Laman

Pelangi is Rainbow

Minggu, 25 Maret 2012

My first

Five

   Shin-woo sudah sadar dari komanya, dia sudah tahu kami akan ditunangkan. Awalnya, dia lumayan kaget mendengar hal itu tapi, tidak sekaget mendengar aku dan dia akan dijodohkan. Oh, ya, pernikahan kami dimundurkan dua bulan karena Shin-woo bilang terlalu cepat pernikahannya, dia ingin mengenal aku lebih dalam, katanya. Hoho, waktu itu rasanya aku ingin terjun dari lantai 9, saking tidak percayanya dengan apa yang aku dengar. Masa lajang empat bulanku, mari kita bersenag-senang!
  ”Kenapa sih lo tadi gak nolak?” tanya Shin-woo setengah membentak.
   Kok, aku dibentak-bentak? Aku kan tidak sepenuhnya salah! Kalau tidak mau pergi mengantarku kenapa tadi tidak nolak aja. O, ya, hari ini aku disuruh ke toko baju buat beli gaun pertunangan, soalnya, Mama lupa bawa gaun pertunangan dari rumah. Makanya, hari ini aku disuruh ke toko baju.
   ”Kakak kan tadi juga ada di sana, kenapa Kaka gak nolak?” tanyaku balik.
   ”Gue sudah sering nolak, lo aja yang nggak pernah!” jawabnya tetap fokus sama jalanan.
   ”Yang ikhlas, dong, Ka!”
   ”Gimana mo ikhlas, kerjaan gue jadi berantakan gara-gara lo! Emang lo pikir gue nggak ada kerjaan apa?!” hardik Shin-woo.
   ”Kayak artis aja,” gumamku.
   ”Gue cuma nganterin sampe toko baju aja. Lo pilih, entar gue jemput kalo sudah,” ujarnya.
   ”Nggak bisa kayak gitu, dong, Ka!” protesku.
   ”Gue nggak mo tau!” katanya.
   ”Gimana mo manggil Kaka, kalo Kaka nggak ada di tempat,” sahutku.
   ”Lo punya handphone kan? Tau fungsinya kan?” tanyanya.
   ”Iya, trus?” tanyaku balik.
   ”Ya, gunain fungsinya!” jawabnya setengah membentak.
   ”Aku kan nggak punya nomor Kaka,” sahutku pelan.
   ”Punya otak kan?! Yaa, carilah! Dan satu lagi, jangan panggil gue Kaka!” balasnya dengan nada tinggi seraya menghentikan mobilnya karena lampu hijau.
   Entah kenapa hatiku rasanya sakit ketika mendengar ucapannya yang kasar. Aku memang tidak pantas untuknya, dia tidak akan pernah melihatku walau sedetik. Aku langsung membuka pintu mobil dan berlari entah kemana.
   ”Calandraaa!” teriak Shin-woo memanggilku.
   Kesabaranku kan ada batasnya! Aku manusia biasa! Aku juga punya hati! Aku tidak ingin diperlakukan seperti aku tidak mempunyai perasaan. Aku terus berlari. Tunggu, aku mau kemana? Aku kan tidak tahu jalan pulang! Kesasar lagi deh! Ah, ada taman! Aku ke sana aja dulu, kalau dia care sama aku, dia pasti mencari aku.
   Huaaaaa! Sudah sejam aku di sini! Shin-woo memang tidak peduli sama aku! Sepertinya, memang harus dibatalin aja pertunangan ini, daripada setelah menikah aku bercerai dan aku jadi janda cerai. Tidak keren banget kan jabatannya. Tapi, gimana cara bicara sama keluargaku dan keluarga Park? Jangan-jangan setelah aku ngomong,” aku pengin perjodohan ini tidak terjadi”, aku langsung dibantai Tante Levana dengan bulldog. Tamatlah riwayatku!
   ”Hei, leuke dame!” sapa seseorang.
   Sepertinya, aku kenal dengan suara itu. Aku mengangkat kepalaku. Kevin!
   ”Hei!” sapaku balik seraya bangkit dari dudukku.
   ”Apa kabar, Femi?” tanya Kevin dengan senyum yang selalu saja membuat aku terbuai.
   Dia ingat namaku! Yes! Ini namanya, cinta bersemi di Belanda.
   ”Ba... baik, kamu?” tanyaku gugup.
   ”Fine, kesasar lagi?” tanyanya balik.
   Aku cuma meringis.
   ”Nanti aku antar, tapi, setelah kamu mau menceritakan apa masalahmu,” katanya.
   Aku langsung menoleh ke arahnya. Kok, dia tau kalau aku ada masalah? Apa mungkin selama ini dia membuntutiku karena jatuh cinta pada pandangan pertama melihatku? Haha, konyol amat!
   ”Ta... tau darimana kalo aku ada masalah?” tanyaku heran.
   ”Dari wajahmu yang tadi murung. O, ya aku mahasiswa jurusan psikologi,” jawabnya.
   ”Oooh...” sahutku sambil mangut-mangut.
   ”Mau?” tanyanya sambil menyondorkan kopi kaleng.
   ”Makasih,” jawabku seraya menyambutnya.
   ”Sama-sama,” sahutnya.
   ”Ini. makasih banyak,” kataku seraya melepas syal yang ada di leherku. ”Syal ini, selalu kubawa, soalnya, waktu itu aku tidak sempat mengembalikannya,”
   ”Oh, tidak apa-apa, ambil aja,” ujar Kevin sambil mengembalikan syalnya ke-aku.
   ”Tidak. Makasih. Aku sudah beli pakaian. Ini hangat,” sahutku sambil merapatkan sweaterku.
   ”Ya, sudah.  Sama-sama. Aku tidak mungkin memaksa wanita seimut kamu,” katanya.
   Ah, aku dibilang imut! Wajahku jadi terasa panas. Kenapa sih aku harus diberi godaan yang begitu menggoda seperti ini?! Andai aja yang memuji aku Shin-woo, aku pasti sudah terbang kelangit ketujuh. Kok, aku mikirin cowok menyebalkan itu sih? Merusak suasana aja!
   ”Bisa aja,” sungutku.
   ”Aku selalu ke sini kalau lagi bad mood,”
   ”Artinya, Kevin sekarang lagi bad mood?”
   ”Iya. Aku lagi ada masalah dengan keluargaku.”
   ”Aku juga,”
   ”O, ya? Kenapa? Biar aku tebak. Kamu... emmm, kamu lagi marah sama seseorang!” tebaknya.
   ”Wah! Kok, tau! Iya, aku lagi marah dengan orang yang akan ditunangkan sama aku,” ujarku.
   ”Kalau aku, kesal sama orang tuaku yang akan bercerai,” ujar Kevin sambil menatap bangku di depan kami dengan tatapan kosong.
   Aku dan Kevin akhirnya saling curhat, padahal aku dan dia sama-sama tidak kenal lama. Tapi, ketika berbicara dengan Kevin, aku merasa seperti bertemu dengan teman lama dan saling curhat-curhatan. Mungkin, karena Kevin calon psikologi, jadi rasanya nyaman curhat sama Kevin.
   ”Mungkin awalnya susah, tapi asalkan kita berusaha, pasti semuanya berjalan lancar,” kata Kevin menyemangatiku.
   ”Kamu juga, kamu pasti bisa melewati ini. Semangat!” ujarku seraya mengepalkan tangan kananku.
   ”Iya!” Kevin ikut-ikutan mengepalkan tangan kanannya. ”Kamu, dan aku pasti bisa!”
   Aku mengangguk kencang. ”Iya!”
   ”Aku antar pulang, ya!” tawar Kevin setengah memohon.
   ”Boleh!” sahutku langsung.
   Aku berjalan sejajar dengan Kevin. Jalanku terasa tidak seimbang, soalnya tadi aku memaksa memakai sepatu high heels sepuluh senti. Kata orang kaki akan terlihat lebih jenjang kalau kita memakai sepatu yang tinggi, tapi, kok, rasanya nyiksa banget! Jalannya licin lagi.
   ”AAAAAA!” teriakku ketika tergelincir.
   Hah?! Syukur Kevin menolongku. Dia memegang pinggangku supaya aku tidak jatuh. Aku rasanya seperti ditolong pangeran berkuda putih.
   ”Oh, ma... makasih.” ucapku seraya berdiri dan membenarkan pakaianku.
   ”Tidak apa-apa, kamu nggak apa-apa kan?” tanya Kevin.
   Wajahku pasti memerah. Ikh, malunya! Tadi, wajah Kevin deket banget sama wajah aku. Wajahnya sangat tampan kalau dilihat dari dekat, Shin-woo juga gitu, dia lebih tampan kalau dilihat dari dekat. Akh, kok, jadi mikirin dia lagi sih!
   ”Iya. Maaf sudah nyusahin,” jawabku.
   ”FEMI!”
   Shin-woo? Ah, gawat! Apa mungkin dia melihat aku ditolong Kevin tadi? Kalau dia salah sangka gimana? Tidak mungkin! Dia kan tidak punya rasa sama aku.
   ”Shin-woo!”
   ”Calon tunanganmu? Senang bert...”
   Shin-woo menarik tanganku dengan kasar dan membawaku pergi. Aku membalikan badan dan mengucapkan maaf lewat bahasa mulut karena tanganku ditarik Shin-woo. Kevin melambaikan tangan sambil tersenyum lebar. Wajah Shin-woo memerah. Marahkah dia? Tidak mungkin, untuk alasan apa dia marah kepadaku.
   ”Shin-woo, sakit!” ujarku.
   Shin-woo tidak menghiraukan kata-kataku, dia terus menyeret tanganku.
   ”Shin-woo sakit!” ujarku mencoba melepaskan tanganku. ”Kamu kenapa sih?!” tanyaku kesal.
   Shin-woo melepaskan tanganku. ”Puas?!” teriaknya.
   ”Apa?! Salahku apa?! Kenapa kamu senang sekali membentaku seolah aku tidak mempunyai perasaan!” kataku dengan nada tinggi.
   ”Salah lo? Salah lo sama laki-laki itu!” jawabnya dengan nada tinggi.
   ”Hah, apa urusanmu?! Apa?! Kamu tidak pernah menyukaiku!” sahutku.
   ”Kamu yang membuat semua ini! Aku kira kamu berbeda dengan wanita lain! Aku kira kamu lebih baik, ternyata aku salah, kamu sama saja dengan yang lain! A liar!”
   PLAAAKKK
Tanpa sadar lagi aku menampar Shin-woo. Harusnya aku tidak melakukannya tapi, wajar aku menamparnya, aku sudah terlalu kesal... aku sudah tidak sanggup mendengar kata-katanya yang terlalu meremehkan aku.  Dia kira aku benda yang tidak memmpunyai hati!
   ”Perlu kamu tau, tadi itu temen aku! Dia nolong aku yang pengin jatuh! Kalo kamu ada di sana, mungkin kamu tidak akan menolong aku seperti dia!” ujarku seraya berjalan meninggalkannya.
   Aku menyeka air mataku. Untuk apa aku menangis? Harusnya aku tidak boleh nangis! Aku cewek yang tegar. Tapi aku bukan nangis karena kata-katanya yang kasar, aku nangis karena Shin-woo yang aku kenal sudah berubah menjadi orang yang kasar dan tidak mengerti perasaan orang lain lagi. Dia sudah berubah.
   ”Femi!” seru Shin-woo seraya menarik tanganku.
   ”Lepasin!” ucapku dengan mencoba melepaskan tanganku.
   ”Tidak!” ujarnya seraya menarik tanganku sehingga badanku ikut tertarik. Dia langsung memelukku dengan erat. Jantungku jadi berdebar dua kali lebih cepat, tapi kesalku masih terlalu besar untuk itu.
   ”Lepasin!” teriakku.
   ”Gue minta maaf.” ucapnya lirih.
   ”Lepasin!” ujarku lemah.
   Shin-woo memelukku lebih erat. Napasku jadi sesak karenanya.
   ”Gak seharusnya gue bicara kayak gitu sama lo,” ujarnya. ”Gue juga gak ngerti kenapa gue tadi marah banget sama lo,” tambahnya.
   Aku tidak menjawab kata-katanya malah aku tangisku tambah kencang. Kenapa aku cengeng banget?! Entah mengapa, mendengar ucapannya membuat hatiku nyaman.
   ”Lo pengin gak jalan-jalan sebentar sama gue?” tanyanya.
   Aku menganggukkan kepalaku. Shin-woo melepaskan pelukannya dan menatapku lekat-lekat, kali ini aku merasa hangat dengan tatapannya. Shin-woo menyeka air mataku dan kemudian tersenyum. Ini pertama kalinya aku melihat dia tersenyum sejaka bertemu. Dada ini terasa sesak saking bahagianya.
   Di sepanjang jalan, tangan kami berpegangan. Shin-woo membawaku ke pinggir sungai. Dia tau apa yang ingin aku lakukan selama ini! Ketika masih kecil, aku sangat suka melihat sungai yang ada di belanda. Rasanya, sungguh indah, dan aku pernah mengatakan kepada Shin-woo kalau suatu hari nanti aku diajaknya melihat sungai. Mungkinkah dia ingat?
   ”Gue nggak ingin dikhianati, karena gue tau rasanya seperti apa,” ujar Shin-woo membuka pembicaraan.
   ”Aku nggak maksud gitu. Maaf,” kataku.
   ”Nggak usah minta maaf kalo lo nggak salah,” sahut Shin-woo.
   ”Setidaknya, aku punya rasa bersalah karena sudah bikin kamu marah,” jawabku dengan tersenyum lebar.
   ”Kalo gue jadi lo. Gue pasti langsung pulang ke rumah trus minta keluarga gue batalin perjodohan,” katanya.
   ”Kamu pengin aku batalin perjodohan ini?” tanyaku seraya memalingkan wajahku.
   Shin-woo tertawa sambil mengacak-acak rambutku. ”Jangan! Kita jalani dulu, kalau pun tidak cocok, kita cari jalan keluarnya,”
   Shin-woo tertawa! Baru kali ini aku liat dia tertawa seperti itu. Kenapa jantung ini semakin berdebar saat melihat orang yang kita suka tertawa? Perasaan yang ada di hati ini susah untuk diungkapkan.
   ”Femi, maaf sudah bentak lo di mobil. Gue ada masalah sama perusahaan,” ucapnya dengan menatapku dalam-dalam.
   ”Nggak pa-pa,” jawabku dengan tersenyum.
   ”Lo manis!” pujinya pelan.
   Tadi dia bilang aku manis kan? Aku tidak salah dengar kan?
   ”Apa?” tanyaku.
   ”Apa?” tanyanya balik dengan wajah polos.
   ”Tadi bilang aku manis kan?” tanyaku memastikan.
   Dia malah ketawa. ”Mana mungkin!”
   ”Bohong!” seruku.
   ”Buat apa bohong? Lagian apa gunanya muji lo!” sahutnya.
   Aku cemberut. Dasar nyebelin!
   Shin-woo mendekatkan wajahnya ke wajahku. Apa dia mau menciumku? Eh, tidak. Haha, dasar otak mesum!
   ”Aku dari dulu...” bisik Shin-woo di telingaku tapi tidak terdengar karena ada mobil pemadam lewat.
   ”Apa?! Nggak kedengeran!” kataku.
   Dia tersenyum licik. ”Tidak ada kata dua kali dalam kamus Park Shin-woo!” sahutnya.
   Aku melihatnya dengan wajah cemberut. Untuk kali ini, aku maafkan dia karena sudah bikin hati aku bahagia. Tapi, lain kali, lihat aja!
   ”Sini!” ujarnya seraya menarik tubuhku dan memelukku.
   Jantungku! Jantungku mau lepas! Seseorang tolong telepon ambulan! Kalau begini terus, aku bakalan mati muda. Ini bukan mimpi, kan? Sekarang aku yakin, aku memang menyukai Stuard atau Shin-woo, cinta pertamaku. Tidak, aku mencintainya. Aku tidak akan melirik laki-laki lain selain dia.
   ”Hanya kali ini... gue benar-benar ingin kembali ke masa kecil...” ujarnya. ”Kita harus mencoba... kita tidak akan tau kalau tidak mencoba...” tambahnya.
   ”Mencoba?” tanyaku.
   ”Iya. Perjodohan...” jawabnya dengan mempererat pelukannya.
   ”Emmm... iya!” sahutku.
***

   Tiga hari telah berlalu, hari ini adalah hari yang membuatku berdebar-debar. Iya, hari ini adalah hari pertunanganku. Hari dimana sejarah cintaku yang penuh dengan kesendirian dan keinginan akan dicintai dan mencintai orang lain sudah tiada. Sungguh, aku sangat bahagia! Rasanya aku ingin tertawa dan menangis bahagia.
    Aku duduk di depan cermin sambil memperhatikan wajahku yang dirias oleh perias yang katanya paling propesional di Belanda. Aku akui hal itu, baru dipoles-poles sedikit, aku kelihatan sudah berubah jadi makhluk lain yang lebih cantik daripada dulu.
   Tok… tok… tok…
   ”Mama masuk, ya?” izin mama.
   ”Iya,” jawabku.
   Aku melihat mama terdiam lewat cermin besar di depanku.
”Kenapa, Ma?” tanyaku.
”Ah, kamu cantik, Fem!” seru Mama.
   ”Benarkah?” sahutku.
   ”Iya, mama tadinya sempat ragu, apakah ada seseorang yang dapat merubah wajah kamu menjadi cantik,” canda Mamaku seraya menarik kursi dan duduk di sampingku.
   Aku cemberut mendengar apa yang dikatakan mamaku. ”Aku ini cantik, Ma!”
   ”Tolong pertahankan wajahku agar tetap datar”kata perias bule itu dalam bahasa Belanda.
   Aku mengangkat kedua alisku tanda bertanya apa maksud si perias bule.
   ”Katanya, wajahmu tambah jelek ketika kamu cemberut, padahal bentar lagi jadi permaisuri si Seung… eh, maksud mama permaisuri Shin-woo,”
   ”Mama! Apaan sih? Anak, kok, diledek,” rengekku.
   ”Sebentar lagi kan, Mama bakalan berpisah dengan anak perempuan satu-satunya ,” kata Mama menatapku penuh kasih sayang.
   Aku meraih tangan mamaku, ”Mama jangan buat aku menangis, dong, Mama mau lihat aku nangis?” tanyaku.
   ”Nggak, ini kan hari yang mama tunggu-tunggu, salah satu moment penting dalam hidup mama juga,” kata mama.
   ”Tuh, kan, kata-kata mama nyentuh banget,” kataku lagi.
   ”Iya, deh, Mama keluar dulu, ya,” kata Mama seraya bangkit dari kursi.
   ”Iya, tapi, Mama nggak boleh nangis setelah keluar, ya,” ingatku.
   ”Iya, calon tunangan Shin-woo.” jawab Mama.
   Aku sebenarnya mau tersenyum, tapi, aku takut kena marah si perias bule.
   Aah, leherku pegal! Apakah masih lama diriasnya? Sebenarnya, perias sudah menghapus riasanku beberapa kali, gara-gara Evan dan Ryo yang datang ke kamarku. Mereka datang bukan untuk memujiku malahan menggangguku!
   Aku memperhatikan Evan dan Ryo yang lagi cengengesan sambil bisik-bisik melihatku. Kedua manusia itu! Rasanya, aku ingin membakar mereka menjadi abu! Oh, Tuhan! Ini akan memperlambat periasan wajahku. Aku sudah capek duduk di sini.
    ”Taraaa!” seru perias sambil mengangkat kuas wajah yang ada di tangan kanannya.
   Aku melihat wajahku di cermin. Aku…? Benarkah ini aku? Aku terlihat lebih dewasa dan berkelas, padahal yang dirias baru wajah, apalagi kalau nanti aku memakai gaun yang telah disiapkan, aku jadi tidak sabar membuat Shin-woo kagum melihatku.
   ”Jangan pernah berpikir kalau Shin-woo bakalan kagum melihatmu,” ujar Shin-woo.
   Kok, dia tahu apa yang sedang aku pikirkan? Apa dia belajar dengan Ki Joko Bodo? Perlu diselediki.
   ”Nggak,” sahutku.
   ”Yang bener? Kalau begitu, gue kirim aja foto lo ke Shin-woo,”
   ”Jangan!” seruku.
   ”Apa imbalan tutup mulut kami berdua?”
   ”Ryo, Evan, kejam banget kalian,” kataku dengan memasang wajah memelasku.
   ”Terserah mau apa tidak,” tambah bocah tengik satu itu.
   ”Iya deh! Mau apa?” kataku kesal.
   ”Sebentar,” ujar Ryo seraya berlari keluar kamarku.
   Tidak lama, Ryo membawa kotak kecil, entah apa isinya, aku jadi khawatir.
 ”Apa ini?” tanyaku ketika Ryo menyerahkan kotak kecil itu.
 ”Buka aja, hadiah dari aku dan Evan, kalo lo buka, kami berdua bakalan tutup mulut,” jawab Ryo.
 ”Nggak ngerjain gue kan?” tanyaku tambah ragu.
”Tau! Open it!” desak Evan.
”Iye!” seruku.
 Aku membuka kotak kecil itu perlahan-lahan. Aku terdiam melihat apa isi kotak itu. Bros berbentuk bunga, kelihatan sederhana, tetapi aku tahu, bros yang kupegang ini sangat mahal. Aku yakin, berlian dan intannya asli.
 Aku menatap Ryo dan Evan bergantian, mereka ternyata masih punya hati nurani, aku jadi terharu melihat apa yang mereka berikan untukku. Aku kira, mereka hanya bisa menggangguku, ternyata mereka masih peduli dengan moment penting sejarah cintaku.
 ”Jangan memasang muka seperti itu, aku tidak suka,” kata Ryo seraya memelukku. ”Selamat bertunangan adik tersayangku, semoga kamu dan Shin-woo langgeng,”
 ”Terima kasih ka,” ujarku menahan air mataku agar tidak gugur.
 Ryo melepaskan pelukanku.
 ”Aku tidak mau memelukmu! Aku juga ucapin, SELAMAT BERTUNANGAN!” seraya berlari keluar kamarku.
 ”Yah, kabur,” kata Ryo.
 Tok..tok..tok…
 ”Tante masuk, ya?” kata Tante Levana.
 ”Eh, masuk aja, tante,” kataku.
 ”Tante bawain kamu gaun, ayo cepat ganti dulu, Ryo jangan usilin adik kamu dulu, entar make up-nya luntur.” kata Tante Levana seraya memberikan gaun yang model atasnya kebaya dan bawahnya seperti gaun pesta. Sungguh anggun!
 ”Apaan sih tante, orang nggak ngusilin Femi, kok,” celutuk Kevin.
 Aku berjalan ke kamar mandi mengganti pakaianku. Mulanya, agak sedkit susah memasukkan gaun ke badanku, karena sepertinya aku agak gemukan. Tapi, aku tetap langsing lho! Aku keluar dari kamar dan minta tante Levana mengancingkan gaunku.
”Kamu gemukan?” tanya tante Levana.
”Nggak!” jawabku langsung.
”Susah dikancingnya, makanya, tante sudah bilang jangan makan sembarangan,” omel tante Levana.
”Sana duduk, biar dirias lagi,” suruh Tante Levana.
”Lagi?” tanyaku.
”Kenapa? Rambutmu kan belum di bentuk,”
Sekitar setengah jam pertempuran merias rambutku berakhir. Walaupun pegal leherku, aku sungguh tidak kecewa dengan hasilnya. Aku benar-benar tidak seperti akumaksudku, aku terlihat sungguh cantik. Aku tidak narsis, Tante Levana juga bilang begitu.
 ”Femi, sudah siap?” tanya Mama yang muncul tiba-tiba.
”Iya,” jawabku.
”Kamu cantik sekali, nak!” seru mama seraya memelukku.
”Iya, dong!”
”Ayo, jangan sampai melakukan hal-hal yang aneh di depan kamu,” ingat mama cerewet sambil berjalan, aku mengikutinya di belakang.
 ”Iya!” jawabku.
Acara pertunanganku memang diadakan di rumah Tante Levana, mulanya acara pertunangan akan ini diadakan di hotel. Berhubung, hanya keluarga dan beberapa kenalan saja di undang, kami lebih memilih mengadakan di taman rumah Tante Levana. Taman tante Levana, kan, cukup besar.
Mama membukakan pintu untukku. Aduh! Aku sungguh berdebar-debar, rasanya aku mau pingsan! Jangan, jangan pingsan dulu, aku belum melihat bagaimana ekspresi wajah Shin-woo. Apa dia akan suka melihat riasanku?
Kakiku yang memakai high heels warna pink menginjak rumput taman, aku memperhatikan sekelilingku. Beberapa detik, aku merasa seperti cinderella yang masuk ke dalam istana pangeran dan menjadi pusat perhatian seluruh tamu yang datang. Jantung jadi bertambah berdebar sampai aku tidak menyadari kalau Shin-woo yang di depanku tercengang. Sungguh, aku tidak berbohong, dia benar-benar tercengang dan aku sadari itu, dia tidak mengedipkan matanya, aku yakin.
 ”Shin-woo, tidakkah kamu merasa kalau Femi sangat cantik?” tanya tante Jasmine yang sepertinya membuyarkan lamunan Shin-woo.
 ”Ah, iya,” jawab Shin-woo.
 ”Ayo, cepat hampiri dia,” suruh tante Jasmine.
 Shin-woo berjalan menghampiriku seraya mengulurkan tangan kanan sambil sedikit merunduk. Aku merasa seperti seorang pangeran yang diajak dansa oleh pangeran. Huh, sayang banget tidak ada acara dansa, coba kalau ada, pasti terlihat romantis banget!
 Entah kenapa, aku jadi merasa grogi bicara sama Shin-woo, dari tadi kami hanya bicara satu kali: ”Apa kamu sudah makan?”, pertanyaan yang hanya perlu dijawab, ”belum, kamu?”
 ”Mau minum apa?” tanya Shin-woo.
 ”Air putih saja,” jawabku.
 ”Tunggu sebentar, aku ambilkan,” kata Shin-woo.
 ”Iya,”
 Aku memperhatikan sekelilingku, aku masih menjadi pusat perhatian dan sesekali tamu menghampiriku dan mengucapkan selamat.
 Perhatianku dari tadi tertuju pada seorang lelaki yang memakai kemeja biru muda, wajahnya terlihat tidak asing. Aku berjalan mendekatinya, tetapi lelaki itu keburu berjalan membelakangiku. Kevin?
 ”Kevin?” sapaku ragu.
 Lelaki itu terdiam kemudian berjalan cepat. Kevinkah?
 Aku berusaha mengejarnya, tetapi karena aku memakai gaun, aku jadi susah bergerak dan orang itu keburu menghilang. Tapi, kalau itu Kevin, kenapa dia tidak menyapaku dan mengucapkanku selamat? Eh, tapi, tidak mungkin itu Kevin, keluargaku tidak mempunyai kekerabatan dengan Kevin, kecuali keluargan Shin-woo, tapi seingatku ketika melihat siapa-siapa yang diundang tidak ada yang mengundang orang yang mempunyai nama Kevin.
 ”Ada apa?” tanya Shin-woo tiba-tiba membuatku tersentak.
 ”Ah, tidak apa-apa,” jawabku.
 ”Ini,” kata Shin-woo serraya memberikan segelas air putih.
 Aku langsung menghabiskannya. Tenggerokanku terlalu kering karena terlalu gugup. Auh! Segarnya!
 ”Tuan-tuan dan nonya-nyonya, acara pertunangan yang kita tunggu akan dimulai, sekarang kedua calon tunangan, harap kemari,” kata pembawa acara dari belanda dengan bahasa bule (Belanda) yang sulit dimengerti.
 ”Ayo,” kata Shin-woo.
 ”Kemana?” tanyaku.
 ”Oh, iya, lo pasti nggak ngerti. Katanya, kita diminta kesana,” ujar Shin-woo memasang muka sok manis.
 Aku sebenarnya sangat ingin cemberut tapi, berhubung banyak orang, jadi baku tahan saja wajahku yang gatal ingin cemberut.
 Aku dan Shin-woo berjalan ke arah pembawa acara, aduuh! Jantungku berdebar-debar lagi. Aku terlalu gugup untuk memahami apa yang diucapkan oleh pembawa acara yang cerewet, aku hanya bisa menatap Shin-woo yang berada di depan.
 Papa dan Mama yang entah sejak kapan ada di depanku menyondorkan sebuah bantal berwarna putih yang di atasnya ada sebuah kotak kecil berisi cincin yang aku dan Shin-woo pilih untuk cincin pertunangan kami.
 Shin-woo mengambil cincin tersebut kemudian bersujud seraya meraih tangan kiriku, kemudian memasangkan cincin tersebut. Kemudian Om Park dan Tante Jasmine menyondorkan cincin untuk Shin-woo, aku mengambil cincin tersebut dengan tangan bergetar. Semoga cincin di tanganku tidak jatuh, tanganku terlalu licin.
 ”Jangan sampai jatuh,” tegur Shin-woo dengan berbisik.
 Aku meneguk air liurku beberapa kali, tenggerokkanku terasa kering. Tanganku serasa tidak bertenaga. Oh, Tuhan, lancarkanlah pertunangan ini.
 Aku memasukkan cincin ke jari Shin-woo dengan sekali hentakan. Lancar! Acara lancar tanpa harus mempermalukan diriku dengan menjatuhkan cincin. Terima kasih Tuhan.
 Pembawa acara yang cerewet sepertinya menyuruh para tamu untuk bertepuk tangan. Shin-woo kemudian mencium keningku, walaupun disuruh oleh pembawa acara, aku merasa ciuman Shin-woo seperti ciuman dari perasaannya yang terdalam.
 Acara saling tukar cincin selesai dengan sempurna, sekarang kami bisa menyapa para tamu lagi. Membosankan sih, tapi, ini adalah acara pertunanganku. Jadi, aku harus menikmatinya. Dari tadi sebenarnya aku ingin bicara dengan Shin-woo tapi, banyak yang mengajak Shin-woo bicara. Huh!
 Aku melihat Ryo yang sedang menganggur di samping meja prasmanan, aku mencoba berjalan untuk mengajaknya bicara. Tapi, ujung high heelsku menginjak gaunku dan aku terjatuh. Semua tamu langsung melihatku. Sial! Aku malu.
 Shin-woo langsung menghampiriku. ”Bodoh! Mau kemana? Harusnya lo jangan banyak gerak,” tegurnya.
 Aku cuma bisa meringis.
 ”Sini,” kata Shin-woo seraya menyondorkan tangannya.
 Aku menyambut tangannya, Shin-woo membantuku bangkit. Aku melihat gaunku yang agak kotor. Huuh, gaun pertunanganku.
 Tiba-tiba Shin-woo menggendongku. Astaga! Apa yang sedang dia pikirkan?
 ”Mau ke toilet, kan?” tanya Shin-woo.
 Aku mengangguk.
 ”Daripada nanti jatuh lagi, lebih baik aku gendong,” katanya.
 Aku mengangguk pelan sekali lagi. Wajahku terasa panas, bukan hanya karena digendong Shin-woo tetapi, juga karena menjadi sorotan seluruh orang. Ketika Shin-woo berjalan, seluruh tamu bertepuk tangan.
 Ini adalah hari pertunanganku dan ini adalah hari yang sangat membahagiakan dalam sejarah cintaku. Shin-woo, love you!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar