Laman

Pelangi is Rainbow

Minggu, 25 Maret 2012

My First

Six

   ”Aaahhh, kangennya sama kampung halaman!” teriakku ketika sampai di depan rumah.
   Kami sekeluarga, sudah pulang ke Indonesia kecuali Eyang. Eyang tidak ikut pulang ke Indonesia karena ikut Nenek Park ke Korea. Rindu sama Kakek katanya. Idiiih... mesranya.
   ”Ngapain teriak-teriak di depan rumah sih, Fem,” tegur Mama.
   Aku dan Shin-woo sudah bertunangan di Belanda. Sekarang, aku sudah kembali ke Indonesia, termasuk juga Shin-woo—maksudku sifatnya, sifat menyebalkannya dan cara bicaranya yang kasar bin dingin. O, ya, Shin-woo juga disuruh pindah ke Indonesia, dia disuruh meneruskan kuliahnya di Indonesia yang buat aku tidak percaya, dia masuk ke Universitas Indonesia! Gila kan? Dengan mudahnya, dia mampu masuk ke Universitas Indonesia! Ada satu hal lagi, ternyata, Shin-woo itu pewaris perusahaan ayahnya! Perusahaan yang sangat maju dan tersebar di berbagai Negara, termasuk Indonesia! Intinya, aku bakalan menikah dengan anak orang kaya! Pantas Mama setuju sama Shin-woo. My life is perfect!
   Kata Mamaku, Shin-woo bakalan tinggal di apartement sendirian karena Nenek Park tidak bisa menemaninya. Palingan juga Ryo yang sering datang ke apartementnya, biar pun sering bertengkar, Shin-woo dan Ryo itu sahabat yang baik.
  ”Femi, mulai sekarang kamu harus belajar masak,” kata Mama ketika sarapan.
   ”Iya! Masak air aja gak bisa, gimana pengin jadi bini lo!” ujar Ryo ikut-ikutan.
   ”Berisik lo, Yo! Gue nggak bisa disamain sama lo! Gue bisa masak apa aja, tau!” sahutku dengan mulut yang penuh nasi.
   ”Mana buktinya?” goda Ryo.
   ”Pengin bukti? Okeh!” ujarku sok.
   ”Siang ini, lo musti bikin brownies! Cewek mana juga yang nggak bisa bikin brownies?” tantang Ryo.
   ”Oke! Mumpung hari ini gue libur kuliah!” kataku menyetujui.
   ”Kalian ini, sudah besar masih aja suka berantem,” ujar Papa.
   ”Femi duluan ,ya,” kataku seraya meninggalkan meja makan.
   ”Halo, Pik, gue butuh bantuanmu!” ujarku bicara di telpon setelah masuk kamar.
   ”Bantuan? Bantuan apa? Tumben manggil pake nama,” sahut Pika, si laboratorium.
   ”Gue nerima tantangan Ryo bikin brownies,” jawabku.
   ”Iya, trus?”
   ”Gue nggak pengin kalah dari dia, entar harga diri gue jatuh,”
   ”Kalo kalah dapat hukuman?”
   ”Nggak. Tapi, harga diri sebagai seorang wanita jadi taruhannya!”
   ”Ya, sudah. Sejam lagi gue ke sana bareng anak-anak. O, ya, lo kemana aja? kita-kita nggak pernah liat lo,”
   ”Entar gue ceritain. Gue juga penasaran cerita tentang sedotan. Sudah, ya. Gue pengin mandi dulu,”
   ”Iya, bye.”
   ”Bye!”
   KLIK.
   Aku menutup flap hanphoneku. Aku memang bukan cewek sempurna, tapi, aku juga bukan cewek yang tidak bisa apa-apa. Asalkan berusaha, pasti bisa! Fighting!
   Sudah sejam, kok, teman-temanku belum datang. Aduuh, Ryo kan pulang jam empat, kalau sampai kalah, harga diriku bakalan jatuh. Kenapa aku nanggapin tantangannya, ya? Kayak anak kecil aja. Ya, sudahlah, ini sudah terjadi, mau bagaimana lagi.
   ”FEMIII!!!” teriak teman-temanku seraya memelukku. Mereka ini, tingkahnya seperti sudah berabad-abad aja tidak ketemu sama aku.
   ”Haha, ajarin gue bikin brownies, ya, girl!” pintaku.
   ”Okeee!” sahut mereka kompak.
   Kami berjalan ke dapur sambil Cekikikan karena cerita sedotan. Dia ternyata sudah punya pacar! Akhirnya! Pacarnya sedotan kuliah di Universitas yang sama dengan kami. Sambil menyiapkan bahan-bahan serta alat untuk membuat brownies, aku menceritakan perjodohan yang terjadi padaku, sudah bisa ketebak emang reaksi teman-temanku. Kaget bin tidak percaya.
   ”Beneran?! Lo nggak bohong?!” tanya Icha, si sedotan.
   Aku menggelengkan kepalaku.
   ”Waaah... selamat ya, Cil!” ujar Gebby, si fantasi seraya memelukku. Kalau aku dipanggil boncil, soalnya tinggiku cuma 159 senti, sedangkan teman-temanku yang lain tingginya 160 senti ke atas. Nasib...
   ”Cinta pertama lo?! Gue kira, lo itu... sudah mengarah ke arah sana (lesbi),” ucap Pika sok gaya profesor.
   Aku menyikut Pika,”Enak aja! Gue normal tau!” sahutku tidak terima.
   ”Yaa, tadi kan gue kira!” balas Pika sambil cekikan.
   Ternyata seru juga bikin brownies bareng teman-teman, kalau tau seru gini, sudah lama aku bikin brownies bareng mereka. Colekin adonan ke muka, mencicipi rasa, adonan gosong, lupa ngasih garam, seruuuuu!
   ”TARAAAA!” seru Gebby setelah selesai menghias brownies dilingkungan wilayahnya, sebelah kiri.
   ”Telat lo, Geb! Kita-kita sudah selesai,” ledek Icha.
   ”Gue telpon Ryo dulu, ya,” kataku seraya mengambil handphoneku dari kantong  jeans logoku.
   ”Okee,” sahut teman-temanku kompak.
   Aku berjalan ke sudut ruangan.
   ”Yo, gue sudah bikin brownies nih! Apa hadiah gue?” kataku.
   ”Tenang aja, nih lagi gue bawa,” jawab Ryo santai. Sepertinya Ryo lagi di jalan. Soalnya, aku mendengar bunyi mobil di ujung sana.
   ”Oke,” sahutku seraya menutup flap handphone.
   Aku berjalan menghapiri teman-temanku.
   ”Gimana?” tanya Icha.
   ”Dia bawa hadiahnya ke sini. Dia kayaknya lagi di jalan,” jawabku.
   ”Eh, buku sapa nih? Rie-yuu Saputra… buku tunangan lo, Cil?” tanya Pika.
   Aku mengibas tanganku seperti orang kepanasan. ”Bukaaan,” jawabku.
   ”Lha? Bukannya tunangan kamu keturunan korea?” tanya Pika lagi.
   ”Emangnya, cuma dia yang keturunan korea? Itu punya Kakaku,” jawabku.
   ”Ha? Masa? Kenapa namanya Ryo?” tanya Gebby bingung.
   ”Namanya kan Rie-yuu! Biar lebih keren jadi Ryo!” jawabku menjelaskan.
   ”Ngapain gosipin gue? Pada ngefans ya?”
   Oh, datang juga akhirnya. Eh, kenapa sama teman-temanku? Kok, mereka mematung gitu? Aku mengibas-ngibaskan tanganku ke muka Gebby. Tidak ada reaksi.
   ”Kenapa sih pada mematung gitu ngeliat gue?!” tanya Ryo ke-pedean.
   ”Lo makai topeng apa lagi sih, Yo? Maniak ba...nget...” omelku tersendat ketika berbalik.
   Shin-woo! Astaga! Dia datang ke rumahku! Mukaku! Aaah, mukaku penuh tepung brownies! Gimana nih? Masa aku harus lari ke kamar terus ke dapur lagi dengan keadaan rapi?! Dia bakalan tahu kalau aku sangat menyukainya, tidak! Cukup tahu kalau aku sedikit menyukainya.
   ”Kenapa sih temen-temen lo, Fem? Kayak ayam lagi cari makan aja,” ucap Shin-woo.
   Aku menoleh ke arah anak-anak. Ya, ampun! Mereka sekarang lagi benerin pakaian dan dandan, yang anehnya, make up-nya dapat dari mana?! Ini pasti gara-gara lihat Shin-woo! Genit mereka jadi kambuh! Pika yang paling suka ngomentari cowok, sekarang juga ikut-ikutan dandan! Daya pikat Shin-woo memang kuat.
   ”Hei, ngapain sih?” tanyaku dengan berbisik ke Gebby yang lagi asyik memoles lips glose.
   ”Gue? Gue lagi memikat hati sang pangeran!” jawabnya.
   ”Dia t-u-n-a-n-g-a-n gue!” bisikku.
   “APA?!”  teriak teman-temanku seraya melihat ke arah Shin-woo kemudian ke arahku berkali-kali. Mereka melihatku dengan tatapan mustahil banget!
   ”Apa?” tanyaku melotot.
   Teman-temanku menarikku ke pojok dapur. Aku bakalan diapain nih?
   ”Lo pake apa jadi tuh pangeran mo sama lo?” tanya Pika.
   ”Maksud lo?” tanyaku balik tidak mengerti.
   ”Formula apa?” jawab Pika. Dasar maniak laboratorium! Dia kira aku ini orang yang ngerti sama bahan-bahan Parkia yang bisa bikin orang suka apa. (Memang ada formula membuat orang suka sama kita?)
   ”Gile! Lo kira gue ngerti yang kayak gituan?!” sahutku.
   ”Kalo gitu, lo pake dukun apa? Mah Erot?” tanya Gebby. Dukun? Zaman sekarang pakai dukun? Apa kata dunia?!
   ”Nggaklah, zaman sekarang!” jawabku.
   ”Trus pakai apa?” tanya Icha penasaran.
   ”Kan sudah gue bilang, kami dijodohin, ciiing!” jawabku.
   ”Enak ya, lo dijodohin sama cowok ganteng!” ucap Icha.
   ”Semangat! Sukses, ya, Fem! Jangan sampe lo hilangin kesempatan kawin sama cowok ganteng!” kata teman-temanku memberi semangat.
   ”Iyaaa!” sahutku setengah tertawa.
   ”Kami denger lho apa yang kalian omongin!” ujar Ryo sambil melahap brownies kami.
   ”Brownies-kuuuu!” teriakku.

***
   Ryo memang penipu! Aku kira hadiah beneran yang bakalan dia kasih, ternyata yang dimaksudnya ”hadiah” itu Shin-woo! Iyaaa, memang sih, itu hadiah bagi hatiku, tapi bagi jiwaku apa? Aku ingin hadiah jiwa-raga. Biar puas gitu!
   Malam ini, aku punya kabar gembira dan kabar buruk. Kabar gembira: Shin-woo menginap di rumahku, dan kabar buruknya: teman-temanku ikut-ikutan menginap! Kata mereka, untuk jaga-jaga kalau aku melakukan hal yang tidak pantas sebelum menikah. Orang tuaku, kan ada, ngapain mereka yang mengawasi aku, bilang aja kalau ingin melihat Shin-woo semalaman.
    Aaakh! Aku ikhlas mereka menginap, tapi aku tidak ikhlas mereka tidur di kamarku. Kamarku kan sempitnya luarrr biasa! Tempat tidurku hanya muat untuk dua orang, di lantai kan sudah ada sofa! Musti mengeluarkan sofa dari kamar deh! Sabaaar...
   ”Mo kubantu?” tanya Shin-woo yang melihat aku lagi kesusahan mendorong sofa.
   ”Boleh! Makasih!” jawabku. Akhirnya, ada orang yang berbaik hati menolongku. Teman-temanku, sih sekarang lagi asyik main game di kamar Ryo, mereka itu memang bukan contoh teman yang teladan.
   ”Teman-teman lo sama berisiknya dengan lo,” ujar Shin-woo setelah selesai mengeluarkan semua sofa dari kamarku. Berisik? Apa maksudnya nih?
   ”Itu bukan brisik, tapi penuh semangat!” ralatku.       
   ”Penuh semangat apanya. Lo kuliah di mana?” tanya.
   ”Gunadarma. Kenapa?” tanyaku balik.
   ”Tidak boleh, ya, gue nanya universitas tunangan gue?” tanyanya balik.
   Tunangan? Oh, Tuhan! Akhirnya, dia mengakui aku sebagai tunangannya! Baru kali ini aku mendengar kata-kata yang lebih membahagiakan dari kelulusan SMA, kata-kata yang lebih indah daripada kata mutiara. Dua kalimat untukku: aku bahagia!
   ”Kenapa pipi lo jadi merah? Gara-gara denger kata tunangan?” tanyanya dengan nada mengejek.
   ”Ha? Nggak!” jawabku salah tingkah.
   Shin-woo malah tertawa melihat tingkahku. ”Kamu imut!” pujinya.
   Ah, mukaku pasti tambah merah! Shin-woo malah ketawa tambah kencang melihat tingkah lakuku lagi malu dan wajahku yang memerah. Sial! Aku dikerjai!

   ”Fem, kapan lo bakalan nikah sama Shin-woo?” tanya Pika ketika di dalam kamarku.
   ”Mungkin, tiga bulan lagi. Tepatnya tanggal berapa sih belum ditentuin,” jawabku sambil merapikan bantal dan kemudian berbaring.
   ”Masih ada kesempatan, dong!” ucap Gebby.
   Aku melotot ke arah Gebby. Gebby malah mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya sambil cengengesan.
   ”Kalau diliat-liat mukanya rada-rada mirip sama Choi Seung-hyun,” kata Icha.
   ”Iya! Beruntung banget lo, Fem! Sekarang, sejarah hidup Femi si cewek biasa-biasa aja, berubah menjadi seorang putri! Kalo dipikir-pikir, hidup lo kayak di film-film aja,” cerocos Gebby.
   “Betul tuh! Entar, pemeran antagonis entah cewek atau cowok yang bakalan jadi gangguan hubungan lo!” ucap Icha ikut-ikutan.
   ”Mustahil!” sahutku seraya menarik selimut dan memejamkan mataku.
   Kenapa hidupku disama-samain dengan drama film yang mustahil terjadi di kehiduan nyata! Yah, mungkin memang tidak mudah membuat Shin-woo cinta sama aku, tapi, asalkan aku berusaha buat dia suka sama aku, pasti suatu hari nanti dia akan melihat diriku. Semangat Femi!
   Mulai besok, hidupku yang dipenuhi masa-masa jomblo akan segera hilang, musnah dari muka bumi. Hmm, sepertinya, mulai dari besok aku harus mencoba belajar jadi pasangan yang perfect. Apa aku harus mengambil les memasak? Iya, aku harus belajar masak, nanti aku bakalan tanya sama Mama di mana tempat kursus masak. Terus, aku harus kursus kepribadian, aku juga harus bisa belajar make up, emm, lalu aku belajar jadi ibu rumah tangga. Aduuuh... jadi tidak sabar, hehe. O, ya! Apa aku harus minta antar Shin-woo? Eh, sendiri saja. Entar, kalau dia tahu, dia pasti meledeki aku dan kegeeran.

   Emm... tumben Mama meluk aku pagi-pagi, rasanya hangat banget! Jadi ingat waktu umurku enam tahun, waktu itu aku kena DBD, badanku rasanya dingiiin banget! Mama datang dan langsung meluk aku. Mama, love you.
   ”Emmm.. Ma, tumben meluk Femi pagi-pagi,” ujarku sambil menambah erat pelukanku.
   Dada Mama kok rata? Badannya juga bidang banget, seperti... cowok!
   ”Femi, kok, bangunnya jam segini?!”
   Shin-woo! Aku langsung melepaskan pelukanku. Sialan banget! Dasar cowok mesum!
   ”Eh, ngapain kamu ke kamarku?!” tanyaku setengah berteriak.
   ”Gue pengin bangunin tunangan gue,” jawabnya seraya memelukku. Aku langsung melepaskan pelukannya dan memukulnya.
   ”Aah! Lo pengin ngerjain gue!” kesalku seraya bangun dan lari keluar kamar.
   BRUUKKK
   “Kalendeeeerrr!!!” teriak Ryo yang kena tabrak aku dan bajunya basah kena tumpahan kopi.
   ”Sori... soriii!” ujarku dengan mengacungkan kedua tanganku dan lari ke dapur.
   ”Pagiii!” sapa teman-temanku yang lagi sarapan di dapur.
   ”Pagi! Kenapa gak bangunin gue?” tanyaku.
   ”Kan Shin-woo yang bangunin,” jawab Icha dengan mulut yang penuh roti.
   Shin-woo yang bangunin? Hah, yang ada aku yang kena kerjain!
   ”Mama mana?” tanyaku sambil celingak-celinguk.
   ”Nggak tau, pergi sama bokap lo tadi,” jawab Gebby sambil mengolesin selai rasa stroberi ke rotinya.
   ”Lo mandi sana, kita mo berangkat kuliah nih!” suruh Pika.
   ”Iya, iya,” sahutku seraya mencomot roti.
   Aku kembali ke kamar kemudian mencari pakaian buat kuliah, setelah itu, aku langsung ke kamar mandi dan mandi.
   ”Segar, segar! Ganti baju, ganti baju, ganti baju,” ucapku setelah mandi. Aku membanding-bandingkan pakaian yang mau kupakai. ”Ini aja, ah!” kataku sambil membuka handuk.
   ”Tunggu!” seru Shin-woo seraya duduk di ranjang dengan bersila kemudian menghela napas. ”Aku siap! Silahkan!” ujarnya.
   Apa maksudnya dengan ”aku siap”?
   ”AAAAAA! Cowok mesum!” teriakku seraya melempari Shin-woo dengan bantal.
   ”Sori, sori,” ujarnya seraya keluar kamarku sambil tertawa gelak. Hah! Dasar cowok mesum!
   Aku langsung berpakaian, dandan entar aja di kampus. Aku keluar kamar dan berlari menuju mobil Icha yang sudah ada di halamanku. Teman-temanku ternyata sudah ada di dalam mobil.
   ”Tumben cepet,” komentar Pika.
   ”Iya, nih, gue takut kena kerjain Shin-woo lagi,” jawabku seraya masuk ke dalam mobil. Aku duduk di kursi belakang, seperti biasa, yang menyetir adalah Pika.
   ”Shin-woo ngerjain lo?” tawa Icha.
   Aku cuma merengut dengar ucapan Icha. Mau gimana lagi? Punya tunangan yang maniak kan rese juga. Pika menyalakan mobil, masukin kunci kontak, dan jalan.
   ”Kata orang, kalau ada orang yang suka ngerjain kita, berarti orang itu lagi pengin curi perhatian lo!” kata Gebby dengan gaya Ibu guru yang menerangkan pelajaran.
   ”Perhatian pala lo! Dia itu susah ditebak tau!” sahutku.
   ”Jangan ngeluh, dong! Jarang-jarang kan ada cowok wajar yang mo sama lo,” Pika mengingatkan aku.
   Aku meringis. Benar yang dikatain Pika, aku harusnya bersyukur sudah dikasih Shin-woo, cinta pertamaku. Dulu, orang yang suka sama aku pada aneh-aneh. Aldo, kalau dilihat sekilas emang seperti cowok biasa-biasa aja, tapi dibalik itu semua, dia ngefans banget sama power rangers! Masalahnya bukan cuma itu, Aldo itu selalu memakai baju power rangers, tas power rangers, bahkan mobilnya dibentuk seperti mobil power rangers, bayangin! Lalu, ada Ipan, dia itu mother complex! Kemana-mana harus ada Mama, bahkan ke toilet pun harus di temeni Mama. Kalau Mamanya tidak ada, dia bakalan panik dan ujung-ujungnya nangis. Cowok yang lainnya tidak ingin aku ceritakan, terlalu memalukan.
   ”Gue masuk kelas dulu, ya, sudah jamnya,” pamitku setelah samapi ke kampus.
   ”Masuk pagi? Ya, sudah,” jawab Icha.
   Aku melambai-lambaikan tanganku kepada teman-temanku sambil berlari ke kelasku. Aku kuliah mengambil jurusan sastra. Awalnya, aku semangat banget mengambil jurusan ini, tapi akhirnya aku menyesal, soalnya aku tidak mengerti dengan semuuua yang disampaikan oleh dosenku.
   ”Hari ini cukup sekian,” kata Dosen pembimbing kami dan langsung ngeloyor pergi.
   Enak ya, jadi dosen? Tidak perlu panjang lebar. Paaak, anak didikmu, Femia Calandra belum ngerti! Hiks, kenapa otakku pas-pasan?
   ”Kenapa, Fem? Muka lo asem banget,” ledek Tiyo teman seangkatanku yang paling suka ngeledekin aku.
   ”Lo jilat muka gue, ya, jadi tau muka gue rasanya asem?!” tanyaku kesal.
   ”Amit-amit!” sahutnya.
   Aku keluar dari kelasku dan berjalan ke kantin kampus, sebelum itu, aku ke toilet mau dandan dulu, dari pagi kan aku tidak makai apa-apa, lagian aku bukan tipe cewek yang suka memakai make up berlebihan, cukup makai bedak tipis, lip gloss, selesai. Simple kan?
   Aku duduk di kantin dengan Gebby. Pika dan Icha lagi ada kelas katanya. Dari tadi, aku cuma memainkan sedotan, soalnya Gebby keasyikan main handphonenya, muka Gebby juga serius banget. Jadi penasaran.
   ”Serius banget,” komentarku.
   ”Sssttt...” Gebby memonyongkan bibirnya kemudian meletakkan telunjuknya di tengah-tengah bibirnya.
   Aku mengaruk-garuk kepalaku. Apa sih? Apa mungkin bisnis gosip lagi? Gebby kan memang pecinta gosip. Setiap orang yang ada di kampusku, Gebby tau gosip tentang mereka, termasuk Pak Maman, satpam sekolah kami. Biar pun kayak gitu, Gebby tidak suka gosipin orang kalau tidak sama kami.
   ”Femi!” teriak Gebby.
   ”Apa?” sahutku kaget.
   ”Ada murid baru yang masuk ke UI!” seru Gebby.
   ”Oh, palingan juga Shin-woo,” sahutku.
   ”Bukaaan! Ini cewek!” ralat Gebby.
   ”Trus?” tanyaku santai.
   ”Ceweknya katanya cantik banget!” jawab Gebby lebay.
   Handphone-ku dengan nada dering hilarry duff- with love yang berarti nomor tidak dikenal masuk. Aku mengambil handphone-ku yang ada di dalam tasku, kemudian mengangkatnya.
   ”Halo,” sapaku ceria.
   ”Gue ada di luar kampus lo!” kata orang yang menelponku dengan nada kesal.
   ”Ha? Di depan kampus?”
   ”Iya! Cepet keluar, gue sudah nunggu lo lima belas menit di sini!”
   ”Ini sapa, ya?” tanyaku.
   ”Lo gak nyimpan nomor gue?!” tanya orang itu setengah berteriak. Ya, ampun! Ini pasti Shin-woo! Siapa lagi kalau bukan dia.
   ”Sori, sori tadi gue gak liat dari sapa,” jawabku bohong.
   ”Hah! Cepet keluar!” bentaknya.
    ”Iya, tuan muda!” sahutku seraya menutup telponku.
    Menjengkelkan! Rencana jadi calon istri yang perfect  dibatalkan! Lebih baik menjadi calon istri yang menyebalkan!
   ”Siapa?” tanya Gebby.
   ”Shin-woo. Gue duluan, ya,” jawabku.
   ”Cieeee... iya, jangan ngapa-ngapain, ya, di mobil,” kata Gebby sambil melambai-lambaikan tangannya.
   ”Apa, tuh, maksudnya? Nggaklah!” sahutku seraya pergi.
   Aku berlari keluar kampus, sebelum itu aku menyimpan nomor handphone Shin-woo dulu.
   Shin-woo sekarang lagi duduk di mobil ferrari sport miliknya, dia lagi menungguku!
   ”Siang, Pak Maman!” sapaku.
   ”Siang, Non!” sapa Pak Maman balik.
   Aku berjalan menghampiri Shin-woo.
   ”Sudah lama?” tanyaku basa-basi.
   Shin-woo melepas headsetnya,”Lama banget!” jawabnya dingin.
   ”Lima belas menit doang, dibilang lama” gumamku.
   ”Cepet masuk,” perintahnya.
   Aku membuka pintu mobilnya dan langsung duduk. Mobil mahal memang lain rasanya.
   ”Pak, Femi duluan, ya?!” pamitku kepada Pak Maman.
   ”Iya, Non, pacar Non, ya?” tanya Pak Maman dengan menyunggingkan senyum di wajahnya yang sudah keriput.
   ”Aaah... Pak Maman, bisa aj
   ”Bukan, Pak! Dia anak buah saya,” potong Shin-woo.
   Aku langsung melototi Shin-woo. Cowok ini... mana golok, aku ingin membelah badannya!
   ”Apa liat-liat gue kayak gitu?! Gue ganteng?!” tanyanya seraya menjalankan mobil. Narsisnya!
   Sekarang sudah jam empat sore, berarti sudah berjam-jam aku di kampus. Waktu memang berjalan cepat. Angin sore ini juga segar banget, mungkin karena habis hujan. Semua orang di jalan memperhatikan aku dan Shin-woo yang sekarang sedang memakai kacamata hitamnya. Keren memang. Orang-orang di jalan memperhatikan kami bukan karena kagum, tapi mungkin merasa kami norak, kampungan, dan sok kaya. Iyalah, gimana tidak coba, atap penutup mobil dibuka!
   ”Shin-woo...” ucapku setengah merengek. Sudah berkali-kalai aku minta Shin-woo menutup atap mobilnya, tapi tidak didengarkannya.
   ”Jangan bawel!” sahutnya.
   ”Bikin malu!” rengekku.
   ”Kenapa musti malu? Jarang-jarang kan ada mobil kayak gini di Indonesia!” sahutnya.
   ”Rakyat Indonesia takut dirampok kalo pake mobil kayak gini,” jawabku.
   ”Ya, beli lagi dong,” balas Shin-woo seraya menghentikan mobilnya di depan supermarket.
   Shin-woo dan aku keluar dari mobil, kemudian kami masuk ke supermarket. Shin-woo mengambil keranjang dorong sambil mengambil barang terdekat dengannya, tissu. Mengambilnya juga tidak setengah-setengah, langsung sepuluh! Trus mengambil makanan kaleng secara asal. Dasar cowok boros!
   ”Ngapain beli yang kayak ginian?” tanyaku seraya mengambil lilin hias buat kue ulang tahun.
   ”Persediaan. Kale aja ada orang yang ulang tahun,” jawabnya santai sambil terus mengambil barang-barang yang kami lewati.
   ”Stop! Hidup ini perlu pembukuan. Lo butuh apa aja?” tanyaku.
   ”Pembukuan?” tanya Shin-woo bingung.
   ”Iya. Lo musti beli yang lo seperlunya aja. Paham?” terangku.
   ”Trus ngapain kita ke sini?” tanya Shin-woo.
   ”Gue nggak tau, lo yang pengin ke sini,” jawabku.
   “Ya, sudah, kalau gitu, beli aja semuanya,” kata Shin-woo seraya berjalan. Aku memegang tangan Shin-woo menghentikannya berjalan.
   ”Jangan! Untuk sekarang, kita beli tissu sama peralatan mandi aja,” kataku.
   ”Sudah,” sahutnya seraya menunjuk keranjangnya yang hampir penuh.
   ”Ini kebanyakan! Tissu setidaknya beli lima aja, trus sabun mandinya dua aja, samponya satu aja,” kataku seraya mendorong keranjangnya ke bagian peralatan mandi dan tissu sambil mengembalikan barang-barang yang tidak perlu.
   ”Nggak keren banget belinya dikit gini,” keluh Shin-woo.
   Kami berjalan ke meja kasir setelah membeli barang-barang yang menurutku diperlukan.
   ”Semuanya seratus ribu sembilan lima ratus,” ujar petugas kasir.
   Shin-woo mengambil uang yang ada di dalam dompetnya.
   ”Punya uang receh, gak?” tanya Shin-woo kepadaku.
   ”Punya. Bentar,” jawabku seraya mencari dompetku di dalam tasku.
   ”Shin-woo? Park Shin-woo?” sapa seseorang.
   Aku melirik sekilas ke arah orang menyapa Shin-woo. Ternyata cewek. Cewek cantik! Tinggi kira-kira 170 senti, muka bule, pakaian modis, jangan-jangan nih cewek model.
   ”Ini,” ujarku seraya menyerahkan uang receh ke Shin-woo.
   ”Kasih sama dia,” ucap Shin-woo dengan memajukan dagunya ke petugas kasir.
   ”Makasih, Mbak,” kataku dengan tersenyum. Sebagai seorang pelanggan kita juga punya etika, yaitu tersenyum setelah membayar.
   ”Who are you?” tanya Shin-woo.
   “Are you forget me?” jawab cewek itu dengan senyum merekah. Aw! Silau!
   “Yeah,” sahut Shin-woo dingin dan singkat.
   Cewek yang menyapa Shin-woo malah ketawa sambil menepuk-nepuk bahu Shin-woo.
   ”Sama sekali tdak berubah,” kata cewek itu.
   Hah?! Dia bisa pakai bahasa Indonesia?!
   ”Emmm...” sahut Shin-woo.
   Cewek itu melirikku.
   ”Siapa dia?” tanya cewek itu.
   “Siapa aja boleh!” jawab Shin-woo seraya ngeloyor pergi.
   ”Tunggu!” seruku seraya mengambil belanjaannya.
   Siapa aja boleh? Dia kira aku ini apa?! Mainan?! Barang?! Hah, bilang tunanganku, apa susahnya sih?!
   Aku meletakkan belanjaan Shin-woo di samping kursiku kemudian aku masuk mobil. Tanpa ba-bi-bu, Shin-woo menjalankan mobilnya.
   ”Kok, jalannya lain?” tanyaku sambil memperhatikan jalan yang aku lewati. ”Kita mo kemana?”
   ”Ke apartementku,” jawab Shin-woo seraya membelokkan mobilnya ke area basement.
   ”Ngapain?!” seruku setengah berteriak.
   ”Buat liatin barang yang belum ada sekalian masakin aku makanan,” jawabnya seraya memarkirkan mobilnya.
   ”Apa tidak pa-pa?” tanyaku pelan.
   ”Apa?!” tanyanya balik seraya mengambil belanjaannya.
   Dua orang dewasa, masuk ke dalam apartement, apa tidak apa-apa? Kalau otak mesumnya kambuh gimana? Aku harus ngapain? Ah, pikiranku ini kemana sih?! Tidak mungkin dia ngapa-ngapain aku. Dia sepertinya tidak memiliki rasa kepadaku. Dia hanya berusaha memahami dan mencoba kecocokan terhadapku.
   Kami masuk ke apartementnya yang berada di lantai tiga. Apartement Shin-woo memang apartement kelas kakap, fasilitasnya lengkapmulai dari gym sampai ruang Spa, aku jadi heran, ini apartement apa surga? Dapurnya juga keren! Aku sampai tidak tega buat masak di situ. Coba aja Shin-woo tidak ada, aku pasti sudah lama jongkok sambil memandang dapurnya.
   Aku bersyukur banget tidak terjadi apa-apa. Yaah, walaupun tidak terjadi apa-apa tapi aku dikerjain mati-matian, dia suka banget bikin aku salting sampai-sampai jantung sama napasku terasa sesak. Hari ini, aku merasa seperti Mbak Inem, pembantu tetanggaku, soalnya aku hari ini full dikerjain dan disuruh-suruh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar