Laman

Pelangi is Rainbow

Minggu, 25 Maret 2012

My First


Eight

   Baru aja aku sampai ke kampus, teman-temanku langsung menyeretku ke papan pengumuman kampus. Kata mereka, ada berita heboh. Tapi, apa?
   Di depan papan pengumuman sudah dipenuhi oleh gerombongan mahasiswa. Mereka terlihat penuh antusias melihat papan pengumuman.
   ”Minggir, minggir!” kata Gebby sambil merentangkan kedua tangannya untuk membiarkanku berjalan di belakang Gebby.
   Aku melihat papan pengumuman. OMG!
Fr; P T-W
To; Femia Calandra
Femi dalam bahasa mesir berarti cinta. Calandra dalam bahasa Yunani berati kasih sayang. Di dalam namamu sudah menyiratkan isi hatiku. Femia Calandra, maukah kau jadi kekasih hatiku?







 
    A-Apa... Apa-apaan ini? Norak amat! Setelah sadar, aku langsung merobek kertas yang ada di papan pengumuman. Shock. Jiwaku sekarang shock berat! Ini memalukan! Seluruh mahasiswa pasti akan menggosipkan aku, dan aku tidak suka hal itu terjadi! Tidaaak!
   ”Siapa sih yang kurang kerjaan kayak gini?!” seruku.
   ”Jangan-jangan Shin-woo,” duga Pika.
   ”Mana mungkin!” sahutku. ”Dia itu gak punya sisi romantis! Apalagi melakukan hal seperti ini! dia pasti berpikir seribu kali!”tambahku.
   ”Apa yang tidak mungkin sih di dunia ini!” kata Icha.
   Tiba-tiba bahuku dirangkul seseorang. Di saat seperti ini Pika ingin bercanda! Tidak lucu!
   ”Apa-apaan sih, Pik?!” ujarku seraya melepaskan rangkulannya dan menoleh ke arahnya.
   OMG! Bukan Pika yang merangkulku tapi... Kevin! Aduuuh, kepalaku jadi pusing! Beberapa waktu lalu, Kevin ada di acara Shin-woo, sekarang Kevin ada di depanku. Ada apa ini?
   ”Sudah baca?” tanya Kevin dengan senyum yang merona.
   Aku mengernyitkan keningku, ”Baca?”
   ”Iya, yang di papan pengumuman tadi?” kata Kevin menjelaskan.
   Aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Otakku hari ini rasanya tidak bisa berjalan lancar seperti hari-hari biasanya.
   Kevin merangkulku. ”Itu isi hati aku ke kamu,”
   Aku langsung menoleh ke arah Kevin. Apa maksudnya dengan isi hatinya? Apa mungkin Kevin... ah, mana mungkin! Kami hanya kenal dalam beberapa kali pertemuan, mana mungkin ada rasa. Cinta pada pandangan pertama? Haha, itu kan ditujukan untuk cewek-cewek cantik. Bukan cewek biasa-biasa seperti aku.
   Kevin tersenyum dengan wajah polos seperti tidak merasa bersalah dengan apa yang telah dia perbuat kepadaku. Kali ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Sekarang, aku benar-benar tidak bisa berpikir. Semoga ini mimpi!
   Kevin melihat jam tangannya, ”Wah! Aku harus pergi mengurus kepindahanku... o, ya, aku tunggu jawabannya nanti sore, ya,” kata Kevin. ”Entar aku jemput kamu,” tambahnya seraya mencium pipiku.
   Dia mencium pipiku! Harusnya tadi aku menghindar! Aaaaakkkkh! Kenapa tubuhku selalu tidak bisa bergerak di saat kubutuhkan! Sepertinya, aku harus pergi ke psikiater! Aku sudah gilaaaaa! Iya, aku memang sudah gila, buktinya, sekarang aku tidak bisa mendengar apa yang dikatakan teman-temanku. Hwaaaaaaaa!
   Dari kejadian tadi, yang kira-kira sudah berlalu sekitar dua jam, aku masih aja belum bisa mencerna apa yang sudah terjadi. Kenapa Kevin sampai ada pindah? Oke, tidak masalah kalau dia pindah, tapi kenapa harus pindah ke INDONESIA?! Ini aneh! Kemana ada aku, di sana pasti ada Kevin. Apa mungkin... dia membuntuti aku? Mungkin, oh, tidak! Dia memang membuntuti aku! Buktinya, dia tau di mana aku kuliah! Tapi, untuk apa? Dia sudah tahu aku tunangan! Aneh! Untuk apa menyatakan cinta kepada orang yang sudah bertunangan?! Atau aku yang terlalu kegeeran?
  Aku mengacak-acak rambutku, mungkin saja ada jawaban yang jatuh bersamaan dengan jatuhnya ketombeku.
   Kelasku sudah selesai, tepat setelah selesai, Shin-woo menelponku, katanya dia akan menjemputku. Hehe, senangnya dijemput oleh tunangan sendiri. Shin-woo sekarang pasti lagi menungguku di depan kampus. Aih, senengnya! Yaaah, biar Shin-woo itu kasar, tetep aja dia perhatian sama aku.
   ”Sore, Pak!” sapaku ceria kepada Pak Maman yang lagi asyik melihat mahasiswa lalu lalang di depan gerbang.
   ”Sore, Non!” Pak Maman menyapa balik.
   Aku celingak-celinguk mencari mobil Shin-woo. Kok, tidak ada? Apa mungkin dia naik motor lagi? Tapi, motornya juga tidak terlihat. Tumben dia telat, biasanya setelah menelpon, dia sudah ada di depan gerbang dan selalu marah-marah kalau aku telat keluar walaupun satu detik.
   ”Femi!” sapa seseorang dengan menepuk bahuku. Aku tersentak kaget.
   Aku langsung menoleh ke arah orang yang menepuk bahuku. Kevin?
   ”Ini,” ujarnya seraya menyerahkan sebuket bunga mawar merah.
   ”Makasih, tapi, aku—”
   ”Sttt... terima aja,” potong Kevin dengan meletakkan jari telunjuknya di bibirku.
   ”Aku nggak bisa, Vin.” tolakku.
   ”Kaki pendek! Ngapain lo?”
   Shin-woo tiba-tiba datang dan langsung berjalan menghampiriku. Hhh, bagaimana ini?
   ”Gue... gue...” aku tidak tau harus berkata apa.
   ”Lo lagi, hah!” ucap Shin-woo setelah melihat Kevin ada di sampingku. Ucapannya lebih terdengar seperti keluhan.
   ”Kevin... kamu sudah tahu kan dengan tunanganku? Apa kamu lupa?” tanyaku dengan hati-hati.
   ”Tidak. Aku masih ingat! Ingat sekali!” jawab Kevin dengan menatap tajam Shin-woo. Tatapannya aneh. Padahal Kevin lagi tersenyum. Shin-woo juga aneh, dia menatap Kevin dengan tatapan aneh. Ada apa dengan mereka? 
   Daripada terjadi perang dunia ketiga, lebih baik aku berkorban nyawa.
   ”Shin-woo, pulang, yuk!” ajakku seraya menarik tangan Shin-woo.
   ”Hei, aku mau terang-terangan aja, deh. Kalo aku bakalan merebut Femi dari tangan kamu,” kata Kevin penuh percaya diri.
   ”Kevin!” seruku sambil melotot ke arah Kevin. Orang yang kuplototi malah tersenyum lebar. Aku langsung melihat Shin-woo. Mata Shin-woo terlihat seperti mengancam Kevin. Aaah! Kenapa jadi kayak gini!
   Aku menarik tangan Shin-woo lagi tapi, Shin-woo langsung melepaskan tangannya. Aaakkkh! Jangan-jangan dia marah. Bagaimana ini?!
   Aku masuk ke dalam mobil. ”Shin-woo, yang tadi jangan dipikirin,”
   Shin-woo diam tidak menjawab ucapanku. Aku jadi semakin takut kalau dia marah sama aku.
   ”Shin-woo... gue... gue sama sekali tidak tertarik dengan Kevin,”
    Shin-woo memalingkan wajahnya ke arahku sambil menyalakan mobil. ”Gue nggak peduli, lo mo tertarik atau apa, itu bukan urusan gue...”
   ”Kenapa?”
   ”Karena kita masih masa percobaan...” Shin-woo mulai menjalankan mobilnya. ”Mungkin ini tidak akan berhasil,”
   Kenapa kata-katanya kali ini sangat menyakitkan di hatiku? Aku kira selama ini, Shin-woo sudah mulai suka sama aku. Hhh, aku tidak berpikir kalau Shin-woo itu ternyata cuma memainkan perasaanku. Shin-woo cuma mencoba-coba dengan perasaanku. Harusnya sekarang aku marah. Harusnya sekarang aku kesal. Tapi... kenapa aku tidak bisa! Aku tidak dapat marah kepadanya!
   Shin-woo mengantarku sampai ke rumah, dia mampir ke rumahku, katanya untuk menjenguk Omaku yang sudah pulang dari Korea. Aku tidak menjamunya seperti biasa. Badanku rasanya sangat lelah dengan kejadian hari ini. Aku ingin berbaring dan tidur. Aku perlu mengistirahatkan otakku yang hari ini sedang berusaha mencerna apa yang terjadi. Semoga ini mimpi. Aku ingin terbangun dengan keadaan normal. Aku ingin semua kembali seperti biasa.

***
   Sudah hampir sepuluh hari aku tidak bertemu dengan Shin-woo. Aku tidak mau mengangkat telepon, SMS, atau menemuinya sejak mendengar ucapannya waktu itu. Aku tahu kalau aku salah, harusnya aku tidak melakukan hal ini. Lagi pula, yang menyetujui perjodohan ini aku, bukan Shin-woo.
  Aku terlalu pengecut untuk bertemu Shin-woo dan menghadapi ini semua. Aku terlalu takut kalau tiba-tiba nanti dia akan mengatakan kalau dia akan membatalkan perjodohan ini. Aku tidak ingin Shin-woo meninggalkan aku, aku tau aku ini egois. Tapi... aaakkkhhh! Ini sungguh membuatku gila!
   Dan satu lagi yang membuatku gila, Kevin. Sejak Kevin mengatakan kalau dia akan merebutku dari tangan Shin-woo, Kevin makin gentol aja deket-deket sama aku. Aku jadi merasa aneh dengan Kevin yang sekarang. Dia seperti orang asing bagiku, tidak seperti Kevin sang malaikat penolong yang aku kenal.
   Gilanya, Kevin sekarang kuliah di kampusku! Aku makin tidak percaya kalau ini adalah nyata. Kenapa Kevin suka dengan aku yang mempunyai wajah pas-pasan. Hhh... dan lagi, aku sering banget kena omel teman-temanku gara-gara Kevin. Kata mereka, aku harus tegas, milih Kevin apa Shin-woo, kalau masalah itu, jelas banget kan aku milih Shin-woo... lagi pula, tidak tegas gimana lagi coba, sudah berkali-kali aku bilang sama Kevin kalau aku ini sudah tunangan sama Shin-woo dan menyuruhnya untuk tidak mendekati aku lagi tapi itu semua tidak ada hasilnya. Entahlah, kepalaku sakit! Bisa botak kalau gini terus.

   Handphoneku sudah berkali-kali berbunyi, mungkin sudah berpuluh-puluh kali. Bisa ditebak siapa menelpon. Iya, benar. Kevin. Siapa lagi kalau bukan dia, aku jadi sebal. Nada, getar, sudah  kumatikan. Kalau aku matikan handphoneku, pasti pesan suara menumpuk. Hhh, aku harus bagaimana lagi agar Kevin tidak mengganggu hidupku.
   Akhirnya aku putuskan untuk mengangkat telponnya. Setelah, telpon yang ke 106. Fantastiskan?
   Aku membuka flap handphoneku dengan kesal dan menempelkan handphoneku ke telingaku. ”APA?”
   ”Wow, sabar, jangan galak... kayak bukan Femi yang kukenal aja,” katanya.
   ”Sori... maaf...” ujarku.
   ”Mau nggak jalan sama aku? Give me a chance, please,” ajaknya to the point.
   ”Lagi nggak mood,”
   ”Yaah... kalau gitu, aku ke rumah kamu aja,”
   ”Jangan!” kataku langsung.
   ”Kenapa?”
   ”Karena kamu nggak boleh... nggak boleh ke rumahku!”
   ”Tapi, aku sudah ada di depan rumahmu,”
   Di depan rumah? Gawat!
   ”Pokoknya, kamu nggak boleh ke rumahku!” seruku.
   ”Kalo gitu, kita jalan,”
   ”Nggak!”
   ”Kalo nggak, berarti aku boleh masuk ke rumahmu,”
   Hhh, orang ini benar-benar menyebalkan! Rasanya ingin aku bunuh! Aaakkkh!
   ”Iya! Baiklah!”
   ”Yes! Aku tunggu di depan, ya,” katanya ceria kemudian menutup telponnya.
   Kenapa Kevin sangat menyebalkan sekarang? Sungguh menyebalkan!
   Aku langsung keluar rumah, tanpa ganti pakaian. Lagi pula, bagi aku, ini bukan kencan atau apa. Aku celingak-celinguk mencari sosok Kevin. Hah, ternyata dia menipku, buktinya tidak ada sosok Kevin di depan rumahku.
   ”Ngapain celingak-celinguk kayak gitu?”
   Aku langsung memalingkan wajahku untuk melihat orang yang menepuk bahuku. Kevin. Ternyata memang ada. Hhh... aku sudah berharap kalau dia tidak ada.
   ”Cepat banget keluarnya,” katanya dengan tersenyum.
   Hhh, sebenarnya, senyum Kevin itu selalu membuatku lemah. Aku selalu gundah ketika melihat senyumnya. Senyumnya sungguh manis.
   ”Memangnya, aku harus ngapain lama-lama?” tanyaku ketus.
   ”Dandan,” jawabnya. ”Cewek kan kan suka dandan kalau ingin jalan apalagi kencan,”
   ”Hah, buang waktu. Lagian, aku kan cuma pengin jalan sama kamu,” sahutku.
   ”Suatu hari nanti, aku pasti akan membuatmu dandan untuk aku, di pernikahan kita,” kata Kevin penuh semangat.
   ”Jangan mimpi! Aku sudah punya tunangan tau!”
   ”Aku kan sudah bilang, bakalan rebut kamu dari cowok itu,”
   ”Terserahlah! Jadi nggak? Gue masih banyak kerjaan,”
   ”Iya, sini,”
   Aku berjalan sedikit menuju mobil BMW keluaran terbaru. Masih bening, pasti baru beli. Aku ini sepertinya perlu bersyukur memiliki dua cowok tajir yang menyukaiku. Hmmm, Shin-woo menyukaiku apa tidak ya? Termasuk daftar menyukaikukah dia? Sekarang, rasanya aku diemput oleh seorang pangerang berkuda putih. Aku selalu merasa seperti itu kalau di dekat Kevin.
   ”Kenapa bengong begitu? Kamu merasa seperti seorang putri yang sedang dijemput oleh pangeran tampan, ya?” tanya Kevin membuyarkan lamunanku seperti bisa membaca pikiranku.
      ”Ayo masuk,” ujarnya sambil memegangi pintu mobil.
   Aku masuk ke dalam mobilnya dan duduk kemudian memasang sabuk pengaman. Sementara itu, Kevin berlari kecil setelah menutup pintu mobilku, kemudian membuka pintu mobil yang lain dan duduk kemudian memasang sabuk pengaman. Sebelum menyalakan mobil, sempat-sempatnya dia menatapku lekat-lekat, membuatku salah tingkah saja.
   Di sepanjang perjalanan, aku sama sekali tidak menanggapi apa yang dibicarakan oleh Kevin. Aku cuma ingin hari ini berlalu dengan cepat. Aku sebenarnya tidak membenci Kevin. Tapi, aku sama sekali tidak suka dengan caranya yang tiba-tiba berubah menjadi cowok seperti ini dan dia tidak memberikan alasan kenapa dia menyukaiku.
   Kevin mengentikan mobilnya di basment mall. Kevin langsung membuka pintu mobil di sampingnya, kemudian berlari kecil setelah keluar dari mobil dan menuju pintu mobil di sampingku selagi aku melepaskan sabuk pengaman.
   ”Ayo,” ujar Kevin dengan tersenyum lebar.
   Aku keluar dari mobil Kevin. ”Makasih,”
   ”Je welkom,” sahutnya dengan tersenyum lebar.
   Aku diajak Kevin menjelajahi mall yang berada di kawasan Jakarta selatan. Jalan-jalan ke mall jadi mengingatkan aku dengan Shin-woo, kami sering jalan-jalan ke mall, yaah, biarpun dia berjalan di depanku, tidak sejajar denganku seperti Kevin sekarang, aku tetap bahagia. Berbagai pertanyaan mulai berterbangan di kepalaku: apakah Shin-woo akan cemburu melihatku jalan dengan Kevin? Apakah aku salah jalan dengan Kevin? Apa yang sedang Shin-woo lakukan? Rindukah dia denganku?
   ”Femi? Femi...?”
   Kevin membangunkan aku dari lamunanku.
   ”Ah, iya, ada apa?”
   Kevin meraih tanganku dan memegangnya. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi serius.
   ”Kali ini... kali ini, aku mohon... bukalah hatimu, buka hatimu agar kamu bisa melihat aku... agar aku bisa membuatmu menyadari aku ada... aku mohon,” mohon Kevin.
   Aku terdiam mendengar ucapannya. Aku harus jawab apa? Aku tidak pernah mendapat pernyataan cinta dari seorang cowok secara berhadapan seperti sekarang. Jantung berdegup kencang ketika Kevin menatapku penuh harap.
   ”Ngapain kamu di sini?”
   Shin-woo! Apa yang Shin-woo lakukan di sini? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Hah, rasanya aku ingin berteriak! Shin-woo menatapku dengan dingin, kemudian melihat tanganku yang sedang di pegang Kevin. Dengan cepat aku langsung melepaskan tanganku dari tangan Kevin.
   ”Shin-woo…” gumamku pelan.
   ”Shin-woo, ada apa?”
   Rissa? Kenapa…? Kenapa Rissa bisa bersama dengan Shin-woo? Apakah… apakah dia kencan dengan Shin-woo? Apakah mereka balikan? Tidak, Shin-woo tidak mungkin menghianatiku. Dia tidak mungkin melanggar janjinya untuk mencoba hubungan denganku.
   Aku memalingkan wajahku. Ini menyakitkan. Sungguh!
   ”Oh, kamu Femi! How are you?” tanya penuh keceriaan.
   Apa kabar? Di saat seperti ini dia nanya gimana kabarku? Cantik-cantik, kok, agak blo’on, sejalas-jelas kalau sekarang aku sedang memasang wajah paling suntuk sedunia. Apa dia tidak melihat?
   ”Baik,” jawabku jutek.
   ”Kelihatannya memang begitu.” katanya dengan senyum.
   Kalau saja wajah manusia bisa keluar segala benda, mungkin sekarang wajah Rissa akan penuh dengan bunga yang harumnya semerbak yang membuat orang flu bertambah dan aku pasti akan keluar duri kaktus, kalau saja itu terjadi, duri-duri kaktusku pasti saja kutancapkan ke wajahnya.
   ”Oh, ya, siapa dia?” tanya Rissa yang dari tadi memang memperhatikan Kevin yang juga sama-sama tersenyum.
   ”Oh, dia? Kenalin, dia Kevin, TEMAN SEKAMPUS gue,” jawabku dengan menekankan kata teman sekampus. Iya, tujuanku biar si jelek Shin-woo kalau aku HANYA berteman dengan Kevin.
   Rissa mengulurkan tangannya, Marissa Barclay, nice to meet you,”
  ”Just call me Kevin,” jawab Kevin seraya membalas jabat tangan Rissa.
”Hmm… sedang apa kalian di sini?” tanya Rissa lagi kepadaku.
”Sedang apa juga kalian di sini?” tanyaku balik tanpa menjawab pertanyaan Rissa.
”Aku minta temani Shin-woo membeli ini, pakaian,” jawab Rissa sambil menunjukkan tas pakaian yang ditenteng oleh Shin-woo.
”Oh,”
Aku memperhatikan belanjaan Rissa yang sangat banyak. Tapi, bukan itu masalahnya. Masalah bagi diriku adalah kenapa Shin-woo mau membawakan belanjaan Rissa?  Aku memang tidak pernah belanja pakaian dengan Shin-woo tapi, aku kecewa dengan sikapnya. Dia… dia… seolah mempermainkan aku.
   Rissa menggamit tangan Shin-woo, ”bagaimana kalau kita makan?”
   Shin-woo… dia tidak melepaskan gamitan tangan Rissa. Selama bersamaku, dia tidak pernah membiarkanku menggamit tanganku, kecuali di acara pertemuan itu. Ugh! Dadaku terasa sesak.
   ”Baiklah,” kata Kevin.
   Kami berjalan menuju kaffé di mall. Aku duduk berhadapan dengan Rissa. Rissa terlihat ceria dan cantik hari ini. Aku melirik sekilas ke arah Shin-woo, dia tidak melakukan apa-apa selain diam. Tapi, setiap kali Rissa bertanya dengan suara manjanya, dia merespon. Aku tidak tahan! Aku tidak sanggup melihat Rissa dan Shin-woo bermesraan di depanku.
   ”Selamat datang, mau pesan apa?” tanya pelayan.
   ”Aku ingin pesan lemon juice aja, kalau Shin-woo biasanya suka black coffe, iya kan?” kata Rissa seraya menggamit tangan Shin-woo.
   ”Kalau kamu?” tanya Rissa kepadaku.
   Aku berdiri dari kursiku, ”Aku ingin pulang!”
   Rissa tertawa, ”tidak ada di dalam menu aku ingin pulang,”
   Aku tidak mendengarkan ocehan Rissa. Aku berlari keluar kaffé. Aku sudah tidak tahan melihat Shin-woo. Aku cemburu. Inikah rasanya cemburu? Sesakit inikah rasa cemburu?
   Aku berlari menuju pintu keluar. Hujan. Kenapa saat seperti ini tidak ada taksi! Hhh… rasanya, aku ingin berteriak ”mana taksiiiiii!” tapi, tenagaku tidak cukup kuat untuk berteriak. Aku tetap berlari meskipun hujan membasahi tubuhku. Semoga saja dengan ini bebanku berkurang.
   Aku terus berlari dan berlari sampai akhirnya aku terjatuh. Lututku terluka. Aku mencoba bangun tapi, kaki sepertinya terkilir. Air mataku… air mataku keluar, memalukan! Sebegitu cengengnya aku, untuk hal seperti ini saja aku menangis? Badanku mungkin terluka, tapi, ini tidak sesakit hatiku. Sungguh, ini benar-benar sakit. Aku tidak sanggup.
   Sebuah mobil berhenti di sampingku. Aku tidak ingin tahu siapa yang datang. Aku tidak ingin kalau yang datang itu bukan Shin-woo. Tapi, aku tidak ingin melihat Shin-woo di saat aku begitu menyedihkan seperti ini.
   Orang itu langsung menggendongku, aku melihat baju yang orang itu. Ini baju Shin-woo. Aku… aku tidak ingin Shin-woo melihatku seperti ini!
   ”Turunkan aku!” seruku sekuat tenaga.
   Dia tidak menurunkan aku, dia berjalan menuju mobil.
   ”Turunkan aku! Turunkan aku! Tolong, turunkan aku!” kataku melemah.
   Dia memasukkan aku ke dalam mobilnya. Sekarang, aku hanya bisa menangis. Aku terlalu memalukan!
   Shin-woo menghidupkan mobilnya dan menjalankannya. Selama di mobil kami berdua tidak berbicara. Tidak ada topik untuk dibicarakan. Aku tidak ingin dia melihat keadaanku yang memalukan dan aku tidak ingin menatapnya karena itu hanya akan membuatku menangis. Aku sedih melihatnya dengan wanita lain tapi, aku tidak mampu membencinya. Rasa ini sangat dalam, aku tidak mengerti.
   Aku memperhatikan jalan dan aku tersadar. Jalan ini… jalan ini menuju apartement Shin-woo, bukan ke rumahku. Kenapa dia membawaku ke apartementnya? Apa mungkin dia ingin mengambil barang-barangku yang ada di rumahnya kemudian memutuskan hubungan denganku? Tidak! Memikirkan saja membuatku sakit.
   Shin-woo menghentikan mobilnya ketika di dalam basement. Shin-woo membukakan pintu mobil untukku, tapi ketika aku menginjakkan kakiku ke tanah, keseimbanganku hilang karena kaki terlalu sakit. Shin-woo menahan tubuhku. Aku melepaskan tanganku dan bertumpu pada pintu mobil Shin-woo.
   ”Aku mau pulang, tidak perlu mengantarku, aku masih bisa berjalan. Kalau pun tidak mampu berjalan, aku bisa ngesot,” kataku dingin.
   ”Apa?”
”Apa harus aku ulangi lagi? Aku ingin pulang, aku lelah,” kataku.
Shin-woo mengacak-acak rambutku yang basah, ”Gadis bodoh! Apa kamu mau aku kena marah orang tuamu?” tanya Shin-woo.
   Aku menjauhkan tangannya dari kepalaku. ”Itu bagus. Hubungan kita tidak akan berhasil, itu katamu,”
   Shin-woo tersentak mendengar ucapanku.
   ”Waktu itu aku emosi…” ujar Shin-woo. Saat dia mengucapkan kata-kata itu sungguh pelan dan penuh penyesalan, sungguh!
   Aku diam. Aku menyadari dari sorot matanya dia tidak berbohong. Aku merasa kasihan melihatnya seperti orang bersalah.
   Tiba-tiba Shin-woo menggendongku.
   ”Apa yang kau lakukan?” tanyaku cemas.
   ”Aku harus menyembuhkan kakimu sebagai tanda maafku,” jawab Shin-woo sambil cengengesan.
   Cepat sekali sikapnya berubah.
   ”Turunkan aku, aku bisa berjalan sendiri,” pintaku.
   ”Kalau tidak bisa berjalan kamu bakalan ngesot?” tanyanya seolah meledek kata-kataku yang kuucapkan tadi. ”Ah, sudahlah jangan banyak bicara,”
   Shin-woo membawaku ke apartementnya. Syukur apartement tidak seramai pasar, coba kalau seramai pasar, kami pasti sudah menjadi sorotan warga.
   Shin-woo membantuku duduk. ”Badanmu berat. Seperti membawa kebo,” ledeknya seraya berjalan menuju kamar mandi.
   ”Siapa suruh menggendongku,” sahutku tidak terima.
   ”Keringkan tubuhmu,” kata Shin-woo seraya memberikan sebuah handuk.
   ”Mau kemana?” tanyaku kepada Shin-woo.
   ”Mandi. Di lemari, ada pakaian, pakai bajuku saja, dalamnya… ada di bawah lemari itu!” kata Shin-woo dengan menujuk lemari yang dimaksudnya.
   Aku mengangguk lemah. Aku mencium handuk yang diberikan Shin-woo. Bau Shin-woo. Aku mengeringkan rambutku, setelah itu, aku berjalan menuju lemari Shin-woo. Banyak sekali baju Shin-woo. Aku mengambil kemeja putih milik Shin-woo, kemudian celana pendek miliknya. Sebelum kupakai, aku membuka laci lemari yang di tunjuk Shin-woo tadi. Pakaian wanita? Buat apa dia menyimpan pakaian dalam wanita? Apa mungkin pakaian dalam wanita yang pernah dia tiduri? Tidak, itu tidak mungkin, pakaian dalam ini masih baru.
   Aku memakai pakaian dalam itu. Aku membuang prasangka buruk yang ada dalam pikiranku. Nanti, aku tanyakan saja. Aku keluar dari kamar Shin-woo dengan jalan tidak seimbang. Shin-woo sudah ada di depan pintu dengan sebuah baskom dan handuk kecil.
   Shin-woo langsung meraih tanganku. ”Hati-hati,” kata Shin-woo.
   ”Makasih,” ucapku seraya duduk di sofa tempat Shin-woo menonton televisi.
   ”Mana kakimu, biarku kompres,” kata Shin-woo.
   Aku mengulurkan kakiku. Shin-woo mengolesi lututku dengan obat merah kemudian megompres kaki kiriku yang terkilir. Aku mengiris sakit. Entah kenapa hatiku yang tadi terasa sakit, kini berubah menjadi damai. Mudah sekali aku memaafkan Shin-woo, aku jadi tidak mengerti, inikah cinta?
   Shin-woo duduk di sampingku. Aku menunduk tidak mau menatap Shin-woo, keadaanku sekarang terlalu memalukan untuk dilihat. Aku dan Shin-woo hanya diam. Entah apa yang dipikirkannya sekarang.
   ”Apa yang kamu lakukan dengan Kevin hari ini?” tanya Shin-woo.
   ”Tidak ada, hanya jalan-jalan,” jawabku lemah.
   ”Kenapa dia memegang tanganmu?” tanya Shin-woo lagi.
   ”Kenapa kamu mengizinkan Rissa menggamit tanganmu?” tanyaku balik.
   ”Entahlah, aku tidak menyadarinya…”
   ”Begitu pula aku!” potongku. ”Aku tidak sadar Kevin memegang tanganku. Apa kamu cemburu?” tanyaku.
   ”Iya, aku cemburu,” jawab Shin-woo.
   Aku langsung menunduk malu.
   Shin-woo mengangkat daguku. Aku memalingkan wajahku. Aku tidak ingin dia menyadari kalau aku sedang malu, aku juga tidak sanggup menatp wajahnya krena jantungku akan berdetak cepat dan itu membuatku susah bernapas.
   ”Apakah aku yang tidak pantas untukmu? Apakah aku yang terlalu egois?” tanya Shin-woo.
   Aku tidak menjawab pertanyaan Shin-woo. Tenggerokanku terasa kering ketika mendengar ucapan Shin-woo. Aku tidak percaya kalau Shin-woo mengucapkan hal ini! Ini berarti… Shin-woo menyukaiku!
   ”Femi… haruskah aku menghindarimu? Sungguh, aku tidak ingin mencobanya, tapi ketika aku melihatmu terluka. Di sini… di sini terasa sakit…” ujar Shin-woo dengan meletakkan tangannya di dada. ”Aku sepertinya jatuh cinta padamu lagi,” tambahnya setelah diam beberapa saat.
  Aku hanya bisa diam. Perasaanku sekarang tidak karuan. Ketidak percayaan mendominasi hatiku. Oh, Tuhan!
  ”Aku… aku… takut…” kataku lirih
   Shin-woo langsung memelukku. ”Apa yang kamu takutkan?”
   Aku mempererat pelukan Shin-woo. Aku tidak ingin pelukan ini lepas, aku ingin waktu berhenti. Aku ingin selalu seperti ini… bersama Shin-woo.
”Aku takut kamu meninggalkanku,” jawabku.
”Tidak akan,”
   Shin-woo melepaskan pelukkannya. Dia mengecup keningku. Aku merasakan lagi perasaan ini. Perasaan hangat dan kuat. Shin-woo, dia cinta pertamaku. Aku rindu dirinya. Aku menatap Shin-woo. Dia juga menatapku, tatapannya sungguh hangat. Tuhan, aku ingin Shin-woo seperti ini. Aku ingin selalu seperti ini, aku ingin dia… menjadi jodohku. Dengarlah, aku Tuhan.
   Shin-woo memelukku lagi. ”Jangan pergi dariku. Tetaplah lihat aku sampai hatiku sepenuhnya menjadi milikmu. Aku mohon, bertahanlah dengan semua ini… mungkin besok dan besok dan hari-hari lainnya akan menjadi hari yang lebih sulit,”
   Aku mengangguk. Shin-woo berusaha membuka hatinya untukku, dan sekarang aku harus berusaha masuk ke dalam hatinya. Kami harus saling percaya antara satu sama lain. Apa pun yang terjadi, aku akan berusaha tetap di sisi Shin-woo.
   ”Maukah kamu menginap malam ini?” tanya Shin-woo.
   Aku mengangguk. Shin-woo tersenyum. Jantungku… jantungku berdebar kencang lagi. Sungguh, rasanya sangat bahagia.
   ”Aku sudah menyiapkan makanan, sekarang, ayo kita makan,” ajak Shin-woo.
   ”Iya!” kataku kencang.
    Shin-woo hanya tersenyum melihat sifatku yang sudah kembali ceria. Hanya dia yang bisa mengembalikan senyumku. Hanya Shin-woo.
   Setelah makan, aku dan Shin-woo menonton film-film yang ingin aku dan Shin-woo tonton. Walaupun, sekali-kali dia mengerjai aku, aku tidak marah, justru aku bahagia, karena hubungan kami bertambah erat. Aku semakin mengenal Shin-woo dan aku ingin mengenalnya lebih jauh.
   Waktu berlalu dengan cepat. Berbagai hal kami lakukan, mulai karaoke bersama, main monopoli, mencuci piring, membersihkan ruangan apartementnya yang luas, bahkan kami sudah berfoto bersama. Aku sudah melakukan yang ingin aku lakukan dengan Shin-woo malam ini, aku tidak butuh apa-apa sekarang selain waktu berhenti. Ya, memang terdengar klasik dan egois tapi, itulah perasaanku sekarang.
   Oh, ya, aku sudah menanyakan kenapa dia memiliki pakaian dalam wanita. Ternyata, nenek Park menyimpannya untukku. Kata Nenek Park, kalau aku tidak memakai pakain dalam ke sini. Aduh, buat apa kau ke rumah Shin-woo tanpa pakaian dalam? Haha, ada-ada saja Nenek Park itu.
   Sekarang, sudah jam sepuluh malam, mataku sudah terasa berat. Aku lelah. Aku meminta izin kepada Shin-woo untuk tidur. Dia mengantarkan aku ke kamar utama kedua.
   Apartement Shin-woo memiliki dua kamar utama, dan satu kamar tamu. Kamar kedua rencananya buat nenek Park, berhubung Nenek Park tidak ada, aku disuruh Shin-woo tidur di sana. Shin-woo membantuku berjalan dan membukakan pintu untukku. Hari ini, dia baik sekali.
   ”Kamu tidak tidur?” tanyaku kepada Shin-woo setelah duduk di tempat tidur.
   Kamar kedua ini, di cat kelabu dan berkesan klasik, berbeda dengan kamar Shin-woo yang berkesan cowok.
   ”Masih ada yang harus aku kerjakan, tapi, kalau kamu mau aku tidur, aku bisa tidur di sini bersamamu,” jawabnya dengan senyum menyebalkan.
   ”Hahaha, terima kasih!” sahutku sebal.
   ”Ya, sudah, istirahatlah,” kata Shin-woo seraya berjalan keluar kamar.
   Aku menatap belakang Shin-woo. Walau dari belakang, dia tetap terlihat gentle, dan tampan.
   Belum sempat aku terbaring, Shin-woo tiba-tiba membuka pintu kamarku dan berlari ke arahku kemudian memelukku.
   ”Ada apa?” tanyaku kaget.
   ”Kalau kamu terbangun… berjanjilah… jangan tinggalkan aku,” katanya.
   ”Apa?”
   ”Berjanjilah.” katanya setengah mendesak.
   Aku mengangguk. ”Iya,”
   Shin-woo mempererat pelukkannya. Setelah beberapa saat, dia melepaskan dan menatapku, wajahnya mendekat ke wajahku. Tubuhku… tubuhku terasa membeku. Jantungku… jantungku berdetak sangat cepat. Bibir Shin-woo menyentuh bibirku. Ciuman pertamaku.
   ”Itu sebagai jaminan,” kata Shin-woo seraya meninggalkanku yang terdiam tak percaya. Oh Tuhan!
   Shin-woo… Shin-woo… Dia menciumku! I can’t belive this!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar