menarik napasnya. ”Aku selalu merasa kamu terlalu baik untukku, dan aku berpikir sebaiknya…”
   Aku langsung memeluk Shin-woo tanpa membiarkannya melanjutkan ucapannya.
”Shin-woo, apa pun yang kamu pikirkan, seberapa singkat waktumu bersamaku aku akan tetap bersamamu, kumohon jangan menghilang,” ucapku dengan mempererat pelukanku.
   Shin-woo melepaskan pelukannya dan menatapku dengan aneh. ”Hah?”
   Aku kembali memeluk Shin-woo. ”Aku tau kamu akan meninggalkanku karena penyakit yang kamu derita,”
   Shin-woo melepaskan pelukkanku. ”Penyakit?”
   Aku kembali memeluk Shin-woo. ”Iya, itu kan yang akan kamu ucapkan?”
   Shin-woo tertawa terbahak-bahak dan mengacak-acak rambutku.
   ”Femi, Femi,  apa yang kamu pikirkan? Aku tidak menderita penyakit,” tawa Shin-woo.
   ”Lalu? Kenapa kamu mengajakku ke sini?” tanyaku.
   ”Sudah kubilang kan, aku suka tempat ini.” jawab Shin-woo. ”Kamu terlalu sering menonton drama!”
   Aku hanya bisa menunduk malu sambil menggaruk-garuk kepalaku. Hah! Femi, harusnya kamu berpikir, tidak mungkin orang seperti Shin-woo yang mempunyai badan kekar dan sehat menderita penyakit. Aku terlalu mendramatisir keadaan.
   ”Kenapa? Malu?” goda Shin-woo.
   Aku melihat Shin-woo dengan wajah cemberut. Dasar manusia menyebalkan!
   ”Aaah, tingkahmu membuatku melupakan tujuanku,” keluh Shin-woo seraya duduk di atas rerumputan sambil menatap sungai di depan kami.
   ”Ha? Apa? Apa tujuanmu?” tanyaku penasaran seraya duduk di samping Shin-woo.
   Shin-woo menatapku dengan tatapan mencurigakan. Aku langsung menyilangkan kedua tanganku di dada.
   ”Dasar cowok mesum! Maniak!” seruku.
   ”Ha? Maksudmu?! Hah, apa yang bisa kulihat darimu? Cantik juga nggak,” seru Shin-woo kesal.
   ”Memang benar! Apa kamu tidak ingat ketika kita berada di Belanda, kamu masuk kamarku tanpa mengetuk pintu padahal aku baru selesai mandi!” balasku.
   ”Hey, wak…”
   ”Apa kamu juga tidak ingat waktu di rumahku, aku juga baru selesai mandi dan kamu berada di kamarku, hah, waktu itu kamu malah duduk bersila dan bersiap untuk melihatku ganti baju,” ucapku tanpa membiarkan Shin-woo membela dirinya.
   Tiba-tiba Shin-woo mendekap mulutku dan menatapku lekat-lekat kemudian memelukku dengan erat. Sangat erat. Jantungku berdebar-debar, tapi pikiranku bertanya-tanya, kenapa hari ini Shin-woo agak aneh?
   Shin-woo melepaskan pelukkannya dan melihatku lekat-lekat kemudian mengelus rambutku. ”Kamu sangat manis,”
   Aku pasti salah dengar. Itu kan, dia agak aneh hari ini.  ”Apa?”
   Shin-woo memegang kedua tanganku. ”Apakah ini terlalu cepat? Siapkah kamu saat aku mengucapkan will you marry me? Hah, aku sudah mencoba mempratikannya, berulang-ulang kali aku lakukan. Aku kira mudah untuk mengucapkannya. Ternyata… itu tidak mudah,”
   Apa maksudnya ini? Jantungku juga tidak mau kompromi. Somebody, help me! Aku tidak bisa bernapaaas! Wajahku panas, air, air, aku butuh air sekarang!
   ”Shin… Shin-woo, apa maksudmu? Jangan membuatku berpikiran lain,” pintaku.
   ”Femi…”
   ”Ya?!”
   ”Apa yang kamu pikirkan sekarang?” tanya Shin-woo.
   Apa yang kupikirkan sekarang? Aku tidak dapat berpikir gara-gara ucapanmu!
   ”A-aku tidak tahu,”
   ”Kamu tahu… Aku sudah memikirkan ini beribu-ribu kali dan… akhirnya aku memutuskan ini… Ini adalah pilihanku,” ucap Shin-woo seraya meletakkan cincin di atas telapak tanganku.
   ”A-apa maksudnya dengan ini?” tanyaku gagap.
   Shin-woo menatapku dengan penuh keyakinan. ”Femi… menikahlah denganku,”
   ”Hah?! Kamu sakit Shin-woo?” tanyaku seraya meletakkan tanganku ke dahi Shin-woo. ”Badanmu tidak panas,”
   ”Aku tidak sakit. Aku serius… menikahlah denganku,” jawab Shin-woo dengan tersenyum.
   ”Tidak, aku pasti bermimpi,” kataku seraya menampar wajahku sendiri. ”Ini nyata!” gumamku.
   Shin-woo meraih tanganku kemudian mengambil cincin yang dari tadi dalam genggamanku. Dia melihatku dengan tersenyum lebar, kemudian memasukkan cincin itu ke jari manisku.
   ”Ini bukan mimpi, ini juga bukan khayalan. Femi, aku benar-benar serius untuk hubungan kita. Menikahlah denganku,” ucap Shin-woo.
   ”Apakah ini tidak terlalu cepat?” tanyaku.
   Shin-woo menggeleng-gelengkan kepalanya. ”Tidak. Apakah kamu belum siap?” tanya Shin-woo.
   Oh Tuhan! Aku bakalan menjadi istri Shin-woo! Ini artinya, namaku akan bertambah menjadi Femi Calandra Park atau Park Femi Calandra. Eh, kok, agak aneh ya? Ah, masa bodo! Yang penting intinya AKU ISTRI SHIN-WOO. Haha, berarti sekarang aku harus memanggil Om Park, ayah, dan tante Jasmine, Mama.
   Huh, jantungku jadi berdebar-debar, padahal aku hanya memikirkannya saja, apalagi kalau ini benar-benar terjadi. Shin-woo mulai sekarang harus memanggilku apa, ya? Mama? Sayang? Astaga! Ini benar-benar membuatku terbang ke langit ketujh.
   ”Femi, kamu mendengarkanku?” tanya Shin-woo sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahku.
   ”Hah? Apa?” tanyaku kaget.
   ”Haah, anak ini, aku bertanya, kalau kamu tidak siap, kita tidak akan menikah bulan ini,” jawab Shin-woo.
   ”Hah? Bulan ini?!” kataku setengah berseru kaget.
   ”Kenapa? Aku ingin menikah secepatnya,” jawab Shin-woo dengan tersenyum lebar.
   ”Secepatnya?” tanyaku seperti orang dungu.
   ”Iya,” jawab Shin-woo dengan tersenyum lebar sambil mengacak-acak rambutku.
   Aku memegang dadaku dengan kedua tanganku, mungkin saja dengan ini aku bisa mengurangi detak jantungku yang terlalu cepat dan dapat berpikir dengan jelas.
   ”Kalau kamu tidak mau, tidak apa-apa,” ucap Shin-woo.
   Aku menarik ujung baju Shin-woo, Shin-woo menoleh ke arahku dengan tersenyum. Sekarang, dia lebih banyak tersenyum, yah sejak kami bertengkar dulu, sikapnya mulai mencair dan banyak tersenyum.
   ”Ada apa?” tanya Shin-woo.
   Aku mengangguk. Sejenak, Shin-woo menatap aneh diriku.
   ”Kamu setuju?” tanya Shin-woo.
    Aku mengangguk.
   Tiba-tiba Shin-woo memelukku dengan erat dan hampir saja membuatku jantungan.
   ”Terima kasih… terima kasih Femi,” ucap Shin-woo.
   Aku menepuk-nepuk punggung Shin-woo. ”Untuk apa berterima kasih?”
   ”Aku bahagia sekali! Aku sangat bahagia! Aku tidak pernah merasakan sebahagia ini,” ucap Shin-woo.
   Shin-woo melepaskan pelukannya dan menatapku lekat-lekat yang pastinya membuatku salah tingkah. Shin-woo mendekatkan wajahnya ke wajahku. A-apa yang akan dia lakukan? Apa mungkin dia akan… tidak boleh! Aku langsung menyilangkan kedua tanganku di depan bibirku.
   ”Tidak boleh!” seruku.
   ”Hah?”
   ”Kalau sudah resmi… baru boleh,” ucapku seraya memalingkan wajahku.
   Aduuh, kenapa setelah mengucapkan kata-kata wajahku terasa panas? Udara memang tidak pernah bersahabat denganku. Apa aku membuang kesempatan berharga? Femi! Apa yang kamu pikirkan? Kamu sudah benar! Tidak boleh kissa-kissu sebelum menikah. Ingat itu! Auh, tapi itu kesempatan langka! Aaakkkhhh! Apa yang sedang merasukiku sekarang? Hush, hush, sana iblis!
   Melihat sikapku yang gerasah-gerusuh, Shin-woo tertawa terbahak-bahak. Dia memang suka melihat aku menderita. Haah, tapi aku senang bisa melihatnya tertawa, tersenyum, itu membuat hatiku tenang.
   Shin-woo menyadarkan kepalanya ke bahuku. Aku menoleh kaget ke arah Shin-woo. Baru kali ini dia menyadarkan kepalanya ke bahuku. Aku senang, aku merasa bermanfaat.
***

   ”Femi!” seru Mama.
   ”Ada apa, Ma?” sahutku dengan berseru juga.
   ”Sudah siap belum?” tanya Mama.
   Aku berlari menuruni tangga menghampiri Mama yang duduk di teras dengan Shin-woo.
   ”Sudah!” jawabku.
   ”Kamu ini bagaimana, Shin-woo sudah lama menuggumu,” celoteh ria Mama.
   ”Tante Levana yang salah, datang ke Indonesia nggak ngasih kabar,” ucapku membela diri.
   Ya, Tante Levana datang ke Indonesia, karena sekarang di Belanda libur karena salju turun lebat (seperti hujan saja).  Dan seperti biasa, tante Levana tidak pernah memberitahu lebih dulu kalau dia akan datang ke Indonesia, tapi kali ini berbeda, aku akan menjemput tante Levan bersama dengan Shin-woo, bukan dengan Ryo lagi.
   ”Tuh, orang lain kan yang disalahin,” ucap mama.
   ”Emang benar, kok,” sahutku.
   ”Sudah pergi sana,” kata Mama seakan-akan mengusirku.
   ”Iya,” kataku seraya menyalami tangan mama.
   ”Kami pamit dulu, tante,” ucap Shin-woo sambil menyalami tangan Mama.
   ”Iya, hati-hati, ya,” kata Mama sambil melambai-lambaikan tangannya.
   Aku membalas lambaian tangan mama sampai masuk ke dalam mobil. Shin-woo menghidupkan mobil dan menjalankannya. Sekilas, aku melirik Shin-woo yang fokus pada jalanan.
   ”Femi.”
   ”Ya?” jawabku langsung.
   ”Dua hari lagi orang tuaku datang,” kata Shin-woo.
   ”Oh, ya? Ada urusan bisnis, ya?” tanyaku.
   ”Tidak,” jawab Shin-woo.
   ”Lalu?” tanyaku.
   ”Buat meresmikan pernikahan kita dan menentukan tanggal pernikahan kita,” jawab Shin-woo.
   ”Ha?!” seruku kaget.
    Ayah mer… hmm, maksudku Om dan Tante akan datang ke Indonesia untuk meresmikan hubunganku dengan Shin-woo! Oh, Tuhan! Ternyata ini benar-benar bukan mimpi! Aku akan menjadi istri Shin-woo! menyenangkan sekali mengetahu ini.
    ”Kenapa? Tidak suka?” tanya Shin-woo.
    ”Tidak! Aku senang!” jawabku dengan berseru.
   Shin-woo tersenyum melihatku yang gerasah-gerusuh bahagia. Aku tidak bisa menutupi perasaan bahagiaku, biarkan saja Shin-woo melihat betapa bahagianya aku.
   Begitu bahagianya aku sampai-sampai aku tidak mengetahui kalau kami sudah sampai di bandara. Aku keluar dari mobil dan mengikuti Shin-woo dari belakang, jalan Shin-woo terlalu cepat. Hah, dia itu, apa tidak ingat kalau aku tidak bisa berjalan cepat (karena kakiku pendek)? Mentang-mentang punya kaki panjang.
   BUUUKK
   Aku menbrak punggung Shin-woo. kenapa berhenti? Aku menoleh ke samping karena terlindung punggung Shin-woo. ah, Tante Levana!
   ”Tante!” seruku.
   ”Femi!”
   Tante Levana membuka tangannya siap memelukku, gawat! Aku harus cepat menghidar sebelum… terlambat! Gerakkanku kurang gesit, tante Levana sudah keburu memelukku.
   ”Tanteee kangeen!” ujar tante Levana seraya mempererat pelukkanku.
   ”Tanth… Mhi… Ghak… Sha… Phas!” ucapku sambil menepuk-nepuk pundak tante Levana.
   ”Femi!” kata tante Levana seraya melepaskan pelukkannya.
   Aku menepuk-nepuk dadaku sambil menarik napas dalam-dalam. ”Ohok… ohok… ohok..”
   ”Dadamu tambah besar, ya!” bisik tante Levana.
   Aku tersentak mendengar ucapan tante Levana dan langsung menyilangkan kedua tangan di dadaku. Haah, kenapa aku punya tente yang rada-rada… m-e-s-u-m.
   ”Tante!” seruku.
   ”Ah, iya!” ujar tante Levana seraya menepukkan tangannya yang digempalkan ke telapak tangannya.
   Tante Levana merangkulku. ”Tante dengar, dalam minggu ini kamu akan menetapkan tangaal pernikahanmu?” bisik tante Levana.
   Senyumku mengembang. ”Iya.”
   ”Benarkah?!” pekik tante Levana.
   ”Tante! Stttt….” ujarku seraya meletakkan telunjuk di depan mulutku.
   Tante Levana meletakkan keduannya di dadanya. ”Haaah, kenapa tante yang gugup?”
   ”Moeder, ik heb gekocht melk1.” ucap seseorang yang suaranya tidak asing di telingaku.
   Aku menoleh ke arah sumber suara, sudah kuduga! Bocah tengik yang langsung memeletkan lidahnya. Kenapa tante Levana membawa bocoh satu ini? Harusnya tante Levana mengikatnya kemudian dimasukkan ke dalam kandang bulldog. Kedengarannya sangat mengerikan.
   ”Alles is compleet? Laten we naar huis gaan2.” kata Om Edward.

    Dua hari sudah berlalu. Hari ini, ayah me… hmm, salah lagi. Om Park dan tante Jasmine akan datang ke rumahku, mereka sudah datang kemarin. Mulanya, aku mau menemui mereka untuk menyambut kedatangan mereka. Tapi, Shin-woo tidak mengizinkan, dia bilang biar besok saja, lagipula mereka harus istirahat.
   Hatiku tidak karuan sekarang. Jantungku berdebar kencang, pikiranku tidak bisa fokus dan terus memikirkan apa yang akan terjadi hari ini. Apakah mungkin aku akan melakukan kecerobohan seperti waktu pertunangan? Atau mungkin aku nanti hanya bisa mematung menghadapi om dan tante? Aku guggup!
   BIIIPPPP
   Handphoneku bergetar tanda pesan masuk, apa mungkin Shin-woo? aku langsung menghampiri handphoneku. Kevin? Tumben mengirim pesan. Sudah lama tidak bertemu Kevin sejak hari itu. Apa dia baik-baik saja?
   Aku membuka pesan Kevin: Sedang sibuk? Bisa bertemu sebentar?
   Bertemu? Apa tidak apa-apa bertemu dengan Kevin? Aku menarik napasku. Aku ingin bertemu dengan Kevin, aku ingin mengucapkan terima kasih karena sudah membantuku.
   Tok… Tok… Tok…
   ”Femi?” sapa tante Levana.
   ”Tante!” sapaku balik.
   ”Boleh masuk?” tanya tante Levana.
   ”Masuk saja, sok formal,” kataku kemudian tertawa.
   Tante Levana menghampiriku dan duduk di sampingku.
   ”Femi, apa kamu gugup?” tanya Tante Levana.
   ”Tentu saja! Apa tante seperti ini juga sebelum menikah?” tanyaku balik.
   ”Jelaslah! Tapi, tante berbeda denganmu,” kata tante Levana.

1 Ma, aku sudah membeli susunya
2 Aapakah semuanya sudah komplit? Ayo pulang.
    ”Berbeda? Berbeda apanya?” tanyaku penasaran.
   ”Sebelum mertua tante datang, tante ke salon dan ke butik untuk mempercantik diri. Biar terkesan lebih cantik.” kata Levana.
   ”Oh ya? Haah, tapi aku tidak punya uang,” keluhku.
   ”Maka dari itu tante kemari. Ini, pakailah,” kata tante Levana seraya memberikan kartu kredit.
   ”Benarkah?!” seruku bahagia seraya memeluk tante Levana.
   ”Yaaa, cepat pergi, tapi ingat datang sebelum enam sore,” ingat Tante Levana.
   Aku mengambil tasku dan berlari keluar kamar. ”Baiklah. Bedankt, tante!”
   ”Mau ke mana?” tanya Ryo ketika aku melewati ruang tamu.
   ”Ke salaon,” jawabku.
   ”Hah, lo itu tetap jelek biar pake maku up,” ledek Ryo.
   ”Biarin!” sahutku seraya berlari keluar rumah.
   Ah, iya! Aku mengambil handphone dari dalam tasku. Ke salon sekalian bertemu Kevin, dia kan sering bawa mobil, bisa nebeng dong! Haha,
   ”Aku menunggumu di taman dekat rumahku. Kirim, selesai!” ucapku sambil memencet tombol handphone.
    Aku duduk bangku taman. Apa tidak apa-apa bertemu dengan Kevin? Kenapa hatiku tidak enak dengan Shin-woo? Ah, tidak apa-apa! Aku dan Kevin tidak mempunyai hubungan apa-apa, aku juga tidak ingin selingkuh. Aku tidak ingin, memikirkannya pun aku tidak ingin.
   ”Hey!”
   Kevin sudah datang. Ada yang berbeda, oh, rambutnya! Kevin memotong rambutnya, terlihat sangat cocok dengannya. Seperti biasa, Kevin dan senyumnya yang selalu terpikat, yah, mungkin itulah kelebihan Kevin.
   ”Cepat sekali,” kataku.
   ”Aku tadi mampir ke rumah temanku dekat sini,” jelas Kevin.
   Aku mengangguk-angguk tanda paham. ”Mau menemaniku hari ini?”
   ”Ke mana?” tanya Kevin.
   ”Ke salon,” jawabku.
   ”Baiklah, aku tau salon yang menurutku bagus,” kata Kevin.
   Seharian Kevin menemaniku ke salon dan membeli baju. Kevin memiliki selera yang bagus, dia mengetahui banyak hal mengenai fashion, mengajak Kevin untuk belanja ternyata tidak salah. Kevin mengenal baik dengan pemilik butik yang kami kunjungi, hmm, dan aku mendapat beberapa diskon. Menyenangkan.
   Oh, ya, aku belum bilang kalau hari ini Shin-woo dan aku akan menetapkan hari pernikahan kami. Sebaiknya aku mengatakannya sekarang. Mungkin saja Kevin mengetahui tanggal yang baik untuk menikah, dia kan sangat bisa diandalkan.
   ”Bagaimana kalau kita ke kaffé?” tanya Kevin seraya menghentikan mobilnya di sebuah kaffé.
   Aku mengangguk.
   Kevin keluar dari mobil dan berlari kecil ke arah pintu mobilku, kemudian dia membukakan pintu mobil untukku. Wah! Kevin selalu melakukan hal ini ketika aku menumpang mobilnya, sangat berbeda dengan Shin-woo. Tapi, tidak apa, Shin-woo sudah mulai berubah saja aku senang.
   ”Terima kasih!” ucapku ceria.
   Kevin tersenyum. ”Be rien3.
   Aku berjalan menuju pintu kaffé. Sekali lagi Kevin melakukan hal yang tidak pernah Shin-woo lakukan untukku. Mendorongkan pintu kaffé. Aku tersenyum tanda terima kasih kepada Kevin.
   kevin menarikkan kursi untukku duduk. Kevin sangat sopan kepada wanita. Ini yang membuatku kagum padanya.
   Seorang pelayan menghampirir kami.
   ”Mau pesan apa?” tanya pelayan itu sopan seraya menyerahkan buku menu.
   ”Kamu pesan apa, Fem?” tanya Kevin.
   ”Es k… nggak jadi, apa ya?”
   ”Siang-siang begini enaknya pesan es kelapa. Bagaimana?” tanya Kevin.
   ”Ah, ya, betul!” sahutku.
   ”Es kelapanya dua, ya.” kata Kevin ramah pada pelayan.
   Dia mengagumkan sekali, pelayan tadi pasti sangat merasa beruntung melayani Kevin.
   ”Makanannya?” tanya pelayan tadi.
   ”Kamu mau apa?” tanya Kevin.
   ”Aku tidak lapar,” jawabku.
   ”Itu saja, mbak,” kata Kevin seraya menyerahkan buku menu dengan tersenyum khasnya.
   Manusia satu ini sangat berbeda dengan Shin-woo. Kalau makan bersamanya di luar, dia tidak pernah menanyakan aku mau makan apa, dia juga tidak pernah ramah dengan pelayan. Tapi, sebenarnya Shin-woo itu baik, dia selalu memberi uang berlebih untuk pelayan.
   Sebenarnya, dulu Shin-woo tidak pernah kasar seperti itu kepada orang lain, dia selalu menolong orang kalau ada yang kesusahan. Entah apa yang membuatnya berubah.
   ”Hey, kenapa melamun?” tanya Kevin mebuyarkanku.
   ”Mau tau ajau. Oh, ya, kenapa mengirim pesan? Ada yang ingin kamu bicarakan?” tanyaku.

3 Sama-sama
   Kevin mengangguk. ”Hmmm,”
   ”Aku juga! Aku punya berita baik!” seruku.
   ”ini pesanannya,” pelyan tadi meletakkan es kelapa yang kami pesan di meja.
   ”Terima kasih,” ucapku dan Kevin bersamaan.
   ”Oh, ya, apa yang ingin kamu katakan?” tanyaku.
   ”Habiskan dulu minumannya.” kata Kevin tanpa menjawab pertanyaanku.
   Aku mengangguk. Aku menuruti kata-kata Kevin, aaah, segar sekali! Minum es kelapa di siang hari membuat energiku yang terkuras kembali lagi.
   Setelah selesai menghabiskan es kelapa yang membuatku kenyang (kenyag air), Kevin meletekkan dagunya yang bertumpu dengan kedua tangannya.
   ”Kamu dulu yang bercerita, kelihatannya berita yang sangat mengembirakan.” ucap Kevin.
   ”Hmm, ini sangat mengembirakan! Ehem… ehem.. Kevin, aku dan Shin-woo hari ini akan menentukan tanggal pernikahan kami!” seruku.
   Entah perasaanku saja, sekilas aku melihat wajah Kevin yang terkejut dan memucat. Apa… apa dia masih menaruh rasa padaku? Ah, aku kegeeran banget! Tapi, aku jadi merasa tidak enak. Aku mengira, Kevin sudah melupakanku dan menjadi sahabatku.
   ”Kevin?”
   ”Ah, ya, ini memang berita yang sangat membahagiakan!” kata Kevin dengan mengembangkan senyumnya.
   Aku menarik napasku. Aku merasa keterlaluan, harusnya aku tidak mengatakan ini pada Kevin. Sifatnya menjadi kaku seperti itu. Femi, Femi, bodohnya dirimu.
   ”Ah, tadi apa yang ingin kamu bicarakan?” tanyaku.
   ”Oh, itu, Albert menanyakan kenapa kamu tidak datang ke sanggar lukis lagi?” jawab Kevin.
   Kevin menatapku dengan tatapan kosong. Aku semakin merasa bersalah.
   ”Aku terlalu sibuk. Tolong sampaikan, nanti setelah semua urusan beres, aku akan kembali melukis seperti biasa. Dan… aku akan mengikuti pameran lukisan yang diinginkan Albert.” jelasku.
   ”Wah, itu bagus.” ucap Kevin semakin kaku.
   Beberapa saat kami terdiam dan hanyut dalam pikiran masing-masing. Aku melirik Kevin, wajah Kevin, wajahnya mulus seperti wajah Shin-woo. Shin-woo dan Kevin memiliki sifat yang sangat berbeda, tapi mengapa aku memilih Shin-woo? Hah, memikirkan Shin-woo saja membuat jantungku berderak cepat seperti ini.
   Tapi… apakah sudah benar pilihanku ini? Aku tahu, cepat atau lambat aku akan menikah juga dengan Shin-woo. Femi, apa yang kamu ragukan? Ahh, mungkin aku sudah mabuk es kelapa muda.
   ”Kita pulang, yuk.” ajak Kevin.
   Aku mengangguk.
   Seperti biasa, Kevin membukakan pintu kaffé dan pintu mobil untukku. Aku tahu hati Kevin sekarang tidak karuan, dan itu disebabkan oleh aku. Di sepanjang jalan, kami tidak berbicara, tidak seperti biasa, Kevin tidak pernah membiarkan suasana menjadi kaku.
   ”Kevin…”
   ”Ya?”
   ”Apakah pilihanku ini benar? Apakah pernikahan ini tidak terburu-buru?” tanyaku.
   ”Apa yang kamu ragukan?” tanya Kevin kembali.
   Aku menarik napasku. Sebenarnya, aku masih bingung, kenapa Shin-woo sangat terburu-buru.
   Kevin menghentikan mobilnya di dekat rumahku.
   ”Femi…”
   ”Ya?”
   ”Ikutilah kata hatimu. Hati adalah petunjuk jalan.” kata Kevin.
   Aku tersenyum. ”Terima kasih.”
   Kevin tersenyum.
   ”Aku pilang dulu, daah.” pamitku.
   Aku berjalan menuju rumahku yang hanya beberapa langkah dari mobil Kevin.
   ”Femi!” teriak Kevin.
   Aku memalingkan tubuhku.
   ”Selamat, ya!”
   ”Terima kasih!”
***

   Tanggal pernikahan kami sudah ditetapkan. 6 juni. Artinya, tinggal beberapa sekitar delapan hari lagi aku akan menikah dengan Shin-woo. Jantungku berdetak semakin cepat saja, pikiranku juga semakin tidak karuan.
   Aku duduk di halaman belakang sambil memperhatikan langit yang berawan, bintang-bintang jadi tidak terlihat. Aku menoleh ke sampingku ketika menyadari ada yang duduk di sampingku.
   ”Femi, kamu mau ikut?” tanya Shin-woo.
   ”Ke mana?” tanyaku.
   ”Ke korea, menjemput nenek dan eyang,” jawab Shin-woo.
   ”Benarkah?! Ikuuut!” teriakku.
   ”Haaah, ternyata memang takdirku punya istri brisik,” ledek Shin-woo.
   Aku cemberut kemudian tersenyum. ”Kapan ke korea?”
   ”Besok,” jawab Kevin santai.
   ”Besok?!” pekikku.
   Shin-woo mengangguk sambil tersenyum lebar. Bagiku, senyumnya terlihat jahat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar