Laman

Pelangi is Rainbow

Kamis, 22 Maret 2012

My First


Four

   Akh! Tanganku sakit banget! Aku lagi ada di mana? Kenapa semuanya serba putih? Apakah aku sudah ada di surga? Tidak! Cowo... eh, Shin-woo! Shin-woo ada di mana?!
   ”Femiii! Kamu sudah sadar?” tanya Mamaku. Sejak kapan Mama datang aku sudah tidak peduli lagi.
   ”Ma, Shin-woo... Shin-woo ada di mana?!” tanyaku histeris pada Mama seraya bangun dari tempat tidur. Tapi, tenagaku tidak cukup kuat untuk berjalan dan akhirnya aku terjatuh. Tanpa kusadari tangan kananku dan kaki kiriku di gips. Aku sudah tidak mempedulikan hal itu! Aku takut hal yang aku takuti terjadi pada Shin-woo.
   Mama membangunkanku dan membaringkanku ke tempat tidur. Kantong mata Mama terlihat jelas, pasti Mama kurang tidur. Tapi, apa yang terjadi setelah hari itu aku sudah tidak tahu lagi.
   ”Femi, Shin-woo, dia dirawat di ruang ICU,” jawab Mama lemah.
   Aku memegang kedua tangan Mama,”Shin-woo... Shin-woo kenapa, Ma?!” tanyaku semakin gelisah. Mataku terasa panas.
   ”Dia belum sadarkan diri sejak dua hari yang lalu,” jawab Mama.
   Air mataku yang dari tadi kutahan, akhirnya keluar juga. Ini semua, gara-gara aku! Ini semua gara-gara kecorobohanku! Harusnya aku yang tertabrak, bukan Shin-woo! Kenapa jadi begini? Tuhan, tolonglah Shin-woo!
   Aku terus menangis dan tidak mempedulikan semuanya, sampai-sampai Mama keluar kamarku pun aku tidak tahu, Ryo masuk pun aku tidak tahu. Aku masih tidak percaya dengan apa yang telah terjadi. Semua, rasanya seperti mimpi. Kalau tahu seperti ini, harusnya aku dan Shin-woo tidak jalan-jalan. Aku... Aku… Aku yang bersalah di sini. Aku yang tidak pantas untuk hidup.
   ”Kalender, lo pengin liat Shin-woo, nggak?” tanya Ryo.
   Kalender adalah nama panggilanku yang dibuatnya, dia saja yang seenaknya memanggilku seperti itu. Ini karena nama belakangku Calandra, katanya namaku mirip dengan kata kalender. Tidak nyambung, kan?
   Aku mengangkat kepalaku.”Boleh?” tanyaku balik.
   ”Nggak boleh kalau masih nangis,” jawabnya.
   Aku menyapu air mataku dan ingusku dengan kedua tanganku. Ryo memandang jorok kemudian mengambil kursi roda yang ada di pojok ruangan.
   ”Gue angkat, nih,” kata Ryo seraya menggendongku dan kemudian membantuku duduk di kursi roda. ”Berat banget, lo, Kalend!” ledeknya.
   Aku diam tidak membalas ledekannya karena dipikiranku sekarang hanya ada Shin-woo.
   Ryo mendorong kursi roda menuju ruang ICU. Dia membuka salah satu ruangan ICU. Di sana sudah ada Mama, Papa, Tante Levana, Nenek Park, Eyang dan seorang wanita cantik yang kutebak dia adalah Ibunya Shin-woo. Semua orang di ruangan langsung melihat ke arahku. Semuanya terlihat seperti kurang tidur.
   Nenek Park dan wanita tadi menghampiriku dan langsung memelukku. Aku merasa jadi tidak enak sama mereka. Ini semua terjadi gara-gara aku, kenapa mereka memeluk aku dengan wajah yang lega.
   ”Ma...maaf,” ucapku pelan sambil terisak-isak.
   Nenek Park dan wanita itu melepaskan pelukan mereka.
   ”Kenapa minta maaf? Kami justru senang melihat kamu sudah sadar,” jawab wanita itu dengan senyum yang ramah sambil menghapus air mataku. ”Kamu ingat sama tante?” tanya wanita itu dengan tersenyum ramah.
   Aku menggeleng lemah. Rasanya, tenagaku sudah hilang melihat Shin-woo terbaring tak berdaya.
   ”Aku Ibu Shin-woo, Jasmine,” katanya.
   Aku cuma mengangguk dan kemudian mendorong kursi rodaku mendekati Shin-woo. Sekarang dia terbaring dengan leher, kaki kanan dan tangan kiri yang di gips. Dasar cowok gebleg! Kenapa menolong aku kalau dia membenci aku. Ini hanya akan menjadi bebanku, aku jadi merasa bersalah! Shin-woo…
  
   ”Femi, kamu istirahat dulu,” kata Eyang khawatir.
    Aku menggelengkan kepalaku. Aku tidak mau pergi dari sini sampai Shin-woo sadar. Aku akan selalu menemaninya, karena yang harusnya berada di sana adalah aku. Bukan dia.
   ”Femi... bolehkan di sini? Femi mohon,” pintaku.
   ”Baiklah,” jawab Eyang setelah diam sejenak.
   Eyang keluar dari ruangan.
   ”Shin-woo, bangun, dong, kalau lo bangun, gue janji gak bakalan bikin ulah lagi, gue juga janji gak bakalan nyusahin lo, entar gue pikirin gimana caranya perjodohan ini gagal,” kataku. Aku terus mengurai janji sama Shin-woo sepanjang malam.

***

   ”Femi, now your cast can open,” kata dokter yang mengurusku. Perbanku dibuka oleh perawat. Wajahku pasti terlihat murung. Ini sudah seminggu sejak aku sadarkan diri, tapi, Shin-woo belum sadar juga.”Femi, why look so sad? You must happy, because now you can walk!” kata dokter itu ceria.
   Aku hanya bisa meringis karena, aku tidak terlalu mengerti apa yang dokter katakan.
   Setelah dokter itu pergi, aku langsung ke kamar Shin-woo. Dia masih saja terbaring di tempat tidur. Wajahnya sekarang sangat pucat, badannya juga agak kurusan. Maafin aku, Shin-woo. Aku harus bagaimana lagi? Tuhan, hanya kepada-Mu aku meminta, aku mohon, sadarkanlah Shin-woo.
   Ryo masuk ke dalam ruanganku setelah dokter keluar.
   ”Tadi ngapain dokter masuk?” tanya Ryo.
   Aku menujuk tanganku yang sudah tidak di gips.
   ”Oh, Eyang sama mama tau?” tanya Ryo lagi.
   Aku mengangguk pelan. Entahlah, aku benar-benar tidak bertenaga menjawab pertanyaan Ryo. Pikiranku terlalu kosong untuk itu.
   ”Jelek amat kalo lo pendiam,” ledek Ryo.
   Aku hanya menjawab dengan menarik napas, entah kenapa air mataku keluar. Aku… aku… aku ingin bercanda dengan Kakakku, tapi, aku tidak sanggup! Aku hanya butuh kesembuhan dari Ryo! Tuhan, tolonglah aku!
   Ryo memeluk kepalaku. ”Sudah… sudah… Shin paling gak suka ada seseorang menangisinya selama dia masih bisa bertahan. Aku tau kalo Shin cowok yang kuat. Aku tau itu,” kata Ryo berusaha menenangkanku.
   ”Kenapa harus Shin-woo? Harusnya, aku! Aku yang harusnya tertabrak, bukan Shin-woo!” seruku berusaha mengeluarkan semua beban di hatiku.
   ”Ini sudah takdir, Fem. Kalo kamu yang tertabrak, Ryo pasti membunuh dirinya sendiri karena tidak bisa menjagamu. Kamu tidak boleh menyalahkan diri sendiri. Shin-woo tidak akan pernah suka mendengarnya,” jawab Ryo. ”Sudalah, sekarang kamu harus istirahat, kumpulkan tenagamu,” kata Ryo seraya membaringkanku kemudian mengusap-usap keningku.
   Baru kali ini aku merasakan kalau Ryo benar-benar menyayangiku, entah mengapa aku merasa menjadi adik yang paling beruntung di dunia ini. Ini pertama kalinya, aku merasakan aura menenangkan dari Ryo. Terima kasih, kakakku, Ryo.

   Waktu berjalan dengan cepat, sekarang, sudah seminggu aku dirawat setelah gips-ku dilepas, akhirnya aku boleh pulang. Tapi Shin-woo... dia masih terbaring koma. Aku semakin takut kalau Shin-woo tidak bisa sadarkan diri, kalau itu terjadi, apa yang harus aku lakukan? Aku berjalan keluar ruanganku dengan membawa koper, aku berjalan menuju kamar Shin-woo.
   Aku berhenti di dekat kamar Shin-woo, ketika itu aku memperhatikan tante Jasmine dan tante Levana berbicara dengan dokter yang merawat Shin-woo. Dadaku… Dadaku terasa sesak ketika melihat tante Jasmine menangis. Oh, Tuhan, aku harus bagaimana lagi? Ini semua gara-gara salahku. Aku yang harusnya yang mengalami hal ini, bukan Shin-woo.
   Aku membuka pintu kamar Shin-woo, di sana ada seorang pria setengah baya yang terlihat bijaksana dan gagah padahal kepalanya sudah agak beruban. Mungkin ayah Shin-woo. Pria itu menoleh ke arahku.
   ”Femi,” sapa pria itu dengan senyumnya yang sangat ramah.
   ”Selamat pagi” sahutku seraya membukukkan badanku.
   ”Pagi,” balas pria itu dengan mengaggukkan kepalanya. ”Femi, masih ingat dengan aku? Ayah Shin-woo? Om Park Jae-Sung,” Tante Jasmine mengingatkanku pada papanya Shin-woo.
   Aku menggelengkan kepalaku.
   ”Haha, waktu kecil kan kita pernah ketemu walau beberapa kali, yah wajar lupa,” Om Park tersenyum ramah. Keluarga Shin-woo ramah banget sama aku beda banget sama Shin-woo yang berhati dingin. ”Kamu perlu tau, Jasmine dan aku sangat menginginkanmu menjadi istri Shin-woo. Kamu gadis yang sangat cantik.”
   Aku tersipu malu mendengar ucapan Om Park. Cantik? Haha, Om Park bisa aja! Baru kali ini aku dibilang cantik. Syukurlah, Om Park orang yang baik.
   Tiba-tiba pintu di buka. Tante Jasmine masuk. Aku melihat ke arah mata tante Jasmine, matanya sembab. Dadaku… dadaku terasa sakit. Aku menarik napasku dalam-dalam.
   ”Eh, kok, kamu bawa koper, Fem?” tanya Tante Jasmine.
   ”Ah, ini? Saya sudah boleh pulang,” jawabku.
   ”O, ya? keluargamu sudah tau?” tanya Om Park.
   ”Sudah, katanya sejam lagi mereka akan jemput,” jawabku.
   ”Tante Levana mana?” tanyaku tersadar kalau tante Levana tidak ada.
   ”Oh, dia ada urusan katanya. Mungkin dia tidak tau kalau kamu sudah boleh pulang,” jawab tante Jasmine
   ”Iya, dia tidak tau,”
   ”Kalo gitu, ikut kami aja, mumpung kami ingin ke rumah Tantemu,” ajak Tante Jasmine.
   ”Iya, ikut kami saja, sudah lama tidak ke sana,” Om Park menambahkan.
   ”Apa tidak merepotkan?” tanyaku tidak enak.
   ”Tidak apa-apa,”
  
   Di mobil, aku diberi berbagai macam pertanyaan, mulai dari sekolah sampai keluarga, bahkan masalah pribadi pun aku ditanya. Aku menjadi tidak enak hati kalau aku dipuji, mereka terlalu baik kepadaku. Aku harus membalas dengan apa?
   CIIIIIITTTT
   Mobil BMW Om Park berhenti di depan rumah Tante Levana. Semua keluargaku sudah berada di mobil, tapi syukur Om Park membunyikan klaksonnya, dan aku langsung keluar mobil.
   ”Eh, sudah datang? Welcome home, deh,” sambut Ryo seraya menghampiriku.
   “Aduh, jadi ngerepotin,” ujar Mama sungkan.
   ”Nggak, kok, tadi liat Femi ke kamar Shin-woo, Femi bilang dia boleh pulang. Jadi,  sekalian, lagipula ada yang ingin dibicarakan,” ujar Om Park.
   Ada yang ingin dibicarakan? Apa jangan-jangan ini masalah perjodohan! Om Park ingin membatalkan perjodohan ini karena Shin-woo koma! Kalau seperti itu, ini berarti, akan menjadi hal yang membahagiakan bagiku dan Shin-woo.
    Semuanya sudah berkumpul di ruang tamu, termasuk Evan. Bocah itu cuma sekali membesuk aku di rumah sakit. Waktu aku di rumah sakit, aku tetap menjadi objek keisengannya. Dasar bocah menyebalkan!
    ”Kami ingin mengucapkan minta maaf karena tidak bisa melakukan pernikahan di Belanda...” akhirnya Om Park angkat bicara.
    ”Akh, tidak apa-apa,” sahut Papa.
   ”Aku dan Jasmine sudah membicarakan hal ini. Bagaimana kalau kita langsung adakan pertunangan setelah Stuard sadarkan diri? Kemudian, setelah dua bulan kemudian kita nikahkan mereka,”
   Pertunangan? Hah?!
   ”Apa ini tidak terlalu cepat? Stuard mungkin saja tidak setuju,” kata Papa mencoba bijak.
   ”Tidak apa-apa. Aku akan membujuknya, lagipula ayah dan ibu sudah sangat menginginkan cucu. Lagi pula, ini sudah janji kita unutk menjodohkan anak-anak kita kalau antara kita memiliki anak berbeda jenis. Ingatkah kamu, Jae-boom?” sahut ayah Shin-woo.
   ”Tentu saja aku ingat. Aku sangat setuju, Stuard adalah anak yang baik dan sopan. Aku sangat menyukainya.” jawab Papa dengan tersenyum lebar.
   ”Setujukah kamu, Femi?” tanya Om park.
   Aku hanya menatap wajah Om Park. Wajah Om Park sangat familiar ketika pertama kali aku bertemu, wajah tante Jasmine begitu pula. Aku tidak menjawab pertanyaan Om Park, aku hanya terdiam kemudian menunduk. Tidak, aku harus memfokuskan pikiranku terhadap perjodohan ini! Kenapa pikiranku tidak bisa fokus.
   Stuard. Siapa Stuard? Shin-woo kah? Bukankah Stuard adalah teman kecil kakakku dan aku? Bukankah Stuard adalah…
   Nenek Park bilang, aku kenal sama Shin-woo. Mama juga bilang aku kenal sama Shin-woo. Ryo juga kenal sama Shin-woo. Aku membuka pintu ruang keluarga, biasanya disana ada foto-foto keluarga. Aku harus mencari siapa itu Shin-woo atau Shin-wooard!
   ”Pa, Om! Stuard itu, Sin-woo kah?” tanyaku tiba-tiba menyela pembicaraan Papa dan Om Park.
   Papa dan Om Park tertawa bersamaan. ”Iya,” jawab mereka kompak.
   Benar? Dugaanku benar! Shin-woo itu Stuard! Apa yang aku lakukan selama ini sampai-sampai tidak menyadari kalau Shin-woo itu Stuard! Dia cinta pertamaku! Kenapa aku sampai tidak mengenalinya!
   ”Om, Pa, Ma, semua, Femi permisi dulu,” permisiku dan langsung berlari menuju ruang keluarga tante Levana.
   Aku membuka lemari yang berada di sudut ruangan. Biasanya, di sana Tante Levana menyimpan foto-foto keluarga. Ah, ketemu! Ini dia! Aku mengambil semua buku album yang ada di lemari, kemudian meletakkannya ke meja ruang keluarga.
   Dua buku album sudah aku buka, semuanya hanya foto bocah yang menyebalkan itu. Evan. Evan waktu kecil, memang sangat imut, waktu dia masih kecil, aku suka sekali menggendongnya, sampai-sampai badanku di pipisin. Foto waktu itu juga masih ada.
   ”Haaah, foto ini harusnya dibuang!” omelku seraya mencabut fotoku yang di pipisi Evan. Waktu itu, Tante Levana bilang anak pertamaku nanti cowok, hmmm… asal tidak serese Evan, tidak apa.
   Sekarang aku membuka buku album yang ketiga, tinggal satu buku album lagi yang belum aku buka. Buku album ketiga ini adalah foto pernikahan Tante Levana. Waktu muda, Tante Levana memang sangat cantik, sekarang pun tante Levana masih cantik. Pantas om Edward betah di rumah, aku baru sadar kalau tanteku itu cantik. Sekarang, aku akan membuka album terakhir. Wah! Di sini banyak foto-foto Ryo, Kakakku. Haha, fotonya waktu kecil lebih jelek daripada sekarang. Wajahnya mirip... mirip... mirip Boboho! Gendut! Aha! Aku punya ide!
   Aku mencabut foto Ryo dari album,”gue bakalan kasih ini ke Kelly, kalau dia macem-macem sama aku, hehe, jaga-jaga” tawa licikku mengambang di ruangan itu. Kelly adalah tunangan Kakakku. Aku heran sama Kelly, kenapa mau dengan Kakakku yang genit sama cewek? Mungkin, dia sudah kena jampe-jampe Ryo.
   Aku membolak-balik lagi buku album itu. Aku sudah menemukan bagian fotoku. Kebanyakan foto aku dengan Ryo atau sendiri, belum pernah aku menemukan foto aku dengan yang lain.
   Ada! Tapi, foto aku dengan Ratu, sepupuku. Aku terus membolak-balik buku album yang lebih besar dengan foto album lainnya. Eh, tunggu! Ini foto aku kan? Ini... foto aku sama... sama Ka Stuard! Cinta pertamaku!
   Aku menatap foto itu lekat-lekat dan berusaha mengingat wajah Shin-woo. Benar! Aku pasti tidak salah lagi! Shin-woo adalah Ka Stuard! Jadi... Shin-woo... dia... dia adalah... cinta pertamaku!
   ”Ka... Ka Stuard?” kataku masih ragu.
   Aku sudah ingat. Artinya, selama ini orang yang aku tunggu-tunggu kemunculannya sudah ada di hadapanku, dan aku tidak menyadari hal itu! Bodohnya aku sampai tidak menyadari kehadirannya. Apa saja yang aku lakukan selama ini? Kenapa aku sampai lupa nama korea Shin-woo? Kenapa aku tidak menyadari kalau Stuard dan Shin-woo adalah orang yang sama?
   Ah, perjodohan itu! Haaah, apa yang harus aku lakukan untuk menggagalkan perjodohan itu? Shin… maksudku Ka Shin-woo pasti akan marah kalau mengetahui hal ini.
   ”Kalo kita gak jodoh, nanti juga pasti putus sendirinya.” gumamku kepada diri sendiri.
   Bukannya aku pengin perjodohan ini karena sudah tahu yang dijodohkan denganku itu adalah cinta pertamaku, Ka Shin-woo, bukan! Sama sekali bukan! Aku hanya tidak mau menyakiti hati keluargaku dan keluarga Ka Shin-woo yang sangat bahagia kalau lagi membahas perjodohan ini. Lagi pula, aku takut hubungan keluargaku dan keluarga Park bakalan canggung setelah perjodohan ini batal. Egokah aku?
   Aku berjalan keluar menuju teras ruang keluarga. Aku melihat ke atas langit.
   Aaahhh... langit malam ini indah banget! Aku duduk di teras sambil memandang bunga-bunga. Rasanya aku jadi bunga, selalu bisa memberi warna pada dunia. Huh, sekarang, aku hanya bisa menyakiti hati orang yang aku sukai.
   Malam ini langit begitu cerah. Jalan-jalan! Ya, mungkin aku harus jalan-jalan untuk menenangkan perasaanku. Aku berlari mencari Ryo, kemudian mengajaknya jalan-jalan. Syukurlah dia mau di ajak jalan-jalan.
   Aku pamit sama keluargaku dan keluarga Park, aku pergi dengan Evan dan Ryo. Evan, kenapa bocah ini ikut? Rasanya aku jadi kembali ke masa kecil, lalu merengek-rengek supaya Evan tidak ikut. Aku males denger anak itu meledek aku yang buta arah. Huh, apa salahnya buta arah? Yang penting tidak buta huruf!
   ”Fem, kenapa lo bilang cuma jalan-jalan?” keluh Ryo.
   ”Kenapa?” tanyaku balik.
   Ryo mendecakkan lidahnya. ”Mumpung Stu-pid lagi koma, kita bisa pake mobilnya sepuasnya,”
   ”Kenapa? Ini kan memang jalan-jalan” jawabku.
   ”Aduuuh... kenapa gue punya adik telmi kayak gini?” sesal Ryo.
   Aku menendang kaki Ryo. Adik telmi? Enak aja!
   ”Aaah, kenapa kamu menendangku?!” teriaknya kesal sambil memegang lututnya.
   ”Aku gak telmi!” tandasku.
   ”Tapi lemot!” sahut Evan. Bocah ini!
   ”Hahaha, bocah aja tau kalo lo itu lemot...” tawa Ryo.
    Aku mempelototi Evan, bukannya takut, dia malah membalas mempelototi aku. Ikh, bikin kesel aja! Ryo menarik aku dan Evan, kami melanjutkan jalan-jalan. Udara malam di belanda membawa kesejukan tersendiri untukku. Aku melihat sekelilingku, malam-malam begini lebih banyak orang yang berjalan berpasangan daripada sendiri. Jadi iri!
   ”Kenapa berhenti?” tanya Ryo.
   ”Bonekanya lucu!” jawabku sambil menempelkan tanganku di depan kaca toko yang dipenuhi dengan boneka. Tapi, mataku hanya menjurus ke boneka panda.
   ”Ahh, entar aja! Gue buru-buru nih!” desak Ryo seraya menarik tanganku.
   ”Lo pengin kemana?” tanyaku.
   ”Gue pengin ngecengin cewek yang lewat tadi, mumpung di Belanda,” kata Ryo.
   ”Yee, nih anak!”
   ”Aku ikut, Ka!” Evan mengajukan dirinya.
   ”Kalo bawa Evan nggak pa-pa, tapi kalo bawa...” ujar Ryo sambil melirikku.
   ”Apa?” tanyaku kesal.
   Aku tahu maksudnya, kalau bawa aku pasti merepotkan, karena sering dikira pacarnya. Tapi, harusnya dia mikir juga, kalau bawa Evan apa tidak dikira bawa anak!
   ”Ya, sudah, kamu jangan kemana-mana, ya! Kalo pengin jalan-jalan nggak boleh jauh-jauh. Maksimal satu meter, oke!” Ryo mengingatkanku.
   ”Iya!” jawabku kesal.
   Ryo berlari menghampiri cewek bule yang diincarnya. Dasar cowok mata keranjang!
   Bilang saja tidak boleh bergerak dari tempatku sekarang, apa susahnya sih! Lagian satu meter mau kemana kalau begitu? Sama saja berjalan di tempat! Ah, tapi tidak apa-apa. Ini malah bagus, berarti aku bisa menengkan diriku. Syukur Evan ikut Ryo, coba kalau tidak.
   Aku memandangi sungai yang ada di depanku. Andai Shin-woo ada di sini, aku akan melakukan apa pun yang dia inginkan. Membatalkan perjodohan pun aku mau. Entahlah, aku ingin menghilangkan rasa bersalah ini, tapi tetap saja aku tidak mampu.
   Entah perahu keberapa yang lewat di depanku. Aku tidak memperhatikannya, yang jelas yang menaiki perahu itu kebanyakan orang-orang yang berpasangan. Kalau Shin-woo ada, apakah dia mau aku ajak naik perahu itu? Mungkin tidak.
   Shin-woo, sekarang dia pasti terbaring sendirian di dalam kamar. Dia pasti berharap ada seseorang yang menemaninya. Mungkin sebaiknya aku ke sana menemaninya. Iya, ini sudah tanggung jawabku untuk menemaninya.
   Aku memberhentikan taksi. Entah keberanian sehingga aku bisa mengatakan ke rumah saktit Monica dengan bahasa inggris pas-pasan. Ketika sampai, aku langsung berlari ke kamar Shin-woo.
   Entah kenapa hati ini merasa ada sesuatu dengan Shin-woo. Seakan-akan rindu merasuki hatiku. Aku benar-benar ingin bertemu dengan Shin-woo. Aku ingin menjaganya sampai di bangun dari komanya, sampai dia dapat memarahi diriku yang bodoh ini karena tidak membatalkan perjodohan. Shin-woo… aku rindu…
   BRRAAAAKKK
   Aku membuka pintu kamar Shin-woo. Shin-woo tidak ada! Shin-woo tidak ada di ranjangnya! Apakah mungkin Ka Shin-woo sudah…
   ”Ka Shin-woouu!!!” teriakku.
    ”Apa teriak-teriak?!”
   Suara itu?
   ”Ka Shin-woo!!!” teriakku seraya memeluk Shin-woo yang ternyata sudah siuman.
   ”Apaan sih?!” tanyanya sambil mencoba melepaskan pelukanku. Tapi, aku akan mempererat pelukan ini sampai aku yakin yang kupeluk ini adalah cinta pertamaku ang sudah siuman.
   Semoga ini bukan mimpi…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar