Laman

Pelangi is Rainbow

Minggu, 25 Maret 2012

My First

Nine

   Semalaman aku tidak dapat tertidur karena selalu teringat apa yang telah Shin-woo lakukan. Ciuman pertamaku… Aku ingin memberikannya kepada suamiku! Bukan calon suami! Dia harus bertanggung jawab! Kalau dia tidak mau bertanggung jawab, aku akan membantainya menjadi tujuh bagian kemudian memberinya ke Piranha!
   Seletah hatiku mulai tenang, akhirnya aku dapat tertidur. Tapi, beberapa saat setelah aku terlelap, aku langsung terbangun. Mimpiku! Aakkkh, mimpi dan pikiranku masih tertuju pada kejadian yang telah terjadi berjam-jam yang lalu! Wajahku terasa panas, tanganku terasa bergetar, jantung bergetar,  tubuhku terasa membeku. Inikah rasanya?
   JAM ENAM! Sekarang sudah jam enam dan aku masih saja tidak dapat tidur nyenyak!
   Pintukku terbuka. Aku langsung menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhku.
   ”Bangun!” seru Shin-woo sambil membuka horden kamar.
   ”Pa… pa… pagi,” sapaku.
   Aku malu! Aku malu melihat Shin-woo, terutama bibirnya.
   ”Hei! Cepat bangun!” katanya seraya menarik selimutku.
   ”Aaaa!” teriakku seraya menarik selimut kembali.
   ”Hei, hei, hei, cepat bangun! Sarapan!” suruh Shin-woo seperti Ibu-ibu.
   ”Iya! Nanti setelah kamu keluar!” sahutku.
   ”Kakimu masih terkilir! Bagaimana kamu bisa jalan?” tanya Shin-woo setengah mengomel.
   ”Aku bisa, tenanglah!” jawabku.
   ”Hei! Aku tidak ingin terjadi apa-apa denganmu. Lagipula, aku masih harus membawamu ke dokter!” kata Shin-woo sambil menarik selimutku
   Aku memegangi selimutku supaya tidak tertarik oleh Shin-woo. ”Tidak perlu! Aku baik-baik saja!”
   ”Dasar bodoh! Ayo, cepat bangun!” ujarnya seraya melepaskan tarikannya.
   Aku tidak menghiraukan ucapannya. Aku terlalu malu untuk melihat wajahnya. Sungguh!
   ”Haah! Anak satu ini!” keluh Shin-woo seraya menarik selimutku sekali lagi dan membangunkan badanku. ”Kenapa wajahmu merah? Kamu sakit?” tanya Shin-woo cemas seraya menempelkan tangannya ke dahiku.
   ”Tidak!” jawabku langsung.
   ”Badanmu tidak panas. Kamu tidak demam,”
   Iya! Aku memang tidak demam! Tapi, pikiran dan jantungku yang demam gara-gara teringat kejadian tadi malam!
   ”Ayo, kita sarapan,” ajak Shin-woo seraya menyodorkan tangannya.
   Aku menyambut tangannya dengan hati ragu. Tangannya dingin, apa mungkin karena cuaca pagi ini? Tapi, dulu waktu siang hari, aku pernah memegang tangannya dan sama dinginnya dengan sekarang.
   Shin-woo membantuku berjalan menuju ruang makan. Dia menarik kursi makan untukku, kemudian dia duduk dihadapanku. Kalau kami menikah nanti, apakah hal seperti ini akan terjadi setiap hari? Sepertinya, sangat menyenangkan. Aku bisa memandang wajah Shin-woo setiap hari.
  Aku memperhatikan makanan yang dihidangkan di meja makan, semua terlihat lezat, aromanya juga menggoda. Apakah dia memesan ini semua? Makanannya terlihat mahal, aku jadi ragu memasukkan ke dalam mulut, terlalu sayang untuk dimakan, karena nanti pasti akan menjadi spesies yang tidak enak dilihat dan memiliki aroma mengerikan.
   ”Kenapa? Aku yang masak, ayo, cepat makan,” kata Shin-woo.
   ”I… iya,”
   Dia yang memasak? Benarkah? Berbakat sekali dia. Kaya, tampan, mempunyai berbagai keahlian, apa yang kurang? Sikap? Dia baik dengan semua orang kecuali aku dan Ryo. Ralat, sikapnya sudah baik kepada aku, kecuali Ryo.
   ”Oh, ya…”
   ”Iya!” kataku kaget memotong kata-kata Shin-woo.
   Shin-woo tersenyum, ”aku cuma mau bilang kalau masakan tadi malam, aku juga yang membuat,”
   ”Benarkah? Masakanmu enak,” kataku. ”Eh, bukan! Sangaaat lezat!” ralatku.
   ”Tentu saja,” jawabnya bangga.
   Aku menunduk, kemudian menyuap nasi goreng buatannya. Enak, bumbunya pas, perfecto! Aku mengangkat kepalaku dan melihat Shin-woo yang sedang makan. Bibir Shin-woo… bibirnya merah, bibirnya berminyak… Oh, Tuhan! Bibirnya bergerak mengunyah! Femi! Apa yang sedang kamu pikirkan? Sadarlaaah! Bibirnya indah, aku… aku… wajahku terasa panas! Apa yang aku pikirkan? Aku telah jadi wanita mesum.
   ”Hei, kamu kenapa?” tanya Shin-woo mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahku.
   ”Hah? Ohok… ohok… ohok!” aku tersedak.
   Aku gelagapan seperti ikan yang ada di darat. Aku butuh air! Air, air mana? Mana air? Shin-woo memberikan cangkir yang penuh dengan air. Tanganku menyentuh tangan Shin-woo! Aku menjadi bertambah gelagapan sehingga airnya tumpah, dan aku cegukan.
   Shin-woo memberikan gelas berisi air sekali lagi. Aku langsung meminumnya sampai tak tersisa setetes pun. Aaah, leganya!
   ”Kamu kenapa?” tanya Shin-woo.
   ”Apa?” sahutku kaget.
   ”Sikapmu aneh,” kata Shin-woo.
   ”Be… benarkah?” tanyaku gagap.
   Shin-woo mendekatkan wajahnya ke wajahku. Glek! Apa dia… dia… dia akan menciumku lagi? Aduh, jantung berdegup terlalu kencang! Aku langsung memegang dadaku, dan meneguk ludahku beberapa kali.
   ”Aaaaa!”
   Aku terjatuh dari kursi makanku.
   ”Aaauuuwww! Sakiiit!” rintihku.
   ”Kamu nggak apa-apa?” tanya Shin-woo seraya menghampiriku. Shin-woo memegang lengan kananku. Wajahku terasa panas lagi. Sungguh, sekarang aku merasa seperti orang bodoh.
   ”I… iya,” jawabku.
   Shin-woo mengacak-acak rambutku. ”Apa yang ada dalam pikiranmu?”
   Aku menunduk sambil memegang kepalaku. ”Ber… bertanggung jawablah!”
   ”Apa?”
   ”Itu… Itu… ciuman pertamaku!” seruku seraya bangkit dan berjalan dengan tertatih. Aku malu!
   Dia langsung tertawa gelak mendengar ucapanku. Menyebalkan! Apanya yang lucu?! Dasar cowok yang tidak mengerti perasaan wanita!
   Tiba-tiba Shin-woo memelukku dari belakang. Oh, Tuhan! Aku… aku… apa yang harus aku lakukan sekarang? Entahlah, perasaanku sekarang campur aduk, seperti gado-gado. Cinta, bahagia, ingin tertawa bahagia, rasanya… bersatu! Sulit diungkapkan dengan kata-kata. Aku tidak ingin perasaan ini menghilang, aku ingin tetap dan selalu mencintai Shin-woo, aku tidak ingin ada orang lain yang menggantikan Shin-woo dalam pikiranku.
   ”Merci dieu1,”
   ”Apa?”
   ”Nan dangsin-ui cheos-sarang-ilaseo haengboghaeyo.. geuleona cheos-sarang-i anilado, majimag sarang-i doego sip-eoyo2.”
   ”Apa? Aku nggak ngerti,” kataku.
   ”Je suis responsable. Je serai ton protec3,”
   ”Apaaa? Aku nggak negertiii!” kataku kesal.
   ”Kalau ini, mengerti nggak tunanganku?”
   Aku mengangguk kencang. Iya! Kalau ini, aku juga mengerti tunanganku! Bahagianya!
   ”Sekarang, aku pengin kamu menutup hatimu untuk laki-laki lain. Dan, izinkan aku masuk. Hanya aku. Maukah kamu?” tanya Shin-woo
   Tubuhku terasa panas, mataku terasa panas, kakiku terasa lumpuh, jantungku terasa berdetak dua kali lebih cepat. Aku… aku sungguh ingin merekam kata-kata Shin-woo dan mendengarkannya berkali-kali. Aku benar-benar ingin waktu berhenti dan membiarkan aku merasakan kebahagiaan ini.
   ”Iya, tentu saja.” jawabku.
   ”Egoiskah aku?” tanyanya lagi.
   ”Tidak! Aku senang kamu mengatakan hal itu,” kataku langsung. ”Apa aku juga boleh minta sesuatu?” tanyaku.
   ”Apa?”

1 terima kasih Tuhan
2 Aku bahagia, aku yang pertama…mungkin, aku bukan cinta pertamamu, tapi aku berharap aku yang terakhir…
3 Aku bertanggung jawab. Aku akan menjadi pelindungmu.

   ”Jangan pernah berubah, maksudku jadi cowok ngeselin kayak dulu,” pintaku.
    Shin-woo tersenyum dan dengan erat memelukku,” I’ll do anything for you.”
    Sebenarnya, aku susah bernapas. Tapi, aku tidak ingin merusak moment membahagiakan ini, jadi, aku menikmati saja sesaknya napasku. Lagipula, jarang sekali Shin-woo dan aku bisa seperti ini.
***

   Sudah kukatakan jangan berubah, tetap saja dia tidak berubah. Masih saja dia suka mengerjai atau memarahi aku, yah, walaupun sudah sedikit berkurang. Sekarang, dia tidak memakai kata ”lo—gue” lagi. Sikapnya sudah mulai mencair, memang tidak sepenuhnya, walau begitu aku tetap bahagia.
   Shin-woo mengajakku ke dokter. Setelah diperiksa, dokter mengatakan, kakiku akan sembuh dalam beberapa hari. Intinya, dalam beberapa hari pula Shin-woo akan antar-jemput aku. Membayangkannya saja sudah membuatku bahagia, apalagi kalau terjadi.
   Setelah dari rumah sakit, aku diantar Shin-woo ke rumah. Dia membantuku berjalan sampai ke kamarku. Aku tidak punya pilihan lain. Orang tuaku sedang tidak ada, Ryo tidak mau membantuku karena keasyikan teleponan entah dengan siapa, dan aku yakin itu bukan Kelly.
   Shin-woo melihat sekeliling kamarku yang dicat hijau muda. Dia melihat kamarku, persis seperti orang yang pertama kali ke kamarku. Dasar cowok aneh!
   ”Kenapa?” tanyaku seraya duduk di sofa.
   ”Aku mau mengingat semua isi kamar tunanganku,” jawabnya sambil memperhatikan rak buku yang penuh dengan novel dan komik.
   Mendengar ucapannya, wajahku jadi memanas. Apa dia sengaja?
   ”Banyak sekali bukumu,” kata Shin-woo. ”Pantas otakmu pas-pasan, yang kamu baca hanya novel dan komik,” tambahnya.
   ”Apa?”
   ”Aku pinjam yang ini,” katanya.
   ”Itu seri kedua. Yang hijau seri pertama,”
   ”Oh, ya? Aku pinjam keduanya.”
   Setelah mengambil kedua buku, Shin-woo duduk di sampingku sambil membolak-balik buku yang dia pinjam. Aku hanya diam sambil memperhatikannya.
   ”Seru nggak?” tanya Shin-woo tiba-tiba.
   ”Hah? Apa?”
   ”Novel ini, seru nggak?”
   ”Iya,” jawabku cepat.
   Shin-woo kembali membolak-balik novel yang dia pinjam. Aku meletakkan kedua tangannku di dada. Jantung, napas, tubuh, rasanya ingin melepaskan diri dan berteriak, ”Shin-woo, kamu hari ini tampan, I love you,”. Tapi, itu terlalu memalukan untuk dilakukan. Aku harus mengendalikan diriku.
   Aku melirik Shin-woo lewat ujung mataku. Wajah Shin-woo sebenarnya tidak terlalu banyak berubah. Tapi, kenapa sampai aku tidak mengenalinya? Apa mungkin karena waktu kecil aku terlalu sering menyebutnya Ka Stuard? Stuard adalah nama yang diberikan oleh Tante Jasmine, seingatku. Kalau diingat-ingat, apa aku memang bodoh sampai-sampai sama cinta pertama saja aku lupa. Femi… Femi…
   Waktu kecil, Shin-woo adalah tetanggaku. Setiap hari, aku bermain dengannya. Banyak hal-hal yang dia ajarkan padaku, mulai dari berenang, walaupun sampai sekarang aku tidak terlalu bisa, terus dia juga mengajarkan aku bersepeda, membaca, mengerjakan PR, dan aku menemukan betapa berartinya dia sejak dia pindah. Aku berubah menjadi pendiam, dan sejak itu pula Ryo sering menggodaku. Tapi, ada selalu yang menjadi pertanyaanku. Kenapa dia pindah? Apakah dia mempunyai masalah? Atau, ada sesuatu yang membuat dia pindah? Dan semua pertanyaan yang ada di hatiku pudar ketika melihatnya duduk di sampingku.
   Aku merasa tenang saat dia di sampingku. Aku selalu merasakan hal ini sejak dulu, Shin-woo memberikan rasa yang membuatku lupa akan segalanya. Apakah aku bisa merasakan hal ini kepada orang lain? Bagiku, Shin-woo adalah pangeran hatiku.
   ”Kenapa senyam-senyum?” tanya Shin-woo.
   ”Ah… Eh… Tidak apa-apa.” jawabku kaget.
   ”Kamu memperhatikan aku?” tanya dengan wajah menggoda.
   ”Ti… tidak! Haha, buat apa aku melakukan itu!” jawabku dengan tawa sumbang.
   ”Ngaku, hayooo,” goda Shin-woo.
   ”Maniak!”
   ”Femi…” ucap Shin-woo tiba-tiba dengan wajah serius.
   ”Apa?”
   ”Apa aku boleh minta sesuatu lagi?” tanya Shin-woo dengan menatap wajahku penuh keseriusan.
   Sesuatu lagi? Apa mungkin… Femi! Sadarlah!
   ”A… apa itu?” tanyaku gugup.
   ”Jauhi Kevin,” kata Shin-woo seraya memalingkan wajahnya.
   Aku mengernyitkan keningku. ”Kenapa?”
   ”Aku tidak suka,”
   ”Baiklah,” ucapku. ”Tapi, aku tidak pernah mencoba mendekati Kevin,”
   ”Aku tau,” jawab Shin-woo dengan tatapan kosong ke depan. ”Aku pulang dulu,”
   ”Oh, iya!” sahutku seraya bangkit dari sofa.
   ”Sudah, tidak perlu diantar,” kata Shin-woo.
   Aku mengangguk, aku tahu Shin-woo tidak melihat anggukanku. Shin-woo keluar kamarku, aku memperhatikannya dari belakang. Shin-woo tidak ada. hatiku terasa sepi.


  ”Aku kembali!” teriakku ketika sampai di kampus.
   Kengen rasanya seminggu tidak masuk kuliah. Di rumah aku hanya kena kerjain oleh Ryo. Manusia menyebalkan yang sama sekali tidak sadar kalau adiknya sedang sakit.
   ”Goedemorgen, mijn liefde4,” sapa Kevin ceria seraya memberikan setangkai mawar merah muda.
   “Goedemorgen, Ik ben niet je liefde5” balasku. Hebatkan aku bisa bahasa belanda? Hehe, kalau sapaan sehari-hari aku masih bisa.
   “Jauhi Kevin?” aku langsung teringat kata-kata Shin-woo. Iya! Aku harus menjauhi Kevin. Demi Shin-woo dan hubungan ini. Aku akan berusaha. Fighting!
   Aku melihat wajah Kevin. Sebenarnya, aku merasa tidak dengan ini semua, Kevin… aku tahu dia baik, tapi dia tidak pernah mengerti kalau aku sangat ingin mempertahankan hubungan ini. Aku… aku sangat menyukai Shin-woo.
   “Kevin, maaf… bisakah kamu menjauhiku? Aku tidak ingin Shin-woo beranggapan aku tertarik dengan laki-laki lain selain dia, aku tidak ingin hubungan kami rusak hanya gara-gara hal sepele,” kataku setelah beberapa saat terdiam.
   Aku juga tidak mengerti dapat keberanian darimana untuk mengucapkan hal itu. Apakah ini yang namanya kekuatan cinta?
   Kevin yang sesaat terdiam mendengar ucapanku kemudian tertawa terbahak-bahak. Kenapa dia tertawa? Apa yang lucu? Apa dia menganggap ini lelucon?
   ”Aku serius!” seruku.
   Kevin mengacak-acak rambutku, ”What is in your mind, babe?”
   ”Kevin! Bisakah kamu mengerti perasaanku! Aku tidak ingin kamu seperti ini! Aku ingin kamu seperti yang dulu! Aku tidak pernah mengenal Kevin yang sekarang!” seruku seraya berlari.
   Entahlah, aku merasa muak dengan Kevin yang sekarang, dia sangat menyebalkan! Aku berjalan menuju kelasku. Aku melihat Pika dan Gebby yang sedang cekikikan di depan kelas, bahagia banget kedua orang itu. Jadi iri.
   Aku menghampiri kedua sahabatku kemudian menghempaskan punggungku ke dinding. Kedua sahabatku saling bertatapan kemudian mengangkat bahu mereka.
   ”Kenapa?” tanya Gebby.
   ”Gue lagi bad mood!” jawabku.
   ”Sama?” tanya Pika.
   ”Kevin,”jawabku.
   ”Kenapa?” tanya Pika lagi
   ”Dia gak paham kalo gue nggak suka dideketin dia! Lagi pula Shin-woo minta aku menjauhi Kevin,” jawabku.
   ”Lalu? Apa masalahnya? Bukankah bagus lo punya dua cowok yang naksir sama lo,” ucap Gebby.

   4 Pagi, cintaku
   5 pagi, aku bukan cintamu
   ”Ihhh, gue gak mo, Geb! Gue hanya mo sama Shin-woo! Gue hanya minta dia jauhin, dia malah ketawa! Aku benci Kevin yang sekarang,” keluhku.
   Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Shin-woo calling. Aku langsung mengangkat telpon Shin-woo.
   ”Hallo,” sapaku dengan  nada super duper ceria.
   ”Gue cuma mau bilang,  gue nggak bisa jemput lo hari ini,” kata Shin-woo di ujung telpon.
   ”Ha? Kenapa?” tanyaku agak kecewa.
   ”Aku ada tugas,” jawab Shin-woo.
   ”Ouh, ya sudah,” kataku.
   ”Bye,”
   ”Bye,”
   Shin-woo menutup telponnya. Setelah Shin-woo menutup telponnya aku merasa kesal lagi dengan Kevin. Coba hari ini aku bisa bersama dengan Shin-woo, beban menghindari Kevin pasti hilang. Shin-woo, baru beberapa jam saja tidak bertemu, aku sudah rindu.
   ”Kenapa sama wajahmu?” tanya Pika.
   ”Seram,” tambah Gebby.
   ”Aku nggak bisa pulang sama Shin-woo.” jawabku.
   ”Kalau gitu, ikut kami saja ke mall,” ajak Pika.
   ”Iya, kami mau ke mall, mau nemenin sedotan beli hadiah buat adiknya,” tambah Gebby.
   Aku diam berpikir.
   ”Ikut aja, lo kan udah gak pernah ikut kita-kita nongkrong,” kata Gebby.
   ”Emang sedotan masih lama?” tanyaku.
   ”Apa? Gue ada kok di sini,” ujar Icha tiba-tiba muncul. Persis seperti jelangkung, tak diundang.
   ”Eh?! Kapan datang?” tanyaku.
   ”Baru aja,” jawab Icha. ”Jadi nggak nemenin gue?”
   ”Jadi!” jawab Gebby dan Pika kompak.
   ”Femi ikut katanya,” kata Pika.
   ”Oh, ya?! Tambah seru, nih, udah lama gak jalan,” ujar Icha antusias seraya memelukku.
  
   Kami berputar-putar keliling mall sekitar dua jam dan hasilnya adalah barang yang pertama kali dilihat. Benar kata Raditya Dika; ”kalau cewek sudah ke mall dan keliling mall sekitar 3 jam, barang yang akan dibelinya adalah barang yang pertama kali dia lihat.”
   Sekarang Pika, Gebby, dan Icha berada di dalam toko baju, aku tidak sanggup masuk ke dalam karena satu alasan: aku tidak bawa uang untuk beli baju! Harusnya, aku berpikir dua kali menerima ajakan mereka. Sekarang, aku hanya bisa menatap toko baju dengan air liur yang hampir menetes.
   ”Hey!” sapa seseorang dengan menepuk pundakku.
   Aku langsung menoleh ke arah orang itu. Kevin?!
   ”Ngapain kamu ke sini?” tanyaku dengan sedikit nada judes.
   ”Kenapa? Apa aku tidak boleh ke mall?” tanya Kevin.
   ”Bu… bukan begitu! Dari sekian banyak mall, kenapa memilih mall yang sama dengan aku?!” tanyaku.
   ”Berarti kita jodoh,” ujar Kevin dengan senyumnya yang khas.
   ”Aku tidak mau!” seruku.
   ”Ada apa?” tanya teman-temanku.
   ”Tidak ada apa-apa. Ayo jalan,” ujarku seraya mendorong punggung teman-temanku.
   ”Ngapain Kevin di sini?” tanya Gebby.
   ”Mana aku tahu!” jawabku.
   Kami tepatnya teman-temanku melanjutkan pertempuran menguras uang di mall. Aku tahu kalau Kevin mengikutiku di belakang dengan wajahnya yang penuh senyum ketika aku menoleh ke belakang. Kenapa harus bertemunya di mall? Dan kenapa aku tidak sanggup menghindarinya?
   Sekarang, teman-temanku masuk ke dalam toko sepatu. Malangnya, aku tidak sanggup lagi berada di dalam. Sebagai balasannya, Kevin terus menerus mengajakku bicara, walaupun ada sisi positifnya yaitu aku jadi tidak bosan walau agak sedikit berisik.
   Mataku tertuju pada seorang laki-laki dan wanita yang dari tadi berjalan mesra, tiba-tiba  mereka berpelukan dan menjadi perhatian orang lewat. Apa mereka tidak malu? Tapi, aku penasaran dengan wajah kedua orang itu dan berjalan mendekat. Bentuk badan dan rambut laki-laki itu sangat familiar, wanita yang dipeluknya juga sangat familiar.
   Shin-woo?! Rissa?!
   Dadaku terasa sesak, napasku terasa berat, badanku terasa lemah, mataku terasa panas. Aku terdiam melihat mereka yang berjalan menjauh. Setelah tersadar, aku langsung berlari keluar mall. Aku mau pulang. Aku ingin mengistirahtakan pikiranku, mungkin saja aku salah lihat, mungkin… Iya, pasti aku salah lihat.
   Aku menunggu taksi di depan mall. Tapi, kenapa di saat dibutuhkan taksi tidak ada? Akh! Damn!
   ”Mau aku antar?” tawar Kevin.
   ”Tidak perlu,” jawabku singkat.
   Aku memperhatikan sekelilingku. Kepalaku terasa pusing. Oh, Tuhan, kuatkan hamba-Mu. Semoga yang kulihat bukan Shin-woo. Apa Kevin melihat apa yang aku lihat? Akh! Kenapa disaat sperti ini, itu yang aku pikirkan?
   Aku mencoba menelpon Shin-woo tetapi yang menjawab bukan Shin-woo, melainkan voicemail. Mungkin dia lagi sibuk mengerjakan tugas.
   ”Naiklah,” ujar Kevin dengan senyum yang ramah.
   Aku menggelengkan kepalaku.
   ”Aku memaksa, apa aku harus berteriak supaya kamu mau naik,” kata Kevin.
   ”Berteriaklah,” kataku.
   ”NAIK! AKU MEMOHON, CEPAT NAIK! APA AKU HARUS MENGGENDONGMU SUPAYA MAU NAIK?” teriak Kevin. Dia bersungguh-sungguh!
   Aku ternganga mendengar teriakannya. Aku tidak percaya dia melakukannya, aku kira dia tidak serius. Semua orang memperhatikanku. Aku malu!
   ”Cepat naik, apa perlu aku berteriak sekali lagi?” tanya Kevin.
   ”Ah, tidak, tidak,” ujarku seraya naik ke atas motor Kevin.
   ”Begitu dong.”
   Kevin membawa motor dengan perlahan, tidak seperti Shin-woo, dia membawa dengan urak-urakan. Motor Kevin mirip dengan motor Shin-woo, tapi sayang motor Shin-woo warna hitam. Sebenarnya, Kevin dan Shin-woo agak mirip. Sebagai cowok bule, mata Kevin agak sedikit sipit walaupun berwarna biru, rambutnya berwarna coklat sperti Shin-woo, tingginya juga sama. Shin-woo… apa benar yang aku lihat itu adalah kamu? Tapi, kenapa… kenapa kamu menghianati aku?
Mataku terasa panas. Tidak! Aku tidak boleh menangis dihadapan Kevin, ini sungguh memalukan. Kevin menghentikan motornya di dekat taman rumahku yang memang agak sepi.
”Kenapa berhenti?” tanyaku dengan suara bergetar.
”Aku ingin punggungku menjadi bantal tangismu. Izinkan aku menjadi bantalmu,” pinta Kevin.
”Aku tidak ingin kamu melihat aku menangis,” kataku.
”Aku tidak akan berpaling, aku hanya meminta punggungku menjadi bantal tangisku, please,”
Aku tidak menjawab ucapan Kevin, karena tangisku sudah membanjiri mataku. Aku tidak suka seperti ini. Aku tidak suka merasakan kesedihan!
”Shin-woo bodoh! Kamu bilang aku tidak boleh deket-deket sama Kevin, tapi kenapa kamu yang deket-deket dengan wanita lain!” tangisku meledak, aku menyapu hidungku yang mulai basah.
”Shin-woo bodoh! Aku sangat menyukaimu! Aku takut kamu meninggalkan aku! Aku juga bodoh! Aku harus apa sekarang?! Aku benci ini semua! Shin-woo bodoh, sekarang aku tidak tau harus berbuat apa!” seruku dalam tangis sambil memukul-mukul punggung Kevin.
Setelah tangisku agak mereda, Kevin menjalankan motornya dan mengantarku pulang. Sebelum itu, Kevin menyarankan aku menelpon Shin-woo dan memastikan apa yang aku lihat itu benar. Aku tahu Kevin juga melihat apa yang aku lihat, dia hanya diam tidak merespon pertanyaanku ketika bertanya apakah dia melihat Shin-woo tadi di mall. Di saat seperti ini, aku masih bisa merasakan Kevin yang dulu, Kevin sang malaikat penolong.
Aku langsung menghempaskan badanku ke tempat tidur. Rasanya, aku seperti orang bodoh yang tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Aku bangkit dari tempat tidur dan menuju kamar mandi, mungkin saja pikiranku menjadi tenang setelah mandi. Setelah selesai, aku duduk di sofa sambil memutar-mutar handphone di tanganku. Aku masih ragu untuk menelpon Kevin.
 Truuut… truuut…
Akhirnya aku menelpon juga. Aku terlalu penasaran untuk tidak bertanya. Jantungku berdebar padahal Shin-woo belum menjawab.
”Hallo,” sapa Shin-woo
”Hei!” balasku.
”Ada apa?” tanyanya di ujung sana.
”Tidak apa-apa, aku cuma mau tanya, apakah tugasmu sudah selesai?” ujarku sedkit berbasi-basi.
”Oh, belum, masih banyak yang harus kuselesaikan. Kenapa?” tanya Shin-woo lagi.
”Ah, tidak apa-apa, jadi ngapain kamu jadi tidak selesai?” tanyaku. Jantungku berdebar-debar ketika menanyakan hal itu.
”Kamu seperti seorang istri cerewet yang sedang mengekang suaminya,” ujar Shin-woo.
 ”Ah, tidak usah di jawab!” seruku.
 Shin-woo tertawa. ”Aku menemani temanku ke mall,” jawabnya.
 Deg! Jantungku seakan terhenti mendengar ucapan Shin-woo.
 Jadi, yang aku lihat tadi benar itu Shin-woo? Aku tidak salah lihat? Kenapa? Kenapa Shin-woo memeluk wanita itu? Kenapa dia seperti tidak merasa bersalah setelah memeluk wanita lain di belakangku? Aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Dadaku terasa sesak, jantungku seakan berhenti berdetak. Oh, Tuhan!
 ”Femi?!” seru Shin-woo membuyarkan lamunanku.
 ”Ah, iya,” sahutku.
 ”Ada apa? Kenapa tadi aku panggil-panggil tidak menjawab?” tanya Shin-woo.
 ”Oh, itu… tiba-tiba badanku terasa tidak enak, aku mau istirahat dulu,” bohongku.
 ”Oh, baiklah, apa perlu kubelikan obat?”
 ”Ah, tidak perlu, aku masih bisa bernapas, itu sudah membuatku baik,” tolakku
 ”Hmm, kalau begitu, istirahatlah yang banyak,” kata Shin-woo.
  ”Hmm,”
  Shin-woo menutup telpon dan setelah itu, aku langsung ke dapur mencari air putih untuk menghilangkan haus di tenggorokanku.
  ”Eh, tadi mama lihat kamu tidak pulang dengan Shin-woo.” ujar mama sambil mengunyah apel.
  ”Oh, iya,” jawabku.
  ”Mama minta, jangan pulang dengan cowok lain lagi, tidak enak dilihat tetangga,” pinta mama.
  ”Mama, kalau Shin-woo datang, katakan aku tidak enak badan,” kataku tanpa menanggapi ucapan mama.
  ”Kenapa? Kalian lagi ada masalah?” tanya mama.
  ”Tidak, aku memang lagi tidak enak badan, Ma,” jawabku.
  ”Oh, baiklah,” ucap mama sambil tersenyum lebar.
  Aku hanya tersenyum simpul menanggapi senyuman mama. Apa yang akan terjadi kalau keluargaku tahu Shin-woo jalan dengan wanita lain? Aku takut hubungan keluargaku dan keluarga Shin-woo jadi buruk. Tapi, yang lebih aku takutkan adalah aku harus melupakan Shin-woo dalam hidupku dan itu terasa sangat menyakitkan.
  Aku naik ke lantai dua menuju kamarku. Aku mau tidur, aku ingin mengistirahatkan pikiranku. Aku ingin mencari jalan keluar. Baru pertama kali aku merasakan hal ini, hal yang membuat aku tidak dapat tidur, gelisah memikirkan apa yang terjadi selanjutnya, takut akan kehilangan, dan tidak mampu berpikir.
Aku terus memikirkan hal-hal yang akan terjadi jika mengatakan kalau aku melihatnya berpelukan dengan wanita lain di mall, apa dia akan langsung minta maaf atau akan memutuskan pertunangan kami? Atau dia hanya diam dan berpura-pura tidak pernah ada yang terjadi. Oh, Tuhan! Akhirnya aku merasakan apa yang orang lain rasakan ketika sakit hati.
 Sebenarnya, Shin-woo tadi pagi datang menjempuku untuk berangkat kuliah bersama. Tapi, aku tidak ingin bertemu dengan siapa pun hari ini terutama Shin-woo jadi, kuminta mama mengatakan kalau aku lagi sakit dan butuh istirahat.
Seperti seorang pengecut, ya, itulah yang aku rasakan saat ini. Hanya mampu melihatnya di balik horden kamar dan kemudian menangis seharian. Tidak mampu berpikir mencari jalan keluar yang terbaik.
***

 Dua hari sudah berlalu, aku masih saja seperti orang bodoh yang tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Dua hari ini pula aku tidak ke kampus dan keluar kamar. Dua hari yang terasa dua tahun. Sangat menyiksa. Papa dan mama tidak tahu kalau aku seperti ini karena mereka sedang ke luar kota, Ryo sebenarnya nanya kenapa aku tidak ke kampus, aku bilang aku sedang tidak enak badan, dia mana peduli sama aku, cuma diberi obat—selesai.
 Handphoneku berbunyi lagi. Shin-woo calling. Aku tidak mau mengangkat, pikiranku masih tidak bisa mencerna kejadian yang sudah dua hari berlalu. Aku memperhatikan handphoneku yang bergetar di sampingku dengan tatapan kosong.
 Piip. Nada sms masuk.
 Aku membuka SMS dengan perasaan setengah hati. Shin-woo: apakah kamu baik-baik saja? Kenapa tidak mengangkat telponku? Shin-woo… aku rindu padamu. Aku rindu bercanda denganmu, aku rindu jalan denganmu, aku rindu suara, wajah, mata, bibir, semua hal tentang dirimu! Aku benci aku menghindarimu. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
  Piiip.
  Kevin? Kenapa dia SMS aku? Aku membuka SMS dari Kevin: Aku dengar kamu lagi sakit. Hmm, apa boleh aku menjengukmu?
Hah? Aku langsung membalas SMS dari Kevin
Aku: jangan datang ke rumahku!
Tidak berapa lama Kevin membalas.
 Kevin: Lalu bagaimana aku bisa menemuimu? Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu.
Aku langsung membalas.
Aku: Apa itu?
Kevin: Hmm… temui aku di taman dekat rumahmu. Atau aku yang datang ke rumahmu.
Aku tidak lagi membalas SMS dari Kevin. Apa yang ingin dia bicarakan? Apa aku harus menemuinya? Iya! Aku harus menemuinya daripada dia nekat datang ke rumahku. Aku mengambil jaketku dan berjalan ke luar rumah menuju taman dekat rumahku.
 Aku merasa jengkel dengan sikapku. Kenapa aku harus menemui orang lain yang jelas-jelas ingin merebutku dari Shin-woo dan orang yang tidak disukai Shin-woo? Hmm, Shin-woo juga berbohong padaku kalau dia ingin mengerjakan tugas padahal dia sendiri selingkuh dengan wanita lain.
 Kevin melambaikan tangannya ketika melihat aku. Dari tadi aku memperhatikan Kevin yang sedang bermain dengan anak-anak kecil di taman. Apa aku salah memilih orang untuk menjadi pemilik hatiku? Femi! Apa yang sedang kau pikirkan? Kamu tidak boleh berpikir seperti itu! Kamu mempunyai Shin-woo dan hanya Shin-woo, ingat itu!
 Aku berjalan mendekati Kevin. Kevin tersenyum melihatku. Andai yang tersenyum sekarang adalah Shin-woo, aku pasti bahagia.
”Matamu kenapa bengkak begini?” tanya Kevin seraya memegang wajahku dengan kedua tangannya.
Aku melepaskan kedua tangannya. ”Sudahlah. Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanyaku.
”Ikut aku,” kata Kevin.
 ”Kemana?” tanyaku.
 ”Ke mobil,” jawab Kevin seraya membukakan pintu mobilnya.
 Entah mengapa aku menurut dengan ucapan Kevin. Aku masuk ke dalam mobilnya.
”Apa yang akan kamu bicarakan?” tanyaku ketika Kevin sudah masuk ke dalam mobil.
 Kevin memberikan aku kado kecil. Aku mengangkat kepalaku, kado apa? Aku tidak sedang ulang tahun.
 ”Kado pertunanganmu, aku harap kamu menerimanya,” ujar Kevin.
 ”Hah? Bukannya kamu…?” kataku tidak meneruskan ucapnku karena tiba-tiba hiasan mobil Kevin terjatuh, aku dan Kevin mengambil bersamaan.
 Wajah Kevin sangat dekat dengan wajahku. Aku melihat matanya dari dekat, matanya bersinar ceria namun terlihat hampa? Hah, mungkin perasaanku saja.
   Aku langsung menarik badanku dan membenarkan dudukku.
   ”Maaf,” ujar Kevin dengan sedikit membungkukkan badannya.
”Ah, iya,” sahutku.
Jantungku sebenarnya agak berdebar-debar. Aku kan wanita normal, wajar kalau aku merasakan hal itu. Aku mengangkat kepalaku dan melihat ke depan.
   Deg!
   Shin-woo! Shin-woo di depan mobil Kevin. Wajah Shin-woo terlihat marah. Apa yang harus aku lakukan? Oh, Tuhan!
   Shin-woo berjalan menuju pintu mobilku kemudian menggedor pintu mobil Kevin.
   ”Kamu tetap di sini,” ujar Kevin seraya keluar dari mobil.
   Aku melihat Kevin berjalan menghampiri Shin-woo. Kemudian Shin-woo langsung mencekram kerah leher Kevin.
   ”Wat je wilt met haar?5 tanya Shin-woo dengan setengah berteriak.
   ”Niets6,” jawab Kevin tenang.
   ”Niets? Do you think I am stupid?”
  Kevin tersenyum seperti biasa. ”I  didn’t say you’re stupid,”
   ”Niet storen ons! uw probleem is met de vader, niet met mij!7,” ujar Shin-woo dengan menyipitkan matanya.
   ”Jega geunyeoleul bulssanghage saeng-gag, geunyeoneun dangsin-ui sarang-eul gidaehago geol-incheoreom. Jega jalmos geunyeoga deo na-eun mandeulgo sip-eonayo??”
Tiba-tiba Shin-woo langsung memukul wajah Kevin. Aku tersentak kaget melihat kejadian itu semua, apa yang telah Shin-woo lakukan? Dan kenapa Kevin tidak membalas pukulan dari Shin-woo, dia hanya menyapu bibirnya yang berdarah. Beberapa saat kemudian Shin-woo memukul wajah Kevin lagi.
    ”Shin-woo!” teriakku seraya keluar dari mobil.
   Aku tidak dihiraukan oleh Shin-woo, dia terus mencoba memukul Shin-woo. Aku berlari ke arah mereka berdua dan menghalat Shin-woo dengan melindungi Kevin di belakangku.
   Buugghhh!
   Aku kena pukulan Shin-woo. Aku hanya terdiam tanpa memegangi pipiku. Aku tahu rasanya sangat sakit, tapi yang lebih sakit adalah hatiku. Aku sedih melihat Shin-woo memukul orang lain, aku tidak percaya dia begitu temprament.
  Shin-woo terlhat kaget telah memukulku, tapi itu sudah tidak penting. Entah kenapa, sekarang dia terlihat menjijikan, dia begitu memalukan.
   ”Ada apa? Ayo! Cepat, pukul lagi!” teriakku.
   ”Apa yang kamu lakukan?” tanya Shin-woo dengan berteriak.
   ”Apa yang kulakukan? Apa yang kamu lakukan, hah?” tanyaku balik dengan berteriak.
   ”Kenapa kamu dengan dia?! Kamu bilang, kamu sakit, kenapa kamu berbohong? Kamu menghindariku hanya gara-gara laki-laki itu! Kamu selingkuh!” tanya Shin-woo berteriak.
   ”Kenapa kamu bersama dengan Rissa di mall?! Kamu kira aku tidak punya hati?!” runtukku. Aku menarik napasku dalam-dalam, aku tidak boleh nangis di depannya.

5  Apa yang kamu inginkan dengannya?
6  Tidak ada
7 Jangan ganggu kami! Masalahmu adalah dengan ayah, bukan aku!
8 Aku merasa kasihan padanya, dia seperti pengemis yang mengharapkan cintamu. Aku ingin membuatnya lebih baik, salahkah aku?
   ”Apa maksudmu?” tanya Shin-woo dengan nada pelan.
   Aku diam kemudian membalikkan badanku.
   ”Aku pulang dulu,” kataku pada Kevin.
   Aku langsung berlari menuju rumah. Aku tahu kalau Shin-woo  mengejarku, aku tidak ingin bertemu dengannya untuk beberapa waktu. Aku tidak ingin melihatnya. Aku butuh menenangkan diriku untuk beberapa saat ini.
   Aku masuk ke dalam kamarku dan langsung menghempaskan badanku ke atas tempat tidur. Kepalaku terasa berat. Aku muak dengan ini semua!
   Tok.. tok... tok…
   ”Kalender, ada Shin-woo tuh,” kata Ryo di luar pintu.
   ”Bilang, gue lagi nggak enak badan,” kataku.
   ”Sakit mulu,” domel Ryo di luar pintu.
   Akhirnya aku menangis juga. Selama ini aku memang sudah menjadi cengeng. Aku ingin ini semua cepat berakhir. Shin-woo, apa yang harus aku lakukan? Kenapa kita harus seperti ini? Sungguh aku tidak dapat seperti ini, aku tidak dapat membencimu.



   #Mochuu (Author) sedang duduk di teras menikmati secangkir kopi hangat.
Semua: “Selamat siang!”
Mochuu: #kaget (minuman dan baju basah) “Eh, selamat siang… ganti baju dulu, ya…”
   Setelah selesai ganti baju.
Mochuu: “maaf agak lama, hehehe” #mengaruk-garuk kepala
Semua: “iya, tidak apa-apa!”
Mochuu: “silahkan duduk.” #terdiam (meja Cuma satu, kursi Cuma dua) #melihat “semua”. “Ahaha, sebaiknya duduk di lantai saja. Maaf-maaf…”
Semua: “ah, tidak apa-apa.”
Mochuu: “ada apa ya?”
Semua: “wawancara.”
Mochuu: #mengangguk-angguk. “Silahkan.”
Semua #berdebat siapa yang duluan bertanya.
Mochuu: “sudah-sudah, pemeran utama saja yang bertanya lebih dulu… “
Femi: #tersenyum mengerikan (Glek!). “Inspirasimu dari mana?”
Mochuu: #berdehem-dehem ria. “Saya juga tidak tahu dari mana, hehehe…
Semua: #gubrak.
Mochuu: “Maafkan saya (TT-TT)… tapi, cerita ini mengalir begitu saja dalam benak saya. Mulanya, memikirkan untuk membuat cerita lain tapi… entah mengapa jadi seperti ini, saya juga tidak mengerti.” #menggaruk-garuk kepala.
Femi: #serius. “Bagaimana hubunganku dengan Shin-woo nanti?”
Mochuu: “Kok, saya merasa jadi peramal ya? hehehe… saya juga tidak tahu harus seperti apa, saya bingung kamu dengan Kevin atau Shin-woo.”
Femi: APA? TIDAK BISA BEGITU!
Mochuu: maafkan saya #menggaruk-garuk kepala.
Shin-woo: “Berapa lama kira-kira akan selesai?”
Mochuu: “Saya sudah punya rancangan, tapi… saya masih bingung… karena sebentar lagi UN dan saya belum ada persiapan buat UN.
Shin-woo: #Kesal. “Bukan itu yang aku tanyakan!”
Kevin: #tersenyum.
Mochuu: #terbuai.
Ryo: “Kira-kira masih lama ceritanya selesai?”
Mochuu: #mengangguk. “Kira-kira begitu. Tapi, saya usahakan secepatnya karena sudah memiliki rancangan buat cerita yang lain. Hmmm… tapi, doakan saya dan teman-teman saya LULUS UN sehingga bisa menyelesaikannya  secepatnya.”
Semua: “Amiiiin”
Shin-woo: #marah-marah. Kenapa pertanyaan Ryo yang dijawab? Bukan aku! Aku kan bintang utama laki-laki!”
Kevin: “Apakah aku tokoh antagonis?”
Mochuu: “Oh, tentu saja bukan! Di sini tidak ada tokoh antagonis, yang ada Cuma tokoh pengganggu.( sama saja!) hmm… bagi saya, tidak ada manusia yang jahat di dunia ini,”
Rissa: “Kapan aku muncul? Bagianku sedikit sekali!”
Mochuu: “Oh, iya! Kamu ada di dalam ceritaku! Lupa! #mencatat nama Rissa.
Rissa: “apa?! Aku dilupakan?” #mencoba memukul Mochuu dengan kapak naga ekor elang.
(Bersambung…)
Terima kasih sudah membaca.
Kritik sarannya, ya!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar