Laman

Pelangi is Rainbow

Jumat, 30 Maret 2012

My First

Ten

   Sudah  lebih dari seminggu aku tidak bertemu dengan Shin-woo. Aku memang menghindarinya, teman-temanku tahu akan hal itu, kecuali orang tuaku. Selama satu minggu ini juga, aku tidak melihat Kevin. Aku sempat bertanya kepada temannya ke mana Kevin tetapi mereka juga tidak tahu ke mana Kevin. Aku hanya ingin mengucapkan maaf atas perlakuan Shin-woo kemarin. Aku bertanya-tanya untuk apa aku minta maaf kepada Kevin atas nama Shin-woo? Entahlah, aku tidak mengerti dengan perasaanku yang sekarang.
   Aku duduk di taman kampus sendirian. Setiap kali melihat pasangan yang sedang bermesraan di taman kampus, aku pasti menyingkir. Aku iri. Sekarang, aku berjalan di sisi kolam memperhatikan ikan-ikan. Coba aku jadi ikan, aku pasti tidak akan mengalami hal ini.
   Apa aku harus menemuinya? Aku sudah terlalu rindu dengannya. Rasanya, aku sudah tidak mampu menahan perasaan ini. Aku menatap langit, berharap ada jawaban di sana.
   Aku jadi teringat waktu kecil. Ketika itu, aku sedang menangis. Shin-woo datang menghampiriku dan membuatku tertawa, dia mampu membuatku melupakan hal yang membuatku sedih. Tapi, sekarang aku menangis karenanya, lalu siapa yang akan membuatku tertawa? Hatiku terasa hampa.
   Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku. Aku langsung menenguk ke arah orang itu. Kevin?
   Aku tersenyum, ”Kevin! Hai,” sapaku.
   Kevin balas tersenyum. ”Lagi apa sendirian?”
   ”Tidak ada,” jawabku.
   Baru pertama kali ini aku merasa canggung dengan Kevin. Kami berdua tidak bicara dalam beberapa saat dan hanya menatap ikan-ikan yang ada di kolam. Aku memperhatikan Kevin lewat ujung mataku, luka karena tamparan Shin-woo sudah menghilang, sekarang dia terlihat kurusan. Atau perasaanku saja?
   ”Oh, ya, aku… aku mau minta maaf atas perlakuan Shin-woo,” kataku memecahkan kebisuan antara kami.
   ”Oh, itu. Tidak apa-apa, aku mungkin juga akan melakukan hal yang sama kalau gadis yang aku sukai dengan laki-laki lain. Yah, maksudku marah,” jawab Kevin dengan senyumnya.
   Aku hanya tersenyum mendengarnya.
   ”Bagaimana kabarnya?” tanya Kevin.
   ”Siapa?” tanyaku.
   ”Shin-woo,” jawabnya.
   ”Oh, entahlah, aku tidak berhubungan sejak saat itu,” tuturku dengan suara melemah. Dada ini terasa sakit mengingat kalau aku dan Shin-woo sekarang sedang bertengkar.
   ”Maafkan aku,” kata Kevin bersungguh-sungguh.
   Aku tersenyum, ”Sudahlah, jangan begitu,”
   ”Apa yang harus aku lakukan untuk membayar ini semua?” tanya Kevin.
   ”Nyawamu,” jawabku asal.
   ”Sungguh? Aku rela,” sahut Kevin.
   ”Tapi, aku bercanda,” kataku. Aku melihat jam tanganku. ”Aku pulang dulu,”
   ”Mau aku antar?”
   ”Tidak perlu,” jawabku.
   Untuk kali ini, Kevin tidak menyebalkan, dia seakan berubah menjadi dulu. Apa yang terjadi dengannya selama seminggu ini? Aku jadi penasaran.
   Aku membalikkan badanku. ”Kevin?!”
   Kevin menoleh ke arahku dengan wajah yang tersenyum. ”Hmm?”
   ”Bagaimana kabarmu?” tanyaku.
   ”Beginilah, kenapa?” tanya Kevin balik.
   ”Tidak ada apa-apa. Badanmu kurusan.” jawabku.
   Kevin tersenyum. ”Kamu sendiri?”
   ”Kurasa kamu bisa menilai sendiri. Bye!” ucapku seraya berbalik badan.
   Aku berjalan menuju pintu gerbang kemudian menyapa Pak Maman dan sedikit berbincang-bincang dengannya, beliau sempat menanyakan ke mana Shin-woo yang selalu menjemputku. Aku hanya bisa menjawab dia tidak bisa menjemputku sekarang.
   Sekarang sudah sore, tapi cuaca hari ini agak mendung jadi rasanya agak nyaman karena tempuran angin sore. Aku berjalan di torotoar sambil menunduk.
   TIIIT…TIIIT…
   Seseorang membunyikan klakson yang membuatku tersentak. Aku menoleh ke arah mobil itu, kaca mobil itu perlahan-lahan terbuka buka, dan di dalamnya ada kakakku yang menyebalkan yang sedang tertawa terbahak-bahak karena melihat ekspresi terkejutku tadi.
   Aku membungkukkan badanku, ”Apa maumu Ry… Yo…” kataku tersendat melihat Shin-woo di dalam mobil Ryo.
   Oh, Tuhan! Shin-woo di dalam! Aku mengangkat badanku dan berjalan meninggalkan mobil Ryo. Aku syok melihat Shin-woo di dalam mobil Ryo. Jantungku terasa berat dan berdebar kencang. Kenapa aku menjauh dari mobil Ryo? Harusnya tadi aku melihatnya lebih lama, kenapa sebentar saja? Aku kesal pada diriku.
   Tapi… melihat Shin-woo baik-baik saja, aku sudah cukup lega. Selama ini, aku selalu bertanya-tanya, apakah Shin-woo baik-baik saja? Apakah Shin-woo sudah makan? Apa yang Shin-woo lakukan sekarang? Apa yang dia pikirkan sekarang? Dan… ketika melihat Shin-woo hari ini… semua kegelisahanku selama ini memudar. Aku senang… aku senang dia baik-baik saja.
   Ryo mengikuti dengan mobilnya dan mendumel tidak jelas. Aku memang adik yang tidak sopan, aku sangat tidak menyukai Ryo yang bicara tidak jelas seperti sekarang. Harusnya, sebagai Kakak, dia dapat memahami apa yang aku inginkan: I just want to be alone! Hah, susah juga punya kakak yang tidak pengertian. Aku terus bejalan tanpa mempedulikan apa yang didumelkan Ryo.
   Mungkin karena sudah capek tidak kuhiraukan, Ryo—akhirnya meninggalkan aku. Aku menarik napas dalam-dalam, Shin-woo sudah pergi dengan Ryo. Aku terus berjalan, dan kakiku berhenti ketika aku melihat sanggar melukis. Sudah lama aku tidak mampir.
   Aku membuka pagar sangggar yang sudah lama tidak diganti catnya. Hmm, sejak aku bergabung di sanggar ini catnya masih saja sama, yah, mungkin memang ada perubahan, yaitu warna catnya semakin memudar dan bahkan sudah ada yang terkoyak.
   ”Femi!” seru Albert. Pemilik sanggar sekaligus pembimbingku yang berasal dari Italia.
   ”Selamat sore,” sapaku balik.
   ”Whahaha, sapaan apa itu? Kamu terlalu formal padaku! Rasanya aku sudah tua dan harus menikah,” tawa Albert yang mengingatkanku kalau aku tidak perlu bersikap formal padanya.
   ”Kamu memang harus menikah! Umurmu sudah hampir setengah abad,” sahutku setengah bercanda.
   ”Apa?! Umurku baru dua puluh sembilan tahun! Ingat itu!” semprot Albert tidak terima.
   ”Aku tidak percaya,” kataku.
   Albert mengerti bahasa Indonesia karena dia sudah lebih lima belas tahun tinggal di sini. Aku mengenal Albert ketika aku sedang liburan dan aku yang memang mempunyai hobbi melukis tidak menyadari Albert yang sedang memperhatikan aku melukis.
   ”Lukisanmu indah sekali!” seru Albert mebuatku tersentak ketika aku sedang memandangi hasil karyaku.
   ”Eh, ah, terima kasih,” ucapku sambil tersipu malu.
   ”Aku serius! Gambarmu ceria! Kamu pelukis yang jujur,” kata Albert.
   ”Terima kasih,” kataku tambah malu.
   ”Hubungi aku, ini alamatku, bergabunglah dengan sanggar kami, ekspresikan isi hatimu!” kata Albert dengan penuh semangat.
   ”Apakah ini memungut biaya?” tanyaku.
   Albert tertawa dengan logat khas italiano, ”Tentu saja tidak, anak muda, sanggar ini dibuat untuk orang-orang yang mempunyai bakat alami dalam melukis.”
   ”Benarkah? Aku mau!” kataku tanpa pikir panjang.
   ”Bagus! Aku tidak perlu membunjukmu,” kata Albert penuh semangat.
   Aku tersenyum mengingat kejadian waktu itu. Kenapa aku mau bicara dengan orang macam Albert dan entah kenapa aku tidak berpikir dia orang mesum? Albert memang pria baik-baik, tapi mungkin karena dia seniman yang tidak pernah merawat diri, dia jadi terlihat seperti laki-laki maniak yang suka mengintip dan mencuri pakaian dalam wanita, yah, itulah yang dipikirkan oleh Mama dan teman-temanku. Tapi, pikiran mereka berubah ketika mereka lebih mengenal Albert.
   ”Kenapa cengar-cengir begitu?” tanya Albert.
   ”Apa? Eh, tidak ada,” jawabku kaget.
   ”Kenapa tidak ke sini lagi sejak ditunangkan? Aku merasa seperti sampah yang dipungut kembali karena aku terlalu baik untuk di buang,” kata Albert berlebihan.
   ”Sudahlah, yang penting aku tidak membuangmu ke tong sampah yang bercampur dengan kotoran anjing,” sahutku.
   ”Femi-chaaan!” seru Nanako.
   ”Nanako-chan! Konichiwa!” sapaku seraya berpelukan.
   Nanako adalah seniorku. Dari semua orang yang ada di dalam sanggat yang aku kenal, Nanako-lah yang paling aku hormati, yang kedua adalah ka Erik tapi dia tidak terlihat batang hidungnya, naah berikutnya barulah Edward. Nanako sangat baik padaku, perhatian, feminin, dan sopan. Nanako adalah pelukis terkenal dan katanya sedang mencari inspirasi di sini.
   ”Femi, kemana saja selama ini?” tanya Nanako dengan logat khas jepangnya.
   ”Tidak kemana-mana, hanya saja aku terlalu sibuk akhir-akhir ini,” jawabku.
   ”Harusnya kamu mampir, walau hanya sebentar,” kata Nanako.
   ”Maafkan aku,” ucapku seraya sedikit membungkukan badanku.
 ”Kita ini hanya sehelai benang yang dibutuhkan ketika ingin menjahit,” celutuk Albert dengan wajah sedih.
   ”Kamu terlalu mendramatisir!” seruku.
   ”Oh, ya, kita mempunyai anggota baru.” ujar Nanako.
   ”Benarkah? Siapa namanya?” tanyaku penuh antusias.
   Jarang sekali ada anggota baru. Ketika melihat sanggar melukis milik Albert, orang kebanyakan pasti berpikir dua kali untuk bergabung, selain karena Albert yang dikira otak mesum, bangunan sanggarnya juga terlihat kono dan kotor, hmm, lebih tepatnya tidak layak huni. Tapi, aku heran kenapa Nanako, seorang pelukis terkenal mau bergabung dengan sanggar Albert? Hmm, Albert memang terlalu cuek untuk memikirkan masalah bangunan dan aku sudah terlalu capek untuk minta pindah tempat sanggar melukis.
   ”Orangnya ada di sini,” kata Albert.
   ”Baiklah, ayo, aku perkenalkan dengan anggota baru kita,”
   Kami berjalan ke dalam. Aku sempat mengomentari tempat sanggar yang kondisinya semakin bertambah buruk. Tapi, aku benar-benar kasihan dengan anggota sanggar yang hanya sepuluh orang termasuk aku, Albert, Nanako, dan anggota baru.
   Albert membuka pintu ruangan yang biasanya tempat memajang hasil karya para anggota dan yang akan dipamerankan. Walaupun bangunan dan orang yang mengelola agak tidak beres, kami selalu menang lomba dan tidak pernah keluar dari tiga besar. Aku sebenarnya bersyukur kenal dengan Albert, ka Erik (yang sekarang tidak ada di tempat), dan Nanako, mereka banyak mengajarkan aku hal yang baru dalam cara melukis yang benar. Mereka selalu mengatakan kalau lukisanku jujur sesuai dengan perasaanku.
   ”Ini anggota baru kita, taraaa! Aku-lah yang memilihnya dengan selektif, akurat, dan tajam, pluus dijamin terpercaya,” ucap Albert. Dia selalu begitu kalau ada anggota baru.
   ”Kevin!” seruku tidak percaya.
   ”Femi! Hai, anggota di sini juga?” sapa Kevin.
   ”Iya!”
   ”Kalian saling kenal?” tanya Nanako.
   ”Iya, dia temanku,” jawabku.
   ”Dan aku pengaggumnya,” tambah Kevin.
   Entah kenapa jantungku berdebar cepat mendengar ucapan Kevin, wajahku jadi terasa panas.
   ”Wah! Bagus kalau begitu! Sekarang, kami mempunyai alasan untuk menyuruh Femi datang kesini. Sebaiknya kamu jadi pembimbing Kevin,” ucap Nanako antusias.
   ”Hah?! Tapi… aku belum berpengalaman,” sahutku.
   ”Sudah ditetapkan! Sekarang, Femi menjadi pembimbing Kevin!” ujar Albert dengan suara lantang dan seenaknya.
   Albert dan Nanako memasang wajah puas, dan aku hanya bisa tersenyum pahit melihat mereka berdua. Tapi, tak apalah, sekalian latihan, aku kan mempunyai cita-cita untuk mengajar melukis dan menjadi pelukis profesional.
   ” Oh, ya, kenapa mau bergabung dengan sanggar ini?” tanyaku.
   ”Apa maksud dengan pertanyaan itu? Sangat tidak enak didengar,” dumel Albert.
   ”Benar, benar, aku jadi penasaran,” tambah Nanako mendukung pertanyaanku.
   ”Nanako-chan!” seru Albert dengan memasang wajah super-duper masam.
   ”Aku tertarik bergabung ketika melihat pameran lukisan dan dimenangkan oleh sanggar ini,” jawab Kevin. ”Dan sepertinya aku tidak salah bergabung,” lanjutnya.
   ”Selamat bergabung kalau begitu,” sambutku.
   ”Terima kasih,” sahut Kevin dengan tersenyum lebar.
   ”Oh, ya, mana ka Erik?” tanyaku.
   ”Dia sekarang ada di Kanada, pameran lukisan,” jawab Nanako.
   ”Oh…”
   ”Baiklah, mumpung kamu ada di sini, kamu ajarkan Kevin cara-cara melukis yang kamu pelajari dari senior-seniormu. Ayo, Nanako-san,” kata Albert seraya meninggalkanku.
   ”Femi-chan, fighting!” Nanako menyemangatiku sambil mengepalkan tangan kanannya.
   ”Terima kasih!” ujarku seraya membungkuk keras.
   ”Teman-temanmu sungguh hangat, kamu sungguh beruntung,” kata Kevin.
   ”Ah, mereka memang selalu begitu,”
   ”Ini lukisanmu?” tanya Kevin.
   ”Iya, di rumah lebih banyak.” jawabku.
   ”Boleh aku melihatnya kapan-kapan?” tanya Kevin.
   ”Tentu saja!” jawabku.
   Aku senang ada orang yang menyukai hasil karyaku, apalagi mengkritik, karena bagiku melukis bukan hanya sekedar hobbi. Melukis adalah apa yang sedang aku rasakan sekarang, selama bersama Shin-woo aku sering mengekspresikan isi hatiku dengan lukisan, tapi sekarang  tidak sanggup melihat lukisan yang berisi isi hatiku dengan Shin-woo. Itu hanya akan membuatku teringat dengannya.
   Kevin dan aku membahas berbagai macam bentuk lukisan. Menyenangkan, dan aku mendapat satu kecocokan dengan Kevin. Aku menjadi heran kenapa Kevin dulu berubah menjadi Kevin menyebalkan dan dia berubah lagi menjadi Kevin si malaikat penolong. Yah, walaupun dia sedikit menyinggung masalah cinta aku—dia. Tapi, dia tidak segencar dulu lagi.
   Aku sebenarnya agak sedikit merasa bersalah dengan Shin-woo karena hari ini aku pulang diantar Kevin. Tapi, kalau pun Shin-woo peduli denganku, ketika di mobil tadi, dia pasti menyapaku. Tapi, boro-boro menyapa, melirik saja, tidak dia lakukan. Hatiku jadi sesak karenannya.
   Setelah mengucapkan terima kasih sudah diantar, aku masuk ke dalam rumah. Aku berjalan ke dapur mencari mama. Aku menemukan mama di belakang rumah, dia sedang menyiram bunga.
   ”Sore, ma,” sapaku.
   ”Eh, sudah pulang, cepat mandi sana,” kata Mama.
   ”Baiklaaah!” ucapku seraya memberi hormat.
   Aku berlari-lari kecil menaiki tangga. Aku membuka kamarku.
   Oh, Tuhan! Apa-apaan ini?! siapa yang melakukan ini semua?! Aku memperhatikan lilin yang berbentuk cinta dan di bawahnya ada tulisan sorry.
   ”Ini isi hatiku. Walau satu kata tapi, aku ucapkan tulus dari isi hatiku,” kata Shin-woo yang muncul tiba-tiba dari samping.
   Aku terdiam tidak percaya. Tiba-tiba Shin-woo memelukku. Dia memelukku dengan sangat erat, rasanya sungguh hangat, aku rindu pelukkannya.
   ”Sungguh, aku minta maaf...” ujar Shin-woo dengan suara yang melemah namun penuh dengan ketulusan.
   Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku sangat bahagia Shin-woo memelukku tapi, hatiku yang lain masih kesal karena kejadian kemarin. Bagiku itu bukan kejadian biasa, aku merasa Shin-woo keterlaluan, dia harusnya bisa menjaga tempramentnya. Dan… untuk apa dia melakukan ini semua? Kalau dia ingin minta maaf, seharusnya dia melakukan hal ini ketika dia di mobil. Tapi… melirikku pun dia tidak ada. Tidak, seharusnya dia minta maaf sejak aku dia pergi dengan Rissa.
   Shin-woo melepaskan pelukkannya dan menatapku. Aku menunduk, aku tidak sanggup melihat wajah Shin-woo, jauh dari segala masalah yang ada, aku  sangat merindukannya. Shin-woo mengangkat daguku kemudian dia mencium keningku.
   ”Kali ini, aku sungguh menyesal… aku sungguh-sungguh tidak ingin kehilanganmu,” ucap Shin-woo dengan menatap mataku.
   Aku tidak dapat berkata-kata. Perasaanku campur aduk, senang, sedih, bingung, semuanya bercampur. Aku masih ragu untuk memaafkan Shin-woo karena dia sudah tidak jujur kepadaku, dari segala hal yang ada, aku hanya membutuhkan kejujuran. Tetapi, dia tidak. Dia pergi dengan wanita lain dan memintaku untuk tidak bertemu Kevin. Oke, aku tidak bertemu Kevin itu bukanlah masalah. Tapi, kenapa dia bertemu dengan wanita lain dan tidak jujur padaku? Apalagi, wanita itu adalah Rissa, mantannya sendiri! Aku merasa terpukul atas kejadian itu.
   Aku memalingkan wajahku dari Shin-woo. Untuk kali ini, aku harus berpikir dua kali, aku merasa aku terlalu bimbang. Otakku dan perasaanku tidak mau bekerja sama. Otakku berpikir kalau aku memaafkannya sekarang, aku tidak akan bisa menemukan jalan yang terbaik untuk hubunganku dan Shin-woo, dan nantinya akan berujung pada kekecewaan semuanya, terutama Shin-won. Tapi hatiku berpikir lain, hatiku ingin bersama Shin-woo, hanya itu, tidak lebih.
   ”Ke… kenapa?” tanyaku.
   ”Kenapa apa?” tanya Shin-woo.
   Aku menarik napas. ”Kenapa baru sekarang meminta maaf?”
   Shin-woo terdiam dan menatapku. ”Aku harus mengumpulkan kekuatanku untuk bertemumu dan…”
   ”Bertemuku? Apa susah untuk mempertahankan hubungan ini jadi kamu pergi dengan Rissa?” tanyaku. ”Ya, aku cemburu kamu pergi dengan Rissa. Tapi… aku lebih benci kamu tidak jujur padaku.”
   ”Femi… Rissa membutuhkanku waktu itu…” kata Shin-woo mencoba menjelaskan.
   ”Dan kamu kira aku tidak membutuhkanmu? Aku memang sangat menyukaimu. Tidak, aku memang tergila-gila denganmu! Aku memang egois! Aku hanya ingin kamu untukku!” ucapku setengah berteriak.
   Shin-woo memegang kedua pundakku. ”Femi! Aku sudah mulai jatuh cinta padamu! Aku mohon… aku mohon… jangan seperti ini…” ucap Shin-wooo.
   Aku terdiam dan menatap mata Shin-woo. Aku tahu dia mengucapkan dengan bersungguh-sungguh, tersirat dari matanya.
   ”Aku… tidak pernah merasakan ini lagi sejak kita berpisah. Aku memang pernah menyukai Rissa… tapi, aku sadar sukaku pada Rissa bukan seperti sukaku kepadamu…”
   Aku terdiam. Untuk sesaat aku terhanyut oleh ucapan Shin-woo.
   Selama ini, kami sering bertengkar, ucapan Shin-woo juga sangat menusuk di hatiku. Tapi… untuk pertama kalinya aku merasa Shin-woo mengucapkan kata-kata yang membuatku ingin melupakan segalanya dan bersandar di bahunya untuk selama-lamanya.
   Aku menarik nafasku dalam-dalam. ”Shin… Shin-woo, tinggalkan aku… aku butuh sendiri untuk sekarang ini,” kataku lemah.
   Sebenarnya, ada sedikit penyesalan di dalam hatiku, tapi aku yakin ini adalah jalan yang terbaik. sekarang, satu hal yang aku butuhkan… Shin-woo memahami perasaanku. Shin-woo mengerti kalau ini adalah jalan yang aku inginkan untuk beberapa waktu.
   Shin-woo terlihat ingin membantah, tapi melihat aku yang memasang wajah memohon, akhirnya dia mengerti.
   ”Baiklah, kapan pun kamu membutuhkanku… aku ada.” ucap Shin-woo.
   Sebelum dia pergi, dia sempat memelukku dan mencium keningku. Sesaat… aku merasakan kesedihan yang sangat dalam. Aku merasa ini terlalu menyakitkan. Aku sangat menyukai Shin-woo dari dulu sampai sekarang yang ada dalam pikiranku adalah Shin-woo, Shin-woo, dan Shin-woo. Tidak ada seorang pun selain dia. Tapi… tapi kenapa harus seperti ini?!
   Aku menutup pintuku dan bersandar di balik pintu. Sekarang, satu hal yang bisa aku lakukan adalah menangis. Apa yang aku tangisi? Aku yang menginginkan ini. Aku yang ingin dia pergi, kenapa aku harus menangis? Dadaku terasa terkoyak. Aku merasa sulit untuk bernapas.
   Aku berjalan menuju lilin yang berbentuk cinta. Aku mengambil buku dan mematikan lilin itu satu per satu. Semoga ini cepat berlalu, secepat aku mematikan lilin ini. Semoga…
***

   ”Tumben datang sepagi ini. Tidak kuliah?” tanya Albert memperhatikan lukisanku.
   ”Hari ini libur,” jawabku singkat.
   ”Sesakit itukah rasanya sakit hati?” tanya Albert tetap fokus pada lukisanku.
   Aku memang melukis seorang yang sedang sakit hati. Ini semua bentuk dari perasaanku.
   ”Ya,” jawabku singkat.
   ”Baiklah, aku tidak akan mengganggu eksperimenmu lagi,” ujar Albert seraya pergi meninggalkanku.
   ”Sepertinya, aku memang tidak harus menikah,” gumam Albert seraya menutup pintu.
   Aku menarik napasku dalam-dalam, air mataku keluar lagi. Aku memang tidak bertemu Shin-woo sudah hampir setengah bulan, dan rasanya sungguh menyakitkan. Aku terlalu takut untuk bertemu dengannya.
   Tadi pagi, Mama mengingatkanku kalau aku dan Shin-woo akan menikah dalam jangka satu bulan lagi. Iya, aku tahu itu. Tapi, bagaimana aku bisa menikah kalau hubungan aku dan Shin-woo sedang tidak baik. Aku sungguh tidak ingin melukai keluargaku, tapi dibalik itu semua… aku sangat merindukan Shin-woo.
   Handphone-ku bergetar. Ini sudah ketiga kalinya dalam hari ini. Aku membuka SMS, Shin-woo: sudah jam lima sore, sebaiknya kamu mandi sekarang. Dadaku terasa sakit ketika membaca SMS dari Shin-woo. Sejak hari itu, kami memang tidak bertemu, tapi dia selalu mengirim SMS kepadaku dan mengingatkan aku untuk makan tepat waktu, kuliah, tidur, dan sebagainya. Itu membuat aku merasa sakit, aku merasa semakin bimbang untuk mencari yang terbaik.
   Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, aku menoleh siapa yang masuk.
   ”Boleh aku masuk?” tanya Kevin.
   Aku tersenyum tanda membolehkannya masuk.
   ”Melukis lagi?” tanya Kevin seraya menarik kursi dan duduk di sampingku sambil memperhatikan lukisanku.
   Aku menarik napasku tanpa menjawab pertanyaan Kevin. Aku menatap kosong lukisan di depanku.
   ”Apa kamu sangat merindukannya?” tanya Kevin lagi.
   Merindukannya? Shin-woo? Ya, aku sangat merindunkannya. Tidak, aku sungguh-sungguh merindukannya. Aku rindu tawa, senyum, suaranya, semuanya. Bahkan aku rindu untuk dimarahinya, aku rindu dibentaknya.
   Aku tidak menjawab pertanyaan dari Kevin, aku hanya menarik napasku. Aku hanya berharap beban ini cepat berakhir.
   ”Femi…”
   Aku tidak menghiraukan ucapan Kevin. Sekarang, aku hanya butuh sendiri, dan kurasa itu adalah jalan yang terbaik.
   ”Baiklah kalau kamu ingin sendiri… aku akan selalu menunggumu sampai kamu kembali seperti dulu,” ucap Kevin seraya bangkit dari duduknya dan menepuk bahuku dengan penuh perasaan.


   ”Femi!” sapa teman-temanku ketika melihatku berada di taman kampus sedang melukis.
   Aku hanya tersenyum melihat teman-temanku yang sangat ceria. Setidaknya, aku merasa bahagia melihat mereka tidak merasakan apa yang aku rasakan.
   Teman-temanku langsung diam melihat aku yang memang akhir-kahir ini merasa malas untuk bicara. Aku sudah menceritakan kepada mereka semuanya. Mereka bilang, apa yang aku pilih itu adalah yang terbaik, tapi aku merasa salah! Aku merasa salah mengambil keputusan. Aku sangat menyesal.
   ”Femi…” ujar Icha
   ”Ya…” sahutku sambil memainkan kuasku di kertas lukis.
   ”Boleh kami nyampain sesuatu?” tanya Icha.
   ”Silahkan,” jawabku seraya meletakkan kuasku.
   ”Maaf ya kalo lo tersinggung.” ucap Icha.
   ”Kamu ini, apa yang mau kalian sampein?” tanyaku.
   ”Lo balikan aja dengan Shin-woo. Mungkin itu memang yang terbaik. Kita-kita nggak tega liat lo sedih terus. Apa perlu kami yang datang ke tempat Shin-woo dan memintanya?” tanya Icha.
   Aku tersenyum. ”Kalian sangat baik.” ucapku seraya memeluk teman-temanku.
   Aku melepaskan pelukkanku. ”Tapi, itu tidak perlu. Aku masih butuh waktu,”
   Teman-temanku tersenyum sedih dan menemaniku beberapa saat, mereka mengerti aku ingin sendiri dan membiarkanku sendirian. Aku kembali melukis. Aku memang akhir-akhir ini suka melukis, karena ini adalah cara untuk mengurangi kesedihanku, walaupun hanya sedikit.
   ”Femi…”
   Aku menoleh ke arah sumber suara itu. Kevin yang entah sejak kapan sudah duduk di sampingku menatapku dengan wajah simpati. Aku… aku tidak membutuhkan simpati dari orang lain!
   Kevin tiba-tiba memelukku. ”Aku tidak sanggup melihatmu seperti ini. Sungguh!” ujar Kevin.
   ”Ke… Kevin…?”
   ”Femi… aku mohon…” ujar Kevin mempererat pelukkannya.
   ”Kevin lepaskan!” aku meronta dan melepaskan pelukkanku dari Kevin.
   Aku berdiri dari dudukku dan berjalan meninggalkan Kevin.
   Kevin kembali memelukku. ”Ikutlah dengan aku… ikutlah denganku ke Prancis. Lupakan Shin-woo… bersamanya… kamu hanya akan merasakan penderitaan… ikutlah denganku ke Jerman, kamu  bisa meneruskan kuliahmu di sana,” ucap Kevin mempererat pelukkannya.
   Aku melepaskan pelukkanku dari Kevin dan medorong badan Kevin sehingga dia terjatuh ke tanah. Aku terdiam membisu. Apa yang dipikirkan Kevin? Apa dia tidak mengerti kalau aku sedang membuthkan ketenangan?
   Kevin bangkit dari tanah. Dia seperti membutuhkan jawabanku.
   Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. ”Tidak… aku tidak bisa melupakan Shin-woo… seberapa kali pun aku mencoba melupakannya, aku tetap tidak bisa… aku… aku tidak mampu…” ucapku dari lubuk hati yang terdalam.
   ”Tidak… kamu pasti bisa, aku anggap kamu belum menjawab perkataanku… aku akan tetap menunggumu… kapan pun…” ujar Kevin seraya meninggalkanku pergi.
***

   ”Femi, kamu sudah hampir menikah, tapi mama lihat kamu sangat jarang bersama Shin-woo,” ujar Mama ketika kami sedang makan malam.
   Aku hanya diam dan menyuap nasiku. Aku tidak tahu harus menanggapi bagaimana, aku sangat ingin jujur kepada kedua orang tuaku, dan meminta solusi yang terbaik.Tapi, rasa takutku sangat besar. Aku memang seorang pengecut.
   ”Femi… kamu lagi ada masalah dengan Shin-woo?” tanya Papa dengan wajah menyelidik.
   ”Ah… tidak,” bohongku.
   ”Pa, Ma, sudahlah. Ingat, ya, aku meminta pernikahanku lebih dulu, aku tidak mau Femi lebih dulu menikah,” kata Ryo tiba-tiba.
   ”Lho? Bukannya kamu setuju untuk menunda pernikahan dan membiarkan Femi lebih dulu menikah?” tanya Mama heran.
   ”Ryo! Jangan buat Papa-Mama malu, ya,” kata Papa sepertinya agak kesal.
   ”Nanti Ryo bicara sama keluarga Park, tenang saja,  Ryo sudah mengatur tanggal pernikahan dengan Kelly.” ujar Ryo seraya menyuap nasinya dengan lahap.
   ”Ah, sudahlah, atur secepatnya, biar kami bisa mengatur jarak waktu pernikahanmu dan Ryo,” kata Papa.
   Papa-Mama memang tidak suka berdebat dengan Ryo karena Ryo memang sangat keras kepala selain tiu, Papa-Mama memang menginginkan Ryo menikah lebih dulu, tapi Ryo uring-uringan dan dia bilang dia belum ingin terikat. Sekarang, Ryo ingin menikah lebih dulu, dan itu pasti membuat Papa-Mama jengkel.
   ”Siiip!”
   ”Aku ke atas dulu, ada yang dikerjakan,” kataku seraya meninggalkan meja makan dan berjalan lunglai menaiki tangga.
   Aku membuka pintu kamarku kemudian berdiri di depan jendela sambil menatap langit. Cuacanya cerah, bintang-bintang berkelap-kelip, bulan bersinar terang. Apakah Shin-woo melihat bintang dan bulan sama sepertiku?
   Handphoneku bergetar. SMS masuk. Aku membuka flap handphoneku. Shin-woo: apa kamu sibuk? Coba lihat langit, bintang dan bulan sungguh ceria. Semoga kamu juga. Tidak, aku tidak dapat ceria kalau seperti ini. Aku tidak dapat tersenyum bahagia tanpamu. Klasik memang, tapi itulah yang aku rasakan.
   Tok… tok.. tok..
   ”Gue masuk nih,” kata Ryo membuka pintu.
   Aku mengangguk.
   ”Suram banget muka lo.” ledek Ryo.
   Aku hanya menarik napasku mendengar ledekan dari Ryo.
   ”Ada apa?” tanyaku.
   ”To the point aja, ya?”
   Aku mengangguk.
   ”Gue tau lo sama Shin-woo lagi berantem.” ucap Ryo.
   Aku tersentak mendengar ucapan Ryo. Jantungku berdebar. Apakah Ryo ingin mengatakan ini kepada Papa-Mama?
   ”Shin-woo yang cerita,” ujar Ryo.
   ”Apa maumu?” tanyaku terdengar dingin.
   ”Gue pengin lo baikan sama Shin-woo. Jujur, aku tidak ingin terikat, lo tau kan? Tadi, di meja makan gue hanya tidak ingin Papa-Mama tau karena itu hanya akan membuat mereka sedih… gue nggak mau lo ngecewain mereka.” kata Ryo.
   Rasanya, aku sangat ingin berterima kasih pada Ryo karena sudah melindungiku. Tapi, merasa bersalah, aku dan Shin-woo hanya mempunyai 10% kesempatan untuk bersama, itu menurutku.
   ”Entahlah,” hanya itu tanggapanku.
   ”Pertimbangkan ucapanku. Aku sangat memohon lo baikan sama Shin-woo,” kata Ryo. ”Baiklah, aku keluar dulu.” ujar Ryo seraya berjalan keluar kamarku.
   Setelah Ryo menutup pintu kamarku, aku langsung menghempaskan diriku ke atas tempat tidur. Semoga hari esok lebih baik.


   Sudah seminggu berlalu. Pernikahan Ryo dan Kelly sudah ditentukan tanggalnya, abangku terlihat uring-uringan menghadapi pernikahannya yang hampir setengah bulan ini. Papa-Mama memang belum sempat melakukan pertemuan antar-besan. Aku dengar minggu depan mereka akan mengadakan acara pertemuan itu. Dan… selama seminggu ini juga, aku tidak melihat Kevin, tidak di sanggar, tidak di kampus.
   Aku memperhatikan dosen menjelaskan materi, tapi pelajaran tidak ada satu pun yang menyangkut ke dalam otakku. Aku selalu merasakan hal ini. Setiap hari terasa menyedihkan, satu hari terasa panjang, tidak tahu harus melakukan apa. Berhari-hari hanya duduk diam melihat apa yang ada di depan kita. Aku sekarang memahami bagaimana rasanya sakit hati, bagaimana rasanya hampa. Sangat menyakitkan.
   Akhir-akhir ini, aku jarang bertemu dengan teman-temanku. Aku menghindari mereka, aku tidak ingin mereka merasakan apa yang aku rasakan, cukup aku saja. Cukup aku yang merasakan hal ini…
   Setelah jam kelas selesai, aku langsung pergi ke sanggar. Albert memintaku untuk pergi ke sanggar karena aku harus mengurusi pentas pameran lukisan yang akan aku ikuti.
   Aku membuka pintu pagar, di sana sudah ada Nanako dan Ka Erik yang mengurusi hal-hal yang aku perlukan ketika pentas seni nanti. Tapi, aku merasa belum siap untuk ke acara yang sangat resmi itu, aku tahu itu peluangku untuk menjadi pelukis profesional seperti Ka Erik dan Nanako.
   ”Selamat siang.” sapaku pada kedua orang itu.
   ”Selamat siang Femi-chan!” sapa Ka Erik dan Nanako.
   Aku terdiam melihat formulir yang sudah diisi, semuanya sudah beres, tinggal aku.
   ”Kamu masih belum siap?” tanya Nanako.
   Aku menarik napasku dan mengangguk.
   ”Bukankah keinginanmu untuk menjadi pelukis terbaik sepanjang masa?” tanya Ka Erik.
   Sekali lagi aku menarik napas dan mengangguk.
   ”Femi-chan, ini sangat berarti, kan, untukmu? Jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan ini,” kata Nanako.
   ”Berikan aku kesempatan waktu untuk berpikir, aku masih ragu…” kataku.
   ”Baikalah.” kata Nanako. ”Semuanya sudah siap, tinggal kamu saja,” kata Nanako.
   Aku diam beberapa saat.
   ”Apakah ini bisa diwakili?” tanyaku.
   Ka Erik dan Nanako saling bertatapan.
   ”Bisa saja, tapi lebih baik kamu yang datang.” kata Erik.
   ”Aku mohon, wakili aku,” ucapku seraya membungkukan badanku.
   ”Tidak bisa!” seru Albert tiba-tiba.
   ”Ke… kenapa?!” tanyaku.
   ”Ini adalah karyamu dan ini adalah jiwamu. Kenapa kamu ingin orang lain yang mewakilinya? Aku tidak mengizinkan!” tegas Albert.
   Aku terdiam mendengar ucapan Albert. Apa yang dikatakan Albert memang benar. Aku menarik napasku dan meninggalkan mereka, aku tidak ingin berdebat dengan Albert. Aku berjalan ke ruang lukisanku. Di sana sudah ada Kevin yang memperhatikan lukisanku yang akan dipamerankan.
   ”Ke mana saja kamu?” tanyaku seraya menutup pintu.
   Kevin tersenyum. ”Kamu memperhatikanku?”
   Aku hanya diam tidak menjawab. Memperhatikan Kevin? Ya, memang benar aku memperhatikannya, tapi hanya sebatas teman, tidak lebih. Aku tidak akan bisa menyukai laki-laki lain selain Shin-woo.
   ”Kamu datang dan pergi sesukamu. Apa yang ada dalam pikiranmu?” tanyaku.
   ”Apakah aku sudah mulai mengalihkan perhatianmu?” tanya Kevin balik.
   Aku hanya menarik napas tanpa menjawab pertanyaannya.
   ”Aku rindu moeder1.” ujar Kevin setelah kami diam beberapa saat.
   Aku menoleh ke arah Kevin. Matanya terlihat hampa. Apa yang sedang dia pikirkan?
   ”Bagaimaana kabarnya?” tanyaku mencoba mencairkan perasaannya.
   Kevin tersenyum. ”Dia baik-baik saja ketika kukunjungi, semoga saja seterusnya.”
   Aku tersenyum mendengar ucapan Kevin. Dia anak yang baik.
   ”Oh, ya, kudengar kamu akan mengikuti pemeran melukis,” kata Kevin.
   ”Iya.” jawabku.
    ”Mana lukisan yang akan kamu ikut setakan?” tanya Kevin.
    ”Tepat di depanmu.” jawabku.
    Kevin memperhatikan lukisanku sekali lagi. Lukisan yang kugambar berupa seorang gadis menatap langit dengan mata terpejam seakan mencari kedamaian untuk membuatnya mudah untuk bernapas.
    ”Hampa sekali, aku dapat merasakannya,” komentar Kevin.
    ”Benarkah?”
   Aku dan Kevin tidak lagi bicara. Kami hanya diam dalam pikiran masing-masing.
   Aku melihat jam tanganku. Sudah jam tujuh sore. ”Aku pulang dulu,” pamitku kepada Kevin.
   Kevin tidak menanggapi ucapanku, dia masih saja menatap lukisanku dengan mata kosong. Entah apa yang sedang dia pikirkan sekarang.
   Aku berjalan keluar ruangan dan pamit kepada Nanako. Aku tidak mencari yang lain, terutama Albert. Aku merasa enggan untuk bertemu dengannya. Bertemu dengannya tidak akan membuat keadaan lebih baik, aku dan dia hanya akan berdebat.
   Jalanan sudah mulai sepi. Hanya beberapa orang saja yang lewat. Aku memperhatikan jalan dan menoleh ke arah kiri. Jalan itu… jalan menuju apartement Shin-woo. Aku melihat supermarket yang ada di seberang jalan. Supermarket yang pertama kali aku dan Shin-woo kunjungi ketika pulang dari Belanda. Aku menarik napasku dalam-dalam. Aku rindu saat itu.
   Aku merapikan rambutku yang ditempur angin, aku memejamkan mata merasakan kedamaian di sore hari. Nyaman sekali. Setidaknya, bebanku sedikit berkurang akibat tempuran angin sore.
   Tiba-tiba seseorang memelukku dari belakang.
   ”Apa kamu masih memikirkannya?”
   ”Ke… Kevin?!”
   ”Kamu tidak menjawab pertanyaanku. Apa kamu masih memikirkannya?” tanya Kevin.
   Aku tidak dapat berkata-kata karena kaget.
   Memikirkan Shin-woo? Tentu saja, tentu saja aku memikirkannya setiap aku makan, minum, bernapas, melukis, kapan pun… setiap saat di dalam benakku hanya ada Shin-woo.
   ”Tidak bisakah kamu melupakannya walau sedetik dan melihatku?” tanya Kevin.
   Aku menarik napasku, aku hanya berharap Kevin memahami perasaanku.
   Kevin membalikkan badanku, dia menatapku lekat-lekat dan menyelipkan rambutku di balik telingaku, kemudian memelukku sesaat.
   ”Kenapa dia sangat beruntung memiliki seseorang sepertimu yang sangat setia?” tanya Kevin pada dirinya sendiri. ”Aku sangat menyukaimu. Tidak, ini bukan rasa suka biasa… ini lebih dari rasa suka... ini cinta...”
   Aku melihat mata Kevin, matanya seperti mengharapkan sesuatu… aku tidak bisa menyukai Kevin. Aku memang tidak bisa dan aku tidak ingin mencoba menyukai laki-laki lain selain Shin-woo.
   Kevin terdiam dan menunduk, kedua tangannya berada di bahuku seakan tumpuannya untuk berpijak di atas tanah. Kevin… maafkan aku… rasanya ingin kuucapkan, tapi suaraku terasa tercekat.
   ”Kamu merindukannya?” tanya Kevin.
   Aku mengagguk lemah.
   ”Aku menyarankanmu untuk segera menemuinya… temui dirinya! Itu kan yang sangat kamu inginkan? Itu kan yang hatimu inginkan?” ujar Kevin.
   Aku mengangguk.
   ”Cepat pergi! Sekarang aku menyarankanmu sebagai seorang psikolog, bukan orang yang menyukaimu! Cepat, sebelum aku berubah pikiran dan takkan kubiarkan lagi kamu bertemu dengan Shin-woo!” seru Shin-woo seraya menlepaskan tangannya dan di bahuku.
   Aku melihat Kevin dengan pikiran bimbang, dia tidak mau melihat ke arahku. Entah mengapa air mataku menetes. Kevin…
   ”Cepat pergi!” seru Kevin setengah membentak.
   Aku langsung berlari sambil menangis. Aku terharu melihat apa yang telah Kevin lakukan untukku, aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan oleh Kevin. Kevin… terima kasih…
   Kakiku terus berlari menuju apatement Shin-woo. Aku sudah membulatkan keinginanku untuk bertemu dengannya. Aku tidak ingin mengecewakan semuanya. Papa, Mama, Ryo… dan…  Kevin…
   Aku berhenti di depan apartement Shin-woo. Aku menyapu air mataku, aku terdiam tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku merapikan buju dan rokku. Aku menarik napasku dan mencoba memencet bel apartement Shin-woo, tapi… aku terlalu gugup! Aku menjauhkan jariku dari bel apartement Shin-woo.
   Jantungku berdebar kencang, kenapa Femi? Tinggal pencet, nanti akan berbunyi ting-tong—Shin-woo membuka pintu—sapa, hai!—selesai. Apa yang susah dari itu semua? Kenapa rasanya badanku susah sekali bergerak? Femi! Ayo lakukan! Ini adalah kesempatanmu! Cepat lakukan!
   TING… TONG…
   Akhirnya aku memencet bel dengan memejamkan mataku. Jantungku  berdetak semakin bertambah kencang menunggu Shin-woo membukakan pintu. Tapi, tidak ada jawaban dari Shin-woo, sekali lagi aku memencet bel, tetap saja tidak ada jawaban. Mungkin Shin-woo tidak ada di apartement. Aku mencoba memegang gagang pintu apartement rumah Shin-woo dan membuka pintu apartement Shin-woo. Pintunya terbuka.
   Aku masuk ke dalam apartement Shin-woo. Apa tidak apa-apa aku masuk? Aku heran kenapa Shin-woo tidak mengunci pintu apartementnya, selama aku datang ke apartement Shin-woo, dia tidak pernah tidak mengunci pintu meskipun dia ada di dalam apartement.
   Apa mungkin… terjadi apa-apa pada Shin-woo?! Iya! Mungkin ada perompok yang datang dan perampok itu guy! Mereka tergoda dengan wajah tampan Shin-woo, dan Shin-woo… Shin-woo dijadikan… oh, Femi! Apa yang kamu pikirkan? Tidak mungkin itu terjadi! Tapi, apa yang tidak mungkin di dunia ini?
   ”Shin-woo?!” teriakku.
   Tidak ada jawaban dari Shin-woo.
   Aku mencari Shin-woo di kamarnya, tetapi tidak ada. Aku berlari-lari  mengelilingi apartement mencari Shin-woo, dan aku berhenti ketika melihat Shin-woo yang terbaring lemah di dekat meja makan.
   Aku berlari menghampiri Shin-woo. ”Shin-woo!”
   Shin-woo pingsan. Aku memegang dahinya, panas sekali. Aku mencoba membangunkan Shin-woo dan membopohnya menuju kamar. Setelah sampai, aku langsung membaringkannya ke atas tempat tidur.
   ”Tungu sebentar, aku ambilkan termos dulu,” kataku pada Shin-woo. Aku tahu dia tidak mendengarku.
   Aku keluar kamar dan berlari kecil menuju dapur untuk mengambil termos. Aku mengisi termos dengan air es dan aku mengambil handuk kecil untuk mengompres Shin-woo, setelah itu, aku kembali ke kamar Shin-woo.
   Aku meletakan handuk yang sudah kuperas di atas dahinya. Mata Shin-woo perlahan-lahan terbuka, dia menoleh ke arahku kemudian dia memelukku.
   ”Femi! Jangan tinggalkan aku lagi! Aku mohon!” pinta Shin-woo.
   ”Apa yang kamu pikirkan? Kenapa kamu sampai sakit begini? Kamu setiap hari mengirim pesan untuk hidup teratur? Kenapa kamu tidak melakukannya? Kenapa kamu sampai sakit begini?” tanyaku marah.
   ”Aku… aku tidak bisa hidup teratur tanpamu… aku selalu memikirkanmu dan… dan mengingat kamu tidak di sini itu… itu rasanya sangat menyakitkan…” ujar Shin-woo. Dia menangis.
   ”Kamu pikir aku tidak merasakannya? Kamu pikir aku tidak mengalami apa yang kamu alami? Kamu salah! Aku selalu mengingatmu dan aku tidak bisa tidak memikirkanmu setiap waktu!” kataku.
   ”Maafkan aku… aku telah melanggar janjiku untuk akan selalu melindungimu... aku tidak berguna!” ucap Shin-woo setengah berteriak.
   Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dan membalas pelukkan Shin-woo. Aku memeluknya dengan erat.
   ”Aku tidak berguna Femi… aku sangat tidak berguna,” ucap Shin-woo melemah kemudian menangis tersedu-sedu.
   ”Tidak! Tidak…” sahutku dengan suara yang terisak-isak.
   ”Aku sangat mencintaimu… melihatmu di sini membuatku lebih baik.” ujar Shin-woo.
   Aku mengangguk. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa selain memeluk Shin-woo dengan erat.
   ”Tetaplah di sini. Jangan pergi tinggalkan aku lagi,” pinta Shin-woo.
   Aku mengangguk. Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu karena itu terasa sakit saat kamu tidak ada di sampingku. Melihatmu baik-baik saja sudah membuatku merasa tenang, seakan bebanku sudah tidak ada lagi.
(Bersambung…)
Terima kasih sudah membaca.
Kritik sarannya, ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar