Laman

Pelangi is Rainbow

Minggu, 25 Maret 2012

My First

Seven

   Hari ini aku pergi kuliah dengan Shin-woo, dia yang jemputku. Aku juga heran ada angin apa, jadi dia ingin pergi kuliah denganku. Shin-woo menjemputku dengan motor Ninja RR, keren sih, tapi aku kan jadi tidak bisa pakai rok.
   Aku naik motornya. Gini ya, rasanya duduk di kendaraan mahal? Lebaar.
   ”Shin-woo, gue pinjam ferrarri lo, ya?” ujar Ryo sambil menyiram tanaman di halaman depan rumah.
   ”Kalo lo nyentuh ferrarri gue, gue kasih tau rahasia terbesar lo ke Kelly,” sahut Shin-woo setengah mengancam.
   ”Rahasia apaan?!” sahut Ryo cengengesan.
   Mama keluar rumah dengan Papa, kemudian duduk di teras rumah.
   ”Ma, Femi pergi, ya, assalamualaikum!” pamitku berbarengan dengan Shin-woo menghidupkan kendaraan.
   ”Tant, aku bawa anak Tante, assalamualaikum,” Shin-woo ikut-ikutan pamit.
   ”Waalaikumsalam, hati-hati, ya!” sahut Mama sambil melambaikan tangan.
   Shin-woo menjalankan motornya keluar pagar rumahku. Dari belakang sini, aku bisa melihat punggung Shin-woo yang bidang.
   ”Lo nggak pengin pegangan?” tanya Shin-woo.
   ”Nggak! Makasih!” jawabku.
   ”Ya, sudah!” kata Shin-woo seraya merem tiba-tiba.
   ”Aaa!” aku berteriak seraya berpegangan ke pinggang Shin-woo.
   ”Gitu dong!” ujarnya sambil cekikikan.
   Aku bukannya tidak mau berpegangan, tapi aku takut ketahuan sama Shin-woo kalau setiap didekatnya tanganku jadi dingin, jantungku tambah kencang, dadaku terasa sesak, itulah yang selalu aku rasakan setiap saat aku berdekatan dengan Shin-woo ataupun membayangkannya.
   ”Deg-degan, ya?” goda Shin-woo.
   Iya kan, ketahuan! Aku langsung melepas peganganku dari pinggang Shin-woo.
   ”Jangan gerak-gerak, ntar jatoh!” bentak Shin-woo.
   Aku langsung terdiam. Shin-woo meraih tanganku dan meletakkan tanganku di pinggangnya.
   ”Ntar gue dikira tukang ojek,” ucap Shin-woo.
   Aku tersenyum lebar. Jangan-jangan dia suka sama aku. Ini tanda-tanda yang bagus!
   ”O, ya, kampusku lewat situ, kok...?” ujarku heran.
   ”Ke kampus gue dulu, ada bahan yang pengin gue ambil,” jawab Shin-woo.
   Shin-woo menghentikan mobilnya di depan kampusnya. Di luarnya UI aja sudah banyak mobil, apalagi di dalamnya. Shin-woo turun dari motornya seraya melepaskan helmnya. Waktu dia melepaskan helmnya, gayanya seperti model sampo, satu kata yang bisa kuucapkan: KEREN!
   ”Lo gak turun?!” tanya Shin-woo.
   ”Ah, turun!” jawabku seperti orang linglung seraya turun dari motor.
   Waktu aku melepas helm, Shin-woo sudah berjalan. Aku jadi tidak yakin dia punya rasa suka sama aku. Kalau dia suka, dia pasti mau nunggu aku sebentar melepas helm yang lamanya cuma lima detik doang. Hiks, aku memang cewek yang tidak disayang calon suami.
   ”Kenapa diam aja? Lo gak pengin ikut gue masuk ke dalam?!” tanya Shin-woo jutek.
   ”Ah, iya!” jawabku seraya berlari kecil mengejar Shin-woo.
   ”Harusnya lo itu lari lebih cepat dengan kaki kecil lo!” ledek Shin-woo sambil tetap berjalan.
   Dasar cowok satu ini, segala kata-katanya terasa menusuk di hati, segalanya penuh dengan hinaan. Apa dia tidak punya sisi romantis? Jangan-jangan dia bukan manusia tapi alien yang lagi menyamar jadi manusia! Eh, berarti aku akan menikah dengan alien? Amit-amit.
   ”Tunggu gue di sini,” kata Shin-woo.
   Aku mengangguk. Aku disuruh menunggu di bawah pohon dekat tangga. Apa ada orang yang kuliah di sini dengan otak pas-pasan seperti aku? Hmmm…
   ”Itu, tuh, cewek yang tadi dibonceng Shin-woo, anak baru jurusan seni!” bisik anak cewek kepada temannya sambil merhatiin aku.
   Ya, elah. Nih cewek-cewek ngegosip di depan orangnya, apa tidak tahu kalau menggosip juga ada etikanya? Tapi, tidak apa-apa juga, yang digosipin sama aku kan Shin-woo, jadi tidak masalah!
   ”Ooo, jadi dia! Gak cakep-cakep amat, kok!” sahut temannya sambil merhatiin aku dari kaki sampai kepala.
   Apa maksudnya tuh dengan gak cakep-cakep amat, kok?! Jelas-jelas cakepan aku daripada dia!
   ”Hei!” sapa seseorang dengan menepuk bahuku.
   ”Eh?!” ujarku tersentak kemudian memalingkan wajahku ke arah yang menepuk bahuku. Dia cewek yang menyapa Shin-woo di Supermarket kemarin.
   ”Cewek yang sama Shin-woo kemarin kan?” tanya cewek itu.
   ”Iya,” jawabku dengan tersenyum.
   ”Kuliah di sini juga?” tanya cewek itu basa-basi.
   ”Nggak, gue lagi nunggu Shin-woo. Katanya, ada yang pengin diambil,” jawabku.
   ”Oh. Gue Rissa, Marissa Barclay,” katanya seraya mengulurkan tangannya. Weh! Namanya keinggrisan, sesuai mukanya yang juga kebulean.
   ”Femia Calandra,” aku menyambut uluran tangannya.
   Sekali lagi gadis yang bernama Rissa itu memperhatikan aku dari ujung kaki sampai ujung kepala, sebenarnya tatapannya sangat tidak mengenakkan. Aku menjadi risih.
   What are you doing here?” Shin-woo tiba-tiba muncul.
   “I just want to know her, am I wrong?”
   “You’re right. You always right because you’re right I didn’t interst with you.
   Mereka ngomong apa sih? Mereka kan tinggal di Indonesia, kenapa tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar aja sih?! Shin-woo dan cewek itu saling bertatapan, Shin-woo menatap cewek itu seperti menatap musuh. Ada apa sih sama mereka?
   Shin-woo menarik tanganku.”Ayo cewek kecil,”
   Nih orang benar-benar menyebalkan!
   Shin-woo langsung melepas tangannya ketika di depan pagar kemudian kami naik motornya. Di sepanjang jalan, kami sama sekali tidak bicara. Setelah mengantarku ke depan kampus, dia langsung pergi. Aneh banget tuh anak.

***

   Sikap Shin-woo akhir-akhir ini berubah. Dia lebih banyak diam daripada bicara. Eh, dari dulu kan dia memang lebih banyak diam. Tapi diamnya Shin-woo kali ini rasanya lain. Apa mungkin perasaanku aja? Iya, Dia masih kayak dulu, kok, masih sering ngomel saat Ryo minjam mobil ferrarri-nya diam-diam. Pasti perasaanku saja.
   Beberapa hari ini, Shin-woo tidak menjemputku ke kampus lagi, jadinya sekarang aku lebih sering naik angkot atau nebeng teman-temanku. Tapi hari ini, aku pengin pulang dengan jalan kaki aja, rumahku kan letaknya tidak terlalu jauh dengan kampusku. Seperti biasa, aku menyapa Pak Maman. Kegiatan yang wajib dilakukan olehku adalah menyapa Pak Maman saat datang ataupun saat pulang.
   Aku menghentikan langkahku. Cewek yang bernama Rissa sedang berdiri di depanku.
   ”Bisa bicara sebentar?” ujarnya.
   ”Bicara? Bicara apa?” tanyaku heran.
   Rissa membukakan pintu mobilnya.”Masuklah,” ujarnya dengan tersenyum.
   Aku masuk ke dalam mobil.
   ”Bicara tentang apa?” tanyaku setelah dia masuk ke dalam mobil.
   ”Tidak enak bicara di sini. Kita ke caffe aja,” sahutnya seraya menyalakan mobil dan kemudian menjalankannya.
   Apa yang ingin dia bicarakan denganku? Aku kan tidak punya urusan sama dia. Rissa menghentikan mobilnya di depan restoran. Lho, katanya pengin ke caffe, kok, malah ke restoran, apa dia mau ngajak aku makan? Aku kan lagi tidak bawa uang, ke restoran sea food lagi.
   ”Gue pengin to the point aja. Apa hubungan lo sama Shin-woo?!” tanyanya setelah kami masuk ke restoran dan memesan makanan, kalau aku cuma memesan air putih dengan alasan lagi diet, padahal lagi bokek.
   ”Gue sama Shin-woo?” tanyaku balik.
   ”Iya.” jawabnya singkat, padat, dan berisi.
   ”Gue... gue...” aku harus jawab apa? Kalau aku sampai salah ngomong lagi, Shin-woo pasti teriak marah-marah.
   ”Lo tunangannya kan?”
   Hah, tau dari mana dia? Apa Shin-woo yang bilang?
   ”Tau dari mana?” tanyaku balik.
   ”Shin-woo yang bilang,” jawabnya. Aku langsung mengelus dadaku lega. Wajah Rissa terlihat kesal, apa dia termasuk fans Shin-woo? Atau dia pernah memiliki hubanga spesial dengan Shin-woo? ”Hah. Why Shin-woo must choose girl like her after he broke with me?! I can’t believe this! I must do something. I must make him back to me!” kata Rissa sambil memperhatikan aku. Aku cuma garuk-garuk kepala saja tidak ngerti.
   Handphonkue tiba-tiba berdering dengan nada dering love dari west life, nada dering khusus buat Shin-woo. Hehe…
   ”Sori,” ujarku kepada Rissa seraya membuka flap hanphoneku. ”Halo,” sapaku setengah berbisik.
   ”Lo sudah pulang kuliah! Kemana lo?!” tanya Shin-woo membentakku. Nih, orang, tidak sadar apa teriak-teriak di telepon membuat telingaku sakit.
   ”Gue lagi di restoran, dudul!” jawabku dengan berbisik.
   ”Ha?! Sama sapa?” tanyanya.
   ”Rissa. Sudah, ya, gue nggak enak sama dia,” jawabku seraya menutup handphoneku. Tapi handphoneku bunyi lagi.
   ”Restoran mana?” tanyanya.
   ”Sea food deket kampus gue!” jawabku seraya menutup flap handphoneku.
   “Maaf, ya,” ujarku sambil memasukkan handphoneku ke dalam tasku.
   ”Dari Shin-woo?” tanya Rissa datar.
   Aku tersenyum sambil mengangguk. Rissa menyayat Steak pesanannya, kalau saja Shin-woo tidak datang, air liurku pasti sudah menetes. Rissa tega banget tidak menawarin aku makan. Eh, tapi cepat sekali Shin-woo ke sini.
   ”Ngapain lo di sini?” tanya Shin-woo kepadaku.
   ”Gak ngapa-ngapain. Gue lagi ngobrol sama Rissa,” jawabku.
   ”Yang ada, lo liatin dia makan!” ralat Shin-woo.
   Rissa bangkit dari duduknya.
   ”Mumpung lo berdua ada di sini, gue pengin ngasih tau sesuatu ke-Femi kal
   ”Ngasih tau apaan?! Everything from you is bulshit!” potong Shin-woo.
   ”Ssst!” ujar Rissa seraya meletakkan jari telunjuknya di tengah-tengah bibirnya. ”Gue pengin ngasih tau, kalau Shin-woo itu mantan gue... dan, gue pengin dia kembali ke gue lagi,” kata Rissa seraya menggamit tangan Shin-woo.
   Apa maksudnya ini? Shin-woo mantannya Rissa? Pantes aja aku selalu merasa kalau Rissa membenciku. Aku bingung, kok, Rissa bisa ketemu mantannya di Indonesia, bukannya selama ini Shin-woo tinggal di Korea dengan orang tuanya? Apa mungkin Shin-woo dicampakan?! Mungkin aja, ya.
   Shin-woo melepaskan tangannya Rissa. ”Lo ngomong apa sih?! Jangan ngaco! Ayo, Fem!” ujar Shin-woo seraya menarik tanganku.
   ”Shin-woo, lepasin tanganku!” pintaku.
   Shin-woo mendorongku masuk ke dalam mobilnya, sebelum dia menyalakan mobil, dia menghela napasnya.
   ”Haah... Rissa, apa yang sedang dia pikir kan?!” gumam Shin-woo.
   Apa yang dikatain teman-temanku tentang tokoh karakter yang bakalan hancurin hubunganku dan Shin-woo ternyata memang benar! Hidup itu ternyata tidak luput dengan adegan drama film kebanyakan.
   ”Gue nggak marah,” kataku.
   ”Kalo marah juga bukan urusan gue,” sahut Shin-woo seraya menjalankan mobilnya.
   Ini orang, tidak peduli banget sama perasaanku. Jangan-jangan hatinya terbuat dari es, jadinya tidak peka. Aku melihat keluar jendela. Hatiku sekarang lagi tidak karuan, aku bimbang bercampur takutaku bimbang untuk melanjutkan perjodohan ini, aku juga takut kalau Shin-woo berpaling ke mantannya. Kalau itu terjadi, aku harus bagaimana?
   ”Lo tenang aja... lo percaya aja sama gue,” kata Shin-woo seperti membaca pikiranku.
   Aku menoleh ke arah Shin-woo yang tetap fokus pada jalan. Iya, aku memang harus percaya sama Shin-woo. Dia tidak mungkin membatalkan perjodohan ini sebelum mencobanya. Kalau pun nanti dia bukan jodohku, setidaknya, kami sudah mencoba dan berusaha.
   Shin-woo berhenti di depan rumahku. Aku keluar dari mobilnya.
   ”Nggak pengin masuk?” tanyaku lewat jendela mobilnya.
   ”Nggak, makasih,” jawabnya seraya menyalakan mobilnya.
   ”Ya, sudah. Hati-hati,” kataku.
   Mobil Shin-woo melesat laju. Aku terus melihat mobilnya yang dari kejauhan semakin mengecil, setelah tidak terlihat lagi, aku masuk ke dalam rumah.
   ”Aku pulang,” kataku seraya melepas sepatuku dan membuka pintu rumah.
   Mama lamgsung menghambur ke arahku dengan membawa sebuket bunga mawar merah.
   ”FEMIII!” teriak Mama kayak anak kecil.
   ”Mama, kok, teriak-teriak, bikin malu aja,” kataku seraya menghempaskan badan ke sofa.
   Rasanya, badan ini terasa berat setelah mendengar kata-kata Rissa tadi.
   ”Ihh... Shin-woo nggak bilang apa-apa tadi?” tanya Mama seraya duduk di sampingku.
   ”Nggak ada. Kenapa emang?” tanyaku balik.
   ”Femiii... coba liat apa yang Mama pegang,”
   ”Mawar,”
   ”Ini bukan mawar biasa. Ini mawar yang dikasih Shin-woo ke-kamu dengan setulus hatinya! Coba liat kartu ucapan ini,” kata Mama seraya menyerahkan kartu ucapan yang berwarna pink.
   ”Buat matahariku. Mawar ini tidak bisa mengungkapkan isi hatiku, tapi setidaknya, mewakili hatiku yang sedang dipenuhi olehmu.” kataku membaca kartu ucapan, ”Hah? Shin-woo mana mungkin mengirim yang beginian, Ma! Kampungan amat!” ujarku.
   ”Kalo bukan Shin-woo sapa lagi?! Kamu ini!” solot Mama dan meninggalkan aku yang masih dipenuhi tanda tanya.
   Mungkin aja benar kata Mama. Shin-woo kan tidak pernah romantis, makanya kata-kata yang dia kirim ke-aku kampungan banget! Sebaiknya aku menguncapakan terima kasih sudah mengirimi bunga mawar. Eh, mawar merah kan melambangkan cinta! Berati, dia cinta sama aku! Whaha, akhirnya.
   Aku mengambil handphoneku yang ada di dalam tas. Aku membuka flap handphoneku, kemudian mengetik SMS; Shin-woo, makasih mawarnya, ya! Ih, ketahuan banget kalau aku kesenangan. Tidak, ganti, aku menghapus SMS-ku kemudian mengetik lagi: Makasih! Ini aja deh! Simple, padat, berisi, dan tepat. Aku mengirim SMS ke-Shin-woo, pengiriman terkirim. Apa tidak kependekan? Tidak berapa handphone-ku berbunyi. SMS balasan dari Shin-woo: Y. Hhh, singkat amat! Dasar pelit!

***

   Satu bulan sudah berlalu, tinggal dua bulan lagi, aku dan Shin-woo akan menikah. Hhh, tapi bukan itu masalahnya. Rissa, mantan Shin-woo ternyata serius kalau ingin merebut Shin-woo dariku. Rissa juga semakin sering menempel dengan Shin-woo, kemana Shin-woo pergi, di sana ada Rissa. Aih, kalau begini terus, aku bakalan dikurung Tante Levana di kandang Bulldog.
   Meskipun Shin-woo dingin, kasar, dan suka ngeledekin aku, dia sering banget ngirim bunga mawar. Aku senang, tapi aku tidak sesenang Mama. Padahal yang dikirimi bunga itu aku, bukan Mama, tapi yang teriak-teriak happy­ seperti orang gila malah Mama. Aku masih ragu kalau yang mengirim bunga itu Shin-woo.
   Sekarang, aku lagi menunggu Shin-woo di depan pintu gerbang kampus sambil ngobrol dengan Pak Maman. Shin-woo tadi menelponku, katanya ingin membawaku ke suatu tempat. Aku juga tidak tahu dia mau mengajakku kemana. Semoga saja dia mengajakku dinner. Hehe, ngarep.
   Mobil BMW putih berhenti di depanku. Kaca mobil perlahan-lahan terbuka. Aku menghampiri mobil BMW putih itu sambil membungkukan badanku. Orang itu ternyata Shin-woo. Dia memakai jas hitam. Baru kali ini aku melihat dia serapi itu.
   ”Mobiku dicuri Kakak lo!” ujarnya seraya melepaskan kacamata hitamnya.
   Aku cuma tersenyum mendengarnya. Hubungan Shin-woo dan Ryo ternyata memang dalam.
   ”Ngapain senyam-senyum! Cepat masuk!” hardiknya yang membuatku tersentak.
   Dasar cowok kasar!
   Aku pamit dengan Pak Maman, kemudian masuk ke dalam mobil Shin-woo. Di sepanjang jalan, dia terus bergumam tidak jelas. Apa yang sedang dia bicarakan juga aku tidak tau. Aku terus melihat keluar jendela, cuma sesekali melirik Shin-woo yang fokus ke jalan.
   ”Gue musti beli mobil gara-gara Kakak lo curi mobil gue!” katanya. Entah keberapa kalinya dia mengucapkannya.
   Mendengar kata-katanya, aku cuma mangut-mangut sambil bilang, ”iya, iya,”
   ”Mobil ini harganya hampir satu milyar!” katanya yang hampir membuatku tersedak.
   ”Lo gila?! Kenapa lo beli mobil ini?! lo itu boros amat! Motor lo kan ada!” karaku setengah ngomel.
   ”Lo kira, ke pertemuan resmi boleh sembarangan?!” sahutnya kesal.
   ”P-pertemuan resmi?” tanyaku hati-hati.
   ”Iya.” jawabnya santai.
   ”G-gue ikut?!” tanyaku.
   ”Nggak! Iyalah! Lo kan tunangan gue! Dudul amat sih!” jawabnya.
   ”T-tapi, baju gue...” kataku sambil melihat bajuku.
   ”Kita ke salon dulu, sayaaang,” sahut Shin-woo.
   Sayang? Aduh, aku dipanggil sayang. Rasanya aku sudah melayang ke langit ketujuh. Badanku terasa meleleh, jiwaku terasa melayang. AKU DIPANGGIL SAYANG!
   ”ULANG!” kataku.
   ”Apanya?” tanya Shin-woo.
   ”Ulang panggil sayang tadi,” pintaku.
   ”Jelekku!” ujar Shin-woo.
   Aku melipat tanganku kemudian menghadap ke arah jendela. Sebel. Kenapa sih dia tidak pernah membuat hatiku bahagia? Sebentaaar aja.
   Shin-woo menghentikan mobilnya di depan salon. Aku melihat keluar jendela. Astaga! Ini kan salon yang biasa dipakai oleh artis-artis, ini salon mahal! Shin-woo memang boros.
   Shin-woo mengetuk kaca mobil, ”lo nggak pengin keluar? Gue buru-buru nih,”
   Aku membuka pintu mobil dengan ragu. Apa tidak apa-apa kalau masuk ke dalam dengan pakai seperti ini?
   ”Ini salon mahal,” kataku seakan mengingatkan Shin-woo.
   ”Iya. Gue tau,” sahutnya seraya mendorong pintu.
   ”Gue gak bawa duit,” kataku lagi.
   ”Iya! Tenang aja! jangan bawel,” sahutnya kesal.
   Aku diam aja dan menuruti kata-katanya. Aku di dudukan di depan kaca, kemudian manusia jadi-jadian alias banci menghampiriku.
    “Halo. Ouh, orang chine (banci itu melapalkannya: chaine) ternyata!” ujarnya ketika melihatku. “Mo, dipotong seperti apa, Neng?”
   “Buat dia enak dipandang,” ujar Shin-woo sambil membolak-balik majalah. Aku melihatnya lewat pantulan kaca.
   Banci itu menepuk tangannya dengan senyum yang manis (mengerikan), ”baiklah pangeran yang ganteng! Jangan sebut eke, dengan sebutan si tangan ajaib kalo tidak mempermak cewek chine satu ini,”
   Tidak berapa lama banci itu berteriak. ”Selesai!”
   Aku melihat diriku di cermin, seperti bukan aku. Rambutku yang tadi penuh dengan ekor bebek, sekarang lurus, mataku juga terlihat lebih besar, bibirku yang tadinya pecah-pecah sekarang berwarna merah alami. Ini, seperti… magic!
   Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Perasaan, banci tadi cuma memutar-mutar kursiku sampai-sampai aku pusing karenanya. Aku tersenyum ke arah banci tadi, banci itu dengan bangganya meniup sisirnya.
   ”Sudah selesai?” tanya Shin-woo seraya menutup majalah yang dibacanya dari tadi.
   ”Cantik kan?” kataku seraya berdiri dari kursiku dan tersenyum lebar.
   Shin-woo memasukkan tangannya ke dalam celananya sambil memperhatikan wajahku.
   ”Lumayan!” ujarnya kemudian ngeloyor pergi.
   ”Hei! Lo nggak bayar?” tanyaku.
   “Sudah! Tenang aja, deh!” jawabnya.
   Aku mengagguk kecil kepada banci tadi. ”Makasih!”
   Banci tadi membalas mengangguk. ”Hait!”
   Aku langsung berlari mengejar Shin-woo. Manusia satu itu apa tidak pernah mengenal kata sopan dan menunggu. Padahal kan nunggu aku mengucapkan terima kasih paling cuma lima detik.
   ”Cepet jalanya kaki pendek!” seru Shin-woo.
   Kaki pendek? Kakiku jenjang begini dibilang pendek. Matanya pasti katarak.
   Aku membuka pintu mobil kemudian duduk dengan perasaan kesal. Aku melihat Shin-woo dengan wajah cemberut.
   Dia malah cengengesan. ”Kenapa? Cepat pasang sabuk pengamannya. Mau dipasangin?”
   Aku memasang sabuk pengaman sambil bergumam tidak jelas. Apa yanng aku gumamain juga tidak tahu apa.
   ”AAAAA!” teriakku ketika Shin-woo mendadak menjalankan mobil dengan kecepatan penuh.
   Melihat aku kaget, Shin-woo langsung tertawa terbahak-bahak. Hhh! Apa dia ingin melihat aku jantungan dan mati di dalam mobil yang harganya hampir 1M?!
   ”Mobil ini beneran harganya 1M?” tanyaku penasaran.
   ”Ini mobil kantor! Haha, ternyata memang paling mudah nipu lo ya.” tawanya.
   Shin-woo, Ryo sama aja pada seneng bohongi aku.
   Shin-woo menghentikan mobilnya di depan toko baju perancang terkenal yang berada di kawasan jakarta selatan.
   ”Ayo keluar,” kata Shin-woo seraya membuka pintu mobilnya.
   Aku membuka pintu mobil dengan hati yang sama ragunya dengan ke salon tadi.
   Shin-woo menarik tanganku. ”Lelet amat, sih!”
   Mulai sekarang, sebaiknya aku harus membiasakan sifat lelet ini kalau ingin pegangan tangan dengan Shin-woo.
   ”Ambil ini, ini, ini, dan ini!” ujarnya seraya melempar pakaian yang diambilnya dari gantungan pakaian. Tanganku penuh dengan pakaian. ”Kenapa diam aja? Cepat dicoba! Waktu lo lima belas menit!”
   Aku mencibir, ”iyaaa, tuan muda!” kataku seraya masuk ke ruang ganti.
   Aku memilih baju dengan atasan lengan pendek berwarna putih dan dipadukan dengan rompi berwarna kelabu. Sedangkan bawahannya, aku memilh rok polkadot yang di bawahnya penuh rumbai berbentuk bunga. Cocok denganku. Tidak mewah tapi berkelas.
   Aku keluar dari ruang ganti.
   ”Bagus gak?!” tanyaku sama Shin-woo.
   ”B-bagus,” jawabnya gagap. Dia menarapku seolah tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
   Aku tersenyum lebar. ”Benarkah?!”
   ”Íya! Ayo cepat kita pergi,” ujar Shin-woo seraya berjalan.
   Pipinya tadi merah kan? Apa... dia malu sama aku? Tapi, kenapa musti malu? Tadi juga Shin-woo bicaranya gagap. Apa mungkin dia terpukau melihatku? Hmmm... bisa jadi! Senyumku mengembang lebar.

   Shin-woo langsung berlari kecil menuju pintu mobilku, kemudian membukakan pintu mobil. Weh! Ternyata ada gunanya juga ikut ke acara-acara resmi. Aku keluar dari mobil, setelah itu Shin-woo menyondorkan tangan kanannya. Aku jelas langsung tersenyum lebar. Tanpa ba-bi-bu, aku langsung menggamit tangan Shin-woo.
   kami berjalan masuk ke dalam suatu ruangan yang ada di hotel bintang lima yang berada di kawasan jakarta selatan. Ketika kami masuk ke dalam ruangan, semua mata tertuju kepada kami. Baru kali ini rasanya se-nervous ini. Kaki dan badanku terasa berat.
   ”Kalo lo gugup, tarik napasmu dalam-dalam, kemudian keluarkan,” bisik Shin-woo.
   Aku melakukan apa yang dikatakan Shin-woo. Rasanya tidak ada yang berubah, aku masih gugup, yaah, walaupun sedikit berkurang. Semua orang yang ada di dalam ruangan berpakaian rapi, mereka pasti orang-orang penting. Dari sekian banyak orang yang ada di dalam ruangan, semuanya orang dewasamaksudku, umur mereka kira-kira sudah tiga puluh ke atas.
   ”Tunggu di sini. Kalo ada yang ngajak lo bicara, jawab seperlunya aja,” ucap Shin-woo.
   Aku mengangguk.
   ”Perhatiin calon suami lo yang lagi berbisnis,” ujarnya seraya meninggalkanku dengan senyum yang merekah.
   Ahh, wajahku terasa panas! Tumben banget dia seperti itu kepadaku. Calon suami? Aduuuh, hatiku jadi berbunga-bunga.
   Shin-woo lama banget sih! Aku di sini diajak ngobrol ibu-ibu arisan kelas atas yang suka pamer. Ibu yang ada di depanku ini, dari tadi ngomong tidak jelas. Jambrud-lah, permata-lah, intan-lah, apa sih? Aku kan tidak mengerti, buuuu!
   ”Anak saya itu tuh, dari kecil sudah tau barang-barang bermerek. Salah makai aja, sudah alegi, trus bla-bla-bla,”
   Ngoceh saja sana terus, bu! Ngerti aja kagak! Orang kaya memang suka pamer.
   ”Permisi, Nyonya, boleh gantian ngobrolnya?” ujar seseorang.
   Aku menoleh ke orang itu. Kevin?! Hah, ngapain dia ke sini?
   “Oh, iya! Tentu!” ujar Ibu cerewet itu seraya pergi meninggalkan aku. Haha, akhirnya selamat.
   ”Kok...?”
   ”Heran, ya? Aku ada di sini,” ujarnya seraya memberiku jus leci. Kok, tahu aku suka jus leci?
   Wow! Ini kebetulan atau disengaja? Kenapa Kevin selalu muncul di saat aku lagi bete atau lagi butuh bantuan? Jangan-jangan memang benar Kevin ini malaikat penolongku. Tapi, mana ada yang begituan.
   Ah, daripada mikirin hal yang mustahil terjadi, lebih baik aku nikmati saja malam ini dengan Kevin selama Shin-woo lagi sibuk berbisnis. Ini bukan selingkuh juga, kok! Aku jug tidak punya perasaan dengan Kevin.

   Aku kira Shin-woo bakalan ngerti kalau aku dan Kevin itu hanya teman, ternyata tidak. Di sepanjang jalan, dia terus mendumel. Bisa budeg aku mendengarnya. Tapi, setidaknya, aku tahu satu hal; Shin-woo cemburu. Itu bagus. Tapi, aku harus membuatnya percaya sama aku, dan aku untuk membuatnya percaya memerlukan waktu tiga hari penuh. Aku jadi heran dengan anak satu itu. Kalau aku ngobrol dengan teman cowok selain Kevin, dia tidak marah. Coba aja kalau aku ngobrol dengan Kevin, dia pasti ngamuk. Heran.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar