Laman

Pelangi is Rainbow

Kamis, 22 Maret 2012

My First

Three

   ”Femi!” seru Tante Levana seraya memberikan air es. Aku menyambut air es yang diberikan Tante Levana dan meminumnya.
   O, ya, apa yang terjadi malam tadi? Aku cuma ingat dia mengatakan apakah aku selalu seperti ini? Selanjutnya, aku tidak tahu apa yang terjadi.
   ”Apa yang terjadi, Tante?” tanyaku setelah menghabiskan segelas air es.
   ”Kamu tidak ingat? Malam tadi, kamu pingsan trus Shin-woo menggendong kamu seperti ini dan membawa kamu ke kamar,” cerita Tante Levana dengan memperagakan cowok menyebalkan itu menggendongku.
   Seingatku, cowok menyebalkan itu menggendongku dengan meletakkan aku di pundaknya, bukan seperti pangeran menggendong seorang putri. Menggunakan kedua tangannya, bukan pundak, atau hanya perasaanku saja aku diletakkan di pundak. Ah, tidak mungkin!
   ”Kenapa memiringkan kepalamu, apa yang kamu pikirkan, Femi?” tanya Tante Levana.
   Aku tersenyum,”Nggak pa-pa, kok, Tante,” jawabku.
   Tante levana duduk di pinggir tempat tidurku, dia memandangiku dalam-dalam, membuatku salah tingkah.
   ”Ada apa, Tante? Bikin orang salting aja!” ujarku seraya menepuk lengannya.
   ”Haah, kamu sudah besar, ya, sebentar lagi akan menikah,” kata Tante Levana.
   ”Ah, Tante, Mama aja belum pernah bilang kayak gini sama aku,” sahutku.
   Menikah? Siapa yang mau menikah?! Maksudku, menikah dengan cowok menyebalkan itu! No way!
   ”Femi, calon suamimu itu tau segalanya tentang kamu, ya, ternyata,”
   Tahu segalanya? Aku pasti salah dengar! Atau aku sudah tertular penyakit yang paling menakutkan bagi semua MANULA (manusia usia lanjut) level eksikutif, BUDEG! Oh, nooo!
   ”Ha? Kenapa Tante bilang begitu?” tanyaku heran.
   Haha, lucu banget. Eh, tapi, waktu itu dia ada bilang aku alergi lari (bukan alergi, sih, tapi tidak kuat lari karena ada penyakit pernapasan aku, biar lebih keren aja). Hmm, yang tau itu kan cuma keluargaku. Ah, palingan juga dia dikasih tau sama keluargaku.
   ”Waktu kamu pingsan, dia bilang, setelah kamu bangun nanti, kamu harus dikasih air es supaya kepala kamu tidak sakit kalau berjalan. Dia juga bilang, kamu harus dikasih jus lemon sebelum makan. Tante aja nggak tau kalau harus begitu. Mungkin, dia memang tepat jadi suami kamu, kalau dilihat-lihat kalian memang serasi, wajah kalian juga ada kemiripan,” jawab Tante Levana.
   Aku tidak tahu harus berkata apa. Mungkin, dia bukanlah orang menyebalkan. Apa lebih baik aku membuka hatiku dan mulai PDKT sama dia? Hmm... sebaiknya, aku memang harus melakukan itu. Eh, tadi tante bilang aku mirip cowok menyebalkan itu? Tampan dong aku?
   ”Sarapan dulu, yuk,” ajak Tante Levana.
   Aku menggelengkan kepalaku.”Nanti saja,”
   ”Baiklah, Tante ke bawah dulu, ya,” kata Tante Levana seraya bangkit dari duduknya.
   ”Iya,” aku mengaggukkan kepalaku.
   Aku bangkit dari tempat tidurku dan menuju jendela. Ah... taman Tante Levana memang sangat bagus kalau dilihat dari sini. Ah, ada cowok itu ditaman! Sebaiknya, aku menghampirinya dan kemudian ucapkan terima kasih.
   Aku keluar kamar dan langsung menuju taman bunga. Sebaiknya, aku pura-pura jalan-jalan di taman, kemudian melihatnya lalu menyapanya. Hmm, ini mudah! Sebaiknya, aku harus membiasakan memanggilnya Shin-woo. Aku berjalan-jalan di sekitarnya.
   ”Lo sudah baikan?” tanya cowok meny... eh, Shin-woo.
   Kok, dia tahu aku ada di sini? Apa aku berjalan terlalu dekat? Tidak... jauh, kok, cuma sekitar satu meter. Mungkin, karena auraku terlalu terasa.
   ”Iya.” jawabku.
   Ini saatnya! Aku harus bilang terima kasih dan maaf telah merepotkan kemudian pergi. Hidup ini memang mudah! Benar kata orang, selagi kita tulus, pasti ada jalan.
   ”Aku...”
   ”Apa lo selalu begitu?” tanyanya memotong bicaraku.
   ”Apa?” tanyaku balik.
   ”Merepotkan orang lain.” jawabnya seraya membalikkan badannya menghadapku. Wajahnya, benar-benar dingin.
   Aku memiringkan kepalaku dan mengernyitkan keningku. Merepotkan orang lain? Apa maksudnya? Aku merepotkan orang lain? Aku tidak pernah merepotkan orang lain, kok. Kecuali orang tuaku.
   ”Badanmu berat, sebaiknya diet.” sarannya seraya pergi ngeloyor begitu saja.
   Badanku berat? Enak saja! Aku ini orang yang paling langsing sedunia! Ah, menyebalkan! Aku tidak akan mengubah namanya menjadi Shin-woo, tetap akan kuberi nama dengan cowok yang menyebalkan!
   TOK!
   Aduh! Sakit sekali! Sepertinya ada yang jatuh dari langit. Apa ada hujan meteor? Aku melihat ke atas langit. Tidak ada apa-apa, langit cerah. Aku membalikkan badanku. Di depanku sudah ada Evan yang sedang membidikku dengan pistol mainannya. Gawat! Semua mainan Evan kan mematikan. Aku harus cari perlindungan!
   ”Ampun!” ucapku seraya mengacungkan kedua tanganku.
   ”Aku mengampunimu, asalkan kamu mau mentraktirku pizza,” kata Evan. Aahhh... kecil-kecil sudah bisa membajak orang tua. Bagaimana kalau gede nanti? Jangan-jangan jadi perampok.
   ”Ahhh... aku nggak punya uang!” sahutku.
   TOK!
   Peluru dari pistol mainan Evan terkena dahiku. Sakitnya, minta ampun!
   ”Iya, iya, iya, aku bakalan mentraktir kamu!” ucapku menyerah. Lebih baik mentraktir Evan, daripada aku harus mati karena kena peluru mainan. Sekalian sedekah.
   Evan mengikutiku dari belakang dengan terus mengacungkan pistolnya ke arahku sampai menuju telpon rumah, aku persis seperti korban perampokan. Tapi, tidak keren banget kena rampok anak kecil.
   ”Bocah, berapa nomor telponnya?” tanyaku kesal. Sudah diporotin Ryo, sekarang diporotin Evan. Nasib.
   ”911,” jawabnya asal.
   Aku cemberut,”Hah, kamu pengin Ka Femi telpon 911 trus bilang kena rampok sama bocah, gitu?! Memalukan!” kataku tambah kesal.
   ”Tumben pinter. 944***,” jawabnya dengan meledekku.
   Aku memencet tombol 944*** dan kemudian terdengar ciri khas bunyi telpon: toooot... toooot...
   Telpon sudah diangkat dan disambut ramah oleh pelayan pizza. Tapi dia bilang apa? Aku gak ngerti. Kenapa bahasa tiap Negara beda-beda, sih?
   ”Master... ai... ai want pizza,” ujarku terbata-bata.
   Evan langsung merebut telponnya.
   ”Ah, payah!” katanya kesal. Kemudian dia yang berbicara dengan pelayan pizza lewat telpon dengan bahasa Belanda  yang fasih.
   Aku mengepalkan tanganku seperti ingin meninjunya dari belakang. Ngeselin, sih, jadi bocah. Evan kemudian menutup telponnya dan mempelototiku dengan sinis, aku juga tidak mau kalah, aku membalas mempolototinya dengan tajam.
   ”Ka Femi, matamu ada beleknya,” kata Evan.
   ”Ha? Benarkah?!” tanyaku cemas seraya membersihkan mataku.
   ”Whahaahahaha... satu monyet tertipu!” tawa Evan.
   ”EEEEVVVVAAAAAAANNN!!!” teriakku seraya mengejar Evan yang sudah berlari.
   Bocah itu! Selalu saja iseng sama aku! Waktu kecil, dia sama sekali tidak seperti ini. Dia anak yang imut, yang selalu kucubit-cubit pipinya. Apa mungkin sekarang dia balas dendam? Aku terus berlari mengejar Evan sampai tukang pizza memencet bel. Evan memesan pizza daging sapi. Kami hanya berdamai saat makan. Evan sempat menawari cowok menyebalkan itu pizza, tapi dia menolaknya. Dia bilang, takut gemuk. Aku tahu dia menyindirku. Gemuk? Aku kan langsing! Sexy lagi!

***

   “Hei!” panggil cowok menyebalkan itu ketika aku akan membuka pintu kamar.
   Aku langsung menoleh ke arahnya. Mau apa lagi, nih, orang? Apa dia tidak puas sudah mempermalukan aku di depan semua orang dengan selalu mencuekin aku yang berusaha ramah dengannya?! Hah, cowok yang seperti ini yang akan jadi suamiku? Dosa apa yang telah aku perbuat, Tuhan?
   ”Apa?!” tanyaku ketus.
   ”Amplop semalam, mana?!” tanya cowok menyebalkan itu datar.
   ”Emmm... gue... lupa meletakkannya di mana,” jawabku gugup.
   Dia yang memberikan, dia yang meminta kembali. Tapi, setelah lari semalam aku meletakkannya di mana? Kok, aku sampai lupa?
   ”Cari. Setelah ketemu, temui aku,” kata cowok menyebalkan itu seraya membuka kamar yang ada di depan kamarku.
   BRAAAKKK
   Cowok menyebalkan itu membanting pintu dengan kasar. Haah, kenapa dia selalu kasar dan dingin? Aku kira cowok cool itu keren, ternyata memang keren tapi, bikin sakit hati! Aku sekarang sama sekali tidak mengharapkan cowok cool, sekarang aku pengin cowok yang hangat sama cewek, seperti Kevin. Kapan aku bisa bertemu dengan dia lagi? Pangeran berkuda putihku.
    Aku masuk ke kamarku dan langsung mengambil tasku kemarin.
Amplop itu aku letakkan di mana? Aku terus menggeladah isi kantong tasku. Ah, ketemu! Sekarang aku akan mengembalikan amplop ini ke-cowok menyebalkan itu. Tapi, isinya apa, ya? Aku membuka amplop itu. Aw! Hijau banget! Isinya duit! Banyak banget, buat apa dia ngasih duit sebanyak itu ke-aku? Nanti tanyain, deh.
  Aku mengambil handphoneku dan membuka flap-nya. Di handphoneku tertera tulisan: 10 massages. Pasti dari teman-temanku yang kangen sama aku. Hehe, geer! Aku buka pesan pertama dari Pika si laboratorium: Bos, ada berita heboh, nih! Weh, berita heboh apa, nih? Aku buka pesan kedua dari Pika lagi: Fem, kemana sih lo? Sedotan lagi kena jampe-jampe! Haha, siapa yang mau ngejampe-jampe dia juga. Pesan yang ketiga dari Pika lagi-lagi: Fem, sedotan lagi error, nih! Apaan, sih? Sedotan mulu. Bukannya bilang kangen, kek, sama aku. Dia dipanggil ”sedotan” karena suka banget ngumpulin sedotan. Aneh kan? Padahal nama aslinya bagus banget, Pretty Angelicha. Orangnya cantik.
   TOK... TOK...
   Padahal aku penasaran apa maksud Pika dan pengin balas SMS-nya tapi, keburu pintu diketuk. Entar aja, deh, lanjutin. Aku berjalan menuju pintu dan membukakan pintu. Tante Levana tersenyum lebar dengan membawa camilan fruit ice cream di tangannya. Mau apa lagi, nih?
   ”Ada apa, Tante?” tanyaku seraya duduk di jendela. Jendela di kamarku ini di bawahnya seperti ada sofa, jadinya asyik kalau lagi baca novel atau komik sambil lihat langit.
   ”Ini,” Tante Levana memberikan camilan fruit ice cream yang dibawanya tadi.
   ”Makasih, Tant,”
   ”Femi,” Wajah Tante terlihat serius.
   Aku menusuk buah ceri dan menyuapnya,”Hmmm?”
   ”Tante rasa, Shin-woo kurang suka sama kamu,” kata Tante Levana terlihat khawatir.
   ”Baguslah,” kataku keceplosan.
   Iya, itu malah bagus. Semakin dia tidak suka, semakin gede peluang tidak jadinya perjodohan.
   ”Bagus?!” tanya Tante Levana terlihat heran.
   Gawat! Kalau Tante Levana tau aku tidak suka dengan perjodohan ini, aku bakalan dikurung di kandang Bulldog. Jadi, aku sama saja dengan mati? Tidak, ini tidak boleh terjadi.
   ”Ah... maksud... aku... bagus banget cangkir ini, Tante,” jawabku asal sambil cengengesan.
   Tante Levana menatapku curiga tapi kemudian tersenyum ceria.”Iyalah! Cangkir ini, dibelinya aja di England dan sangaaat mirip dengan yang pernah dipakai oleh Victoria Queen!” seru Tante Levana penuh semangat.
   Aku langsung bernapas lega. Syukurlah Tante Levana tidak curiga.
   ”O, ya, Tante ke sini cuma mo bilang, kamu harus bersikap baik sama Shin-woo.” kata Tante Levana.
   Ckk... kenapa sih harus aku yang bersikap baik sama cowok menyebalkan itu? Yang harusnya bersikap baik itu kan cowok menyebalkan itu, bukan aku.
   ”Kenapa?” tanyaku sambil mengunyah buah pear.
   ”Ssshh... kamu tidak sadar apa kalau Shin-woo itu kurang suka sama kamu.” jawab Tante Levana setengah berdesis.”Kalau perjodohan ini gagal, kamu bakalan Tante ikat dengan Bulldog,” ancam Tante Levana. Mengerikan banget sih Tante ini.
   ”Sadis banget!” desisku.
   Tante Levana menepuk tangannya,”o, ya, hari ini, kamu akan jalan-jalan ke Keukenhof!” seru Tante Levana bahagia.
   ”Sekeluarga?” tanyaku juga ikutan bahagia.
   ”Tidak! Sama Shin-woo! Tante sudah ngasih kunci mobil Tante ke-Shin-woo,” jawab Tante Levana.
   ”Yaaaah...” keluhku.
   ”Yah, yah. Sana cepet mandi!” Tante Levana menarik tanganku dan mendorongku ke kamar mandi.
   Aku mandi dengan lesu. Hari ini lebih dingin dari hari sebelumnya. Aku juga tidak membawa baju yang tebal lagi waktu ke sini, aku kira sekarang di sini musim panas soalnya di Indonesia akhir-akhir ini panas banget jadinya, aku membawa baju serba tipis.
   Aku keluar kamar mandi dengan handuk, aku lupa membawa persiapan (bawa baju) gara-gara didesak Tante Levana. Aku membuka koperku mencari pakaian dalam dan baju. Tapi, tiba-tiba pintu kamarku dibuka.
   ”AAAAAAAAAA!!!” aku langsung berteriak sambil menutup badanku meskipun pakai handuk. Cowok menyebalkan itu membuka pintu kamarku seenaknya tanpa mengetuk.
   ”Eh, sori, sori,” dia langsung menutup pintu kamarku.
   ”Gak bisa ngetuk pintu apa?!” teriakku kesal.
   ”Tadi gue sudah ngetuk pintu tapi lo gak jawab!” jawabnya dari luar pintu.
   ”Alasaaaan! Bilang aja pengin ngintip cewek sexy!” teriakku kesal.
   ”Ngapain aku ngintip cewek gembul!” sahutnya.
   ”AAAAAAA!” teriakku kesal.
   Tiba- tiba dia membuka pintu lagi.
   ”Ada apa?” tanyanya cemas.
   ”AAAAAAAAAA!!!” teriakku lagi.
***
  
   Di sepanjang perjalanan aku hanya ngedumel tidak karuan. Aku masih kesal dengan cowok menyebalkan itu. Dia kan harusnya minta maaf secara tulus denganku bukan membalas dengan mengataiku gembul atau membentakku. Huhuhu, badanku yang  suci telah dilihat oleh pria yang tidak kucintai.
   Lihat dia sekarang! Dia menyetir mobil ferrari sport  warna millenium Tante Levana dengan santainya dan seperti orang yang tidak bersalah saja.
   ”Kenapa lo ngeliat gue seperti itu?” tanyanya ketus.
   ”Kenapa lo masuk ke kamar gue tanpa ngetuk pintu?” tanyaku balik.
   ”Gue bilang nggak sengaja!” jawab cowok menyebalkan itu sinis.
   “Bilang aja lo pengin ngintip gue!” tuduhku. “Mentang-mentang gue sexy,”gumamku.
   “Haaaah!” teriak cowok itu kesal seraya memarkir mobil dengan meliuk sadis.
   Aku memejamkan mataku. Ternyata aku memang harus mati muda. Tuhan, terimalah amal ibadahku.
   ”Lo nggak pengin keluar?” tanya cowok menyebalkan itu.
   Aku membuka sebelah mataku. Aku masih hidup! Aku masih hidup! Aku tersenyum kepada cowok menyebalkan yang ada di samping pintu mobil, dia sudah keluar mobil, aku juga tidak tahu kapan. Pintu mobil dibuka pun aku tidak mendengar.
   ”Nggak mo bukain pintunya?” tanyaku.
   ”Lo punya tangan kan?” tanyanya balik.
   ”Iya,” jawabku mengaggukkan kepala.
   ”Ya, sudah,” jawabnya sambil ngeloyor pergi.
   ”Ah, cowok mengesalkan!” kesalku seraya membuka pintu mobil Tante Levana dan kemudian menutupnya kasar.

   Jalanya cowok itu cepat banget! Aku sampai ngos-ngosan mengejarnya. Sudah lebih lima kali aku memintanya berhenti, tapi tidak dihiraukan.
   BUUUKKK
   Aduh! Aku menabraknya dari belakang. Syukur tidak jatuh lagi, coba kalau jatuh, pasti aku pergi ditinggalkannya lagi. Eh, tapi kenapa dia berhenti? Aku mengintip dari belakangnya. OMG! Indah banget! Akhirnya sampai juga ke Keukenhof! Indah banget bunga-bunganya! Aku langsung menghambur lari kecil ke sana-kemari.
   Ini adalah kedua kalinya aku ke Keukenhof. Yang pertama aku pergi dengan Ryo dan Ka Stuard. Hmmm, jadi ingat sama Ka Stuard. Dia adalah cinta pertamaku. Dulu aku sering banget main sama dia. Tapi, semenjak dia pindah sewaktu dia masih kelas 1 SMP dan aku masih kelas 5 SD, aku jadi kesepian dan belum pernah pacaran sampai aku kuliah sekarang.
   ”Haaaah, capeknya!” keluhku seraya duduk di kursi panjang setelah puas melihat-lihat bunga di Keukenhof. Aku selalu mengayun-ayunkan kakiku kaki kalau lagi senang.
   Cowok menyebalkan itu datang dan memberikan aku es krim. Tahu dari mana kalau aku suka es krim.
   ”Makasih,” ujarku seraya menyambut es krimnya.
   ”Hmmm,” jawabnya seraya duduk di sampingku. Hmmm? Simple amat jawabannya.
   ”Harinya cerah banget!” seruku sambil menatap langit.
   ”Ada awan gitu dibilang cerah,” komentarnya santai sambil meminum kopi kalengnya.
   Aku cemberut melihatnya. Huh, tidak bisa banget melihat orang bahagia. Aku melihat minumannya, kopi, pantas sifatnya pahit.
   ”Gue minta maaf sudah buat lo mengikuti perjodohan ini,” ujarku sambil menundukkan kepala. ”Lo sudah nggak marah lagi, kan sama aku?”
   ”Hahaha… Enak saja gue langsung maafin lo,” jawabnya seraya memalingkan wajahnya. ”Gue lagi cari jalan keluar buat masalah yang lo buat,”
   Aku mengernyitkan keningku. Jalan keluar? Wah! Sepertinya terdengar bagus. Ini artinya aku mempunyai kesempatan untuk tidak menikah dengan cowok menyebalkan satu ini.
   ”Jalan keluar seperti apa?” tanyaku hati-hati.
   ”Gue lagi mikir. Sudah! Jangan tanya-tanya, bikin males!” jawabnya kasar. ”Lo bawa amplopnya?” tanya cowok menyebalkan itu seraya bangun dari duduknya.
   ”Eh, iya, ada,” jawabku seraya mengambil amplop itu dari kantong tasku dan menyerahkannya ke cowok itu.
   ”Simpan aja. Lo ikut gue,” katanya seraya berjalan.
   ”Ke mana?” tanyaku berjalan di belakang cowok itu.
   ”Toko baju,” jawabnya singkat.
   ”Ngapain?” tanyaku lagi.
   ”Beli baju tebal buat lo. Kenapa gue mo nganter? Karena disuruh Nenek, nona cerewet!” jawabnya kesal.
   ”Aku gak pengin nanya kenapa lo mo nganterin. Tapiii, gue mo nanya, dapat duit beli baju dari mana?” sahutku dengan cekikikan.
   ”Dari amplop!” jawabnya dengan wajah memerah, sepertinya dia malu dan kemudian mempercepat jalannya.
   Aku terus mengikutinya dari belakang.
   ”Mooommmmy... moooommmy...” aku mendengar anak kecil menangis. Aku celingak-celinguk mencari di mana anak kecil itu. Suara tangisnya kencang banget.
   Astaga! Anak kecil itu lagi berjalan menuju jalan raya. Aku langsung berlari ke arah anak kecil itu.
   ”Adeeeeekkkk, jangan ke sana!” teriakku sambil terus berlari menyebrangi jalanan.
   ”Feeeemmmmiiiii!!!” teriak cowok menyebalkan itu memanggilku. Aku tidak menghiraukan panggilan itu, aku terus berlari menghampiri anak kecil itu.
   ”Adeek,jangan jalan ke sini, di sini ramai,” nasehatku sambil menyebrangkannya. ”Bi karful (be carefull), okey?” nasehatku lagi. Anak kecil itu mengangguk. Weh! Dia ngerti bahasaku.
   ”Gabrieeeel!!!” seorang wanita menghampiri adek itu, mungkin ibunya.
   ”Mooommmy!!!” teriak anak itu seraya memeluk Ibunya, Ibunya terus mengucapkan kata bedankt sambil mengangguk-angguk.
   Di seberang jalan ada cowok menyebalkan itu, dia terlihat gelisah. Hehe, punya hati nurani juga, ya, orang itu. Aku melambaikan tanganku ke arahnya sambil tersenyum lebar kemudian aku menyebrang. Tapi, sebuah truk pengangkut barang berjalan melaju dan tiba-tiba...
   ”FEEMIIII!!!” cowok menyebalkan itu berlari menghampiriku dan mendorongku. Aku terhempas ketanah dan dia...
   BRRAAAAKKK!!!
   Dia ditabrak mobil truk itu... dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

Kritik and sarannya yoo!!!  (*^o^*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar